Tokyo 2028
Tokyo 2028
Sumber : Pinterest
Karya :
Casey Brigita Fedyla
Suara hiruk-pikuk jalan raya bercampur dengan sekumpulan manusia yang berlalu lalang di tengah ibukota Jepang merupakan suasana yang biasa di sana. Udara dingin yang berhembus pelan, lampu-lampu dengan warna yang kontras pada gedung-gedung tinggi menghiasi pusat kota Tokyo pada malam itu.
Seorang wanita berdiri di depan salah satu bangunan besar di sana, beberapa kali melirik ke arah ponselnya lalu kembali menatap ramainya jalan raya kala itu, tampak sedang menunggu sesuatu.
Mai Ishihara namanya. Seorang wanita berusia 27 tahun yang bekerja sebagai fashion designer sebuah butik yang berdiri di tengah kota Tokyo, Jepang. Wajahnya yang lesu dan lelah diakibatkan oleh beberapa kejadian buruk yang menimpanya hari ini.
Beberapa saat yang lalu ia memesan sebuah taxi online, berharap tidak menunggu selama ini. Namun mengingat betapa padatnya kota Tokyo, itu bukan merupakan hal yang mengejutkan.
Merasa bosan dengan ponselnya, Mai memasukkannya ke dalam tas dan mulai memperhatikan sekitarnya. Orang-orang berlalu-lalang, gemerlap cahaya dengan dominan warna biru, merah, dan putih yang tidak bisa dibilang sebagai pemandangan yang mengecewakan.
Mai menyukainya. Meski tidak terlalu menyukainya dibandingkan suasana kamarnya yang nyaman dan sunyi.
Bagaikan melihat air di padang gurun, matanya menangkap sesosok laki-laki asing yang tengah bersandar pada pilar yang berada tidak jauh darinya. Yang membuatnya tertegun adalah laki-laki itu benar-benar serupa dengannya.
Mai berniat untuk menghampiri laki-laki itu. Tidak setelah ia mendapati bahwa laki-laki itu telah menghilang, tepat ketika beberapa orang yang berlalu-lalang menghalanginya. Di saat yang sama, taxi yang ia pesan sudah berada di depannya. Jadi, tidak ada alasan untuk mencari tahu siapa orang itu.
---
Kamar yang didominasi oleh warna putih dan hitam dengan cahaya lampu yang menyorot beberapa kertas gambaran desain busana yang ditolak oleh beberapa klien nya, dan Mai yang tengah duduk di meja dengan laptop yang ia gunakan untuk mencari sesuatu.
Ya, inspirasi.
Sudah menjadi hal yang biasa bagi gadis berambut legam sebahu itu untuk berjaga semalaman demi mencari inspirasi, apalagi jika ditemani oleh segelas kopi hangat yang baru saja dia buat. Sementara tangan kirinya meneguk kopi, tangan kanannya yang memegang mouse terus menggerakkan jarinya di laman sosial media miliknya. Tak tahu sudah berapa lama ia mencari sesuatu yang menarik di sana, namun tak kunjung mendapatkan nya.
Sampai sebuah utas berjudul The Multiverse muncul di laman utamanya. Dua kata yang masih asing baginya, namun sangat menarik. Segera ia membaca utas itu satu per satu dengan seksama. Tak terhitung sudah berapa lama ia membaca utas tersebut sampai akhirnya selesai. Mai mematikan dan menutup laptopnya, lalu mulai meregangkan tubuhnya, melepas kacamatanya dan berbaring di atas kasur. Lampu di meja kerjanya sengaja tidak dimatikan agar ruangan tersebut tidak terlalu gelap.
Wanita bersurai kebiruan itu menghela napas dalam-dalam, "Multiverse ya... Terdengar cukup mustahil." sebelum kemudian menutup matanya perlahan-lahan dan bersiap untuk beristirahat pada hari yang melelahkan ini.
Namun itu tidak berjalan sesuai keinginannya.
Sebuah suara yang asing dan menganggu di telinganya terdengar dari sebelah kanan kamarnya. Suara yang tidak bising, namun terdengar jelas dan cukup mengganggu di malam hari ini. Merasa kesal? Tentu saja. Siapa yang tidak kesal jika istirahatnya terganggu?
Namun apa boleh buat, tubuh Mai sudah terlalu lelah untuk sekedar berjalan keluar dan memeriksa apa yang terjadi. Atau pun menelepon resepsionis atas apa yang ia alami. Jadi satu-satunya pilihan hanyalah berusaha sekuat tenaga untuk tidur ditengah suasana yang mengganggu ini.
---
Pukul enam tepat pagi itu, Mai terbangun dari tidurnya yang singkat dan tidak nyaman itu. Badannya masih terasa pegal, matanya yang masih berat untuk dibuka, dan juga tubuhnya yang masih belum mau beranjak dari kasur. Tetapi, mau tidak mau, Mai harus beranjak dari sana dan bersiap untuk mandi. Ia meninggalkan tempat tidurnya yang berantakan dan segera membasuh dirinya.
Segelas teh hijau hangat instan dan sebuah onigiri berisi tuna mayo menjadi sarapannya pagi ini. Sudah menjadi hal biasa baginya untuk makan seadanya di pagi hari. Tidak, sesudah pintunya apartemen nya diketuk. Mai yang baru saja menyeruput teh hijaunya berjalan ke arah pintu dan membukanya, masih dengan segelas teh hijau di tangan kirinya.
"Selamat pagi, Nak Ishihara," seorang wanita paru baya tersenyum ke arahnya.
"Ah. Nyonya Nohara," celetuk Mai setelah melihat wanita itu.
"Kau tidak tidur lagi hari ini?" tatapan wanita itu berubah menjadi khawatir.
"Aku tidur. Meski hanya sebentar..." balas Mai dengan suara yang mengecil di kalimat terakhirnya.
Wanita paruh baya itu menghela napas sembari menggelengkan kepalanya, "Anak muda zaman sekarang, suka sekali menyakiti diri mereka sendiri." ujar Nyonya Nohara.
"Ini. Hari ini aku memasak lebih. Kau boleh mengambilnya sebagai bekalmu, Ishihara." Nyonya Nohara menyodorkannya sebuah rantang makanan dengan ukuran yang tidak bisa dibilang kecil. "
Ah, terima kasih. Sepertinya saya terlalu merepotkan anda." Mai tersenyum canggung dengan tangannya yang membawa kotak bekal itu.
Nyonya Nohara menggeleng, "Aku melakukan hal ini karena aku sudah seperti anakku, Ishihara." tuturnya lembut. Mai menatap wanita tua itu dan tersenyum kepadanya.
"Sekali lagi, terima kasih, Nyonya." gadis bernetra biru cerah itu membungkukkan badannya tanda berterima kasih.
"Tidak perlu sampai membungkuk seperti itu, Nak." Wanita itu mengangkat tubuh Mai yang membungkuk itu dan membuatnya berdiri tegap.
"Oh ya, aku tidak tahu bahwa kau memiliki saudara kembar, Nak." Celetuk Nyonya Nohara. Mai mengernyitkan keningnya, bingung akan apa yang wanita tua itu katakan.
Mai sudah hidup sebatang kara selama sebelas tahun sekarang, tanpa orang tua dan saudara. Tak heran jika dia kebingungan. Kedua orang tuanya tewas diakibatkan sebuah kecelakaan mobil di Kyoto, 21 November 2004 silam, tepat di ulang tahunnya yang ke lima.
Mai tinggal di panti asuhan sejak kejadian itu, sekitar 13 tahun lalu merantau ke ibukota Tokyo karena mendapat beasiswa penuh untuk berkuliah di sana dan menetap hingga sekarang. Dan Nyonya Nohara lah yang ia anggap sebagai kerabat dekatnya.
"Bukannya Nyonya sudah tau kalau aku anak satu-satunya?" ungkapnya. Di benaknya hanya terpikir bahwa Nyonya Nohara hanya salah menyimpulkan.
Nyonya Nohara justru menggelengkan kepala, "Aku berpikir seperti itu. Setidaknya sebelum aku bertemu dengan orang yang tinggal di sebelahmu." lalu menunjuk ke arah sebuah unit di sebelah kirinya.
"Tidak hanya wajah kalian yang serupa, dia juga memiliki nama belakang yang sama denganmu."
Mai terdiam sejenak. Beberapa pertanyaan terlintas di pikirannya sebelum akhirnya ia membuka mulutnya, "Ah, mungkin saja itu hanya sebuah kebetulan." katanya dengan tersenyum canggung.
Nyonya Nohara menganggukkan kepalanya perlahan, "Tapi dia benar-benar terlihat mirip denganmu, Nak." ujarnya, "Mungkin wanita tua ini yang salah melihat."
Dan pada akhirnya mereka saling berpamitan, dikarenakan masih ada banyak hal yang masing-masing dari mereka harus lakukan. Namun Mai masih saja berdiri di depan unit apartemen nya, sesekali memandang ke arah unit sebelahnya dengan pertanyaan seputar seseorang yang dimaksud oleh Nyonya Nohara di benaknya.
Tidak lama, setelah ia melihat jam sudah menunjukkan pukul 9.30, ia kembali ke dalam apartemen nya dan keluar dengan pakaian formal dan sebuah tas tergantung di tangannya.
"Yang benar saja! Sudah berapa lama aku berdiam di depan sana?" gerutu Mai di dalam hati sembari berlari menuju ke arah lift yang tersedia di sana. Lift tersebut terletak lumayan jauh dari unit nya, sehingga membutuhkan sedikit waktu untuk sampai ke sana.
Derap langkah kaki Mai terhenti tepat di di depan pintu lift yang masih tertutup. Jari telunjuknya menekan tombol lift sementara tubuhnya berusaha untuk berdiri tegap. Tepat setelah jarinya menempel pada tombol tersebut, jemari lain ikut menekan tombol lift itu.
Mai menoleh ke arah tangan itu berasal, seorang laki-laki dengan rambut kebiruan gelap yang sedikit berantakan, netra yang tajam terlihat dibalik matanya yang agak sayu, tubuhnya yang lebih tinggi dari Mai, dan mengenakan hoodie berwarna hitam.
Benar saja...
Ini adalah seseorang yang dibicarakan oleh Nyonya Nohara.
Kedua pribadi itu saling bertukar tatap selama beberapa saat, dengan tatapan kebingungan yang sama. Dari ujung kepala hingga ujung rambut, wanita itu benar-benar memperhatikan setiap detail pada laki-laki di hadapannya. Begitu juga dengan lelaki itu. Tampaknya keduanya menyadari ada sesuatu yang aneh diantara mereka.
Pintu lift akhirnya terbuka, keduanya memasuki ruangan kecil itu dan saling berdiam di sana. Meski secara diam-diam memperhatikan satu sama lain.
"Sebenarnya kita adalah orang yang sama."
Mai menoleh, kebingungan akan kalimat yang diucapkan oleh laki-laki itu. Jejaka itu memandang wanita berpakaian formal di sebelahnya, lalu kembali menghadap ke depan. Suasana kembali sunyi. Hanya terdengar suara deru mesin lift yang bekerja di belakang mereka. Pintu lift terbuka menampilkan sebuah lobby dengan beberapa orang berlalu lalang di sana. Kedua orang itu keluar, tanpa bertukar kata dan tatapan, ke tujuan mereka masing-masing.
---
Lagi-lagi, hari yang tidak menyenangkan datang kepada Nona Ishihara. Berbeda dengan hari sebelumnya, hari ini atasannya memarahinya, hanya karena dirinya yang sama sekali tidak menunjukan perkembangan dalam karyanya. Ya, Mai sendiri tidak bisa menyangkalnya, karena itulah yang sedang terjadi padanya sekarang.
Langkah kakinya berat, kepalanya yang dipenuhi oleh rasa sakit yang luar biasa, dan perasaannya yang kosong. Hal biasa yang ia alami setiap pulang bekerja. Keberuntungan dan hal baik sepertinya tidak sedang berpihak dengannya sekarang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 9.46 malam itu, jadi tidak banyak orang yang melihat kondisinya yang menyedihkan ini.
Tidak, kecuali laki-laki yang sedari tadi berdiri, menutupi pintu unit apartemennya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.
"Ada yang harus kita bicarakan."
"Aku tidak punya waktu sekarang." ujar Mai lalu mengulurkan tangan untuk membuka pintu unit apartemennya.
Tiba-tiba laki-laki itu menahan tangan kanannya, membuat Mai terkejut, "Aku mohon, ini menyangkut keselamatan kita berdua." ujar laki-laki itu. Di balik sorot mata tajamnya, Mai dapat melihat tatapan yang amat memohon kepadanya.
Mai mengiyakan, ia mempersilahkan laki-laki itu masuk ke dalam apartemen nya. Dikarenakan tidak ada penerangan di sana, Mai mulai menyalakan satu per satu lampu di sana.
"Duduk saja dulu. Aku akan menyiapkan sedikit makanan." ujar Mai sembari membuka kulkasnya dan mengambil beberapa bahan masakan. Suasana di sana sangat sunyi, hanya terdengar suara api kompor yang menyala serta alat-alat masak yang saling bersentuhan. P
Sekarang dua piring Yakisoba dan dua gelas air terletak di hadapan mereka. Sebenarnya Mai tidak terlalu pandai dalam memasak, namun bukankah tidak sopan memberikan tamu makanan siap saji? Begitu pikirnya.
"Kalau kau tidak menyukainya, kau boleh tidak memakannya." cetusnya, melihat laki-laki di hadapannya menatap masakannya dengan ragu.
"Kita orang yang sama. Seharusnya kamu tidak pandai memasak." ungkap laki-laki dengan netra Tanzanite nya yang menatap Mai. Ungkapan tersebut berhasil membuat Mai kesal, tak hanya karena kekurangannya yang diucapkan secara terang-terangan, tapi laki-laki itu yang selalu menyebut bahwa mereka orang yang sama.
"Uhm... Ternyata lebih enak dari yang kukira." Sorot matanya menunjukkan ketakjubannya. Mai yang melihatnya tersenyum tipis, merasa bangga atas masakannya lalu menyuap makanan tersebut ke dalam mulutnya.
"Sho."
"... Apa?"
"Sho Ishihara."
"Ah. Namamu..."
"Um.. Sho?"
"Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Lelaki bernama Sho itu meletakkan sumpit di atas piring yang sudah kosong, lalu menghela napas perlahan, "Kau tau tentang teori Multiverse?"
Wanita itu terdiam sejenak. Di benaknya hanya terlintas satu hal, "Jadi kamu.."
Sho mengangguk, "Benar. Aku tidak seharusnya berada di sini." ucapnya.
"Konsep utama dari sebuah Multiverse, atau bisa disebut dunia paralel, semesta yang sangat banyak dan tidak ada habisnya. Dan ada yang meyakini bahwa dunia paralel itu dapat diakses melalui mimpi. Bisa saja kejadian yang ada di dalam mimpi benar-benar terjadi, namun bukan di semesta yang kamu tempati." jelasnya.
"Dan tidak kusangka aku benar-benar melakukannya." lanjut laki-laki itu, sembari memainkan ujung gelas kaca itu dengan jari telunjuknya, "Mengakses dunia paralel melalui mimpi."
"Dan kamu pasti tau, setiap pilihan pasti memiliki resikonya masing-masing. Dan resiko dari perbuatanku adalah menetap di sini. Selamanya."
"Lalu, bagaimana dengan dirimu di dunia semulamu?" tanya Mai, rasa penasaran menyelimuti dirinya.
"Tidak ada akan yang tau. Mungkin saja aku akan tertidur selamanya di sana sementara aku berasa di sini." ungkapnya.
Melihat raut wajah lawan bicaranya yang menunjukkan kebingungan, lelaki itu tertawa kecil, "Sepertinya topik ini terlalu sulit dicerna olehmu, Mai." celetuknya.
Sho melihat ke arah jam yang berada di belakangnya, sudah menunjukkan pukul 10.15 malam. Dimana sudah sangat larut untuk berbincang di rumah orang lain. Ditambah raut wajah Mai yang terlihat sangat lelah sedari tadi.
"Kalau begitu, kita sudahi pembicaraan kita malam ini." Sho beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju pintu keluar.
"Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk berbincang malam ini, Mai." ujar Sho yang sudah berada di depan pintu, hanya dibalas anggukan dari sang empunya nama.
"Dan jangan lupa beristirahat. Aku tidak mau melihat diriku sendiri kelelahan." ungkapnya sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.
Mai menghela napas, lalu meletakkan kepalanya di atas meja. Terlintas banyak pertanyaan di pikirannya. Mulai dari siapa Sho sebenarnya, kenapa ia berada di sini, hingga apa dunia paralel yang ia maksud. Sayangnya, otaknya sudah terlalu lelah untuk memikirkan hal itu, dan akhirnya tertidur.
---
Teruntuk,
Sho Ishihara.
Tak terasa sekarang sudah genap dua tahun dari awal kita bertemu. Hari yang benar-benar tidak bisa ku lupakan. Ya... teori dunia paralel yang kau ceritakan itu memang gila, tapi sampai sekarang aku masih tidak menyangka itu benar-benar ada. Dan sekarang juga sudah satu tahun dimana kau kembali ke dunia asalmu.
Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih, karena dirimu lah aku berada di posisiku yang sekarang. Jika aku tidak pernah bertemu denganmu, mungkin saja aku masih sana menyedihkannya seperti yang kau lihat dulu. Tidak hanya itu, idemu untuk berkomunikasi melalui surat ini juga sangat brilian. Aku tidak mengerti bagaimana cara kerjanya, tapi aku yakin pesan ini pasti sampai kepadamu.
Aku selalu menanti balasan darimu, dan semoga kau baik-baik saja di sana.
Mai Ishihara
Paris, 31 Oktober 2028
---
Untuk,
Mai Ishihara
Untung saja pesan ini benar-benar sampai kepadaku, dan aku baik-baik saja.
Tentang dirimu yang sekarang menjadi desainer ternama, itu buka karena diriku, tetapi kamulah yang membuat hal itu menjadi nyata. Kalau saja aku bisa berada di sana lebih lama, aku pasti akan sangat bangga melihatnya. Sayangnya takdir tidak berkata demikian.
Aku sempat berpikir, mungkin saja kita adalah teman atau bahkan saudara di dunia paralel yang lain. Ingin rasanya ku menjelajahi dunia paralel yang lain, namun tidak untuk sekarang. Percaya atau tidak, film yang ku buat akan terinspirasi dari pengalaman kita. Andai saja kau bisa kemari, kau pasti akan takjub melihatnya.
Namun untuk sekarang, saling bertukar kabar melalui surat ini sudah lebih dari cukup. Pesanku hanya satu, jangan lupa beristitahat, diriku.
Sho Ishihara
Tokyo, 2028
-fin.