Penipu Keempat
Penipu Keempat
Karya : Ahmad Tohari
Dia adalah penipu ketiga yang datang kepadaku hari ini. De- ngan menampilkan kesan orang lapar dan lelah. Dia, lelaki yang baru kukenal, minta uang kepadaku. Katanya, ia harus segera pulang ke Cikokol, karena anaknya sedang sakit di sana. Tetapi katanya ia tak bisa berangkat kecuali aku mau bermurah hati memberinya ongkos perjalanan.
Tak peduli adakah desa yang bernama Cikokol, tak peduli apakah benar anak lelaki itu sedang sakit di sana, bahkan tak peduli apakah aku aku menjadi orang berhati murah, permintaan ongkos jalan itu kukabulkan. Seribu rupiah segera berpindah dari tanganku ke tangan laki-laki itu.
Sebagai imbalan, aku menerima sekian banyak pujian dan doa keberkahan. Setelah membungkuk dalam-dalam, laki-laki itu keluar halaman dan pergi ke arah terminal.
Tadi pagi, seorang perempuan mengetuk pintu rumahku. Ia memperlihatkan kesan perempuan saleh dan datang kepadaku minta sumbangan. Katanya, ia diutus oleh sebuah yayasan peme- lihara anak-anak yatim-piatu di Banyuwangi. Ia tunjukkan surat- surat berstempel sebagai bukti jati dirinya. Dan akhirnya ia berkata bahwa yayasan yang mengutusnya sangat memerlukan bantuan dana. Tanpa bantuan semacam itu, katanya, anak-anak yatim-piatu di sana akan bertambah sengsara.
Tak peduli benar-tidaknya cerita perempuan itu, tak peduli palsu-tidaknya surat-surat yang dibawanya, permintaannya akan dana kupenuhi. Seribu rupiah kuserahkan kepadanya dan aku pun mendapat penghargaan berupa kata-kata pujian dan doa.
Kulihat mata perempuan itu berseri-seri. Mungkin ia senang karena disangkanya aku tak tahu betapa mudah membuat stempel palsu dan betapa jauh kota Banyuwangi dari rumahku. Atau ia mengira aku orang yang menjalankan perintah agama dengan baik karena tidak berburuk sangka kepada orang yang baru kukenal.
Tak lama sesudah perempuan itu pergi, datanglah tamu lain. Kali ini seorang lelaki yang memberi kesan amat lugu. Dia mem- bawa bungkusan agak panjang berisi kemucing serta empat pisau dapur. Kata lelaki itu, barang-barang yang dibawanya adalah buatan anak-anak penyandang cacat di kota Solo. Dia menawar- kan barang-barang itu kepadaku dengan harga, kukira, tiga kali lipat harga yang sewajarnya.
”Yah, Pak. Apalah arti harga yang saya tawarkan bila meng- ingat nasib anak-anak cacat itu.”
”Sampean betul. Kalau dihitung harga keseluruhan barang, yang sampean bawa hanya 12.000. Uang sebanyak itu bukan ha- nya sedikit bagiku dan bagi para anak cacat itu, melainkan juga akan menyulitkan sampean. Tidak mudah sampean menjaga uang itu tetap utuh sampai ke Solo yang jaraknya tiga ratus kilometer dari sini.”
”Memang tidak akan utuh sampai ke Solo, sebab saya berhak menggunakannya sebanyak 25 persen untuk transpor dan uang makan.”
”Demikian pun sampean masih sulit. Biaya pulang-pergi dari sini ke Solo dengan kendaraan apa saja minimal akan mengha- biskan uang sembilan ribu rupiah. Bila harus makan tiga kali saja, sampean harus mengeluarkan lagi uang minimal 1.500. Sungguh, sampean tetap dalam kesulitan karena tak mungkin memberikan uang hanya 1.500 kepada anak-anak cacat itu.”
Kulihat laki-laki itu jadi bingung. Tangannya bergerak tak menentu. Mungkin dia ingin berkata sesuatu, tapi lama kutung- gu tak sepatah kata pun terucap.
”Apabila sampean bingung, aku akan membantu mengatasinya. Aku akan bayar dua belas ribu untuk semua barang yang sampean bawa ini. Kemudian pergilah ke pasar dan sampean bisa mendapat barang-barang sejenis dan sejumlah ini hanya dengan empat ribu rupiah. Sampean masih punya untung delapan ribu dan modal sampean tak sedikit pun berkurang. Gampang sekali, bukan?”
Laki-laki itu membeku dan kelihatan tersiksa. Padahal sung- guh aku tak bermaksud menyakitinya.
”Sampean bisa terus berjualan pisau dapur dan kemucing atas nama anak-anak cacat di Solo itu selama sampean suka. Apabila dalam perantauan ini sampean bisa melakukan sepuluh kali saja transaksi seperti ini, keuntungan sampean mencapai 80.000. De- ngan membawa uang sebanyak itu, sampean bisa pulang ke Solo untuk menggembirakan anak-anak cacat itu.”
Tak peduli akan tamuku yang semakin bingung itu, kukeluar- kan uang 12.000 rupiah. Mula-mula tamuku kelihatan ragu, namun kemudian diterimanya juga uang itu. Empat pisau dapur dan dua kemucing menjadi milikku.
Selesai memasukkan uangnya ke saku, tamuku pamit. Kukira dia sangat canggung dan serba salah tingkah. Kata-katanya pun terbata-bata. Namun, aku melepasnya dengan kelayakan karena tak punya beban pikiran. Sebaliknya, aku percaya laki-laki itu masih bingung memikirkan sikapku padanya.
Mungkin laki-laki itu menertawakan diriku karena aku meng- ajarinya cara menipu yang sudah lama menjadi modus-operandi- nya. Tanpa kuajari pun dia akan melakukan apa yang kukatakan padanya.
Tetapi mungkin juga dia percaya bahwa sikapku tulus karena pada galibnya 12.000 rupiah tidak akan mudah keluar dari orang yang tak memiliki penghayatan tinggi terhadap maksud baik orang lain.
Kemungkinan ketiga, laki-laki itu menganggap aku demikian naif karena tidak memperlihatkan sikap curiga kepadanya. Oh, andaikan laki-laki itu tahu bahwa tak satu pun perkiraannya benar-benar tepat.
Dan mengapa orang tidak suka mencoba menikmati keindah- an seni penipuan? Perempuan yang mengaku utusan yayasan yatim-piatu di Banyuwangi itu. Kalau bukan orang yang benar- benar berbakat, dia takkan berhasil akting sebagai tokoh yang dilakonkannya. Kalau bukan orang yang benar-benar teguh, dia tidak akan berani untung-untungan minta dana kepadaku. Se- bab, besar kemungkinan aku akan mengambil sikap lugas dengan membuka kedoknya. Jadi, perempuan itu telah menjadikan ba- kat, keteguhan, dan keberanian menghadapi kemungkinan diper- malukan. Ketiganya diartikulasikan dengan baik sehingga menja- di sajian artistik yang bisa kunikmati.
Hari ini ketika waktu lohor belum lagi tiba, aku sudah berha- dapan dengan tiga penipu. Mereka aktor-aktor yang baik, dan aku menyukai mereka. Ingin rasanya aku lebih lama berhadap- hadapan dengan mereka.
Sayang, perempuan yang mengaku dari Banyuwangi itu kira- kira sudah empat jam berlalu. Lelaki yang mengaku menjualkan barang buatan penyandang cacat dari Solo juga berangkat tak lama kemudian. Tetapi lelaki dari Cikokol itu? Dia belum lama berlalu, dan aku yakin dapat menemukannya kembali di kota kecamatan ini.
Aku mengganti kaus oblong yang kupakai dengan baju lengan panjang, kain sarung, dan pantalon. Topi pun kusambar dari cantelannya. Kemudian aku bersicepat, bukan ke arah terminal melainkan ke arah pasar.
Lelaki dari Cikokol itu aku jamin ada di sekitar pasar, bukan di terminal. Lihatlah, dia sedang bercakap-cakap dengan sese- orang. Melihat gerak-gerik dan gayanya berbicara, kuyakin ia sedang mengulangi tipuannya. Tapi kulihat calon korbannya menghindar.
Seperti ular kehilangan mangsa yang sudah dililitnya, laki-laki dari Cikokol itu termangu sendiri. Namun, matanya yang licik dan awas mengalihkan pandang kepadaku. Oh, ternyata orang memang mudah tertipu.
Lihatlah, lelaki Cikokol itu pangling hanya karena aku bergan- ti pakaian. Dia mendekatiku, dan aku siap menikmati tipuannya yang kedua. Dari jarak beberapa langkah, kulihat dia menunduk dan mimik wajahnya mendadak berubah. Bukan main, dia keli- hatan seperti orang yang amat bingung.
”Pak, maaf saya mengganggu. Saya baru kena musibah, uang saya dicopet orang. Padahal saya harus membeli obat untuk istri saya yang baru mel…”
Mendadak lelaki Cikokol itu menghentikan kata-katanya. Ke- dua matanya terbuka lebar dan wajahnya tegang. Dan kegugup- annya gagal disembunyikan ketika lelaki Cikokol itu mengenali kembali diriku. Tetapi dia seniman pantomim yang baik. Kunik- mati dengan saksama ketegangan di wajahnya yang perlahan- lahan mencair. Kini kesan malu terlihat di sana. Hanya sepintas, sebab lelaki Cikokol itu akhirnya malah tersenyum. Aku pun membalasnya dengan senyum pula.
”Eh, Bapak, saya kira siapa,” katanya sambil nyengir. Aku pun ikut nyengir. Dia tersipu-sipu dan kelihatan salah tingkah, pada- hal aku tetap ramah padanya.
”Maaf, Pak, saya telah menipu Bapak dan mencoba akan mengulanginya,” katanya agak gemetar.
”Tenang. Tenanglah, orang Cikokol, sejak semula aku sadar dan mengerti sampean menipuku.”
”Bapak meminta uang Bapak kembali?”
”Hus! Yang kuminta adalah kelanjutan cerita tentang uang yang dicopet orang dan tentang istri sampean yang baru melahir- kan.”
”Ah, Bapak, bisa saja. Bapak tentu tahu itu cerita akal-akal- an.”
”Ya, hanya orang tolol yang akan percaya cerita seperti itu.
Tetapi aku ingin mendengarnya dan aku tidak main-main.” ”Ah, Bapak. Daripada mendengarkan cerita yang bukan-bukan,
lebih baik Bapak kuberitahu alasan mengapa aku terpaksa jadi penipu.”
”Usul sampean baik juga. Tetapi bolehkah saya minta jaminan bahwa cerita sampean nanti bukan omong kosong?”
”Demi Tuhan, saya akan bercerita yang sebenar-benarnya.”
Diawali dengan sumpah, wong Cikokol itu memulai cerita yang sangat terasa sebagai pembelaan diri. Dan sumpah itu membuat apa yang dikatakannya menjadi penipuan yang bermutu tinggi. Agar aku bisa lebih menikmati sajian istimewa itu, aku harus bisa mengendalikan perasaan sebaik mungkin. Dan aku berhasil. Sampai lelaki Cikokol itu selesai mengemukakan segala dalih mengapa dia terpaksa jadi penipu, aku tetap bersikap sungguh- sungguh mendengarkannya, bahkan menikmatinya. Lelaki Cikokol itu pun kelihatan demikian yakin bahwa dirinya berhasil menipuku buat kali yang kedua. Dengan demikian, dia boleh
merasa menjadi penipu yang paling unggul.
Namun, apa jadinya bila orang Cikokol itu tahu bahwa ada penipu lain yang jauh lebih pandai, yakni dia yang hari ini mem- beri uang 14.000 kepada tiga penipu teri. Dengan 14.000 itu dia berharap Tuhan bisa tertipu lalu memberkahinya uang, tak pe- duli dengan cara apa uang itu didapat. Dan aku yakin hanya penipu sejati yang bisa sangat menyadari akan penipuannya.
Keterangan: Sampean (bahasa Jawa) = Anda
Wong (bahasa Jawa) = Orang