Weda, Rumah
Weda, Rumah
Vivian Nadienna
Pemenang Juara 2 Lomba cerpen Penabur Laser Competition
Aku hendak pergi ke rumah ayahku sekarang bersama anak dan suamiku. Ingin melepas rindu adalah tujuan utamaku. Rumahnya sekarang memang bagus, tapi tidak sebagus rumah lama kami. Rumah dimana banyak sekali kenangan yang kami buat bersama. Rumah yang tidak mewah, namun sangat istimewa.
Kenangan tersebut tentunya dimulai dari kelahiranku pada tanggal 3 Agustus 1989. Rumah itu menjadi saksi perjuangan dimana ibuku mengerahkan seluruh tenaganya agar aku dapat melihat indahnya dunia. Ayahku juga disana untuk menyemangati ibuku disisinya. Keringat dan rasa sakit juga turut jadi bukti perjuangannya. Air mata jadi bukti kebahagiaan kedua orang tuaku atas kelahiran anak pertamanya.
Ayahku menggendong tubuhku yang ringan dan memandang tubuhku yang masih kemerahan. Kemudian aku diletakkan di dada ibuku yang masih terbaring lemah. “Kita beri nama anak kita Thea, Theana Tanadi Pramudya,” ucap ayahku. Dari situ segala perjalanan hidupku dimulai. Segala perjalananku dengan ayahku, Weda Pramudya.
Tepat pada tahun 1995, aku mulai memasuki sekolah dasar. Ayahku masih seorang karyawan biasa di perusahaannya. Gajinya juga hanya cukup untuk menunjang hidup kami sehari-hari tanpa kemewahan. Setiap jam 7 malam, ayahku pulang dari kantornya dengan sepeda motornya. Disanalah aku menyambut hangat kehadirannya. Setiap malam biasanya aku akan berteriak, “Ibu! Ayah pulang!” Lalu kami akan makan malam di meja makan kayu yang terbilang cukup sederhana. Bukan dari kayu jati, atau pun kayu-kayu mahal lainnya, namun cukup untuk memberikan kami kehangatan dan keharmonisan dalam keluarga kami.
Namun, keharmonisan itu tidak berjalan lama. Perusahaan tempat ayahku bekerja telah bangkrut. Terpaksa ayahku juga kehilangan pekerjaannya. Ayahku yang kini hanya seorang kuli panggul, sulit sekali untuk menunjang kehidupan yang layak bagi kami bertiga. Tabungan yang tersisa telah habis, kami terpaksa menjual rumah dan membeli rumah yang jauh lebih kecil. Aku yang dulu mempunyai kamar sendiri, kini juga harus tidur bertiga di ruangan sepetak itu bersama ayah dan ibuku. Alhasil, karena kehidupan yang sulit bersama ayah, ibuku jatuh cinta dengan pria lain. Setiap hari, ibuku akan pulang jauh lebih malam untuk bertemu kekasih barunya. Ayahku tau, namun diam saja. Ayahku mencintai ibuku, sangat mencintai ibuku. Sampai pada akhirnya ibuku yang mengajukan perceraian terlebih dahulu, ayahku menyetujui keputusannya. Ayahku mau wanita yang ia cintai itu hidup bahagia walaupun bukan bersamanya.
Tepat pada 1998, akhirnya ibu dan ayahku bercerai. Apakah ayahku mencari wanita lain? Tidak. Ayahku pernah berkata, “Thea jadi satu-satunya perempuan kesayangan ayah sekarang.” Apakah aku juga mau ikut dengan ibuku bersama suami barunya? Tidak. Aku sangat senang apabila dapat menemani ayahku disini. Ayahku di hari-hari beratnya pun masih berusaha menemaniku dan membahagiakanku. Bahkan lelah tubuhnya tidak jadi penghalang agar untuk ia mengajariku soal matematika. Ayahku yang hebat tidak rugi menemaniku belajar, karena aku mendapatkan juara satu olimpiade matematika setelahnya. Setiap hari kami membuat kenangan dengan senyum dan canda tawa di rumah kecil itu.
Semua kebahagiaan kami hancur saat ibuku kembali dan hendak mengambil hak asuhku dari ayah, tepatnya pada tahun 2002. Bagiku, aku sudah cukup besar untuk menentukan aku harus ikut ayah atau ibuku. Aku sejujurnya tidak mau ikut dengan ibuku dengan suami barunya beserta adik baruku itu yang masih berusia 2 tahun. Semenjak 2 tahun kehadirannya di dunia, baru kali ini aku tau bahwa ibuku sudah memiliki putra bersama suami barunya itu. Namanya Aksara Pramudya. Mengapa ia bisa semarga denganku walaupun ia bukan anak dari ayahku? Jawabannya adalah ibuku menikah dengan kakak kandung dari ayahku, Yuda Pramudya. Ayahku dan Om Yuda sebenarnya tidak dekat, jarang bertemu, bahkan sebenarnya aku sendiri belum pernah bertemu dengan Om Yuda ini sebelumnya.
Ayahku memberikan kami waktu untuk berbicara dengan 6 pasang mata saja, aku, ibuku, dan suami baru ibuku ini. “Hai Thea, nama saya Yuda. Kamu juga bisa panggil saya ayah, dan saya akan sangat senang apabila kamu memanggil saya ayah,” begitulah perkenalan yang ia sampaikan kepadaku. “Maaf apabila saya lancang tapi ayah saya hanya satu, Weda Pramudya. Bukan Yuda ataupun siapa saja namamu itu, om. Lagipula om juga kakak kandung dari ayah saya, aneh sekali apabila saya memanggil anda sebagai ayah,” ucapku pada pria tinggi yang masih mengenakan jas dan dasi sebagai pelengkap kemejanya. “Nak, dia tetap ayahmu juga. Bicara lebih sopan kepadanya,” ujar ibuku yang memegang tanganku disampingku. Dan aku menjawab, “Apa yang saya ucapkan sekarang adalah fakta. Bu, jujur saya dan kamu saja, saya merasa hampir tidak ada ikatan lagi. Bagaimana saya bisa menganggap dia adalah ayah saya? Kemana kamu 4 tahun belakangan ini? Meninggalkan saya dan ayah saya dengan alasan perselingkuhan, itu tidak etis.”
“Ayo kita pergi dari rumah kumuh ini, Thea. Ibu pergi untuk mengejar kehidupan yang lebih layak. Begitu juga kamu, ibu juga mau kamu punya kehidupan yang lebih layak,” ucapan ibuku ini membuatku menghela nafasku panjang. “Ibu, maaf. Rumah ini adalah salah satu bentuk kesetiaanku pada ayah. Lihatlah, Bu. Aku dapat bertahan untuk tetap mencintai ayah walaupun tempat yang ibu bilang kumuh ini telah menjadi tempat tinggalnya. Ayah memang tidak mampu memberikan rumah mewah untuk kutinggali. Ayah juga tidak dapat membeli tas mahal untukku seperti yang Aksara pakai. Bahkan ayahku ini tidak dapat membeli jas bagus untuk dirinya sendiri seperti yang Om Yuda pakai. Tapi satu hal yang bahkan lebih berharga dari rumah, tas, jas, ataupun berlian sekalipun, kasih saying,” aku tersenyum sambil mengucapkan kalimat itu.
Dan mulai sejak saat itu, ibuku dan suaminya rajin sekali pergi ke rumahku untuk membujukku agar mendapat hak asuh atas diriku. Semua itu berjalan selama 9 bulan sampai dengan Om Yuda menemukan surat yang terjatuh di lantai. Surat tersebut adalah surat diagnosa ayahku yang ternyata mengalami tumor otak. Aku tidak tau menau soal ini. Aku meminta penjelasan kepada ayahku dan ia hanya berkata, “Di kepala ayah ada gumpalan, Thea pergi bersama ibu saja ya? Thea layak hidup lebih baik daripada bersama ayah.” “Ayah rela Thea jauh dari ayah?” tanyaku. “Ayah rela jika Thea bahagia walaupun tanpa ayah. Ingat Thea, ayah adalah orang yang akan melakukan apapun demi Thea. Bahkan sekalipun ayah harus mengikhlaskan Thea, ayah rela,” ayah terus menerus memaksaku untuk ikut dengan ibuku. Hakim juga sudah ketuk palu karena menganggap ibuku lebih cukup finansial dan jasmani untuk mengambil hak asuh atasku. “Ayah janji akan sering-sering mengirimi Thea surat untuk mengabari Thea.”
Maka tepat pada pertengahan 2003, aku pergi bersama ibuku dan Om Yuda untuk tinggal di Singapura. Lama kelamaan aku mulai terbiasa dengan keluarga baruku ini. Menyaksikan Aksa yang tumbuh besar menjadi semakin tinggi dan besar. Aksa sering kali mendatangiku dan berkata, “Kakak ayo temani Aksa belajar!” Aku seperti dibuat kakak kandungnya oleh Aksa. Semakin hari, semakin terbiasa, dan semakin menyenangkan untuk tumbuh di Singapura. Namun yang paling aku nantikan adalah janji ayah, janjinya untuk mengirim surat. Sampai pada tahun 2005 aku menantikan surat darinya, 2 tahun.
Tahun ke tahun ku lewati bersama keluarga baruku ini, tanpa ayah. Bahagia, tapi ada yang hampa. Sampai pada akhirnya aku pergi ke kamar aksa dan menemukan 1 box yang berisikan surat-surat ayah. Banyak sekali surat yang ayah berikan padaku. Surat yang ia tulis pertama kali pada tanggal 8 Agustus 2003 berbunyi,
“Hai, Thea putri ayah, perempuan satu-satunya milik ayah sekarang. Terima kasih Thea sudah menemani ayah selama 14 tahun. Sekarang saatnya Thea hidup lebih baik daripada bersama ayah, ya? Thea bisa dating kesini lagi kalau Thea sudah sukses.”
Dan ada juga surat yang dituliskan ayah pada tanggal 10 November 2003 berbunyikan, “Teruntuk anakku yang cantik, Thea. Thea sudah makan? Thea, umur ayah memang tidak memungkinkan untuk melihat Thea menikah, memiliki anak, dan melihat cucu ayah berlarian. Tapi umur ayah masih cukup untuk membayangkan kebahagiaan Thea bersama ibu dan Om Yuda di Singapura. Baik-baik jaga Aksa, Thea. Ayah mau Thea jadi kakak yang baik untuk Thea. Segini saja untuk menemani hari Thea. Selamat bersenang-senang, anakku.” Bahkan pada hari ulang tahunku pada tanggal 3 Agustus 2004, ada surat ucapan selamat ulang tahun untukku.
Dan surat terakhirnya ia tulis pada tanggal 9 September 2005 yang bertuliskan,
“Nak, ayah tidak tau ayah bisa mengirim surat lagi atau tidak untuk Thea. Tapi ayah mau Thea tau, ayah disini masih sayang Thea dan akan selalu begitu. Jika nanti ayah sudah tidak ada di dunia, bukan berarti ayah tidak ada lagi bersama Thea. Justru ayah akan jauh lebih dekat dengan Thea, ayah akan jadi sayap pelindung untuk Thea. Thea carilah suami yang mapan dengan hati yang baik, ayah tidak mau Thea bernasib sama seperti ibu disaat ia masih bersama ayah. Thea, ayah minta maaf kalau ini jadi surat terakhir dari ayah untuk Thea. Thea putri ayah yang baik, ayah sangat bersyukur karena ayah dititipkan putri yang baik seperti Thea.”
Aku berteriak sekencang-kencangnya sampai Ibu dan Om Yuda yang sedang berada di kamar tersentak mendengar teriakanku. Aksa yang sedang menonton televisi di ruang tamu juga ikut kaget mendengar teriakanku.
“Siapa yang menyembunyikan surat ini?” tanyaku dengan nada tinggi. “Tenang dulu ya, Nak. Om menyembunyikan surat ini agar Thea tidak rindu terlalu berat dengan ayah Thea.” Aku melempar surat-surat ayah ke wajah Om Yuda. Memang terdengar tidak sopan, tapi bagiku jauh lebih tidak sopan apabila Om Yuda mencampuri urusanku dengan ayah, membuatku menanti-nanti selama bertahun-tahun untuk surat dari ayah. Karena itu, ibu menampar pipiku kencang. “Mustahil aku memiliki anak yang tidak tau diri sepertimu,” begitu kata ibu. Aksa menyaksikan semuanya dengan mata kepalanya sendiri. “Ingat ini baik-baik, Om. Saya datang kesini karena cintaku pada ayah, bukan cintaku pada Om Yuda. Om Yuda tidak akan pernah menggantikan posisi ayah Thea, Weda Pramudya.”
“Thea mau pulang ke Indonesia, Thea akan cari ayah. Kalau Thea tidak kembali, maka tanyakan pada pria ini mengapa.” Aku mengemas semua barangku dan pergi meninggalkan rumah mereka. Aku juga sudah mengambil semua uang tabunganku, passport, dan semua yang ku perlukan untuk kembali ke Indonesia. Aku menaiki kapal dengan perjalanan dari Singapura ke Batam, tempat kelahiranku. Aku sampai di tengah malam dan mengetuk-ngetuk pintu rumah dimana dulu kami membuat memori bersama. Tidak ada yang menjawabnya, aku pun menunggu sampai pagi.
Salah seorang tetangga kami melihatku yang sedang tidur di luar rumah, namanya Bu Asti. Bu Asti adalah salah satu teman ayah di masa kecil, kebetulan bertemu lagi sebagai tetangga. Bu Asti kini menjadi seorang janda karena suaminya sudah meninggal. Kini ia tinggal seorang diri, Bu Asti mengajakku untuk mampir ke rumahnya dulu untuk minum teh. Bu Asti berkata, “Rumah ayahmu sudah pindah, sudah tidak disini lagi. Rumah ayahmu sekarang sudah jauh lebih bagus.” “Bisa kamu tunjukkan rumah itu ke saya, bu?” Ia yang mendengarnya tersenyum dan berkata, “Tentu boleh, nak. Tunggu sebentar ya, saya mau ambil titipan teman saya. Kita jalan ke rumah ayahmu, sekalian kamu temani saya untuk mengantar titipan ini ya?”
Lalu aku bertanya pada Bu Asti, “Ayah sehat, bu? Bagaimana kabarnya?” “Jauh lebih bahagia dari saat dulu,” ujar Bu Asti. Tidak lebih dari 10 menit, Bu Asti langsung mengajakku untuk pergi ke rumah ayah. Aku berangkat bersama Bu Asti dengan berjalan kaki. “Bu, apa ibu kuat berjalan kaki? Di dekat sini bukannya ada tempat sewa sepeda, bu? Ayo kita naik sepeda saja agar ibu tidak kelelahan!” Bu Asti menjawab, “Dekat kok, Nak Thea. Sebentar lagi juga sampai.” Aku dan Bu Asti telah sampai ke tujuan. Bu Asti menunjuk batu nisan yang bertuliskan nama ayahku, Weda Pramudya. “Ini titipan dari teman Bu Asti, Mas Weda. Untuk anak tunggalnya.”
Titipan yang Bu Asti sebutkan adalah secarik surat, surat terakhir dari ayah. Surat itu berbunyi,
“Selamat pagi, siang, sore, atau malam untuk gadis kecil ayah. Ayah tidak tau kamu bisa membaca surat ini di umur yang ke berapa. Surat kemarin ternyata bukan surat terakhir ayah, dan mungkin inilah surat terakhir ayah. Ayah akan terangkan kembali untuk yang terakhir kali, Ayah sayang Thea, sangat sayang Thea. Dari sejak kelahiran Thea, 10 tahun lagi, 50 tahun lagi, dan bahkan 1000 tahun lagi, ayah masih sayang Thea. Ayah sadar diri, untuk mencintai Thea 1000 tahun lagi itu mustahil. Karena untuk bertahan 1 bulan saja, ayah tidak sanggup. Bukannya ayah pesimis, untuk bertahan sampai sini saja, itu suatu hal yang luar biasa sekali buat ayah. Jangan marah karena ayah tidak berobat, ayah sudah berobat. Bahkan ayah menulis surat ini di rumah sakit. Siapa yang membiayai biayanya? Om Yuda. Jangan pernah marah karena Om Yuda menjadi ayah tirimu ya, Nak. Ibu berhak bahagia bersamanya, ayah tau itu. Sekian yang ayah mau sampaikan terakhir kalinya untuk Thea. Terima kasih kesayangan ayah, Thea Tanadi Pramudya.”
Apakah aku sedih? Tidak. Karena ayah pernah bilang bahwa ayah akan selalu jadi sayap pelindung untuk Thea. Ayah semakin dekat dengan Thea.
Hari ini, tanggal 12 Oktober 2021. Hari ini adalah hari ulang tahun ayah. Kalau ayah masih ada, umurnya sekarang 59 Tahun. Aku sekarang duduk di depan rumah ayah bersama suami dan anakku. Suamiku yang sifatnya sebaik ayahku, Haikal namanya. Kami sudah menikah sejak 5 tahun lalu. Aku juga sudah memiliki putri yang berusia 4 tahun, namanya Claudia. Ketika melihat Haikal bersama dengan Claudia, rasanya seperti nostalgia ketika aku bersama dengan ayahku dulu. Claudia sangat beruntung memiliki ayah seperti Haikal, sama beruntungnya dengan aku yang memiliki ayah seperti Pak Weda. Aku juga merasa beruntung bisa menjadi saksi atas kebahagiaan Haikal dan Claudia, karena aku bisa melihat cinta kasih seorang ayah dengan mata dan kepalaku sendiri.
End
💖💖💖