Current Location
Current Location
Cherrys Angelica
Current Location
‘From the girl you once loved’
Tanpa sadar fokusnya sejak tadi bukan lagi pada hitungan mundur detik yang terpampang di lampu lalu lintas, namun pada sebuah judul buku yang dipegang seorang gadis dengan seragam putih abu – abu yang ia tebak baru pulang sekolah. Gadis berambut cokelat alami itu mengedarkan pandangannya ke sekitar, orang-orang sudah berbondong-bondong berjalan melewati zebra cross. Sisa sepuluh detik lagi sampai lampu berubah menjadi merah atau ia harus menunggu beberapa menit lagi untuk menyebrang jalan, ia harus bergegas.
Senyum yang ada di wajahnya tak pernah hilang sejak ia bangun pagi hari ini. Rasanya masih seperti mimpi saat kakinya kembali membawanya melangkah di kota ini. Enam tahun sejak perempuan ini memutuskan untuk pergi, ternyata membuat kota ini mengalami banyak perubahan. Jalan yang sering ia lewati ketika pulang sekolah dulu, sekarang makin terasa ramai.
Senyumnya semakin merekah begitu melihat plang kecil bertuliskan ‘Coffee, Tea and Cookies’ lengkap dengan logo yang ternyata tak pernah berubah sejak dulu. Itu tujuannya pagi ini. Lacafee adalah coffee shop dengan suasana terbaik di Braga — menurutnya. Tempatnya tidak terlalu besar, tempatnya juga tidak terlalu ramai dan berisik. Sedari dulu, langkah kakinya selalu mengarah kesini. Mungkin karena semua orang disini terkesan ramah.
“Halo, mau pesan apa kak?” tanya seorang pelayan di balik meja kasir yang siap mencatat semua pesanannya.
“Saya mau pesan satu vanilla latte.”
“Ada lagi kak? Mungkin brownies atau cake
lain?”
Yang ditanya menggeleng sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya, “Udah mbak, itu aja.”
Pelayan yang menerima pesanannya menerima kartu yang diberikan dengan sebuah senyuman, “atas nama siapa kak?” tanyanya.
“Sabrina,” jawabnya cepat. “S-A-B-R-I-N-A.”
Setelah menyelesaikan pembayaran dan mengucap ‘thank you’, perempuan itu segera menempati sisa tempat duduk kosong yang menghadap ke jendela besar. Lucky her, ini spot favorit semua pelanggan.
[Bandung, Indonesia]
“Sab, gue kebelet banget nih sekarang, gue tinggal ke kamar mandi gapapa kan?”
“Boleh, boleh. Lima menit lagi juga masuk, tinggal aja, Yas. Nanti gue tutup gerbangnya”
Hari ini adalah jadwal Sabrina sebagai anggota osis untuk menjaga gerbang sekolah dan memberikan surat tanda terlambat kepada siswa siswi yang terlambat. Ayasa Danita yang kerap kali disapa Ayas menjadi partner Sabrina untuk menjaga gerbang sekolah hari ini, Namun karena panggilan alam yang di dapatnya pagi ini maka ia terpaksa meninggalkan Sabrina sendiri.
Tepat setelah bel berbunyi, dengan cepat Sabrina langsung menutup gerbang sekolah. Namun gerakannya terhenti ketika mendengar bunyi mesin motor yang berhenti tepat di depan gerbang.
Satu helaan nafas berat terdengar dari gadis itu, ia sudah cukup hafal mendengar suara mesin motor yang sebenarnya tidak terlalu berisik, namun Sabrina tetap kurang menyukainya.
Apa lagi orangnya, Sabrina lebih tidak menyukainya.
“Eh, halo osis baik. Ketemu lagi kita” sapanya akrab kepada Sabrina, jelas, Sabrina enggan meladeninya.
“Osis baik, tolong buka gerbangnya dong, Gue mau masuk” ucap lelaki itu dengan wajah tersenyum tanpa rasaa bersalah.
Sabrina menghiraukan lelaki itu dan sudah siap untuk menulis namanya dalam sebuah buku yang berisikan anak –anak terlambat.
“Geordano Ganisha, ga ada cape – capenya ya nama lu di tulis di buku ini?” ucap Sabrina sambil menulis nama lelaki di depannya ini.
“Osis baik, gue kan telat ga sampe sepuluh menit masa tetep di tulis sih?” protes Geo tidak terima.
“Mau telat sedetik, yang namanya telat ya tetep telat” jawab Sabrina ketus.
“Galak banget sih, Sab.”
Tangan Sabrina sibuk membolak – balik lembar buku yang sedang di pegangnya itu, nama Geo bukan baru sekali dua kali tercatat dalam buku ini. Sudah terhitung tujuh kali selama semester ini Geo terlambat.
“Lain kali dating lebih pagi, jangan suka telat terus, gue cape nulis nama lu di buku ini terus.”
“Iya iya, bawel, sekarang gue boleh masuk ga nih?,” Tanya Geo sambil melepas helm yang dipakainya.
“Bentar,” Sabrina membuka gerbang itu. “Nanti kasih suratnya dulu ke Bu indah baru masuk ke kelas.”
“Iya, makasih osis baik.”
“Stop panggil gue osis baik, nama gue Sabrina Allies.” Protes Sabrina yang tak nyaman mendengar panggilan aneh dari Geo itu.
“Terserah, gue maunya manggil lu osis baik.
Udah ya, gue masuk duluan osis baik.”
“AWAS KESELANDUNG!” teriak Geo sebelum sepenuhnya pergi ke kawasan parkiran sekolah. Sabrina tak habis pikir dibuatnya.
Tangannya kembali bergerak untuk neutup gerbang. “Masuk aja Non, biar saya yang tutup gerbangnya” ucap pak Bagus sang satpam sekolah.
Setelah mengucap terima kasih, Sabrina segara berjalan menuju kelasnya. Sambil berjalan menyusuri koridor SMANSA — salah satu sekolah negeri terbaik di Bandung. Perasaanya, setiap kali jadwalnya untuk menjaga gerbang di pagi hari, sudah pasti Geo akan datang terlambat.
Entah lah, Sabrina berharap itu semua hanya kebetulan dan tak ada unsur kesengajaan.
Geordano Ganisha, nama yang sering kali Sabrina catat setiap dirinya sedang bertugas untuk menjaga gerbang sekolah sebagai osis. Geo bukan termasuk anak nakal yang suka melanggar peraturan sekolah, ia cukup dikenal sebagai siswa yang berprestasi dan aktif dalam kegiatan band sekolah serta beberapa eskul olahraga yang membuatnya di kenal masyarakat sekolah.
Sabrina bisa dikatakan cukup mengenal Geo dengan baik. Hubungan pertemanan orang tua yang terjalin diantara keduanya, membuat mereka sejak kecil sering melakukan acara kumpul – kumpul keluarga bersama.
Namun tetap saja, Sabrina tidak memiliki ketertarikan untuk mengenal Geo lebih dalam, sepeerti dulu.
CHAPTER TWO
“Gue tebak hari ini Geo pasti telat lagi kan” tebak Meira tepat sasaran.
Meira Annastasia adalah sahabat baik Sabrina sejak menduduki bangku sekolah dasar, hubungan pertemanan mereka yang sangat baik ini pun masih terus berjalan hingga jenjang sekolah menengah atas. Walaupun mereka berdua memiliki sifat yang sangat berbeda, namun hal itu tak menjadi penghalang untuk hubungan pertemnaan mereka. Sabrina dan Meira sudah seperti prangko dan surat yang tak akan bisa terpisah, maka apapun yang terjadi di hidup Sabrina pasti Meira tau, begitupun sebaliknya.
“Iya,” jawab Sabrina sekenanya.
“Tuh kan, Sab! Gue yakin banget, Geo itu pasti sengaja.” Kata Meira dengan semangat yang menggebu – gebu.
“Lu udah ngomong itu berkali – kali, Mei.”
“Ya karena dia juga berkali – kali kayak gini.
Coba yang jaga gerbang bukan lu, mana pernah dia telat.”
“Engga, kebetulan aja kali” bantah Sabrina.
“Udah ah, males ngomong sama kanebo kering!
Mending gue pesen bakso,” lelah dengan sahabatnya yang keras kepala dan denial, Meira memilih untuk pergi memesan bakso.
Suasana kantin pagi ini ramai, semua kursi terisi penuh dengan siswa siswi dari berbagai kelas, entah itu jurusan ipa maupun ips. Beruntunglah kantin sekolah ini luas, sehingga tidak terasa pengap walaupun dalam kondisi ramai.
Sabrina yang sudah sarapan dari rumah lebih memilih untuk menemani Meira saja. Ia menunggu Meira memesan dalam diam, hanya ditemani sebuah buku yang sedang dibacanya.
“Halo osis baik,” Sabrina jelas mengenali suara dan panggilan aneh itu.
“Lu bisa stop panggil gue osis baik ga?” omel Sabrinayang terdengar sudah cukup muak dengan panggilan aneh dari Geo itu.
“Ga bisa, lu osis paling baik se-smansa, makanya gue buatin panggilan khusus buat lu.”
“Lu ngapain disini?” Tanya Sabrina, enggan merespon ucapan Geo barusan.
“Main futsal,” jawabannya barusan berhasil membuat Sabrina memutar bola matanya malas. “Ya makan lah, masa di kantin nendang bola,” lanjutnya.
“Maksud gue, ngapain sih duduk disini?!” nada bicara Sabrina sudah sangat tidak ramah kepada Geo.
“Ini kan tempat umum, duduk dimana aja ga masalah dong osis baik.”
Sabrina tau bahwa Geo adalah lelaki yang menyebalkan, tapi Sabrina tidak menyangka bahwa Geo akan semenyebalkan ini. Gadis yang cukup sulit untuk dekat kepada orang lain itu pun jelas merasa bahwa Geo adalah orang yang ‘sok asik’.
“Loh, mau kemana?” Tanya Geo yang melihat Sabrina mulai bangun dari tempat duduknya.
“Kepo,” jawab Sabrina mentah – mentah dan pergi meninggalkan Geo yang malah terlihat bahagia.
Wajah yang Sabrina perlihatkan tiap kali gadis itu merasaa kesal dengan Geo akan selalu menjadi favorite lelaki itu. Matanya tak lepas memperhatikan Sabrina yang sudah meninggalkan daerah kantin, entah lah perempuan itu ingin pergi kemana.
“Lah? Kok jadi lu yang duduk disini?,”
“Sabrina kemana?” Tanya Meira bingung dan hanya di balas kekehan pelan dari Geo lalu segera pergi daritempat itu.
Meira menggeleng pelan melihat kelakuan Geo, “Ganteng sih tapi agak gila gitu otaknya,” Ucap Meira smabil meletakan semangkung bakso yang baru ia beli ke atas meja dan segera menikmatinya.
Di sisi Lain, Sabrina pergi ke perpustakaan. Tempat yang paling ia sukai di sekolah ini, tempat yang paling jauh dari keramaian. Sabrina menarik satu kursi di dekat jendela yang mengarah langsung ke lapangan sekolah yang terlihat ramai.
‘From the girl you once loved’ adalah buku yang sedang Sabrina baca sekarang. Membaca buku selalu menjadi hal terbaik bagi seorang Sabrina Allies yang tidak suka tinggal terlalu lama di tengah keramaian.
Sabrina adalah manusia yang sangat tenang, semakin terlihat tenang saat sedang membaca buku atau fokus pada sesuatu.
“Woi, ayo! Jadi bolos ga? Malah bengong disini.”
“Dim, ini udah waktunya gue menunjukan sifat asli gue sebagai murid yang rajin dan taat peraturan.”
“Umur segini emang lagi lucu – lucunya.” Ucap Dimas yang langsung meninggalkan Geo setelah menepuk pelan pundaknya.
Geo masih belum berkutik dari tempat ia berdiri sekarang, matanya memandang lurus kea rah jendela perpustakaan tempat dimana Sabrina duduk sekarang. Siapapun pasti akan setuju dengan Geo, bahwa pesona seorang Sabrina Allies adalah yang terbaik. Wajahnya yang tak pernah bosan untuk dilihat terus menerus, pembawaannya yang selalu tenang, dan segala pesona yang gadis itu miliki pasti akan berhasil untuk memikat siapapun yang melihatnya.
Sejak awal, Osis baik kesayangan Geo itu selalu berhasil menarik perhatiannya setiap hari.
CHAPTER THREE
Hari sabtu menjadi hari yang paling tepat bagi Sabrina untuk menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya di rumah atau sekedar mengistirahatkan tubuhnya drai minggu yang sibuk. Kebetulan kali ini sang papa sedang tidak bersamanya, karena urusan pekerjaan papa Sabrina harus menetap di Swiss selama lima bulan kedepan.
Saat ini Sabrina sedang berada di dapur untuk membuat kue kering bersama Ranti, ibunya. Hubungan yang dimiliki ibu dan anak ini memang terjalin sangat baik, tak jarang Sabrina membagi cerita – ceritanya kepada Ranti. Sabrina sudah terbiasa bercerita kepada Ranti sejak kecil, karena dirinya adalah anak tunggal dan cukup tertutup maka tempat berceritanya selain Meira adalah ibunya.
“Ma, kalo ada orang yang selalu gangguin adek padahal adek udah berkali – kali galakin dia, itu kenapa ya?.”
“Siapa yang gangguin adek?, cewe apa cowo?.”
“Geo, dia tuh emang drai dulu selalu nakal gitu ya ma?” Tanya Sabrina sambil mengaduk adonan kue.
“Masa iya sih dek?, Geo mah anaknya baik banget dari dulu, cuman sama kamu doing kali dia nakalnya.”
“Ya ngapain nakal cuman sama aku doing.” Ujar Sabrina dengan nada kesalnya.
“Mama tau! Bisa jadi karena Geo tertarik sama adek,” ucap Ranti sambil menyenggol pelan badan putri semata wayangnya itu.
Sontak Sabrina menunjukan ekspresi malasnya setelah mendengar ucapan dengan nada meledek dari sang mama. setelah mengetahui fakta mengejutkan bahwa Geo adalah anak dari teman mama yang sering kali datang kerumah dan membawakan berbagai macam kue untuk Sabrina.
“Geo tuh ya ma, suka ngisengin adek. Terus sering manggil adek ‘osis baik’, katanya aku osis paling baik satu sekolah,” Sabrnina mengambil nafas panjang sebelum kembali berbicara. “Ga cuman itu ma, dia juga suka banget tiba – tiba ada di deket adek.”
Ranti mendengarkan cerita putri semata wayangnya dengan sangat baik sambil tersenyum penuh arti.
Mengetahui anaknya yang cukup tertutup dan jarang menceritakan kesehariannya kepada orang lain, kecuali dirinya dan Meira. Dengan senang hati Ranti akan mendengar semua cerita anak semata wayangnya itu.
“Tumben adek bahas – bahas Geo,” Goda Ranti kepada Sabrina.
“IH! Mama kenapa nadanya gitu sih?!,” sebal Sabrina setelah mendengar nada bicara sang mama yang sudah berubah.
“Loh, nada mama emang kayak gimana sih dek?,” Sabrina memasang muka malas, “Ya itu nadanya ngeledek banget,” lanjutnya.
“Bukan ngeledek, mama cuman nanya.
Tumbenan adek bahas – bahas cowo. Mana cowonya ganteng lagi ya dek.”
“Engga tuh! Siapa bilang Geo ganteng.”
“Awas loh dek, biasanya kalo gini – gini nanti adek jadi suka sama Geo.”
“GA AKAN!,” Tolak Sabrina. “Emang mama mau anak mama di deketin sama cowo semacam Geo?,” lanjutnya.
“Kenapa engga? Geo anaknya baik kok, waktu itu dia ketemu mama di mini market, eh dia malah mau anterin mama pulang sambil bawain belanjaan mama.”
“Udah ah ma, kenapa jadi bahas Geo sih!,”
“Kan adek duluan yang bahas Geo,” Kekehan ringan jelas terdengar dari Ranti, “Yaudah kalo gitu pecahin dulu telurnya.”
“Berapa butir?” Tanya Sabrina, yang langsung dijawab dengan gerakan tangan, menunjukan angka enam.
Jam sudah menunjukan pukul tiga sore, tak terasa sudah hampir lima jam Sabrina dan Ranti berada di dapur. Kini, kue yang mereka buat sudah selesai dibuat. Selain suka membaca, Sabrina juga memiliki ketertarikan dalam dunia memasak. Sejak kecil dirinya suka membantu sang mama memasak berbagai macam masakan di dapur.
“Dek, mama pergi arisan dulu ya. Nanti ada anaknya tante Fani kerumah buat ambil kue yang tadi kamu buat.”
“Anaknya tante Fani? Geo dong?,” Tanya Sabrina. “Iya dong, anaknya tante Fani kan cuman Geo,” jawab ranti.
“Kenapa mama ga bawa aja ke arisan, pasti nanti ketemu tante Fani,” protes Sabrina tidak terima.
“Justru tante Fani lagi keluar kota makanya mama minta tolong Geo yang ambil kerumah.”
Hembusan nafas malas jelas terdengar dari Sabrina, dirinya merasa lelah karena setiap hari harsu bertemu Geo yang cukup mengusik hari – harinya.
“Yaudah nanti aku kasih, mama hati – hati perginya, kabarin aku kalo udah sampai.”
“Iya sayang mama, mama pergi dulu ya,” pelukan hangat Ranti berikan kepada Sabrina sebelum dirinya berjalan keluar rumah.
Setelah menutup pintu rumah, Sabrina berjalan menuju sofa ruang tamu dan segera merebahkan tubuhnya yang terasa pegal. Tak lama setelah itu, bunyi notifikasi terdengar dari ponselnya.
Dibukanya notifikasi itu, baru saj amelihat kata dalam pesan pertamanya. Sabrina berhasil dibuat geleng – geleng kepala atas semua keanehan lelaki ini.
Hembusan nafas berat mulai Sabrina hembuskan sebelum membalas pesan Geo tersebut.
Osis baik, kue buat gue udah jadi belom nih?. Gua jalan kesana ya.
Bilang hati – hati dong.
Ga jelas.
Lima menit lagi gue sampe disana. Tungguin ya.
Ponsel yang sedang ia genggam langsung ia matikan tanpa ada keinginan untuk membalas pesan tersebut.
Setelah mengirim pesan tersebut, Sabrina langsung berjalan ke dapur untuk menyiapkan dua kotak kue kering yang sudah ia buat tadi agar bisa langsung diberikan kepada Geo ketika pemuda itu sampai. Walaupun Sabrina tau, kemungkinan lelaki itu akan langsung menerimanya dan pergi akan sangat kecil.
Sebenarnya ini bukan kali pertama Geo berkunjung ke rumah Sabrina untuk mengambil atau mengirimkan berbagai hal yang di titipkan oleh mama Sabrina maupun Geo.
Lima belas menit setelah Geo mengirimkan pesan terakhir kepada Sabrina, suara motor yang Sabrina kurang sukai itu mulai terdengar di depan rumahnya. Dengan cepat ia segera mengambil titipan yang akan diberikan kepada Geo dan segera menuju keluar rumah.
“Nih,” ucap Sabrina cuek.
“Selamat sore juga Sabrina.” Sapaan hangat yang Geo berikan sangat berbeda jauh dengan nada bicara Sabrina tadi.
Enggan meladeni sapaan Geo itu, Sabrina justru segera menyerahkan sekantong plastic berisi kue kering yang ia buat hari ini. “Nih, udah buruan ambil.”
“Orang kalo udah nyapa itu harus di bales tau, kalo ga nanti jodohnya jadi brewokan.”
“Ga ada urusannya!”
Sabrina selalu berhasil dibuat tak habis pikir dengan segala perkataan aneh yang keluar dari otak Geo. Dirinya hanya bisa menggeleng – geleng pasrah mendengar segala ucapan Geo.
‘Iya, sore. Nih, sana buruan balik. Udah mendung kayaknya bentar lagi mau ujan.”
Bukannya segera pamit pergi, Geo justru terdiam di atas motornya.
“Osis baik, lu sadar sesuatu ga?,” ucap Geo masih dengan tatapan dan ekspresi terkejutnya.
“Hah, apa?” Tanya Sabrina bingung.
“Gue ga nyangka banget, untuk pertama kalinya lu ngomong panjang sama gua tapi ga ngomelin gua.”
Bukannya mendapat sebuah respon baik, Geo justru dihadiahi pukulan bkencang di kepalanya.
Beruntunglah kepalanya masih dilindungi helm.
“apasi aneh, ga penting banget. Sana pulang,” malas menghadapi Geo yang terlihat semakin aneh.
Dengan cepat Sabrina langsung memberikan bungkusan plastik itu kepada Geo dan meninggalkannya.
“THANKYOU SABUY!,” ucapnya terakhir kali sebelum Sabrina masuk sepenuhnya ke dalam rumah.
Panggilan itu, panggilan masa kecil Sabrina yang Geo buat. Sudah lama sekali dirinya tidak mendengar lelaki itu memanggil Sabrina dengan panggilan tersebut.
CHAPTER FOUR
Jam sudah menunjukan pukul lima sore, Hari ini hujan melanda kota bandung dengan cukup deras. Karena hujan yang tak kunjung berhenti sejak siang tadi, kondisi sekolah terlihat cukup ramai, beberapa sisi koridor sekolah masih diisi beberapa siswa siswi yang enggan menerobos hujan. Sabrina yang baru saja keluar dari ruangan osis setelah melalui rapat evaluasi dari event smansa beberapa minggu yang lalu. Hawa dingin langsung bisa ia rasakan sesaat keluar dari ruang rapat. Keputusannya untuk tidak mengenakan sweater cukup menjadi penyesalannya hari ini.
“Sab, balik sama siapa?,” Tanya Malik — ketua osis yang terkenal memiliki tampang menawan dan baik hatinya.
“Kayaknya naik ojek online sih, Lik,” jawab Sabrina dengan lemas.
Malik terlihat diam sambil memperhatikan sekeliling, seperti sedang memperhatikan sesuatu. Matanya terpaku kepada seseorang yang sedang berjalan mendekat kea rah mereka.
“NAH!, ada Geo tuh, Sab.” Tanpa perlu menjelaskan arti dari kalimatnya, Sabrina sudah jelas tau arti dari kalimat Malik tersebut.
Tak sempat lagi menolak, Geo langsung berjalan mendatangi Malik dan Sabrina yang masih berdiri di depan ruang rapat.
“Kenapa, Lik?,” Tanya Geo.
“lu mau anterin Sabrina pulang ga nih, setau gue kan rumah kalian searah. Kasian udah sore mana ujan – ujan gini.”
Tidak segera menyanggupi tawaran Geo, dirinya justru memperhatikan Sabrina dari ujung kaki sampai ujung kepala. Entah apa yang diperhatikannya dari gadis tersebut.
“Oh yaudah, nanti dia balik sama gua,” ucap Geo setelah itu.
Malik yang merasa tenang setelah mengetahui salah satu anggotanya bisa dipastikan pulang dengan selamat, dirinya segera meninggalkan tempatnya tadi berdiri dan berjalan pergi.
Selepas Malik pergi, Geo langsung melepaskan jaket hitam yang selalu ia pakai setiap hari. Entah kapan lelaki itu mencucinya, Sabrina cukup penasaran tentang itu.
“Dingin, ga bawa jaket?,” Tanya Geo sambil memberikan jaket yang tadi menempel di tubuhnya.
“Ga usah, lu aja yang pake,” tolak Sabrina mentah – mentah.
“Ga usah ngeyel, kegiatan lu masih banyak, jangan sampe sakit. Pake aja.”
Nada bicara Geo yang terdengar serius berhasil untuk pertama kalinya membuat Sabrina hanya bisa mengangguk dan menyetujui ucapan Geo barusan.
Dirinya sudah tidak kuat untuk membantah ucapan Geo. Badannya terasa lemas, ditambah hawa dingin yang diakibatkan hujan.
Geo sadar dengan keadaan tubuh Sabrina yang terlihat berbeda dari biasanya, berhasil membuat Geo ingin membawa gadis yang jika dibandingkan tingginya, jauh lebih kecil.
“Ayo pulang,” Geo langsung menggengam tangan Sabrina dan segera menuju ke parkiran sekolah.
Beruntunglah Geo membawa mobil hari ini, firasatnya memang mengatakan bahwa hari ini akan turun hujan. Perkiraannya ini diakibatkan karena kemarin malam ia mencuci motor hitamnya.
Sesampainya di parkiran Geo melepaskan genggaman mereka berdua, “Tunggu disini bentar, gue ambil mobil.”
Sabrina hanya mengangguk, menunggu dengan sabar tanpa protes sedikitpun, sangat jauh berbeda dari biasanya.
Sabrina biasanya tidak mau terlibat dengan Geo kecuali dalam keadaan mendesak, bahkan jika bisa dalam keadaan mendesak pun Sabrina tak ingin berdekatan dengan Geo.
Tak lama setelah itu mobil berwarna hitam datang, sang pemiliknya langsung turun dengan membawa payung ditangannya. Dengan hati – hati,
Geo meastikan Sabrina dapat masuk ke mobil dengan aman, tanpa ada sebutir air pun yang jatuh.
Sesampainya di mobil taka da obrolan yang Geo mulai, biasanya lelaki itu akan langsung menggoda atau menjahili Sabrina. Namun sepertinya kali ini lelaki itu tau bahwa Sabrina sedang tak berdaya untuk sekedar meladeninya.
Siapapun dapat melihat tatapan khawatir yang diberikan Geo kepada Sabrina. “Pulang, langsung mandi terus istirahat ya Sab,” ucap Geo.
Sabrina hanya menjawabnya dengan anggukanlemah.
“Nanti kalo udah sembuh gue ajak makan nasi kucing di angkringan mas Pram,” tawar Geo yang langsung dihadiahi senyuman manis dari Sabrina.
Sejujurnya perlu Sabrina akui bahwa lelaki yang sangat menyukai hitam ini mempunyai kepribadian yang cukup menyenangkan, meskipun sering kali lelaki itu jahil kepadanya namun Sabrina sepenuhnya sadar jika lelaki ini banyak memberikan perhatian – perhatian sederhana kepadanya. Gadis itu tak benar – benar kesal atau jengkel bila Geo menggangunya. Bahkan jika lelaki berparas menawan itu tidak menganggunya, Sabrina akan merasa sangat sepi.
Suasana mobil sangat sepi dan hening, hanya ada suara radio yang menjadi teman mereka berdua saat ini. Sesekali Geo mencuri pandang untuk sekedar melihat sekilas keadaan Sabrina.
Gadis itu tertidur pulas. Geo tau betul, Sabrina pasti merasa sangat lelah. Kegiatan Sabrina selalu penuh setiap harinya, ditambah lagi ia mengikuti beberapa olimpiade untuk mewakili sekolah dalam waktu yang berdekatan. Sifat ambisius yang dimiliki Sabrina terkadang membuat orang sekelilingnya khawatir termasuk Geo.
Lelaki itu meringis ketika mengingat sepadat apa jadwal Sabrina sejak mendekati event sekolah yang cukup terbilang besar bahkan sampai event itu selesai.
Geo yang mendengar nama Sabrina kerap kali dipanggil lewat radio sekolah, cukup merasa prihatin atas kesibukan perempuan ini.
Tak terasa sekarang mobil hitam Geo sudah sampai di komplek perumahan Sabrina, gadis itu masih tetap tertidur pulas. Geo tak tega membangunkannya.
Sesaat mobilnya berhenti didepan rumah berpagar putih, Geo membangunkan Sabrina dengan perlahan. Untunglah Sabrina bukan manusia yang susah untuk dibangunkan. Sabrina mengusap pelan matanya yang masih setengah terutup.
“Sorry ya gua ganggu waktu tidur lu, kita udah sampe nih. Lanjut tidur didalem rumah ya,” ucap Geo pelan smabil mengelus pelan pucuk kepala Sabrina.
Sabrina hanya mengangguk sebagai balasan, tak lupa ucapan terimakasih pun ia berikan kepada Geo yang sudah sangat baik kepadanya.
“Cepet sembuh ya, Sab,” ucap Geo sebagai final atas percakapan singkat mereka hari ini.
CHAPTER FIVE
Sesuai janji Geo jika perempuan itu sudah sembuh, Geo akan mengajaknya untuk makan nasi kucing. Geo tak pernah main – main atas kata – katanya terlebih kepada Sabrina.
Sab, pake jaket. Gua otw kesana.
Setelah membaca pesan terakhir dari Geo, Sabrina segera mengambil helm putih kesayangan miliknya dan bergegas keluar dari rumah untuk menunggu Geo.
Geo benar – benar tak membuat Sabrina menunggu sedikitpun. Baru lima menitsejak pesan terakhir dikirimkan. Lelaki itu sudah sampai didepan gerbang Sabrina.
“Hai!,” seru Shellona yang langsung dibalas lambaian tangan serta senyuman oleh lelaki itu.
Sepanjang hidup Geo mengenal seorang Sabrina, untuk yang pertama kalinya perempuan itu mau menyapanya ditambah dengan senyuman manis.
“Sini, cepetan naik.” suruh Geo.
“Disini?” tanya Sabrina sambil menunjuk ke arah jok motor belakang yang masih kosong. Entah apa yang dipikirkan gadis itu sehingga muncul pertanyaan aneh itu.
“Emang maunya dimana, Sab? mau nyoba di knalpot?” geo mengatakan itu sambil menahan tawanya, bukan karena pertanyaan Sabrina, melainkan karena wajah perempuan itu sangat terlihat polos dan kebingungan atas pertanyaannya sendiri.
“Udah cepet naik, ntar keburu kemaleman.” lanjutnya lagi.
Setelah gadis itu mendudukan diri di jok belakang motornya, Geo pun segera menyalakan mesin motornya dan bersiap untuk berkendara. “Pegangan yang bener, gue kalo bawa motor ngalahin Pedrosa.” Sabrina mengangguk, dan lagi-lagi Geo harus menahan tawanya karena tangan kanan Sabrina berpegangan pada besi belakang, sedangkan tangan kirinya masih setia memegang erat helm itu.
Ini adalah pengalaman Sabrina dan Geo jalan bersama, Geo merasa aneh. Apa lagi Sabrina, dia sendiri tak mengerti kenapa hati dan pikirannya mulai menerima kehadiran Geo dihidupnya.
Selama beberapa menit di perjalanan, suasana sangat terasa hening diantara keduanya, yang terdengar hanyalah suara mesin motor serta hembusan angin yang lewat dari indra pendengaran mereka masing- masing. Karena rasa penasaran pada diri Sabrina sudah tidak bisa ia tahan, akhirnya gadis itu memberanikan diri membuka suaranya untuk menanyakan maksud dan tujuan Geo mengajaknya keluar di malam hari ini. “Kita beneran mau makan nasi kucing?” Tanya perempuan yang rambutnya diikat satu tersebut.
“Ya iya, emang lu pernah liat gue boong?.” “Ya ga tau, semoga aja ga mengecewakan.”
“Sab,” panggil Geo dengan suara yang cukup kencang.
“Hah? Apa?,” sahut Sabrina tak kalah kencang karena ia tak mendengar jelas ucapan Geo barusan.
“Lu kenapa kayak anti banget gtu sih sama gua?, padahal dulu kita sering main bareng.”
Ini adalah sebuah pertanyaan yang selalu ingin Geo tanyakan kepada Sabrina sejak awal masuk sekolah menengah atas. Dirinya dan Sabrina sudah semakin jauh sejak saat itu, entah apa yang membuatnya seperti itu.
“HAH! ENGGA! GUE GA SUKA PETIS,” Geo sudah tidak bisa lagi menahan tawanya, ia terkekeh pelan saat melihat wajah perempuan itu lewat kaca spion.
“Kok lo ketawa sih? Lu ngomong apa sih, Ge? Gue ga denger jelas soalnya,” tanya Sabrina.
Geo berdeheman kemudian membenarkan posisi duduknya dan mulai membuka suara, “Yaudah ga usah di bahas sekarang deh.”
“Ih yang bener deh, tadi lu ngomong apa sih, Ge?,” Tanya Sabrina dengan nada yang lebih pelan dari sebelumnya.
“Ada syaratnya tapi…” “Apa? syaratnya apa?”
“Diem. Duduk yang bener.” Seketika Sabrina langsung membenarkan posisinya dan mengunci mulutnya Ra apat-rapat untuk tidak berbicara. Ia membiarkan lelaki itu agar fokus mengendarai sepeda motornya membelah jalan raya yang tidak terlalu padat. Pandangan perempuan itu juga berubah, kali ini matanya memandangi setiap lampu-lampu yang menyala di sepanjang jalan, lalu menatap kearah langit yang gelap namun berkat cahaya yang terpancar dari sang rembulan, Kota Bandung di malam hari ini terlihat indah.
Tak memakan banyak waktu, tibalah mereka di sebuah angkringan yang bangunannya terbuat dari bambu dan juga kayu pohon jati. Tempat itu memang terlihat minimalis, tetapi sangat ramai oleh pengunjung dari mulai mahasiswa hingga orang dewasa. Di angkringan itu terpampang nama si pemilik,
`Angkringan Mas Pram` namun anehnya ada foto Geo yang juga dipajang di sana dengan tiga orang pria yang entah mana wajah asli pemiliknya.
“Mau nangkring doang disitu? gak mau turun?” Sabrina tersentak mendengar suara Geo, tak sadar kalau dirinya baru saja melamun karena memandangi benda itu.
“Malam Mas,” sapa Geo yang kini sudah berhadapan dengan seorang laki berambut coklat tua dan mengenakan kaos hitam bergambar wayang kulit.
“Akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul juga, sehat Ge?”
“Sehat selalu, apalagi kalo gak ketemu sama Fico dan Mas jef.”
“Lah? dua orang itu tadi sore ada disini, tapi cuma numpang ngopi sama foto-foto. Mana saya nggak di ajak…”
“Santai, nanti Mas saya yang fotoin.”
Di belakang tubuh Geo, Sabrina hanya menyimak percakapan mereka berdua, ia belum membuka suara sejak tadi saat Geo menyuruhnya untuk diam. Tak lama tubuh lelaki yang ada di depannya itu bergeser ke samping, “Oh iya, mas, ini teman saya.” ucap Geo yang memperkenalkan Sabrina.
“Ealah… kenalin saya Pramudya, biasa di panggil, Mas Pram.” Mas Pram mengangkat tangan kanannya mengajak Sabrina untuk berjabatan tangan.
Shellona membalas jabatan tangan seraya memperkenalkan dirinya juga, “Salam kenal, Mas Pram. Saya Sabrina, temennya Geo.”
“Halo Sab, sering – sering ikut Geo main ke sini ya, biar angkirangan ini isinya ga cuman Geo sama temen – temennya itu,” ucap Mas Pram sambil melirik Geo yang berada di sebelah Sabrina.
Geo hanya tertawa pelan sebagai jawabannya, “Kamu pilih sana mau makan sama minum apa, sekalian cewek kamu juga,” ucap Mas Pram
“Temen Mas, temen”
“Halah nggak lama juga jadian.”
“Mulai ngaco nih, udah mas. Kita duduki dulu ya mas,”
“Oh iya iya, monggo. Selamat menikmati waktu berdua ya, mas ke belakang dulu,” pamit Mas Pram kepada dua insan tersebut.
Setelah perginya Mas Pram dari sana untuk mengambilkan almet, kini Sabrina dan Geo memilih beberapa makanan yang ada di sana. Dan tentu saja menu makanan itu sangat asing di mata Sabrina,bukan karena ia tak pernah melihatnya, melainkan Sabrina tak pernah mencobanya.
“Mau ini?” ucap Keefan menawarkan gorengan.
Sabrina yang merasa tidak asing dengan bentuknya langsung menebak “Itu tempe goreng, kan?
“Pinter! sekilas emang kayak tempe goreng biasa, tapi kalo disini disebutnya tempe mendoan, karena teksturnya beda sama sambelnya sih…” Sabrina ber `oh`ria mendengar itu, kemudian menunjuk menu lain yang ada di sebelahnya, “Kalo ini apa?”
“Ini macem-macem sate, ada sate usus ayam, telur puyuh, kerang, cumi-cumi sama udang.” Sabrina mengangguk mendengarnya, ia juga berpikir keras untuk memilih satu diantara bermacam sate yang tadi disebutkan oleh Geo.
“Lu ga pernah nyoba sama sekali, Sab?” Tanya Geo kepada Sabrina yang jelas terlihat sangat tertarik dengan makanan – makanan ini.
“Engga, gue ga pernah mau coba soalnya gue takut buat cobanya.”
“Nah, ini waktunya. Lu harus coba semua makanan enak yang belom pernah lu coba sebelumnya.”
“Nah kalo ini yang paling best seller, namanya nasi kucing.” Geo menunjukan sebuah nasi bungkus berukuran kecil.”
“Nasi ku-kucing? Ternyata nasi kucing bener – bener sekecil ini ya. Lucu banget, kayak buat kucing beneran.”
“HAHAHA, lu mau tau ga kenapa namanya nasi kucing?,” tanya Geo yang membuat Sabrina penasaran tentang makanan yang tak pernah ia coba ini.
“MAU!,” ucap Sabrina bersemangat. Geo tertawa pelan melihat tingkah Sabrina yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
“Jadi jaman dulu para rakyat yang hidup sederhana, menyesuaikan makanan dengan ekonomi mereka, karena dulu itu susah banget buat cari atau beli makanan. Isi lauknya di dalamnya juga macem- macem, ada ikan teri, oseng tempe, sambal udang. Lo pilih sendiri deh mau yang mana.”
Makanan yang sudah mereka berdua pilih akhirnya disiapkan untuk segera disajikan. Keefan dan Shellona duduk di sebuah kursi yang terbuat dari kayu pohon jati, dengan pemandangan yang menampilkan jalan raya yang ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang disana.
“Mas, mau teh tariknya dua sama wedang jahe.” ujar Geo kepada salah satu pegawai yang membantu Mas Pram disana.
“Oke, mas.” jawab pegawai.
“Lu sering ya makan disini?,” Tanya Sabrina sambil memperhatikan setiap sudut angkringan mas Pram.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Geo mulai membuka berbagai topic obrolan, Geo paham betul, walaupun Sabrina bisa dikenal sebagai pribadi yang cukup serius saat sedang berada di lingkungan sekolah, namun sebenarnya Sabrina lebih menyukai obrolan santai.
Mulai dari membahas berita – berita terkini tentang bintang tanah air, masalah sekolah bahkan sampai hal – hal yang cukup personal. Geo lebih banyak mendengar Sabrina bercerita, tugasnya disini hanya membuka obrolan dan mendengarkan Sabrina. Banyak yang Lelaki itulewatkan selama bertahun – tahun setelah lama memiliki relasi yang buruk dengan Sabrina.
“Lu kenapa senyum – senyum mulu sih selama gue cerita?, lu ga dengerin gue ya?!,” ucap Sabrina dengan nada kesal yang selalu menjadi ketertarikan tersendiri bagi Geo.
“Engga, gue dengerin kok. Gue seneng aja, setelah sekian lama akhirnya bisa dengerin lu cerita lagi.”
Tak ada jawaban dari Sabrina, dirinya hanya terdiam. Setelah dipikir – pikir, entah apa yang membuat hubungan mereka berdua menjadi renggang kala itu. Tapi, perlu Sabrina akui bahwa Geo selalu memiliki kepribadian yang menyenangkan sedari dulu.
Pesanan yang mereka pesan tadi sudah datang sekarang, makanan – makanan yang tak pernah Sabrina coba sebelumnya. Malam ini menjadi penentu apakah seorang Sabrina Allies akan menyukai makanan – makanan ini.
Satu gigitan sate usus Sabrina masukan kedalam mulutnya. Geo menunggu reaksi dan komentar yang akan diberikan Sabrina.
“HAHH, ENAK BANGEEET!” sorak Sabrina semangat, berhasil membuat Geo menarik kedua ujung bibirnya untuk tersenyum.
“Makan yang banyak. Kalo perlu abisin aja semuanya. Nih, cobain juga tempe mendoan buatan mas Pram.”
Begitulah Sabrina mencoba berbagai hal baru bersama Geo. Walaupun hubungan mereka sudah lama renggang namun secara tidak sadar, semesta berhasil menyatukan mereka kembali secara tiba – tiba.
“Udah lama ya,” kata Sabrina secara tiba – tiba. “Lama apa?.”
“Kita, udah lama ga main bareng kayak gini.”
Lagi – lagi Geo tak langsung menanggapi ucapan Sabrina.
Iya, Sab, makanya gue kangen banget sama lu, sama kita.
CHAPTER SIX
Sejak saat itu, Sabrina banyak menghbiskan waktunya bersama Geo. Hanya teman, belum sempat lebih dari itu.
Tak ada lagi tatapan sinis atau nada tinggi yang Sabrina berikan kepada Geo. Hanya ada tatapan teduh yang dulu sering Geo lihat kehadirannnya dimata indah Sabrina.
“Lu mau ninggalin gue sendiri di sini?”
“Ini mimpi gue, Sab, lu tau itu,” ucap Geo sambil mengusap pelan pucuk kepala Sabrina.
Sabrina hanya bisa memberikan tatapan sayu kepada Geo. Perlu dirinya akui, kini gadis itu sudah memiliki perasaan lebih kepada Geo.
Namun, entah apa jalan cerita semesta kali ini. Kedua insan yang sudah mulai mempunyai hubungan baik ini, bahkan salah satu atau bahkan keduanya sudah mulai saling jatuh. Semesta memaksa mereka untuk berpisah dalam waktu yang tak bisa ditentukan
Kini keduanya sedang berada di Bandara, Sabrina datang untuk mengantar kepergian Geo ke negara tempatnya mengejar impiannya.
“Gue mau ngapain kalo ga ada lu?,” ucap Sabrina dengan suara yang gemetar.
Semenit.. Dua menit..
Masih tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Geo. Ia pun bingung harus menjawab apa, Sejujurnya ini di luar rencananya untuk pergi secepat ini. Namun, apa boleh buat, dirinya sudah berhasil mendapatkan beasiswa di universitas luar negeri impiannya.
“Temen lu kan ga gua doing, masih banyak yang lain. Jangan nangis,” Geo mengusap air mata Sabrina yang mulai mengalir.
“Nanti kalo ada kesempatan pasti kita ketemu lagi.”
Cerita panjang bagi mereka berdua, namun sangat singkat untuk diceritakan.
Entah apa yang akan terjadi pada kelanjutan dua insan muda yang sedang jatuh cinta tanpa masing– masing ketahui.
Kelanjutan cerita mereka, hanya mereka dan Tuhan yang tau bagaimana. Jika Tuhan mengizinkan mereka berdua untuk bertemu lagi, mungkin itu akan terjadi.