Dead Days
Dead Days
Dead Days
Novel fiksi karya Mickhael Silvestre Lius
Terinspirasi dari Manhwa “Omnicient Reader Viewpoint” karya Sing Shong dan film berjudul “I’m a Hero” karya Shinsuke Sato
I. Penulis
Hazel merasakan rasa sakit yang teramat sangat di bahunya. Gigi zombie tertancap di sana, menggigit daging tubuhnya lalu memakannya. Kulitnya meneteskan darah. Angin berhembus mengantarkan aroma itu kepada para zombie. Mengundang lebih banyak zombie untuk berkumpul di tubuh Hazel, mulai menggerogoti tubuhnya seperti daging ayam yang dibagikan untuk disantap secara gratis.
Air mata Hazel menetes. Dia sudah cukup lama bertahan di kejamnya akhir dunia ini. Bertahan dan terus bertahan. Baik itu dunia di antara manusia ataupun zombie. Dan akhirnya, waktu kematiannya tiba. Bersama dengan orang yang sangat dicintainya dan juga mencintainya.
Hazel mengulurkan tangannya untuk perlahan menggapai tangan Arkana yang telah dimakan lebih dulu oleh para zombie. Di antara rasa sakit yang berdatangan, Hazel mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk mencapai Arkana. Sebuah cincin terpasang manis di jarinya. Bukti bahwa cinta keduanya telah terikat oleh pernikahan suci. Mereka berdua dipertemukan karena akhir dunia, ini adalah anugerah terbaik yang datang dalam hidup Hazel. Namun, akhir dunia juga yang telah merebut Arkana dalam hidupnya.
"Kamu seharusnya tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu!" Hazel berteriak, menarik lebih banyak zombie ke arahnya. Bahkan zombie yang memakan tubuh Arkana menghampirinya. "Aku tidak pernah setuju kamu mati untukku. Mengapa kamu tidak bisa memahaminya?! Arkana, aku mencintaimu! Jangan mengorbankan dirimu untukku!"
Kesadaran Hazel perlahan memudar. Zombie menghalangi penglihatannya. Di antara semua suara zombie yang masuk ke dalam pendengarannya. Suara yang begitu lembut, samar-samar terdengar. "Aku juga ... mencintaimu ...."
Hazel tersenyum dengan air mata yang membasahinya. Dunia ini terlalu kejam padanya. Dunia ini merenggut semua orang yang disayanginya. Merenggut semua yang dicintainya. Bahkan Arkana, suaminya.
Jika mereka datang hanya untuk menghilang, mengapa takdir mempertemukan dan memberikan cintanya. Hazel tidak butuh cinta, dia tidak membutuhkannya. Karena cinta membuat Arkana mengakhiri hidupnya. Hazel ingin Arkana hidup! Karena hanya dengan itu, Hazel bisa tetap melihat Arkana. Mendengarkan suaranya. Merasakan napasnya. Melihat senyumnya. Hanya dengan Arkana hidup, Hazel sudah sangat puas meskipun dirinya tidak lagi dicintai.
Hazel sudah terbiasa menjalani hidup ini dalam kesendirian. Arkana datang sebagai hadiah dan Hazel merasakan kebahagian bersamanya. Hazel memohon dengan sungguh-sungguh di dalam hatinya, jika kesempatan dua benar-benar ada dalam hidup ini. Maka buatlah Arkana hidup kembali dan menjalani hidup tanpa dirinya. Arkana bisa hidup lebih lama jika dia tidak bersamanya.
Biarlah cinta mereka menjadi sejarah lampau yang akan menghilang bersama waktu. Terlupakan dan tidak akan pernah kembali. Hazel akan merelakannya. Karena selama Arkana bisa hidup bahkan jika itu merenggut hidupnya, Hazel akan tetap mencintainya.
"Hei, bangun!"
Pipi Hazel ditampar oleh tangan kecil. Menjalani kehidupan di akhir dunia, Hazel dapat menilai bahwa tangan ini bahkan tidak bisa membunuh satu zombie pun. Hazel perlahan membuka matanya. Melihat anak kecil yang terlihat sangat tampan dan juga imut. Anak itu sedang menekan kedua pipi Hazel.
Hazel duduk. Mengangkat Writer dengan mudah. "Di mana orang tuamu?" tanyanya khawatir. "Terlalu berbahaya jika kamu sendirian di akhir dunia."
"Ini studioku. Tidak ada yang bisa menyerangku!"
Begitu kata-kata ini diucapkan, Hazel baru sadar bahwa dia berada di sebuah ruangan bernuansa putih. Tidak ada perabotan. Tidak ada zombie. Tidak ada Arkana. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya mereka berdua di sini
Hazel mundur beberapa langkah dari Writer. "Menjauhlah dariku! Aku digigit oleh zombie sebelumnya, akan berbahaya jika kamu bersamaku." Satu hal yang tidak ingin Hazel lakukan adalah berubah menjadi zombie dan memakan orang lain yang tidak memiliki salah terhadapnya.
Writer menghela napas. Duduk bersila di depan Hazel tanpa rasa takut sedikit pun. "Tenang saja. Kamu memang sudah mati dan aku tidak bisa terluka karenamu."
Hazel terkejut. Meraba dirinya sendiri. Bajunya yang kotor dan bau sudah menghilang berganti dengan pakaian putih bersih seperti yang dikenakan oleh Writer di depannya. Tubuhnya yang penuh gigitan zombie sekarang tidak memiliki sedikit pun jejak yang dapat ditemukan. Hazel sudah dimakan, mungkin tidak ada lagi daging di tubuhnya yang tersisa.
Hazel bernapas lega. "Syukurlah, aku tidak ingin berubah menjadi zombie lalu menyakiti seseorang."
Writer terlihat semakin masam. "Mengapa kamu sangat baik?! Jika begini aku benar-benar terlihat sangat kejam!" keluhnya. Writer memegang pelipisnya. Untuk ukuran anak kecil, yang dia lakukan terlihat sangat imut. Seperti anak-anak yang mencoba meniru orang dewasa.
Hazel menaikan satu alisnya. Tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh Writer. Hazel baru pertama kali melihat Writer dan tidak ada hal kejam yang terjadi padanya selain saat Writer menampar pipinya. Tangannya terlalu kecil, itu bahkan tidak sakit sama sekali.
"Dengarkan aku, kamu adalah karakter yang aku buat. Hanya seorang figuran yang kisah hidupnya berakhir di tengah cerita. Aku membuatmu untuk menjalani hidup yang menyedihkan. Aku yang menulisnya! Apa sekarang kamu membenciku?!"
Hazel terdiam. Terkejut dengan apa yang dia dengar. Perkataan Writer terdengar seperti sebuah kebohongan belaka tapi jika itu memang benar, Hazel mendekat pada Writer, memegang kedua tangan kecilnya. "Jika kamu yang menulis kehidupan kami, bisakah kamu membuat Arkana kembali hidup. Aku mohon selamatkan Arkana! Dia pria yang sangat baik, kesalahannya hanya karena dia mencintaiku." Mata Hazel kembali berair.
Writer menghela napas. Dia menjentikkan jarinya lalu menunjukkan banyak baris komentar pada Hazel.
"Kak, aku menangis karena kisah cinta antara Hazel dan Arkana."
"Penulis hidupkan kembali Arkana dan Hazel. Dibandingkan kisah cinta yang lain, aku lebih menyukai kisah mereka."
"Penulis kamu adalah orang terkejam yang pernah aku kenal. Bagaimana bisa kamu membunuh sepasang suami-istri yang saling mencintai! Jika aku melihatmu, aku akan menelepon polisi karena kamu terlalu kejam sebagai seorang manusia!"
"Kakak penulis tersayang, berikan aku alamat rumahmu~~~ Aku akan menunjukkan apa itu rasa sakit."
Masih banyak lagi komentar yang berisi kutukan ataupun keluhan. Hazel membaca satu per satu komentar, dia mengerti bahwa ini semua adalah pembaca yang mendukung kisah cinta antara Hazel dan Arkana. Perasaan Hazel membaik, di luar dunia ini ternyata ada yang mendukung mereka.
"Kamu lihat? Kisah cinta kalian membuatku mendapatkan julukan sebagai penulis terkejam abad ini! Itu mempengaruhi reputasiku sebagai seorang penulis!" Writer mengomel panjang lebar. Di mata Hazel itu hanyalah anak kecil yang mengeluh karena mainannya dirusak. "Kamu mendengarkanku?!" tanyanya.
Hazel mengangguk.
Writer menghela napas untuk ke sekian kalinya. "Aku tidak bisa tiba-tiba menghidupkanmu ataupun Arkana kembali. Itu tidak logis sekali dan akan mempengaruhi akhir cerita yang sudah aku buat."
Writer menghapus air mata Hazel dengan tangan kecilnya. "Sebagai gantinya, aku akan menulis cerita baru. Arkana akan hidup sebagai pemeran utama di sana namun kamu tidak bisa." Writer menarik napas dalam kemudian melanjutkan. "Aku hanya bisa memberimu peran sebagai seorang antagonis. Di cerita itu, Arkana akan melupakanmu di kehidupan sebelumnya."
"... Arkana akan hidup?"
Writer mengangguk. "Dia akan menjadi pemeran utama. Sebagai seorang penulis, aku berjanji padamu untuk tidak membunuhnya lagi."
Hazel mendengarkan janjinya. Dia tersenyum lebar. "Terima kasih! Tidak masalah jika Arkana tidak mengenal ataupun mencintaiku lagi, selama dia hidup dan aku bisa melihatnya. Peran apa pun yang kamu berikan untukku, aku akan menerimanya."
"Mengapa kamu begitu baik?" Writer menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Frustrasi menghadapi sifat Hazel. Akan lebih mudah jika gadis itu mengutuknya, dia tidak akan merasa bersalah seperti ini jika Hazel melakukannya. "Aku akan memberimu dua hadiah karena kamu tidak mengutukku meski aku yang telah membuatmu menderita."
Hazel mendengarkan dengan baik.
"Pertama, aku akan memberimu ruang tanpa batas. Kamu bisa menyimpan banyak makanan, pakaian atau benda mati lainnya untuk bertahan hidup. Tidak ada waktu di ruang tanpa batas jadi kamu tidak perlu khawatir makanan akan membusuk." Writer memberikan hadiah pertama ini kepada Hazel karena itu akan sangat menolongnya di akhir dunia. Tidak masalah jika ruang tanpa batas itu membuat Writer harus menulis cerita yang tidak seperti biasanya.
"Kedua, aku berjanji tidak akan mengganggu hidupmu di dalam cerita. Apa pun yang terjadi padamu di sana, itu adalah pilihanmu. Aku akan memberikan itu semua asalkan kamu berjanji untuk tidak membocorkan rahasia bahwa mereka semua adalah karakter yang aku tulis. Kamu juga dilarang menceritakan kehidupanmu di dunia sebelumnya!"
"Aku berjanji." Tanpa berpikir panjang, Hazel langsung memberikan persetujuan. Jika itu artinya Arkana akan hidup, tidak peduli betapa tersiksanya dia di kehidupan selanjutnya. Hazel akan menerimanya dengan senang hati.
Writer menjentikkan jarinya. Memberikan tanda bintang jatuh di pergelangan tangan Hazel. "Itu adalah ruang yang aku janjikan. Gunakanlah dengan sebaik mungkin untuk bertahan hidup."
"Terima kasih." Hazel membuka kedua tangannya untuk memeluk Writer. "Selain Arkana, kamu adalah orang kedua yang memperlakukanku dengan sangat baik."
Writer tergagap. Wajahnya memerah karena mendapatkan pelukan secara tiba-tiba. Dia menjentikkan jarinya. Tubuh Hazel bersinar dan perlahan mulai memudar. "Hiduplah dengan baik, aku ingin melihat akhir yang kamu pilih." katanya dengan tulus.
⚔⚔⚔
II. Memutus Hubungan
Hazel membuka matanya. Dia dapat melihat dari pantulan kaca toko, warna bola matanya yang sesuai dengan namanya, hazel. Itu adalah keunikan yang dimilikinya. Orang-orang membenci matanya bahkan Hazel sendiri pun membencinya. Hanya Arkana yang mengatakan bahwa itu indah. Arkana memberitahunya bahwa mencintai diri sendiri itu lebih penting dari apa pun. Tidak akan ada yang menyukai kita jika diri sendiri tidak melakukannya. Karena Arkana, Hazel mencintai dirinya.
Hazel melihat dirinya sendiri secara keseluruhan. Tidak ada yang berbeda dari tubuhnya. Rambutnya panjang bergelombang, jika biasanya berantakan maka kali ini terlihat sangat lembut dan juga terawat dengan baik. Tubuhnya masih kurus, namun sepertinya bukan karena dia kekurangan nutrisi melainkan untuk menjaga bentuk tubuhnya. Pakaian yang dikenakannya jelas bukan pakaian bekas yang sering dipakainya. Hazel terlihat sama namun juga berbeda.
Sinar matahari menghangatkan kulitnya. Hazel dapat melihat tanda bintang jatuh yang ada di pergelangan tangannya, itu bukti bahwa semua yang terjadi padanya bukanlah mimpi. Dan jelas bahwa kehidupan barunya sudah dimulai. Hazel mengamati sekitar, orang-orang masih berjalan dengan riang. Masih berbincang dan tertawa tanpa beban.
Apa kali ini bukan kehidupan akhir dunia?
Hazel segera menghapus pemikiran itu. Tidak mungkin dirinya diberi ruang tanpa batas untuk bertahan hidup jika kehidupan ini hanyalah kehidupan manusia biasa. Akhir dunia hanya belum terjadi. Hazel harus menyiapkan diri dengan baik untuk menyambut akhir dunia. Dia tidak tahu kapan tepatnya akhir dunia akan dimulai. Lebih baik tidak membuang waktu sedikit pun.
Tangan Hazel dipegang oleh seseorang begitu dia ingin melangkah pergi. Hazel melirik ke arah lelaki yang menahan tangannya. Lelaki itu menunduk untuk mengatur napasnya. Begitu dia mengangkat wajahnya, tubuh Hazel membeku di tempat.
Arkana!
Arkana yang dicintainya berdiri di depan Hazel saat ini. Peluh di keningnya, telapak tangannya yang kasar serta dadanya yang naik turun. Arkana benar-benar hidup!
Setelah napasnya menjadi lebih teratur, Arkana menatap lekat Hazel yang ada di depannya. Tenaga di tangannya menjadi lebih keras menggenggam tangan Hazel, menyadarkan Hazel dari keterkejutannya.
Writer berkata bahwa peran yang bisa dia berikan untuk Hazel hanyalah sebagai seorang antagonis. Dia bukan lagi Hazel yang menikah dengan Arkana. Bukan juga Hazel yang mencintai Arkana di kehidupan sebelumnya. Dia adalah antagonis. Itu artinya tidak ada cinta yang akan diterimanya dari Arkana. Karena takdir Arkana adalah untuk bersama pemeran utama perempuan bukan pemeran antagonis.
Melihat Hazel yang tetap terdiam di depannya tanpa maksud memberikan penjelasan membuat Arkana menjadi kesal. "Tidak ada yang ingin kamu jelaskan padaku?!"
Alis Hazel naik satu. Dia sama sekali tidak mengerti dengan situasi yang terjadi. Writer juga tidak menjelaskan apa pun padanya. Hazel hanya tahu dia berperan sebagai antagonis. Apa yang harus dia lakukan saat ini? Hazel berpikir keras. Membuka mulutnya kemudian menutupnya lagi. Dia tidak tahu harus berkata apa.
Hazel masih diam, Arkana melepaskan tangannya. "Selama enam tahun kita bersama, apa benar tidak ada cinta untukku?" Arkana menatap langsung ke pemilik bola mata hazel di depannya. "Benarkah tidak ada cinta? Setiap hari yang kita jalani bersama, benarkah hanya sebuah kebohongan saja?”
Hazel menggigit bibirnya tanpa sadar. Dia harus tetap sadar agar bisa memainkan perannya dengan sangat baik. Secara garis besar, Hazel tahu apa yang harus dia lakukan sebagai pemeran antagonis. Dia tahu. Namun, kalimat itu sangat sulit untuk terucap.
Berkata bahwa Hazel tidak pernah mencintainya. Hazel tidak bisa melakukannya! Arkana adalah orang yang paling dicintainya, baik itu di kehidupan sebelumnya ataupun saat ini.
Bagaimana mungkin Hazel dapat mengatakan kebohongan terbesar di dalam hidupnya?!
Hazel menganggukkan kepalanya dengan berat. Sebisa mungkin menjaga wajahnya agar tampak meyakinkan. Arkana memperhatikan ekspresi Hazel, tidak ada keraguan yang terlihat dalam dirinya. Arkana menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Mundur beberapa langkah. "Baiklah. Aku tidak akan menahanmu lagi dalam hubungan ini." Arkana berbalik badan tanpa melihat Hazel.
Hazel melihat punggung Arkana yang perlahan menjauh darinya. Ingin sekali dia memeluk Arkana, memberikannya kebahagiaan terbesar yang pernah ada di dunia tapi Hazel tidak bisa melakukannya. Perannya hanya sebatas antagonis dan jika Arkana mencintainya lagi, tidak ada jaminan bahwa Arkana akan tetap hidup. Setidaknya sebagai pemeran utama, kehidupan Arkana terjamin meski itu artinya tidak ada dia dalam kehidupan cinta Arkana.
Hazel mengepalkan tangannya. "Hiduplah dengan baik agar kamu bisa melihatku hidup bahagia tanpamu!" Hazel berteriak dengan nyaring. Mengabaikan tatapan yang mengarah padanya.
Arkana berhenti sebentar tanpa berbalik sebelum kembali berjalan pergi. Hazel terduduk di tempat, mengusap air matanya yang perlahan jatuh. Hanya itu yang bisa Hazel katakan pada Arkana untuk terakhir kalinya. Hiduplah dengan baik. Tetap hidup meski tanpaku.
Hazel menangis lama di tempat. Dia terlalu mencintai Arkana dan tidak ingin hidup tanpanya. Hazel tidak tahu bahwa akan sangat menyakitkan saat harus memutuskan hubungannya bersama Arkana. Itu lebih menyakitkan daripada kehidupan yang dia jalani di masa lalu. Arkana memberinya hidup baru dan juga harapan, melepaskan Arkana seperti menghancurkan semuanya dan itu melukai dirinya sendiri.
Begitu dia merasa sedikit lebih baik, Hazel berdiri dan mengusap air matanya. Hazel tidak perlu mengkhawatirkan Arkana, dia bisa menjalani hidupnya dengan baik. Arkana pasti bisa bertahan hidup di akhir dunia. Hazel harus mengkhawatirkan dirinya sendiri terlebih dahulu dan menyiapkan diri untuk menghadapi akhir dunia. Tidak ada waktu baginya meratapi takdir di antara mereka. Hazel harus menerimanya dan menjalani hidup meski tanpa Arkana.
Perasaan cinta itu tidak akan pernah menghilang, Hazel akan selalu dan selalu mencintai Arkana. Meski Arkana hanya akan mengingat Hazel sebagai mantan pacar yang tidak pernah mencintainya, Hazel akan tetap menyimpan kenangan itu di dalam hatinya. Kenangan berharga mereka yang tidak akan pernah kembali.
⚔⚔⚔
III. Persiapan
Hazel mengeluarkan dompetnya. Sebuah kartu ATM berwarna hitam dengan bertuliskan namanya terlihat sangat mewah di mata Hazel. Ini pertama kalinya bagi Hazel untuk memiliki uang sebanyak ini. Writer benar-benar baik padanya. Selain memberikan dua hadiah yang sangat berarti untuk Hazel, Writer juga memberi uang yang bisa dipakainya sebanyak mungkin. Hazel sempat khawatir bahwa dia tidak bisa membeli apa pun karena tidak memiliki uang namun kekhawatiran itu menghilang dengan cepat karena sebuah kartu ATM.
Hazel pergi ke pusat perbelanjaan terbesar yang ada di kota. Secara geografis, kehidupan ini tidak jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Mungkin karena yang menciptakan dunia ini sama sehingga tidak ada perbedaan yang mendalam selain alur kehidupan yang Hazel jalani. Meskipun begitu, selain area tempat tinggalnya dulu, Hazel yang jarang bepergian tetap akan mengalami kesulitan setelah pergi dari tempat ini.
Hazel mendorong troli belanja, memasukan semua jenis makanan, sayuran, daging, air minum serta semua alat kebutuhan sehari-harinya ke dalam troli. Memasukan semuanya tanpa pikir panjang. Dia juga tidak memeriksa harganya ataupun menimang mana yang lebih murah. Hazel tidak perlu berbelanja dengan pikiran apakah uangnya cukup atau tidak. Dia akan terus membeli apa pun yang masuk ke dalam penglihatannya. Begitu satu troli penuh, Hazel akan mengambil troli lainnya.
Orang-orang menatap Hazel penuh kejutan dan keheranan, Hazel berbelanja seperti akan menjalani akhir dunia. Begitu banyak Hazel menghabiskan uang untuk mengisi ruang tanpa batasnya. Penjaga kasir bahkan memerlukan bantuan pegawai yang lain untuk menghitung belanjaan Hazel.
Hazel tidak mempedulikan tatapan orang lain padanya. Persiapannya memang untuk menyambut akhir dunia. Tidak peduli berapa banyak uang yang dia habiskan untuk bertahan hidup lagi pula semua uang itu tidak akan berguna lagi setelah akhir dunia di mulai. Dan akan sangat sulit mengumpulkan persediaan setelah akhir dunia, dia harus menghadapi zombie atau manusia lain untuk makanan. Hazel sudah pernah merasakan sulitnya hidup tanpa makanan, dia tidak akan mengulang hal yang sama.
Semua barang yang Hazel beli sudah dihitung. Hazel membayarnya dan meminta para pegawai untuk membawa belanjaannya ke parkiran. Dia tidak bisa memasukan semua persediaannya ke dalam ruang tanpa batas di depan semua mata yang tertuju padanya. Hazel harus berhati-hati.
Di akhir dunia, manusia lebih mengerikan daripada zombie. Tidak ada lagi hukum, tanpa batasan yang jelas manusia bisa melakukan semua hal hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Membunuh, merampok, memperkosa, semua kejahatan yang ada di dunia Hazel sudah pernah melihatnya. Tidak ada manusia yang bisa dipercaya di dunia ini selain Arkana.
Setelah memastikan tidak akan ada yang melihat, Hazel menyentuh semua kotak yang ada di parkiran dan menaruhnya di ruang tanpa batas. Jika akhir dunia sudah dimulai, makanan dan air minum akan sangat sulit untuk didapatkan. Hazel kembali masuk untuk membeli pakaian bersih. Seperti sebelumnya, orang-orang juga memandangnya aneh dengan semua tumpukan baju yang terletak di meja kasir. Hari itu semua orang di pusat perbelanjaan mengingat dengan jelas wajah Hazel yang memborong habis barang-barang di pusat perbelanjaan.
Hazel melihat sebuah gaun berwarna merah yang diletakkan di depan kaca toko. Gaun itu terlihat sangat cantik. Hazel menunjuk gaun itu. "Aku akan membeli itu juga." katanya. Pakaian yang Hazel beli kebanyakan adalah kaus polos, celana training, jaket, celana pendek dan pakaian jenis lainnya yang membuatnya dapat bergerak dengan nyaman. Memakai gaun akan sangat merepotkan di akhir dunia tapi dia selalu ingin memakainya setidaknya satu kali dalam seumur hidup.
Hazel keluar dari pusat perbelanjaan setelah memborong banyak barang. Hazel menggunakan ruang tanpa batasnya dengan sebaik mungkin. Ruang itu membuat Hazel dapat menjalani kehidupan normal saat akhir dunia. Makanan sudah siap. Pakaian sudah siap. Sekarang hanya tersisa senjata. Hazel pergi ke sebuah bengkel senjata yang dikenalnya di kehidupan sebelumnya. Karena akhir dunia, Hazel dapat menemukan tempat ini. Lagi pula peralatan di sana yang menyelamatkan hidupnya dan juga Arkana. Siapa pun pemilik tempat itu, Hazel sangat berterima kasih di dalam hatinya.
Gadis yang sangat cantik dengan tubuh kurus jelas tidak cocok dengan pemandangan tempat bengkel yang dipenuhi dengan senjata tajam. Namun, pemilik itu tetap menyambut Hazel dengan ramah. "Apa yang Nona butuhkan?" tanya penjual itu.
"Aku membutuhkan pedang. Apakah ada yang cocok untukku?"
"Pedang?" tanya penjual itu ragu. Hazel mengangguk. "Kami menjual beberapa pedang. Mungkin ada yang cocok untuk Nona.
Penjual itu membawa Hazel ke barisan pedang. Hazel melihat semuanya dengan mata berbinar. Memegang satu per satu pedang, melepaskan sarung pedang dan mencoba mengayunkannya. Penjual itu menatap Hazel dalam diam. Menurut pengalamannya, meski Hazel tidak mengerti tentang kualitas dan keunikan sebuah pedang, dia jelas bukan seorang amatiran dalam menggunakan pedang.
Penjual itu mulai menjelaskan pada Hazel. Keunikan setiap pedang. "Pedang ini meski terlihat kuno namun ujung matanya sangat tajam hingga dapat memo-"
"Aku membeli semuanya." Hazel memotong penjelasan dari penjual itu. "Semua pedang ini terlihat bagus dan cocok untukku. Aku akan membelinya."
Penjual itu terlihat bahagia. Sangat jarang seseorang memborong senjata. Beberapa orang hanya akan membeli satu paling banyak, di dunia modern yang damai ini jarang ada yang membutuhkan senjata. Sehingga penjualan bengkel senjata mereka sangat menurun membuat ekonomi menjadi sulit.
"Aku juga akan membeli pistol. Tempat ini menjualnya, 'kan?”
Penjual itu terkejut. Melirik kiri dan kanan, khawatir seseorang mendengarnya. Hazel tetap tersenyum. Seakan membeli pistol bukanlah masalah besar untuknya. Di negara dengan hukum, memperdagangkan pistol adalah hal terlarang. Penjual itu sudah berusaha menyembunyikan usahanya selama ini, bagaimana seorang gadis mengetahui rahasianya?
"Aku akan menjaga rahasia ini dengan baik." Hazel membuat gerakan menarik garis di mulutnya dengan jari seakan menutup mulutnya dengan rapat. "Percaya padaku."
Mendengar kata-kata Hazel, penjual itu tidak bisa tidak mempercayainya. Dia mengeluarkan sebuah kotak besar yang berisikan pistol dengan beragam jenisnya. Hazel menjatuhkan jarinya langsung ke salah satu pistol. Itu pistol jenis glock meyer 22. Penjual itu tidak berpikir banyak mengapa Hazel memilih pistol itu tanpa mendengarkan penjelasannya lagi. Seperti pedang mungkin saja Hazel memiliki pengetahuan tentang senjata.
Cara Hazel memilih pistol sangat simpel. Dia mengingat dengan jelas bahwa pistol jenis ini yang digunakan Arkana untuk melindunginya. Jadi, tanpa pikir panjang Hazel hanya ingin membelinya. Hazel tidak terlalu mengerti cara menggunakan pistol, dia pernah mencoba menembak beberapa kali tapi selalu meleset dari sasaran. Arkana juga tidak sempat mengajarinya saat itu, Hazel hanya tahu cara menggunakan pedang.
Dengan pedang, dia bisa membunuh zombie tanpa memicu suara. Sangat baik menggunakan pedang untuk membunuh zombie yang sensitif dengan suara. Panjang pedang juga cukup membuat jarak agar zombie tidak bisa menggigitnya. Jika di kehidupan sebelumnya ada Arkana yang akan melindungi Hazel. Sekarang dia harus bergantung pada dirinya sendiri untuk bertahan hidup.
Selain pedang dan pistol, Hazel juga membeli banyak senjata. Penjual itu tidak lagi mempertanyakan alasan Hazel ingin membelinya. Dia menjual semua yang Hazel inginkan. Menyelesaikan pembayaran, Hazel menyimpan semua senjatanya di ruang tanpa batas saat penjual itu tidak memperhatikan.
Hazel keluar dari bengkel senjata dengan perasaan puas. Matanya memandang sekitar dengan pandangan serius. Hazel melihat dunia yang masih normal serta manusia yang tidak tahu apa-apa dengan apa yang akan mereka sambut. Hazel memeriksa ruang tanpa batas, memastikan tidak ada lagi yang dia perlukan. Semuanya sudah siap. Kapan pun akhir dunia datang, Hazel akan menyambutnya dengan tangan terbuka.
⚔⚔⚔
IV. Akhir Dunia
Hazel berjalan-jalan di trotoar melewati manusia-manusia yang masih bernapas. Dia mengenakan kaus putih yang dipadukan dengan jaket, celana olahraga serta sepatu kets yang membuatnya nyaman untuk berlari di lingkungan akhir dunia nanti. Hazel masuk ke dalam toko kue, ada banyak kue yang terlihat enak. Dia membeli banyak untuk berjaga-jaga jika dia ingin makan kue. Hazel menyimpan semuanya dalam ruang tanpa batas. Dia berkeliling santai di sekitar kota, membeli beberapa benda lainnya untuk kesenangan pribadi.
Cuaca di sekitar masih bagus. Belum ada tanda-tanda virus zombie menyebar. Hazel meminum es kopi dengan santai seperti orang normal lainnya. Sayangnya, perasaan santai itu tidak berlangsung lama, Hazel melihat seorang pria berjalan seperti orang mabuk di siang hari. Dia mengenakan pakaian kantor, matanya berwarna merah darah. Giginya terlihat sangat tajam saat dia membuka mulutnya. Dan yang paling penting ada luka gigitan di pundaknya.
Orang-orang menjauhinya karena terlihat aneh. Hazel mengeluarkan pedang dari ruang tanpa batas. Menarik sarung pedangnya kemudian mengarahkan bilah pedangnya ke leher zombie pria dan menebasnya dalam sekali ayunan. Kepala zombie itu jatuh ke jalan, Hazel dengan cepat menusuknya. Wajahnya sedikit terkena noda darah dari zombie. Kulitnya yang putih membuat noda itu tidak cocok berada di tempatnya.
Banyak orang berteriak melihat kengerian yang ada di depan mereka. Keadaan segera menjadi ricuh. Hazel melihat sekelilingnya dengan perasaan campur aduk, orang di sini belum melihat akhir dunia secara langsung. Mereka masih berpikir bahwa pria yang dibunuhnya sakit dan bukan karena dia zombie. Melihat pembunuhan Hazel yang begitu kejam, banyak orang mengangkat ponselnya baik itu sekadar merekam ataupun menelepon polisi.
Kehidupan ini bukanlah kehidupan pertama Hazel, naluri bertahan hidupnya membuat Hazel mengambil pedang begitu saja tanpa berpikir panjang. Dia mengabaikan suara disekitarnya. Berjalan dengan tenang ke depan dan mulai menebas zombie yang berdatangan karena keributan yang tercipta.
Zombie pria yang sudah dibunuh Hazel pasti sudah menggigit beberapa orang sebelum Hazel bertemu dengannya. Hazel terus-menerus menebas zombie yang dilihatnya, mengabaikan semua teriakan tidak penting serta makian yang ditujukan padanya. Dia hanya ingin membunuh zombie. Namun, perkembangan zombie itu sangat cepat. Sebelum Hazel bisa membunuh satu zombie maka zombie yang lain akan menggigit manusia. Berapa kali pun Hazel menebas, zombie akan tetap ada.
Hazel mengangkat matanya. Ini lah kenyataan di akhir dunia. Di mana bertahan hidup adalah hal terpenting saat ini. Hazel menilai situasi di sekitarnya, dia tidak bisa membunuh semua zombie ini. Kakinya perlahan bergerak dari menyerang berbalik untuk segera mencari tempat persembunyian. Manusia tanpa persiapan ketakutan di depan zombie. Berteriak dan terus berteriak yang semakin memicu zombie mendekat padanya. Dalam perjalanannya mencari tempat persembunyian, Hazel menebas beberapa zombie lagi.
"Lari!" katanya dengan kesal. Seorang gadis yang terlihat seumuran Hazel hanya menangis begitu Hazel membunuh zombie yang hampir menyerangnya. Hazel menebas zombie yang mendekat namun gadis itu masih tidak memiliki inisiatif untuk melindungi dirinya. Hazel memegang bahu gadis itu dengan kuat. "Diam dan hiduplah! Zombie ini sensitif dengan suara, pergilah ke tempat yang aman!"
Air mata gadis itu masih mengalir namun selain isakan dia tidak lagi berteriak. Kakinya berlari dengan lemah. Hazel menatap punggung gadis itu yang perlahan menjauh. Sebelumnya, Hazel lah yang berada di posisi gadis itu. Dia lemah. Tidak ada senjata. Tidak ada makanan. Hazel pasrah akan hidup. Kehidupannya sudah sangat mengerikan, ditambah zombie yang menyerang, Hazel hanya ingin mengakhiri hidupnya saja.
Tapi, kebaikan Arkana datang padanya. Memberinya semangat hidup lagi. Mengajarinya untuk melindungi diri. Memberikannya kehidupan meski artinya mengorbankan dirinya sendiri. Hazel mengusap matanya dengan punggung tangan. Semua itu tinggal masa lalu. Sekarang Arkana melupakan dirinya. Tidak ada lagi cinta. Hazel harus hidup meskipun sebagai pemeran antagonis di akhir dunia.
Dia berlari, menebas, berlari, menebas, selama tiga jam Hazel melarikan diri dari zombie yang berkembang dengan cepat. Hazel merutuki dirinya sendiri karena melupakan kenyataan bahwa tubuhnya sekarang sangat lemah. Tubuhnya kurus, tidak ada otot dan berlari beberapa menit saja sudah membuatnya kelelahan. Hazel terlalu bergantung pada kehidupan sebelumnya sehingga dia pikir bahwa tubuhnya sekarang sama seperti tubuhnya dulu yang sudah terlatih saat berlari.
Hazel juga merasa sangat bodoh, seharusnya dia membeli kendaraan untuk melarikan diri dengan bebas. Arkana dan dirinya tidak pernah melarikan diri dengan kendaraan sebelumnya karena sulit mencari bahan bakar. Karena itu tidak ada kendaraan dalam daftar bertahan hidup Hazel, dia juga tidak bisa menggunakan mobil tapi setidaknya Hazel bisa membeli kendaraan lain. Lagi pula dengan adanya ruang tanpa batas yang bisa menyimpan banyak bahan bakar serta kebutuhannya, Hazel tidak perlu khawatir.
Napas Hazel terengah-engah. Dia berlari ke salah satu apartemen, menebas zombie yang ada di sana dan menuju lantai atap. Apartemen itu terlihat sangat kacau, penghuninya cukup banyak. Ada beberapa zombie di koridor, pintu-pintu kamar tertutup saat Hazel melewatinya.
Insting manusia untuk bertahan hidup sangatlah hebat. Sayangnya berdiam diri di balik pintu tanpa persediaan makanan merupakan hal buruk. Jika tidak mati karena zombie maka itu mati karena kelaparan. Hazel tidak bisa membantu dengan membagikan persediaannya, jadi dia membunuh beberapa zombie yang berkeliaran. Dengan tenaganya yang terkuras banyak, Hazel tidak bisa menghabisi seluruh zombie. Jika manusia di balik pintu ingin melarikan diri, mereka tidak akan bertemu banyak zombie di dalam apartemen. Hanya itu yang bisa Hazel lakukan di akhir dunia yang kejam ini.
Hazel memastikan berulang kali bahwa pintu atap terkunci dengan rapat. Baik manusia ataupun zombie tidak bisa memasukinya. Setelah keadaan sekitar menjadi aman untuknya, Hazel menyandarkan dirinya. Mengambil air mineral di ruang tanpa batas dan meneguk hingga dahaganya teratasi. Persediaan Hazel memang banyak, tapi cepat atau lambat Hazel harus menyimpan lebih banyak lagi. Tidak ada yang tahu berapa lama dia akan hidup di akhir dunia ini. Satu tahun, dua tahun, sepuluh tahun, Hazel tidak tahu berapa lama zombie akan hidup. Menyimpan persediaan sebanyak mungkin sebelum kadaluarsa adalah poin utama untuk bertahan hidup.
Hazel berjalan ke arah pinggir. Apartemen ini memiliki lima lantai. Dan Hazel berada di atap apartemen. Dia mengamati jalan-jalan yang sebelumnya dipenuhi manusia, hanya dalam tiga jam berubah menjadi lautan penuh zombie. Meski membunuh zombie cukup dengan menusuk atau menghancurkan kepalanya, tidak ada yang bisa bersaing dengan perkembangan zombie yang sangat cepat. Seperti peribahasa mati satu tumbuh seribu.
Perkembangan manusia tidak bisa secepat itu. Membutuhkan sembilan bulan untuk bisa lahir di dunia. Belum lagi tahun-tahun untuk belajar berjalan, makan dan sebagainya hingga akhirnya sampai di tahap bisa membunuh zombie. Perkembangan manusia sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan perkembangan zombie yang sangat melesat. Zombie juga tidak membutuhkan makan, tidur ataupun bernapas, mereka adalah mayat hidup. Tidak ada kesulitan yang zombie dapat selain karena mereka buta dan tidak bisa berbicara.
Hazel menghela napas. Duduk dengan tenang, melihat para zombie memakan manusia. Ini kehidupan keduanya karena itu Hazel cukup tenang dalam menghadapi para zombie. Arkana yang menjadi pemeran utama juga pasti baik-baik saja saat ini. Dia pasti sedang berlari dan mencari tempat yang aman untuk bertahan hidup. Dengan kebaikan hati yang dimiliki Arkana, akan ada banyak orang disekelilingnya.
Hazel mengamati sekitar, tidak ada siapa pun selain dirinya di atap ini. Hazel tidak sebaik Arkana, selain Arkana tidak ada manusia yang Hazel pedulikan. Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi. Tidak ada yang berperilaku baik padanya, maka Hazel akan melakukan hal yang sama.
Hari menjadi gelap, sementara zombie berkeliaran di bawah. Hazel merapikan ruang tanpa batasnya. Meletakkan makanan sesuai jenisnya. Dalam keheningan sekitar, Hazel dapat merapikan kebutuhannya dengan tenang. Hazel mengeluarkan tenda, memasangnya dengan cepat lalu menaruh selimut dan bantal di dalam tenda. Hazel juga mengeluarkan kompor dan panci. Dia akan memasak air panas untuk memasak mi. Setelah membunuh banyak zombie, sekalipun nafsu makannya menghilang, Hazel harus tetap makan untuk bertahan hidup.
Di kegelapan malam, di saat tidak ada listrik ataupun lampu, lentera yang Hazel nyalakan bersinar sangat cerah. Hazel tidak terlalu mengkhawatirkan para zombie akan menyerang karena mereka buta, namun manusia berbeda. Jadi, setelah makan dan memastikan keamanan di sekitar atap. Hazel masuk ke dalam tenda untuk tidur. Hari ini dia sangat kelelahan, dia harus beristirahat dengan baik untuk menghadapi zombie.
Malam begitu sunyi, Hazel baru saja terlelap hingga suara bising membangunkannya. Hazel kembali terjaga. Suara gedoran pintu atap terdengar sangat keras di keheningan malam. Hazel bertanya-tanya, apakah zombie mencapai tempatnya?
⚔⚔⚔
V. June
Hazel mengeluarkan senter kepala dari ruang tanpa batas. Menyalakannya lalu melepaskan sarung pedangnya. Memegang pedang dengan tangan kanan. Langkahnya perlahan mendekat pada pintu atap yang tertutup. Genggaman tangan Hazel semakin erat. Hazel menarik napas dalam, mempersiapkan dirinya untuk menyambut apa pun yang ada di balik pintu. Tangan kirinya bersiap membuka pintu untuk membunuh zombie.
"... Tolong ...." Suara minta tolong itu terdengar oleh Hazel. Tangannya berhenti untuk membuka pintu namun dia masih memegang pedang untuk berjaga-jaga. Manusia di akhir dunia itu mengerikan. Dengan tubuhnya yang kurus, Hazel bisa mati kapan saja sebelum dilahap oleh zombie. "Tolong ... Jika kamu menolongku ... Aku akan memberikanmu permen."
"..." Hazel terdiam. Apa menurut orang itu dia akan tertarik dengan sebuah permen?
Orang itu kembali menggedor pintu. Membuat suara bising. Hazel harus membuat pilihan, membunuh atau dibunuh. Jika orang itu tidak diam, akan ada banyak zombie yang berkumpul di pintu atap. Itu akan membuat dirinya tidak bisa pergi. Tangan kiri Hazel perlahan membuka pintu dan lelaki yang bersandar di pintu jatuh begitu saja ke kaki Hazel. Hazel mundur perlahan. Bersiap mengacungkan pedangnya ke kepala lelaki yang ada di kakinya.
Lelaki itu merogoh sakunya di kesadarannya yang perlahan menghilang, merentangkan tangannya kepada Hazel sambil memberikan permen. "... Terima kasih." Kemudian dia pingsan di tempat.
Hazel memandang permen yang jatuh ke lantai. Sebuah permen eceran yang sering dijual seribu. Hazel menghela napas. Menarik lelaki itu kemudian menutup pintu atap. Menguncinya kembali dengan rapat. Lelaki itu pingsan dan Hazel tidak perlu melawannya. Dari pakaiannya yang compang-camping, dia pasti sudah melewati banyak kesulitan saat melarikan diri.
Tangannya memegang tongkat bisbol yang sudah berlumuran darah. Hazel mengambil tongkat bisbol, memeriksa tubuh lelaki itu secara keseluruhan. Tidak ada bekas gigitan. Untuk berjaga-jaga, Hazel mengambil tali dan mengikatnya di tempat. Cuaca malam ini cukup dingin, Hazel mengambil selimut lain dari ruang tanpa batas dan memberikannya pada lelaki yang terikat itu. Hazel kembali ke tendanya, kembali terlelap.
Keesokkan harinya, saat Hazel keluar tenda. Dia memeriksa kondisi lelaki semalam. Lelaki itu sudah sadar dan sedang memandangnya saat ini. Tubuhnya masih terikat dan tidak ada perubahan dalam posisi duduknya. Hazel mendekat, berjongkok di depannya. "Siapa namamu?"
"... June." Lelaki itu memandang Hazel. Dia ke sini hanya karena melihat cahaya, tidak June sangka bahwa yang menyelamatkan dan juga yang mengikatnya hanyalah seorang gadis.
"Baiklah, June, kamu mau dibunuh dengan cara apa? Dimakan oleh zombie atau ditusuk dengan pedang?" Hazel berdiri, menarik sarung pedangnya. Memperlihatkan sebilah pedang yang terlihat sangat tajam. "Kurasa memberikanmu ke zombie bukan pilihan yang tepat. Aku tidak mau membuat populasi zombie semakin berkembang.”
June keringat dingin. Dia melihat Hazel yang bersiap menusuk kepalanya. June membolakan matanya dengan lebar. "Tunggu! Tunggu dulu!" June berkata dengan cepat.
Ujung mata pedang Hazel hampir mengenai matanya. June meneguk ludahnya susah. Jakunnya bergerak naik turun. "Jangan bunuh aku! Kakakku seorang polisi, dia pasti bisa melindungi kita!" jelasnya. Meyakinkan Hazel yang selalu siap menusuknya.
"Sebelum Kakakmu melindungi, nyawa kita akan menghilang di tangan para zombie." sangkal Hazel.
"Itu ... Itu benar." June mengakui. "Bisakah kamu menurunkan pedangmu dulu? Mari selesaikan masalah ini dengan berbicara tanpa kekerasan?"
Hazel tidak mendengarkan. Pedangnya masih mengarah ke kepala June. "Aku terikat oleh tali. Aku tidak berdaya, kamu bisa membunuhku kapan saja tapi dengarkan aku dulu." bujuk June dengan taruhan besar.
Hazel menatap June yang terlihat menyedihkan. Dia memasukan kembali pedangnya. "Di akhir dunia, kamu harus memiliki kegunaan untuk bisa bekerja sama dalam bertahan hidup. Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Apa yang bisa kamu lakukan?"
"Aku ...." June melihat bola mata Hazel. Terlihat sangat cantik. June menggelengkan kepalanya, berpikir dengan keras. Mata Hazel terlihat unik untuk penduduk yang tinggal di sini. Mungkin saja, gadis di depannya merupakan penduduk asing. "Kamu tahu tata letak daerah sini?"
Hazel bukan orang asing tapi pendatang baru di dunia ini. Tebakan June tidak sepenuhnya salah. Hazel terdiam. Dia tahu berdasarkan keadaan geografis di kehidupan sebelumnya tapi itu pun hanya di kota ini. Tidak ada waktu bagi Hazel untuk mengenal daerah ini setelah datang. Jika tata letaknya sama seperti di kehidupan sebelumnya maka Hazel akan baik-baik saja namun jika ternyata berbeda? Jika dunia ini memiliki geografis yang berbeda, bagaimana cara Hazel mencari persediaan? Membunuh setiap zombie tanpa arah yang jelas? Selama dia menjadi pemeran antagonis di dunia ini, Hazel tidak bisa bertaruh di akhir dunia.
Melihat Hazel yang tidak menjawab. June merasa bahwa dia memiliki kesempatan. Jadi June kembali menyebutkan kegunaannya. "Aku mengenal daerah ini dengan baik. Aku tahu tempat-tempat yang menyimpan persediaan dan juga obat-obatan. Kamu bisa mempercayaiku!" June berkata dengan meyakinkan.
"Kamu bisa mengendarai mobil?" tanya Hazel setelah berpikir panjang.
June mengangguk dengan cepat. "Aku mendapatkan SIM dengan nilai terbaik. Dompetku ada di dalam tas." June melirik kiri kanan, tersadar bahwa tidak ada tasnya. "Aku pasti menjatuhkan tas ku saat berlari semalam.”
June perlahan melirik Hazel, khawatir gadis di depannya akan kembali menarik pedang karena tidak percaya padanya. Hazel berdiri dengan tenang sambil menatap June. Hazel menarik pedangnya. June menutup matanya. Inilah akhirnya. Tidak ada yang bisa June katakan lagi untuk membujuk Hazel yang tidak mempercayainya. Kata-katanya hanya akan terdengar seperti omong kosong jika diteruskan. June menunggu rasa sakit itu datang, namun berapa lama pun June menunggu tidak ada rasa sakit yang datang.
June sedikit mengintip, melihat punggung Hazel yang membelakanginya dengan pedang yang menggantung di pinggangnya yang ramping. June melihat ke dirinya sendiri, tali yang sebelumnya mengikat kini sudah menghilang. Tubuhnya bisa bergerak dengan bebas lagi.
"Apa pun yang aku lakukan, jangan mengajukan pertanyaan!"
June mengangguk dengan cepat. "Aku mengerti. Aku tidak akan bertanya."
Hazel berjalan menuju tendanya. Mengeluarkan kompor dan panci untuk memasak mi lagi sebagai sarapan. Kali ini Hazel mengambil dua bungkus mi dan juga air putih untuk diberikan pada June. Hazel melempar botol minum ke arah June. Dilempar secara tiba-tiba membuat June tidak siap menerimanya. Botol itu jatuh ke lantai. Mendapati mata Hazel yang memicing tajam ke arahnya, June menunduk dengan cepat dan mengambil botol minum itu
"Terima kasih!" June berjalan mendekat kepada Hazel. Tetap menjaga jarak aman agar tidak membuat Hazel marah. June melihat ke bawah, zombie berjalan di jalan raya. Dia menghela napas. "Kamu manusia pertama yang aku lihat setelah akhir dunia.
Hazel tidak berbicara. Memasak mi dengan tenang. June memperhatikan Hazel, di akhir dunia yang datang secara tiba-tiba Hazel terlihat sangat tenang. Pedang, makanan, tenda, Hazel memiliki semua benda yang tidak akan dipikirkan oleh orang lain saat melarikan diri dari zombie.
Kemarin merupakan hari yang sangat berat untuk June, dia berlari tanpa arah. Ke mana pun dia berlari hanya ada zombie yang siap memakannya. June bertahan dengan memukul zombie secara acak dengan tongkat bisbol milik temannya yang sudah digigit. June hanyalah seorang mahasiswa biasa. Dia makan dengan baik, berteman dengan baik dan hidup dalam lingkungan yang baik. Di akhir dunia ini, June tidak tahu lagi bagaimana nasib teman-temannya. Dia hanya memiliki Kakak yang berprofesi sebagai polisi, June yakin bahwa Kakaknya baik-baik saja.
Aroma mi menghancurkan lamunan June. Dia melihat sebuah mangkuk plastik ditaruh di depannya. Hazel menyantap mi dengan cepat. Melirik ke bawah untuk menilai situasi. Mata June berlinang, meski Hazel terlihat sangat kejam dan siap menusuk kepalanya kapan saja. Kehangatan mi di depannya membuat June merasa tenang. June memakan mi tanpa sisa. Mengisi perutnya yang kelaparan. Hazel tidak memperhatikan psikologis June padanya, selama dia berguna Hazel tidak akan membunuhnya.
Jumlah zombie di bawah sangat banyak, namun Hazel bisa membunuh mereka untuk membuat jalan selama mereka tidak bergerombol dalam satu tempat. Akan sangat sulit membunuh zombie jika mereka menyerang secara bersamaan. "Di mana supermarket terdekat?" Hazel melirik sekitar. Tidak menemukan tanda supermarket.
"Lurus dari sini akan ada sebuah supermarket. Memang tidak terlihat dari posisi kita karena supermarket itu berada di samping gedung perkantoran." June menjelaskan, tangannya menunjuk ke sebuah gedung tinggi. "Lokasinya tidak terlalu jauh namun akan sulit jika harus melewati setiap zombie di jalan."
Hazel mendengarkan. Mengambil keputusan dengan cepat.
"Bersiaplah! Kita akan berburu zombie!"
⚔⚔⚔
VI. Tugas Pertama
Hazel membereskan tenda dan peralatan yang dia gunakan, memasukkannya ke dalam ruang tanpa batas saat June tidak melihatnya. June melihat Hazel yang tidak membawa apa pun selain pedang di pinggangnya, tenda dan benda lainnya menghilang entah ke mana. Padahal June yakin dia melihat benda itu sebelumnya berada tepat di belakang Hazel. June menghela napas, dia tidak bertanya apa pun pada Hazel sesuai janjinya.
Hazel memberikan tongkat bisbol milik June. "Pukul kepalanya dan mereka akan mati." June menerimanya, mengangguk. Setelah menyerang beberapa kali untuk menyelamatkan diri, June tahu titik lemah zombie ada di kepala. Namun, dia masih mendengarkan dengan serius kata-kata Hazel.
"Selama aku membuka jalan, carilah mobil yang bisa digunakan." Hazel menatap June. Menepuk bahu lelaki itu dengan keras. "Aku akan melindungimu, jadi jangan melihat ke belakang dan fokus pada tugasmu!"
"Aku mengerti!" June mengangguk. Tekanan di bahunya memberinya rasa percaya tanpa alasan. Padahal beberapa saat yang lalu, Hazel adalah orang yang akan membunuhnya dan sekarang Hazel akan melindunginya. June menatap Hazel, teringat akan sesuatu. "Zombie di dalam apartemen cukup banyak semalam. Aku tidak tahu jumlah tepatnya sekarang."
Hazel mendengarkan. Orang-orang di balik pintu pasti keluar dari tempat persembunyiannya dan berubah karena digigit zombie yang tidak sempat Hazel bunuh. Hazel menarik pedangnya. "Kita akan turun."
June mengangguk. Mengikuti Hazel dengan baik di belakangnya. Hazel membuka pintu atap secara perlahan, melihat sekitar untuk memastikan keamanan. Tidak ada zombie di tangga. June menemukan tasnya di antara anak tangga, dia segera mengambilnya. Jaga-jaga jika Hazel masih membutuhkan bukti bahwa dia pengendara yang baik. Hazel dan June turun dengan aman ke lantai bawah.
Zombie terlihat dan Hazel langsung menebasnya. Tidak banyak zombie di lantai atas namun semakin mereka turun ke dasar, akan ada lebih banyak zombie. June yang selalu kalah cepat dalam membunuh zombie pun akhirnya berpartisipasi dalam pembunuhan zombie di lantai satu. Tongkat bisbolnya berayun tepat mengenai kepala zombie dan menghancurkannya. June terlalu berkonsentrasi pada zombie di depannya hingga lupa menjaga punggung belakangnya. Satu zombie perlahan menuju June, bersiap mengigit bahunya.
Saat June menyadari kehadiran zombie di belakangnya, itu sudah sangat terlambat. Hazel bergerak lebih cepat, dia melempar pedangnya dan tepat mengenai kepala zombie. Ujung mata pedang Hazel sedikit menggores pipi June.
"Tidak perlu membuang waktu lagi di sini." Hazel mencabut pedangnya dan berlari keluar. June mengikuti, berlari dengan cepat untuk melaksanakan tugas yang Hazel berikan.
"Jangan melihat ke belakang. Jangan melihat ke belakang." June bergumam sambil tetap berlari. Memukul zombie dengan tongkat bisbolnya sambil memeriksa satu per satu mobil. "Kumohon, siapa pun, bantu kami untuk melarikan diri."
June hampir putus asa. Dia tidak tahu bagaimana kondisi Hazel di belakangnya. Dan sulit sekali mencari mobil yang bisa digunakan. Saat June menemukan mobil dengan kunci di dalamnya, tidak ada bahan bakar. Begitu pula sebaliknya.
June terus berlari mencari mobil. Sebuah mobil merah terparkir di jalan, dia segera berlari ke sana, membuka pintu mobil dan disambut zombie wanita yang melangkah keluar menuju dirinya. June mengangkat tongkat bisbol, menghancurkan kepala zombie wanita itu ke aspal kemudian menyingkirkan badannya yang menghalangi pintu mobil. June memeriksa mobil, kunci dan bahan bakar tersedia. June merasa lega di dalam hatinya. Dia menyalakan mobil, bersiap untuk menjemput Hazel.
Sebelum June sempat menjemput Hazel. Pintu samping terbuka dan Hazel masuk dengan cepat. Penampilannya berantakan. Darah di mana-mana. Hazel menatap June yang terdiam. "Jalan!" serunya.
June tersadar dan segera menancap gas. Hazel melihat zombie yang mengejarnya perlahan menjauh. Hazel bernapas lega. Dia bersandar di kursi mobil, memejamkan matanya untuk mengatur napas. Tidak ada yang bisa Hazel lakukan dengan fisiknya yang begitu lemah. Seandainya dia pemeran utama di kehidupan ini, maka hidupnya memiliki jaminan. Tapi tidak, dia hanya pemeran antagonis. Di cerita apa pun, pemeran antagonis memiliki akhir yang mengerikan.
Mobil menabrak zombie tanpa pandang bulu. June menyetir dengan tenang. Hazel juga mengistirahatkan tubuhnya tanpa berbicara. Keadaan masih tidak aman, banyak zombie berkeliaran di jalan. Ini bukan waktunya untuk bersantai karena itu Hazel menggunakan waktu yang singkat ini untuk mengistirahatkan tubuhnya. Saat mereka sampai di depan supermarket akan ada lebih banyak zombie dan Hazel harus menghadapi semua zombie itu.
Mobil berhenti di depan supermarket. "Kita sampai." June melirik Hazel yang masih memejamkan matanya. Suara mobil mengundang beberapa zombie, namun segera berhenti mendekat begitu mesin mobil dimatikan. June tidak lagi berbicara. Menunggu dengan tenang di dalam mobil.
Hazel membuka matanya. Melihat keadaan mobil yang telah berhenti di depan supermarket. Dia pasti tertidur tanpa sadar. Hazel melirik ke samping, membangunkan June yang juga jatuh tertidur. Keduanya turun dari mobil. Hazel menarik pedangnya sementara June memegang tongkat bisbolnya. Hazel mengintip lewat kaca. Mengamati keadaan di dalam supermarket. Ada tiga zombie.
Hazel menatap June. "Bunuh mereka." katanya dengan tenang.
June mengangguk. Membunuh zombie bukan lagi masalah untuknya dan jika dia berada dalam bahaya, June yakin Hazel akan menolongnya.
Hazel menyerahkan tugas membunuh zombie karena dia harus menghindari mata June saat menyimpan makanan ke ruang tanpa batas. June masuk terlebih dahulu, dia berjalan dengan mengendap-endap agar tidak memicu suara. June menghancurkan satu kepala zombie, memicu dua zombie yang lain untuk mendekat.
Mencuri kesempatan itu, Hazel menyentuh setiap makanan yang ada di dalam rak. Tidak melewatkan satu pun, setiap jenis makanan sangat diperlukan untuk bertahan hidup. Baik itu keripik, kue, ataupun minuman bersoda. Hazel juga mendapatkan beras di supermarket ini. Meski sudah membeli beberapa kilogram beras sebelumnya, Hazel tidak akan meninggalkan sebutir pun beras.
June berhasil menghancurkan kepala zombie terakhir di supermarket. Begitu dia menoleh ke arah Hazel untuk membantunya membawa persediaan, seluruh rak yang sebelumnya terisi sudah kosong tanpa sisa. Ini terjadi lagi. June hanya bisa menelan pertanyaannya. Hazel melihat June yang menatapnya, tangannya melambai untuk menyuruhnya mendekat.
Hazel memberikan kantung plastik. "Ambilah barang-barang yang kamu perlukan. Aku akan menunggu di luar." June mengangguk. Mengambil plastik itu dan menatap rak yang kosong. June menghela napas, menahan keluhan di dalam dirinya. Tidak ada yang tersisa, benda apa yang harus dia ambil?
Hazel pergi keluar. Membunuh beberapa zombie di jalan. Tatapan Hazel jatuh ke apotek yang berada di seberang jalan. Hazel menengok ke belakang, June masih memilih barang. Hanya sebentar. Hazel akan pergi ke apotek untuk menyimpan obat-obatan yang ada di dalam sana untuk bertahan hidup. Selain makanan, obat-obatan juga sangat diperlukan di akhir dunia. Ada banyak kasus di mana manusia mati karena demam, diare, ataupun penyakit lainnya.
Begitu June keluar, dia panik saat tidak melihat Hazel di mana pun. Hanya ada zombie yang berkeliaran tanpa tanda-tanda manusia. June melihat mobil merah yang masih terparkir di tempat sebelumnya. June menghela napas, Hazel tidak meninggalkan dirinya. Gadis itu pasti masih ada di sekitar.
June menaruh kantong plastik ke dalam mobil. Meski banyak rak kosong, beberapa barang masih tersisa dan bisa digunakan. June memegang tongkat bisbol dengan erat, dia merasakan pergerakan di belakangnya. June segera berbalik untuk menyerang zombie yang mendekat padanya. Tongkat bisbol sudah terayun setengah sebelum berhenti secara tiba-tiba.
Ayunan tongkat bisbol June membuat hembusan angin dan itu mengenai wajah Hazel. June melihat wajah datar Hazel, dia masih terlihat sangat tenang meskipun tongkat bisbol itu hampir saja mengenai kepala Hazel jika dia tidak menghentikan ayunannya tepat waktu. "Kamu mengagetkanku!" June mengeluh. Menjauhkan tongkat bisbolnya dari Hazel.
"Aku mengambilnya dari toko yang ada di seberang." Hazel memberikan sebuah plastik pada June. June melihat ke dalam plastik, ada beberapa pasang pakaian bersih. June lalu menatap Hazel yang masih berlumuran darah. Hatinya merasa masam. Gadis ini memperlakukan June dengan sangat baik. Hatinya tersentuh pada kebaikan Hazel.
Hazel mendekat, menempelkan plester luka pada pipi June yang tidak sengaja dilukainya. Plester luka itu bermotif beruang ungu yang terlihat sangat kekanakan.
"Terima kasih." kata June sedikit salah tingkah.
Hazel mengabaikannya, masuk ke dalam mobil. June segera menyusul dan duduk di kursi pengemudi. "Ke mana kita akan pergi?"
"Cari sebuah rumah untuk menghabiskan malam."
June mengangguk, menjalankan mobil. Telinga June sedikit memerah. Entah mengapa kata-kata Hazel membuatnya sedikit malu. June tahu bahwa gadis itu mengatakan tanpa maksud apa pun, tapi itu membuatnya sedikit salah paham. Meskipun ini akhir dunia dia tetap seorang lelaki normal.
⚔⚔⚔
VII. Rindu
June menghentikan mobil di sebuah rumah yang tampak sangat sederhana. Rumah itu tidak memiliki lantai lain selain lantai dasar namun halamannya dilengkapi dengan pagar rumah. Cukup untuk melindungi mereka dari para zombie. Hazel turun dari mobil. Mendorong pagar rumah untuk membukanya tapi pagar itu terkunci. Alis Hazel naik satu, dia mengabaikan pagar yang terkunci dan melompat begitu saja. June yang melihat Hazel melompati pagar terkesima untuk ke sekian kalinya.
June ikut melompat di belakang Hazel, mengikuti gadis itu masuk ke dalam rumah. Lingkungan rumah itu terlihat sangat bersih. Tidak ada jejak darah ataupun tanda-tanda zombie. Di ruang tamu, ada tempat tidur bayi. Hazel mendekat dan memegang selimutnya. Hangat. Kemudian dia berjalan ke kamar mandi untuk menyalakan air.
Meskipun listrik sudah padam, masih ada air yang mengalir. Hazel berbalik, memandang June yang mengekori ke mana pun dia melangkah. Hazel melihat ke atas dan bawah, kondisi June sama buruk dengan keadaannya. Pakaian yang dikenakannya sudah kotor di mana-mana sejak kemarin dan hari ini menjadi lebih parah.
"Pergilah mandi duluan. Aku akan berkeliling sebentar."
June mengangguk. Dia baru bersama dengan Hazel kemarin malam, hampir dibunuh pagi ini dan sekarang June seperti seorang anak lelaki yang diasuh oleh ibunya. June masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Hazel melihat pintu kamar mandi yang tertutup, dia melangkah untuk memeriksa dapur. Ada kompor. Tangan Hazel terulur ke sana untuk memeriksanya. Masih hangat. Hazel menyalakan kompor dan mematikannya.
June keluar dari kamar mandi. Mengenakan pakaian yang diberikan Hazel padanya. Ukurannya sedikit besar untuk June, namun itu masih layak untuk dipakai. June menghampiri Hazel yang berdiri di dapur. Gadis itu sedang memindahkan makanan yang June tinggalkan di dalam mobil ke atas meja makan. Menatanya sesuai jenis.
"Apa kamu akan memasak? Aku bisa memasak beberapa hal sederhana."
Hazel menggeleng. "Tidak. Kita akan pergi."
Hazel berjalan keluar. June mengikuti dari belakang, menengok ke makanan yang ditinggalkan Hazel di atas meja. Hazel pergi tanpa ada tanda-tanda ingin kembali untuk mengambilnya. Mereka kembali ke dalam mobil. Perlahan menjauh dari sana. Di tempat tersembunyi di dalam lemari, seorang remaja menggendong adiknya yang berusia lima bulan. Dia menemukan makanan di atas meja dan merasa sangat berterima kasih pada siapa pun yang meninggalkan makanan untuk keduanya.
June berulang kali menatap Hazel yang memejamkan matanya. Dia tidak mengerti dengan apa yang Hazel lakukan. Ingin bertanya namun tidak bisa. Kepala June penuh dengan tanda tanya yang tidak bisa mendapatkan jawaban bagaimanapun dia memikirkannya.
"Apa kita sudah sampai?" tanya Hazel, matanya masih tertutup.
June terkejut, dia seperti kucing yang disiram dengan air secara tiba-tiba. Kaget. Mobil menabrak beberapa zombie karena June kehilangan kendali untuk sementara waktu. Untuk pertama kalinya June bersyukur bahwa dia menabrak zombie dan bukan manusia.
"... Tidak." June kembali ke jalur yang benar. "Aku tidak tahu di mana tempat yang aman. Selalu ada zombie di sekitar."
Hazel membuka matanya. Duduk dengan tegak, menatap sekitar. Dia menunjuk ke satu rumah secara acak. "Berhenti di sana. Sebentar lagi akan gelap, tidak baik berkeliaran di malam hari."
"Baiklah."
June menghentikan mobil di tempat yang Hazel minta. Hazel menarik pedangnya dan membunuh zombie dengan membabi buta. Zombie yang mengelilingi rumah, dihabisi oleh Hazel begitu saja.
"Tidak akan ada tempat yang aman di akhir dunia. Kamu harus menciptakannya sendiri." katanya. Hazel masuk ke dalam rumah. Memeriksa keadaan seperti sebelumnya, air juga masih menyala di rumah itu. Mungkin karena baru dua hari sejak akhir dunia dimulai air masih beroperasi. Hazel membuka ruang tanpa batasnya, berhadapan dengan June dan memberikan bungkus mi padanya. "Aku akan mandi. Masaklah mi untuk kita berdua."
June menerima mi itu. Menjadi anak yang sangat patuh dan mulai memasak mi menggunakan kompor pemilik rumah. June menunggu air mendidih, bersandar pada pintu. Suara gemericik air datang dari dalam kamar mandi. Hazel merasakan air mengalir di sekujur tubuhnya. Menghilangkan semua rasa lelah dan aroma darah dari tubuhnya. Dia sangat lelah dan juga muak. Zombie terus saja berdatangan. Tidak ada habisnya.
Pintu kamar mandi diketuk dari luar. Menyadarkan Hazel bahwa ada manusia lain di balik pintu ini. "Keluarlah jika sudah selesai, mi akan mengembang jika kamu terlalu lama." June mengingatkan.
Hazel mematikan keran. Mengeringkan badan dan mengambil pakaian bersih dari ruang tanpa batas. Hazel sangat beruntung karena memiliki ruang tanpa batas, meski tubuhnya tidak cocok untuk melawan banyak zombie setidaknya dia tidak perlu khawatir akan mati kelaparan. Hazel duduk di atas sofa, dia mengambil semangkuk mi buatan June. Asap mi mengepul, menerpa wajahnya. Hazel segera menyantap mi tanpa berbicara apa pun.
June juga memakan mi, matanya melirik Hazel yang sudah berganti dengan pakaian bersih. Hazel melepas jaketnya. Tanpa jaket hitam kebesaran yang menutupi tubuhnya, June dapat melihat bentuk tubuh Hazel dengan jelas. Hazel hanya mengenakan kaus berlengan pendek yang memperlihatkan warna kulitnya. Celana olahraga masih menutupi kakinya.
Aroma darah yang menempel di tubuh Hazel sudah menghilang berganti dengan aroma bunga. Rambutnya yang di kuncir kuda kini diurai begitu saja. June terpana, dia lelaki yang sangat beruntung karena memiliki kesempatan untuk melihat gadis cantik meski akhir dunia sudah menyerang. Jakun June bergerak naik turun dengan gelisah. Telinganya lagi-lagi memerah.
Hazel melirik June yang terus saja menatapnya, wajahnya begitu datar menghadapi June. "Di mana Kakakmu berada?"
June mencoba mengingat tempat kerja sang Kakak. "Itu berada di Kota K, tapi aku hanya bisa bertaruh Kakak akan menetap di sana." jelasnya. Kemudian dia menatap Hazel. "Apa yang akan kamu lakukan?"
Hazel meminum air. Meneguknya secara perlahan. "Aku akan mengantarmu ke sana." putusnya.
"Mengantar?" June menatap Hazel dengan sungguh-sungguh. Hazel mengangguk. "Kamu tidak akan ikut bersamaku?"
"Tidak." balas Hazel tegas tanpa berpikir panjang.
"Ikutlah bersamaku, akan sangat aman berada di antara manusia lain."
Hazel menatap June, berdiri dan berjalan mendekat. Jari-jemarinya menyentuh telinga June lalu turun ke lehernya. Kedua mata mereka saling bertemu. June dapat melihat warna mata Hazel lebih jelas, dia lupa untuk berkedip. Setiap sentuhan yang diberikan Hazel membuat debaran jantungnya jadi tidak karuan. June tidak bisa bergerak untuk menghindari Hazel.
Hazel menundukkan tubuhnya, berbisik di telinga June. "Kamu kira aku tidak mengerti pandangan lelaki saat memandang tubuhku?" Sebuah pisau dapur muncul di tangan Hazel, dia mengarahkan tepat di leher June. "Tidak ada manusia yang bisa dipercaya. Kita hanya bisa mengandalkan diri sendiri." kata Hazel untuk memperingatkan June.
Hazel menjauhkan tubuhnya, dia meletakkan pisau dapur ke tangan June. "Jangan pernah pergi tanpa senjata jika kamu ingin hidup lama."
June mengangguk patuh. Menyimpan pisau dapur itu dibalik bajunya. Menuruti kata-kata Hazel dengan baik.
"Maaf." katanya tampak menyesal. "Aku tidak bermaksud ... tapi jujur saja kamu sangat cantik."
Hazel mengabaikan kalimat June. Dia melemparkan selimut ke arah lelaki itu. "Kita akan tidur bergantian. Aku akan berjaga duluan."
Matahari perlahan terbenam, berganti dengan malam. Cahaya bulan masuk ke dalam rumah. Menyinari rumah yang gelap. Hazel duduk dengan bersila, bersandar pada dinding. Memandangi bulan yang bersinar terang.
Malam itu juga seperti ini, bulan bersinar terang. Tidak ada zombie di sekitar. Hanya ada dirinya dan Arkana. Di malam itu Arkana melamarnya. Memberikannya sepasang cincin dan janji untuk selalu melindunginya. Hazel bersandar di pundak Arkana lalu tertidur dengan lelap merasakan aroma tubuh Arkana yang membuatnya tenang. Kini semua hanya tinggal kenangan. Hazel melihat jari manisnya yang kosong, air matanya mengalir.
"Aku merindukanmu."
⚔⚔⚔
VII. Pusat Perbelanjaan
Begitu matahari terbit, Hazel dan June bersiap untuk pergi. Hazel memberikan roti dari ruang tanpa batas kepada June. Hazel sudah memakan mi selama dua hari sejak akhir dunia dimulai. Terlalu sering makan mi instan akan membuatnya sakit. Tanpa adanya dokter, akan sulit baginya untuk bertahan bersama serangan zombie yang tiada hentinya. Lagi pula dia memiliki makanan lain selain mi, tidak perlu baginya memaksakan diri mengkonsumsi mi seperti kehidupan sebelumnya.
June tidak tahu di mana Hazel menyimpan makanan, namun gadis itu selalu membagi makanan yang dia makan padanya. Tidak pernah June melihat Hazel menikmati makanannya sendiri. Padahal June hanya orang asing yang menumpang pada Hazel dan akan segera pergi begitu dia bertemu Kakaknya tapi Hazel memperlakukannya dengan sangat baik jika pertemuan pertama mereka tidak dihitung.
Hazel memakai jaket, mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda lalu memasang sabuk pedang di pinggangnya. Hazel merenggangkan tubuhnya sejenak, dia siap membunuh zombie lagi. June mengambil kunci mobil di atas meja, dia melihat pedang Hazel dan merasa itu sangat keren. Tongkat bisbolnya juga berguna tapi dibandingkan pedang, itu tidak bisa dibandingkan. Jika saja June memiliki senjata lain.
"Apa kamu tidak memiliki pedang lain yang bisa aku pakai?" tanya June pelan. Takut merusak mood Hazel yang berakhir kematiannya.
Hazel menarik pedangnya. June mundur beberapa langkah. "Cobalah." kata Hazel santai.
June senang, dia mengambil pedang dari tangan Hazel. Merasakan berat pedang yang ada di tangannya. Bilah pedang itu masih sangat tajam hingga bisa memotong zombie dengan mudah. June mencoba mengayunkannya seperti yang selalu Hazel lakukan tapi gerakannya sangat kaku. Bilah pedang terkadang hampir mengenai tubuhnya sendiri dan hampir terjatuh ke lantai berulang kali. Sangat sulit untuk mengendalikannya dengan benar. June menyerah setelah beberapa kali percobaan.
Hazel berdiri di samping June dan mengamati dengan tenang. Lebih baik memberikan kesempatan untuk mencoba langsung daripada menjelaskan lewat kata-kata. Hazel memiliki banyak senjata di ruang tanpa batas. Dia membeli banyak pedang sebelumnya, mudah bagi Hazel untuk memberikan satu pedang lain pada June. Hanya saja Hazel merasa June tidak cocok memakai pedang. Dengan kekuatan tangannya sebagai seorang lelaki, hempasan yang diberikan pada tongkat bisbol itu sangat keras hingga dapat menghancurkan kepala zombie. Hazel menggunakan pedang sebagai senjata karena Arkana mengajari dia menggunakan pedang dan itu sangat cocok dengan kekuatan yang Hazel miliki.
June mengembalikan pedang itu pada Hazel. "Tongkat bisbol lebih cocok untukku." ujarnya dengan malu.
"Tujuan kita adalah menuju Kota K untuk menemui Kakakmu." Hazel menyarungkan kembali pedangnya. "Dan mengumpulkan persediaan sebanyak mungkin."
June mengangguk. "Aku memiliki fisik yang baik, aku akan melindungimu! Kita akan mengemudi secara bergantian."
"Tidak!" Hazel memandang June tajam. "Aku yang bertugas melindungi. Kamu cukup menyiapkan diri untuk mengendarai mobil."
"Zombie di luar sangat banyak. Kamu akan kewalahan jika harus melawannya terus-menerus."
"Tidak masalah." Hazel masuk ke dalam mobil. June mengikuti dan duduk di kursi pengemudi. Dia melirik Hazel yang tampaknya tidak ingin mengubah keputusannya.
June menghela napas. Apa yang membuat Hazel bersikeras untuk melawan zombie? June tidak mengerti.
Mobil berjalan, Hazel melihat keluar jendela. Lingkungan dipenuhi zombie di mana pun dia melihat. Sama seperti sebelumnya. June melirik jarum indikator bahan bakar yang mengarah ke warna merah. "Bahan bakar mobil akan segera habis."
"Pergi ke pom bensin untuk mengisi bahan bakar."
June membawa mobil ke pom bensin terdekat. Pom bensin itu sepi, ada beberapa zombie yang tergeletak di tanah dan tidak lagi bergerak. June turun dari mobil dan mengisi bahan bakar. Hazel turun, dia membuka pintu supermarket. Tidak ada banyak yang bisa diambil. Seseorang telah mengambil makanan dan kebutuhan lainnya lebih cepat dari kedatangan Hazel.
Melanjutkan kembali perjalanan, matahari yang sebelumnya bersinar perlahan menghilang. Awan gelap berangsur menyebar di langit. June memperhatikan. "Sepertinya akan hujan." June melirik Hazel. "Haruskah kita mencari rumah?"
"Berhenti di sebuah pusat perbelanjaan. Kita akan mencari persediaan." seru Hazel. Gerakan mereka terbatas di malam hari, Hazel tidak bisa membuang waktu sekalipun hujan akan turun.
Ada satu pusat perbelanjaan yang menjual banyak barang di sekitar sini. June pernah ke sana untuk membeli perlengkapan kuliahnya dan itu memang sangat lengkap. Banyak orang sering pergi ke sana untuk berbelanja. June sedikit ragu membawa Hazel ke sana. Pasti akan ada banyak zombie yang berkumpul. Masuk ke sana seperti menyerahkan diri secara sukarela kepada kumpulan zombie.
Hazel merasa mobil semakin melambat. "Ada manusia di sana." June menunjuk ke depan.
Mata Hazel mengikuti, ada sekitar empat, lima. Ada enam manusia di sana, dua orang wanita dan empat laki-laki. Sepertinya mereka termasuk manusia yang berhasil bertahan hidup dan ingin mengumpulkan persediaan. Hazel memperhatikan senjata yang mereka bawa. Pistol, pisau dapur dan beberapa senjata yang tidak bisa Hazel lihat dengan jelas karena terlindungi.
"Hentikan mobilnya."
June menghentikan mobil. Menjaga jarak cukup jauh agar orang-orang itu tidak menyadari kehadiran mereka. Hazel menyembunyikan pedangnya di ruang tanpa batas dan mengeluarkan pisau dapur. Dia turun dari mobil, menusuk satu zombie. Darah zombie itu mengenai pakaian yang Hazel kenakan. Wajahnya pun sedikit ternoda.
June keluar dari mobil. Mengamati gerak-gerik yang Hazel lakukan. Hazel menghampiri June, mengoleskan darah zombie yang ada di pisaunya ke pipi pemuda itu. June menutup matanya, menahan rasa mual di dalam dirinya. Padahal June baru mandi kemarin dan sekarang harus kotor dengan darah zombie lagi.
Begitu June membuka matanya, mobil yang mereka kendarai sudah menghilang dari tempatnya. Pakaian yang dia pakai juga tidak sebersih sebelumnya. June tidak khawatir dengan mobil yang tidak ada di depan matanya. Lagi pula, Hazel selalu memunculkan dan menghilangkan barang secara tiba-tiba. Jika zombie ada, beberapa sihir bisa saja ikut muncul.
"Dengar, kita akan masuk ke pusat perbelanjaan. Mengambil barang yang diperlukan dan pergi." Hazel menjelaskan. Matanya melirik ke enam orang yang masih berdiri di depan pusat perbelanjaan. "Jangan melakukan hal yang tidak berguna dan tetap di sisiku. Mengerti?"
June mengangguk. Dia melihat bahwa Hazel menjadi sangat waspada saat ini. Hazel memang selalu bertindak waspada, bersamanya pun Hazel masih tetap waspada. Meskipun tidak separah saat ini. Tubuh June diputar hingga menghadap depan. Hazel mengeluarkan beberapa bungkus biskuit dan roti, memasukannya ke dalam tas ransel June. Hazel mendorong tubuh June untuk berjalan ke depan, dia bersembunyi di belakang punggung June.
Dengan Hazel yang menempel di punggungnya, June merasa sedikit canggung. Dia berjalan ke depan, masuk ke dalam penglihatan enam orang yang berdiri di depan pusat perbelanjaan. Geri melihat penampilan June dan juga Hazel yang berlumuran darah zombie. Hazel memegang pisau dapur di tangannya sementara June memegang tongkat bisbol yang berlumuran darah. Tidak ada senjata yang istimewa dari keduanya.
"Apa kalian digigit?" tanya Geri terlihat waspada. Dia dan anggota lainnya mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak. Mengarahkan senjata mereka ke arah June dan Hazel.
June tersenyum manis. Sama sekali tidak terlihat mengancam. "Tidak ada yang tergigit." June menggulung lengan bajunya, memperlihatkan kulitnya tanpa luka.
Hazel mengamati secara diam-diam senjata yang dimiliki ke enam orang itu. Selain pihak laki-laki, tidak ada senjata yang dipegang oleh pihak wanita. Penampilan enam orang itu terlihat sangat kacau, lebih kacau dari penampilan June dan dirinya. Hazel menyesal karena hanya membunuh satu zombie. Seharusnya dia mengoleskan lebih banyak darah zombie ke tubuhnya agar terlihat semakin meyakinkan.
Tangan Hazel dipegang oleh June, dia terlalu fokus mengamati hingga tidak sadar dengan apa yang kedua pihak bicarakan. "Lihat, Pacarku juga tidak tergigit. Kalian bisa percaya pada kami." kata June meyakinkan. Meski tangannya sedikit gemetar saat mengucapkan kata pacar dan memegang tangan Hazel.
Mau bagaimana lagi, keduanya tidak mirip untuk menjadi saudara dan June masih tidak tahu nama Hazel untuk terlihat akrab. Sejak kemarin mereka berbicara tanpa memanggil nama satu sama lain, June hanya memanggil Hazel dengan panggilan 'kamu'. Jika mereka menaruh curiga pada kebohongannya, June bisa berkata bahwa mereka baru jadian hari ini.
Geri memperhatikan keduanya. "Senjata apa yang kalian gunakan selama ini?"
June mengangkat tongkat bisbolnya dan Hazel memperlihatkan pisau dapurnya.
Sebagai pemimpin kelompok, Geri terus-menerus mengajukan pertanyaan. June akan menjawab dengan senang hati. Dia memerankan pacar yang sangat perhatian karena Hazel tidak mau berbicara.
Helena menarik tangan Geri. "Sayang, coba tanya apakah mereka memiliki makanan. Aku sangat kelaparan."
Geri memandang Helena yang terlihat lemah. Mereka tidak memiliki banyak makanan sementara ada enam perut yang harus diisi. Persediaan mereka habis dengan cepat karena itulah mereka ingin mengisi kembali persediaan. Namun, zombie di dalam pusat perbelanjaan akan sangat banyak. Mereka menjadi ragu untuk masuk hingga bertemu dengan June dan Hazel.
"Berikan kami makanan yang kalian punya, beberapa anggota kami harus mengisi tenaga untuk bisa membunuh zombie."
June membuka tasnya. Melihat biskuit dan roti yang ada di dalam tas. Kemudian June menatap Hazel, terlihat ragu untuk sementara waktu. Hazel tidak peduli. Dia memasukan roti dan biskuit hanya untuk berjaga-jaga saja. Akan terlihat sangat aneh jika penampilan keduanya terlihat baik di kondisi akhir dunia tapi tidak ada satu pun makanan yang mereka miliki. June menghela napas. Menunjukkan isi tasnya kepada Geri dan yang lain.
"Kami memiliki biskuit dan roti tapi itu tidak banyak. Kami hanya bisa berbagi setengah pada kalian."
Ridwan maju untuk mengambil tas ransel June. Tepatnya mengambil secara paksa. "Jangan terlalu pelit. Di lingkungan penuh zombie ini, kita harus saling tolong-menolong sesama manusia." Dia mengeluarkan biskuit dan roti yang ada di dalam tas, memberikannya kepada Helena serta anggota yang lain. Dia menyisakan satu bungkus roti di dalam tas lalu mengembalikannya pada June.
Ridwan menepuk bahu June beberapa kali. "Benar, 'kan" tanyanya. Kemudian Ridwan melirik pada Hazel yang sangat pendiam. Meski darah zombie menutupi wajahnya, Ridwan masih bisa melihat kecantikan yang Hazel miliki.
June menggeser sedikit tubuhnya untuk menutupi tubuh Hazel. Dia tersenyum lemah. "Paman benar. Kami orang muda harus belajar banyak dari Paman." katanya. Memperjelas usia Ridwan lewat kata-katanya.
Hazel melihat punggung June yang menutupi tubuhnya. Padahal dia tidak perlu melakukannya sampai sejauh ini. Hazel bisa melindungi dirinya sendiri sekarang. Hal seperti Ridwan sama sekali tidak mengancamnya. Hazel menghela napas. Membiarkan June melakukan apa pun yang dia mau.
⚔⚔⚔
IX. Kalimat Terlarang
"Kami akan membagi dua kelompok untuk mencari persediaan di dalam." Geri melirik Hazel yang terlihat sangat kurus. Kemudian pada June yang terlihat lembut. Keduanya tidak terlihat meyakinkan untuk menjadi pembunuh zombie. "Pacarmu bisa masuk ke dalam kelompokku. Ada Ridwan dan juga Helena."
June mengingat kata-kata Hazel untuk tetap berada di sisinya. Dia menolak dengan halus. "Kami sudah bersama sejak akhir dunia dimulai." June menggenggam tangan Hazel. Itu artinya kami tidak akan mendengarkanmu. Kami pasangan yang tidak akan terpisahkan. "Aku merasa aman jika kami bersama." tambahnya.
Hazel menggenggam tangan June dengan keras. June meringis namun masih menjaga raut wajahnya untuk tersenyum. Pemuda itu menatap Hazel penuh keluhan. Matanya berkata, 'Aku melakukan ini agar mereka percaya!' Hazel tidak peduli. June melepas genggaman tangan mereka. Jika dia tidak melakukannya dengan cepat, Hazel pasti akan menghancurkan tangannya.
Ridwan menepuk bahu Geri. "Aku dan Sari akan bersama keduanya. Jika bersamaku, keduanya akan tetap aman dan kelompok kalian bisa fokus mengumpulkan lebih banyak persediaan."
Geri menghela napas. Itu rencana yang bagus. Dia mengangguk. "Baiklah. Kita akan membentuk kelompok seperti itu." Ridwan berkedip pada Hazel. Kemudian memakan roti di tangannya. Geri menatap anggota kelompok yang sedang makan untuk mengganti energi yang telah mereka pakai sebelumnya. "Kita akan masuk setelah makan. Berhati-hatilah dengan zombie di sekitar." Ingatnya.
June mengangguk. Geri mendekat pada Helena untuk mendapatkan makanan juga. Hazel dan June duduk di sudut, sedikit jauh dari kelompok Geri. June membuka tasnya, mengambil roti dan memberikannya pada Hazel.
"Makanlah."
Hazel menggeleng. Dia tidak lapar. June menghela napas. Dia membagi roti di tangannya menjadi dua potong, memberikan setengah roti itu langsung ke mulut Hazel. June mengabaikan tatapan menusuk yang ditujukan padanya. Di depan kelompok Geri, Hazel pasti tidak akan mengangkat pedangnya. Jika tidak, mana mungkin Hazel menyembunyikan pedang dan berpura-pura sebagai orang lemah. Untuk saat ini, June masih akan tetap aman meski berperilaku sedikit di luar batas.
Roti ada di mulutnya. Hazel tidak punya pilihan selain memakan roti itu perlahan. Makanan sangat penting saat ini, membuang-buang makanan adalah tindakan paling bodoh yang dilakukan seseorang. Meskipun bukan akhir dunia pun, orang-orang yang membuang makanan adalah kumpulan orang bodoh yang tidak tahu betapa berharganya makanan bagi orang lain. June juga memakan setengah rotinya. Keduanya makan dengan tenang.
Sari mendekat pada Hazel dan June. Dia duduk di samping Hazel, memberikan beberapa potong biskuit yang ada di tangannya. "Makanlah lebih banyak." katanya.
Hazel memandang biskuit yang dimasukan secara paksa ke dalam tangannya. Dia menatap Sari kemudian turun di perutnya yang membuncit. Sari mengusap perutnya. "Dokter mengatakan bahwa tanggal persalinannya seharusnya bulan ini. Tapi, tidak ada yang mengira bahwa akhir dunia akan datang lebih cepat." jelasnya.
Hazel memberikan biskuit yang ada di tangannya ke dalam mulut June. Ini tindakan balas dendam atas perbuatan June sebelumnya. Sari tersenyum melihat interaksi keduanya. "Siapa namamu?" tanya Sari.
Hazel memandang dengan tenang. "Hazel." jawabnya. June memakan biskuit dan akhirnya tahu nama Hazel setelah dua hari bersamanya.
"Itu nama yang sangat cantik." puji Sari. Dia menatap mata Hazel dan berbicara dengan penuh semangat. "Saat anakku lahir nanti, aku ingin memberikan nama yang cantik seperti namamu.”
Hazel menunduk, menatap perutnya sendiri. Mengatakan kata-kata indah untuk masa depan di akhir dunia merupakan hal yang terlarang. Karena tidak ada yang tahu masa depan apa yang akan menyambut. Hazel menyadari kenyataan ini di kehidupan sebelumnya. Dia dan Arkana juga bersemangat untuk masa depan yang lebih baik. Membangun keluarga sendiri, hidup di dunia tanpa zombie dan tetap bersama selamanya. Namun sebelum itu terjadi mereka berakhir bersama para zombie.
Sari berdiri, dia melihat June dan Hazel dengan senyuman. Menepuk bahu June dengan pelan. "Berhati-hatilah. Sangat sulit melarikan diri dari zombie dalam kondisi hamil." Kemudian Sari kembali ke kelompoknya.
June tersedak biskuit yang dia makan. June terbatuk, dia menutup mulutnya agar tidak mengundang zombie mendekati mereka. Hazel memberikan minum pada June. Ekspresinya sama sekali tidak berubah meskipun Hazel mengerti dengan apa yang Sari maksud. Tidak ada yang namanya moral di akhir dunia. Yang kuat memangsa yang lemah. Makanan diperebutkan, apa pun dilakukan. Wanita yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri bergantung pada pria yang kuat. Menuruti semua keinginan sesat sangatlah mungkin terjadi.
"Kita akan masuk!"
Geri dan yang lain memegang senjata masing-masing. June dan Hazel ikut bergabung. Sesuai rencana sebelumnya, Hazel, June, Sari dan Ridwan berada dalam satu kelompok. Bertugas untuk mengumpulkan makanan. Sementara kelompok Geri mencari obat dan senjata yang mungkin bisa didapatkan. Hazel lebih membutuhkan makanan karena sekarang dia tidak sendiri. Ada June bersamanya yang akan membuat persediaan makanan Hazel habis dua kali lebih cepat dari seharusnya. Lagi pula dia sudah menyimpan banyak obat dan juga senjata di ruang tanpa batas.
Pintu pusat perbelanjaan merupakan pintu otomatis. Karena listrik padam, pintu tidak bisa terbuka sepenuhnya. Mereka hanya bisa masuk secara bergantian. Geri dan Ridwan memegang senter, keduanya memimpin di depan. Hazel berdiri di samping June dengan tenang. Mengikuti di belakang kelompok itu.
Sari memeluk lengan Hazel. Di dalam kegelapan, di mana dia tidak tahu kapan akan bertemu zombie. Sari sangat ketakutan sehingga tanpa sadar dia menempel pada Hazel yang berada di sampingnya. June juga takut tapi dia tidak berani menempel pada Hazel. Harga dirinya sebagai seorang lelaki masih tidak mengizinkannya untuk terlihat lemah di depan Hazel. Lalu kepala June bisa saja melayang duluan sebelum kepala zombie.
Geri mengulurkan tangannya, memberi tanda untuk berhenti. Kelompok berhenti bergerak. Geri mengeluarkan linggis, menusuk zombie yang mendekat ke arah mereka. Setelah membunuhnya, Geri berkata dengan sangat pelan. "Kita berpisah." Ridwan mengangguk. Kelompok Geri berpisah dengan kelompok Ridwan.
Hazel dan June mengikuti Ridwan yang memimpin. Menuju ke rak penuh makanan. Hazel mengeluarkan senter dari ruang tanpa batas. Setelah berdiam diri dari awal sampai akhir. Dia akhirnya berkata, "Kami memiliki senter sendiri. Lebih cepat mengumpulkan makanan jika kita berpisah dan berkumpul lagi di sini setelah selesai." serunya. Hazel memegang pergelangan tangan June, menariknya pergi dari Sari dan Ridwan. Hazel bahkan tidak mendengarkan pendapat Ridwan sebagai pemimpin kelompok kecil itu.
June mengikuti Hazel, dia melihat cahaya senter yang dipegang Ridwan bergerak. Berjalan berlawanan dengan mereka. Setelah menjauh dari Ridwan, Hazel melepaskan tangan June. "Ambil beberapa dan masukan ke tas." katanya. Hazel menyentuh setiap makanan yang ada di rak, menyisakan beberapa untuk June taruh di dalam tas.
Area makanan kecil, makanan kaleng serta rak penuh mi kosong dalam sekejap setelah Hazel menyentuhnya. Hazel melihat rak penuh beras dan segera menyimpannya juga. June mengikuti Hazel dengan tenang. Menunggu Hazel membuat rak kosong sebelum akhirnya menyisakan beberapa. Tugas June untuk mengambil sisa makanan itu dan memasukannya ke dalam tas.
Mereka berjalan ke area buah dan sayur, beberapa zombie wanita berkeliaran di sana. Hazel masih memerankan perannya sebagai gadis 'lemah'. Dia menyerahkan tugas membunuh zombie pada June. Menyimpan buah dan sayuran yang masih segar ke ruang tanpa batas. Kemudian menunggu June selesai membunuh sisa zombie wanita lainnya.
Di samping area buah dan sayuran adalah area daging. Tercium bau busuk di sana. Tanpa pergi ke sana pun, Hazel yakin bahwa tidak ada yang bisa diambil. Keduanya berjalan lebih jauh dan semakin banyak zombie yang ditemui. Hazel mengeluarkan pedangnya. Lebih leluasa bergerak saat Hazel tidak perlu berpura-pura.
Hazel dan June menuju area rumah tangga. Dia menyimpan segala jenis sabun ke dalam ruang tanpa batas serta peralatan rumah tangga yang mungkin dibutuhkannya suatu hari nanti. Hazel menemukan pembalut serta pakaian dalam yang juga dijual dan segera menyimpannya. Sama sekali tidak merasa malu meskipun June ada bersamanya.
June melihat di rak parfum, dia mengambil satu dan menunjukkan pada Hazel. "Bisakah aku mengambilnya?" tanyanya. June menunggu dengan gugup. "Tolong, simpan ini bersamamu."
Hazel menghela napas. Menyentuh parfum yang ada di tangan June dan menyimpannya ke ruang tanpa batas. Setelah melihat Hazel menghilangkan barang secara tiba-tiba, Hazel bersyukur June menepati janjinya dan tidak bertanya apa pun.
Melihat Hazel tidak menolak, June mengambil beberapa potong pakaian pria yang ditemukannya. Menaruh di depan Hazel agar gadis itu menyimpannya. Sebelumnya June hanya mengambil beberapa potong pakaian karena terlalu berat jika harus mengambil banyak apalagi ada makanan di dalam tasnya yang semakin menyita ruang. Dengan sihir yang dimiliki Hazel, June tidak perlu mengkhawatirkan hal ini.
June tersenyum lebar. Hazel menyentuh pakaian yang dibawa June dan menyimpannya di dalam ruang tanpa batas. Mereka berkeliling dan menyimpan beberapa barang lagi.
"Menjauh dariku!" Teriakan itu bergema sangat keras.
Hazel dan June saling pandang, mereka berhenti mengambil barang. Terdengar langkah zombie yang perlahan mendekat. Saking banyaknya zombie, langkah mereka terdengar sangat bergema. Itu membuat debaran jantung menjadi lebih cepat.
"Lari!" kata Hazel. Dia mengayunkan pedangnya dan berlari menuju pintu keluar. Hazel menatap June. "Apa pun yang terjadi, jangan berhenti berlari!"
⚔⚔⚔
X. Melarikan Diri
Hazel menebas zombie di depannya. June juga melakukan hal yang sama, dia memukul kepala zombie dengan keras. Zombie di pusat perbelanjaan memang banyak tapi selama mereka tidak membuat keributan tidak akan ada zombie yang mendekat. Rencana Hazel hanya untuk menyimpan persediaan dengan cepat tanpa berurusan dengan para zombie ataupun kelompok ini lagi.
Teriakan itu merusak semua rencana Hazel. Suasana pertarungan menjadi sangat sengit. Zombie bergerombol dalam kelompok. Jika Hazel tidak hati-hati akan ada satu zombie yang berhasil mencapainya. Hazel tidak yakin dia bisa mengatasi semuanya. Dia berlari dengan cepat, menebas zombie yang menuju ke arahnya. Dalam proses pelariannya, Hazel melihat Geri dan juga Helena serta dua orang pria yang tidak Hazel kenal.
"Dari mana suara itu?" tanya Geri.
Tatapan Geri jatuh ke pedang yang Hazel pegang. Dia ingat bahwa tidak ada pedang saat dia memeriksa senjata keduanya. Hazel terus menebas, tidak mempedulikan tatapan keheranan Geri. "Ini pasti suara Sari." Helena menjawab, berlari dengan ketakutan di belakang Geri.
Cahaya dari luar mulai terlihat. Ada banyak zombie berkumpul di jalan keluar, mereka harus membunuh zombie-zombie itu jika tidak mau terkurung di pusat perbelanjaan. June membunuh para zombie, memukul dan terus memukul. Dia kelelahan namun tidak bisa melakukan hal lain selain membunuh zombie. Mereka bertarung dalam waktu, antara senjata atau gigi zombie, siapa pun yang lebih cepat yang akan menang.
Hazel membunuh secara membabi buta. Dia melakukan semua yang dia bisa untuk bertahan hidup. Fisiknya memang lemah. Tangannya yang mengayunkan pedang terasa sangat nyeri saat ini tapi Hazel ingin hidup. Dia ingin hidup meskipun dunia ini berakhir. Dengan tujuan itu Hazel tetap maju meski zombie selalu menghadang jalan keluarnya.
"Tidak!" Salah seorang pria dari kelompok Geri digigit. Zombie segera berkumpul mengelilingi pria itu setelah mendengar jeritan dan mencium bau darah darinya. "Tolong aku! Jangan pergi!"
Hazel dan yang lain menutup mata dan telinga mereka. Meskipun kejam, dunia ini adalah akhir dunia. Inilah kenyataan yang harus mereka hadapi.
Kematian pria itu membuat para zombie berjalan ke arahnya. Mengurangi setengah dari zombie yang menghalangi. Tidak membuang kesempatan yang ada, mereka kembali berlari. Di sisi kiri menuju pintu keluar, Hazel dapat melihat Sari yang telah menjadi santapan para zombie. Tanpa senjata untuk melindungi diri, hal ini pasti akan terjadi. Hazel menarik napas dalam, mengalihkan perhatian menuju pintu keluar.
Geri membunuh zombie dengan linggis di tangannya. Dia melindungi dirinya dan juga Helena. Sementara satu pria yang tersisa di kelompoknya menusuk zombie dengan pisau dapur. Dia sangat ketakutan hingga meleset beberapa kali dari kepala zombie. Satu zombie yang tidak berhasil dibunuhnya, menggigit pergelangan tangannya. Pria itu semakin ketakutan. Di antara semua kepanikan ini, tidak ada Ridwan. Entah dia sudah melarikan diri atau sudah berakhir menjadi zombie. Tidak ada yang mempedulikan kehadirannya.
Sedikit lagi, sedikit lagi mereka akan bisa pergi dari pusat perbelanjaan ini. Ridwan yang tidak terlihat selama pelarian datang dengan memegang pistolnya, berdiri tepat di depan pintu keluar. Menghalangi Hazel dan yang lain untuk pergi.
"Ridwan, pergi dari sana!" Geri berteriak. Di tengah kepanikan, tidak ada yang bisa menjaga emosinya dengan benar.
Ridwan tertawa. "Aku tidak akan pergi dari sini." Moncong pistol itu mengarah ke Geri, berganti ke Helena dan berhenti di Hazel. Semuanya berdiri diam di tempat. Situasi berubah, jika tidak mati karena zombie yang mengejar mereka di belakang maka itu pasti karena pistol yang dipegang Ridwan. "Kamu ke sini! Dan buang pedangmu." katanya pada Hazel.
Zombie di belakang mulai menghampiri mereka. Di tengah rasa putus asa, Helena menjadi tidak waras. Dia mendengar keinginan Ridwan, mendorong Hazel yang tidak kunjung bergerak. Tubuh Hazel terdorong, matanya melirik ke kelompok Geri yang tengah menatapnya. Terlihat dengan jelas apa yang mereka ingin Hazel lakukan. June memegang tangan Hazel, menahannya untuk tidak pergi. Dia menggenggam tangan Hazel dengan keras. Padahal June tahu bahwa Hazel akan marah jika dia melakukan itu.
Kali ini Helena mendorong lebih keras hingga Hazel hampir terjatuh ke lantai. Geri tidak tahu harus melakukan apa. Hatinya berkata untuk tidak perlu mengorbankan Hazel demi keselamatannya tapi otaknya berpikir bahwa ini adalah pilihan yang benar. Jika tidak mengorbankan Hazel maka dia dan Helena yang akan mati di sini. Hazel menyerahkan pedangnya pada June, melepaskan genggaman tangan June yang menahannya. Dia berbalik, mengangkat kedua tangannya dan berjalan menuju Ridwan.
Di tengah kekacauan, Hazel ingat dengan apa yang Arkana katakan padanya. Hazel tersenyum. Melihat Hazel tidak memiliki senjata lagi, tingkat kewaspadaan Ridwan menurun. Dengan jarak satu langkah di antara keduanya, saat tangan Ridwan terulur untuk memegang tangannya. Hazel mengangkat kakinya dan memberikan tendangan keras pada selangkangan Ridwan dengan semua tenaga yang dia miliki.
"Ingat ini Hazel, titik vital pria berada di area selangkangan. Saat kamu berada dalam bahaya, gunakan seluruh tenagamu untuk menendang area vital itu. Paham?"
Ridwan menjatuhkan pistol di tangannya. Memegang selangkangan yang ditendang oleh Hazel dan merasakan sakit yang teramat sangat. Hazel mengambil pistol yang terjatuh, menarik pelatuk dan menembak tepat di jantung Ridwan. Darah segar membasahi dirinya seperti hujan. Tembakan itu mengambil nyawa Ridwan dalam sekejap hingga tidak bergerak lagi.
Pria yang sebelumnya tergigit mulai berkeringat dingin. Saat Hazel berjalan mendekat pada Ridwan, dia terjatuh ke lantai dan tidak ada yang memperhatikan. Begitu Ridwan terbunuh, pria yang tergigit membuka matanya dan telah berubah menjadi zombie. Manusia yang paling dekat dengannya adalah Helena, wanita itu menjadi makanan pertama setelah dia berubah.
Helena berteriak keras. Geri terkejut. Linggisnya bergerak untuk membunuh pria yang telah berubah menjadi zombie namun Helena sudah terlanjur digigit. June mundur, dia kebingungan di tengah-tengah kekacauan. Hazel merespon dengan cepat. Dia berlari menuju June untuk mengambil pedangnya, mengarahkan bilah pedang itu pada leher Helena.
"Jangan!" Geri memegang bilah pedang Hazel sebelum mengenai leher Helena. Tangannya meneteskan darah. "Jangan membunuh istriku."
"Jika kamu tidak membunuhnya, dia yang akan membunuhmu." Hazel tidak memiliki hati yang baik. Dia menyampaikan kebenaran meskipun itu menyakiti perasaan orang lain.
"Aku tahu." Geri memeluk Helena yang berlumuran darah dengan sangat erat. Tulang Helena terlihat di antara bekas gigitan. "Aku tahu." ulangnya.
Air mata Geri jatuh. Semenjak akhir dunia dimulai dia sudah bertahan untuk melindungi keluarganya. Hanya dalam tiga hari, keluarganya berubah menjadi zombie satu per satu. Pertama anaknya, adiknya lalu orang tuanya. Semua mati di tangan para zombie. Saat ini hanya Helena, istrinya yang tersisa. Geri tidak menginginkan hidup tanpa keluarganya. Dia tidak mau.
Hazel menjauhkan pedangnya dari leher Helena. Dia mengerti dengan tatapan yang Geri berikan saat ini. Tatapan itu sama seperti yang Hazel lihat di mata Arkana saat dia mengorbankan dirinya. Zombie tidak menunggu mereka melakukan perpisahan, Hazel melemparkan pistol yang diambilnya dari Ridwan dan menyerahkannya pada Geri. Dia tidak mengatakan apa pun pada Geri untuk membujuknya. Hidup adalah sebuah pilihan dan Geri jelas telah membuat pilihannya.
"Kita pergi!"
Suara Hazel membuat June kembali pada kenyataan. Hazel berlari menuju pintu keluar, melangkahi mayat Ridwan yang berada di antara pintu. Hazel melompat dan segera mengeluarkan mobil dari ruang tanpa batas. Dia melihat zombie yang mengejar di belakang June, kembali berlari ke sana untuk menebas mereka.
Di pintu keluar, zombie berkerumun membuat kaca retak. "Cepat masuk ke dalam mobil!" Hazel menebas beberapa zombie yang berhasil keluar dari pusat perbelanjaan. Jika kaca itu pecah, akan ada lebih banyak zombie dan Hazel tidak bisa menahannya.
"Mengapa bukan kamu yang berkendara?!" keluh June di tengah rasa frustrasinya. Jika Hazel masuk ke dalam mobil kemudian menjalankan kendaraan, itu bisa membuat beberapa zombie mati tertabrak dan mereka bisa segera melarikan diri. Itu pilihan yang sangat baik dalam situasi ini.
Hazel memotong kepala zombie. Balas berteriak, "Aku tidak bisa mengendarai mobil!"
⚔⚔⚔
XI. Rasya
June menabrak beberapa zombie yang berada di sekitar. Bersamaan dengan itu pintu kaca pusat perbelanjaan pecah, menghamburkan zombie seperti air di lantai. Hazel masuk ke dalam mobil. Menusuk zombie yang muncul di jendela samping. June menginjak gas dengan keras, mobil berjalan dan menghempaskan beberapa zombie yang menempel pada badan mobil. Hazel melirik kiri kanan kemudian pada kaca spion. Zombie di belakang masih mengejar namun sekarang mereka aman.
Napas Hazel terengah-engah, dadanya naik turun untuk mengatur napas. Tangan June bergetar. Ini krisis keduanya setelah akhir dunia dimulai. Dia baru saja melarikan diri dari sarang penuh zombie. June tidak ingin melakukan sesuatu yang mempertaruhkan nyawanya seperti ini lagi. Hazel melihat dirinya sendiri di kaca mobil. Penampilannya kacau. Wajahnya tertutupi darah manusia begitu pula pakaian yang dikenakannya.
Ini bukan pertama kalinya Hazel membunuh manusia. Dia sering melakukannya di kehidupan sebelumnya. Demi mendapatkan makanan, Hazel terkadang harus membunuh. Namun ini pembunuhan pertama bagi Hazel di kehidupan barunya. Rasanya sangat berbeda.
"Aku harus membersihkan diri."
Itu artinya June harus mencari rumah yang bisa dipakai. Meski buta, zombie sangat sensitif terhadap suara dan juga aroma darah. Seperti seekor hiu, penciuman mereka terhadap darah sangat tajam. Berkeliaran di luar dengan aroma darah yang masih menempel di tubuh melupakan hal yang tidak boleh dilakukan kalau masih ingin hidup.
June mengendarai mobil, melirik satu per satu rumah yang terlihat nyaman untuk ditinggali. Dia berhenti di sebuah rumah yang juga dijadikan sebagai tempat klinik. Hazel tidak memprotes tempat yang June pilih. Dia turun dari mobil dan bersiap mengayunkan pedangnya.
"Pergilah mandi. Aku yang akan memeriksa keadaan sekitar." kata June sembari memukul kepala zombie. Dia membuka jalan agar mereka bisa masuk ke dalam klinik. Hazel menyerahkan tugas membunuh zombie di sekitar klinik pada June sementara dia masuk ke dalam. Klinik dan rumah saling terhubung, untuk masuk ke dalam rumah Hazel harus melewati klinik terlebih dahulu.
Klinik itu tidak terkunci, Hazel membuka pintu dan masuk dengan mudah. Ada obat-obatan di dalam lemari, Hazel akan menyimpannya di dalam ruang tanpa batas nanti. Sekarang dia harus mandi dan membersihkan pakaiannya jika tidak mau zombie menyerbu tempat ini. Hazel memegang kenop pintu untuk membuka pintu rumah namun pintu itu terkunci. Hazel bersujud, mengintip di balik celah pintu yang ada di bawah. Dia menghela napas. Meluruskan kembali tubuhnya. Hazel berjalan menuju pintu klinik. June yang melihat Hazel keluar, mendekat padanya.
"Ada apa?"
"Pintu rumah terkunci. Kita pergi." seru Hazel. Menutup kembali pintu klinik.
Rasya bersembunyi di balik pintu rumah, dia mendengar kata-kata Hazel dan akhirnya bisa bernapas lega. Karena kelaparan, Rasya mengambil sayuran yang ditanamnya di halaman. Dia melihat mobil June yang perlahan mendekat ke tempatnya. Dalam kepanikan Rasya melarikan diri dan dia lupa untuk mengunci pintu klinik. Syukurlah Hazel dan June segera menyerah dan tidak memaksa masuk pintu rumahnya.
Rasya memutar kunci pintu rumah, dia harus mengunci pintu klinik sebelum orang lain kembali. Tangannya memegang kenop pintu dan mendorongnya untuk terbuka. Begitu ada celah, sebilah pedang mengarah tepat ke lehernya. Rasya melebarkan matanya. Napasnya tertahan. Dia menarik kembali pintu untuk menutup namun tidak bisa. Seseorang di balik pintu menahan gerakannya.
Rasya menjauh dari pintu, menggenggam pisau dapur dan mengarahkannya pada Hazel. Kaki Rasya bergetar karena takut. Pedang itu hampir memotong tenggorokannya! Dia hampir saja mati! Hazel membuka pintu semakin lebar, perlahan dia masuk dan melihat penampilan Rasya. Hazel berlumuran darah saat ini. Siapa pun tahu bahwa itu adalah darah manusia dan bukan zombie. Gadis di depannya ini pasti membunuh manusia. Rasya semakin takut dibuatnya.
"Aku akan berbicara padanya." June juga masuk ke dalam rumah. Dia berdiri di samping Hazel. Menatap pada Rasya yang terlihat ketakutan. June menghela napas, dia seperti melihat dirinya sendiri saat pertama kali bertemu Hazel. "Tenanglah. Kami datang hanya untuk membersihkan diri dan segera pergi dari sini."
"Aku tidak percaya!" Rasya menunjuk pada Hazel. "Gadis ini jelas-jelas membunuh seorang manusia! Kalian pasti datang untuk membunuhku juga."
Hazel menatap tajam ke arah Rasya. June memblokir pandangan Hazel, dia berbicara dengan lembut. "Dia membunuh bukan tanpa alasan. Aku akan menjelaskan kejadiannya jika kamu mau tapi biarkan Hazel membersihkan dirinya. Aroma darah bisa memicu lebih banyak zombie kemari."
Rasya tidak memiliki banyak pemahaman tentang zombie. Dia baru tahu bahwa zombie sensitif terhadap aroma darah. Kedua orang di depannya terlihat sangat berpengalaman dalam melawan zombie terutama Hazel. Mereka pasti tahu banyak tentang zombie yang ada di luar mungkin Rasya bisa mendapatkan informasi dari keduanya.
"Taruh senjata kalian di klinik dan menjauh dari pintu." kata Rasya.
June menaruh tongkat bisbolnya dengan patuh. Hazel terlihat tidak ingin melakukannya. "Kamu harus segera mandi." ujarnya. Mengingatkan bahwa mereka tidak berada di tahap bisa menolak.
Menilai situasi bahwa dia masih memiliki senjata di ruang tanpa batas dan bisa memunculkannya dengan bebas. Hazel menuruti keinginan Rasya dan menaruh pedangnya di samping tongkat bisbol June. "Di mana kamar mandinya?" tanya Hazel.
Rasya mengunci pintu rumah dan menyimpan kuncinya. Dia membawa Hazel menuju kamar mandi. "Seperti listrik, air tidak mengalir lagi. Kita harus menyimpan air un-"
Hazel masuk ke dalam kamar mandi tanpa memberi Rasya waktu untuk menyelesaikan kalimatnya. Rasya melihat pintu kamar mandi yang tertutup. Suara gemericik air perlahan terdengar. Rasya membentuk tinju dan mengarahkannya ke pintu. June menghampiri Rasya dan tertawa melihatnya.
"Dia memang menyebalkan." bisiknya pada Rasya.
Hazel membersihkan dirinya dengan sabun, memakai sampo dan mencuci pakaiannya. Perlahan darah menghilang dan mengalir bersama air. Hazel mengenakan pakaian bersih, menjemur pakaiannya di dekat jendela dan keluar dari kamar mandi. Dia menuju ruang tamu dan melihat Rasya memandangnya dengan pandangan takjub. Tidak ada lagi pandangan takut yang Hazel lihat sebelumnya. June mengacungkan jempol ke arahnya. Hazel tidak tahu apa saja yang June katakan tentangnya hingga membuat Rasya bereaksi seperti itu.
Hazel berbaring di sofa lalu memejamkan matanya. Rasya sepertinya berhasil dibujuk oleh June. Itu artinya mereka tidak perlu keluar dari sini untuk melawan zombie lagi. Hazel sangat lelah, dia tidak memiliki tenaga dan hanya ingin tidur saat ini. June pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Meski dia tidak sekotor Hazel tapi darah zombie yang menempel di tubuhnya membuat June gerah.
Rasya melirik Hazel yang tertidur di sofa. Mendengar June bercerita tentang apa yang terjadi hari ini, Rasya merasa seperti mendengarkan sebuah dongeng. Namun dongeng itu menjadi kenyataan dan sedang tertidur di sofanya saat ini. Pantas saja pandangan Hazel bisa setenang itu, dia sudah melewati banyak masalah di luar.
June keluar dari kamar mandi, setelah bebersih diri dia merasa kembali menjadi manusia. June melihat Hazel yang benar-benar terlelap. Pandangan June jatuh pada pergelangan tangan Hazel yang membiru dan sekarang membengkak. Dia berjalan ke arah Rasya dan bertanya, "Apa kamu memiliki obat untuk mengobati tangan Hazel?"
Rasya mengangguk. Dia membuka pintu untuk menuju klinik namun segera menutupnya kembali dengan cepat. Mengunci pintu dengan rapat. June menyadari ada yang salah, dia mendekat pada Rasya. "Kenapa?" tanya June, heran dengan Rasya yang berkeringat dingin.
"Ada zombie di luar!"
⚔⚔⚔
XII. Demi Hazel
Rasya panik. Dia memegangi kedua kepalanya seakan mencari solusi tanpa hasil. "Zombie ... Zombie ada di klinik. Bagaimana mereka bisa masuk?!" Suara Rasya bergetar karena ketakutan, dia kemudian mengingat sesuatu. Memandang June lalu pada Hazel yang tertidur. "Ka ... Kalian pasti lupa menutup pintu!"
June menempelkan jarinya pada bibir Rasya. "Tenanglah. Zombie sensitif terhadap suara." Rasya segera menutup kedua mulutnya.
"Bagaimana sekarang? Kita terperangkap di sini?" Rasya berbisik.
June melihat Hazel yang tertidur, dia menghela napas. "Seandainya ada senjata tidak akan sulit membunuh zombie." serunya. Mengingatkan Rasya bahwa dia yang telah menyuruh mereka meninggalkan senjata di klinik. Kedua pihak sama-sama salah saat ini. Jadi June tidak memperbesar masalah dan mencoba mencari cara. "Ada berapa zombie di klinik?"
"Lima."
"Kamu memiliki pisau dapur, bukan? Aku akan membunuh tiga sementara kamu dua zombie lainnya." kata June mengajukan solusi.
Rasya menggeleng. "Aku tidak pernah membunuh zombie. Aku tidak berani melakukannya." serunya jujur. Kakinya bahkan masih bergetar saat ini.
June menggaruk kepalanya. Dia tidak yakin bisa membunuh zombie sendirian dalam sekejap. Terlalu beresiko. Lalu Rasya benar-benar terlihat tidak bisa diandalkan untuk membunuh zombie. Hanya ada satu pilihan yang tersisa. June mendekat pada Hazel, ingin membangunkannya. Hazel masih memejamkan matanya, dahinya dipenuhi dengan keringat. Alis June menyatu. Ada yang salah dengan Hazel.
"Rasya, tolong periksa Hazel. Sepertinya dia sakit."
Rasya memeriksa pintu sekali lagi untuk memastikan sudah terkunci dengan rapat. Dia kemudian mendekat. Berjongkok di samping Hazel. Rasya mengamati kondisi Hazel sekilas, dia mengambil termometer untuk mengecek suhu tubuhnya. "Dia demam. Pasti karena tangannya yang semakin membengkak. Aku akan mengompres tangannya."
"Tidak ada obat?"
Rasya menggeleng. "Semua obat yang aku miliki ada di klinik." katanya pasrah. Rasya hanya bisa merawat Hazel dengan apa pun yang mereka punya saat ini.
Setelah dua hari bersama Hazel, June sadar bahwa dia terlalu bergantung padanya. Meski Hazel terkadang menyebalkan dan terlihat akan membunuhnya dalam kegelapan, June tidak akan bisa hidup sampai saat ini jika bukan karena Hazel. Dan sekarang gadis itu sakit. June frustrasi. Dia tidak mungkin meminta Hazel untuk membantunya membasmi lima zombie di luar.
June menghela napas. Hazel selalu tenang dalam kondisi apa pun. Dia juga harus tenang. "Berikan pisau dapurmu." pintanya.
Rasya mengerti dengan apa yang akan June lakukan. "Itu beresiko." serunya.
June tersenyum. "Tidak apa." Dia harus melakukan ini demi Hazel. Untuk membalas perbuatan baik yang telah June terima selama dua hari terakhir. "Tutup pintu dengan rapat saat aku keluar. Selain aku, jangan membuka pintu."
Rasya mengangguk. Sebagai sesama laki-laki, Rasya salut dengan keberanian June. Demi mendapatkan obat untuk Hazel yang sedang sakit, June rela pergi keluar untuk membunuh lima zombie. Ini sesuatu yang sangat jarang terjadi. Keduanya pasti memiliki pertemanan yang sangat dekat hingga bisa mengorbankan diri satu sama lain seperti ini. Rasya tidak mengira akan melihat ini bahkan di akhir dunia.
Rasya menyerahkan pisau dapur pada June. "Berhati-hatilah."
June mengangguk, dia menarik napas dalam untuk menguatkan tekadnya. Tangannya memutar kenop secara perlahan. Begitu pintu terbuka, ada zombie yang menyambutnya. June segera menusuk zombie itu tepat di kepala. Mati satu. Sekarang tinggal membunuh empat zombie lainnya. Rasya segera menutup pintu. Menguncinya dengan rapat saat June mulai berjuang untuk membunuh zombie.
"Apa yang kamu lakukan?" Hazel mendengar keributan lalu terbangun. Bajunya basah karena keringat dan Hazel merasa sedikit pusing. Dia memegangi pelipisnya. Tangannya masih terasa nyeri, Hazel melihat sekilas, tangannya bengkak.
"Itu ...." Rasya ragu, dia melihat Hazel kemudian pada June yang di balik pintu. "June membunuh zombie."
June yang tidak tahu situasi di dalam, berjuang dengan sepenuh tenaga untuk membunuh zombie. Karena tongkat bisbolnya berada di pinggir pintu, setelah membunuh satu zombie yang menghalangi. Dia mengambilnya dan mengganti pisau dapur dengan tongkat bisbol. June melempar pot bunga kecil yang ada di atas rak obat ke arah luar. Zombie sensitif terhadap suara dan selama June tidak berdarah mereka tidak akan menyerangnya.
Dua zombie mengikuti suara pecahan pot bunga dan pergi ke luar. Sementara dua lainnya tidak terpancing. Mereka masih berkeliaran di dalam klinik. June mengendap, membuat langkah kakinya sehening mungkin. Dia mendekat pada zombie yang membelakanginya. Memukulnya dari belakang dengan tongkat bisbol. Suara hempasan itu memancing zombie yang ada di dekatnya. June mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak, dia kembali menghempaskan kepala zombie dengan tongkat bisbolnya. June melihat bahwa tiga zombie yang ada di dalam klinik sudah jatuh, dia pergi ke luar untuk membasmi sisanya.
Setelah berjuang beberapa saat, June melihat hasil pekerjaannya dan merasa bangga pada dirinya. Dia berhasil membunuh lima zombie tanpa terluka. June menyeret mayat zombie yang ada di dalam klinik, menumpuknya menjadi satu dengan mayat zombie lainnya di luar. Dia mengunci pintu klinik agar tidak ada zombie yang masuk lalu mengetuk pintu rumah untuk memberitahu Rasya bahwa keadaan klinik sudah aman.
"Tidak ada zombie lagi." seru June.
Rasya membuka pintu dengan permen di mulutnya. June masuk ke dalam. Dia menatap Hazel yang sedang memakan roti. Tatapan keduanya saling bertemu. Ada obat di atas meja dan tangan Hazel sudah diobati. June masam. Dia memandang Rasya untuk meminta penjelasan karena Hazel tidak mungkin mau melakukannya.
Rasya berdeham. "Setelah kamu keluar untuk membunuh zombie, Hazel sadar dan aku menjelaskan situasi yang terjadi. Kemudian dia mengeluarkan semua obat yang aku sebutkan dari dalam tas." Rasya tersenyum. Melihat tangan June yang kotor serta peluh yang berkumpul, dia pasti sudah bekerja keras. "Kamu seharusnya memeriksa tasmu sebelum berlari untuk membunuh zombie."
Yang bertugas memasukan persediaan di dalam tas adalah June dan dia sangat yakin kalau tidak ada obat di dalam sana. Hazel pasti menggunakan sihirnya untuk menipu Rasya. June menghela napas, dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan serta darah zombie yang tidak sengaja mengenai wajahnya. Dia pergi ke ruang tamu, duduk di samping Hazel.
"Bagaimana perasaanmu? Masih sakit?"
Hazel tidak menjawab. Dia memang merasa jauh lebih baik setelah makan obat. Hazel mulai mengantuk sepertinya efek samping obat sudah mulai bekerja. Dia memasukan gigitan terakhir roti ke dalam mulut dan kembali berbaring di sofa. Melihatnya baik-baik saja, June merasa lega. Tangan Hazel terulur pada kepala June. Mengusapnya beberapa kali. "Kerja bagus." pujinya tulus.
June merasakan telapak tangan Hazel di kepalanya. Dia sempat berpikir Hazel akan memukulnya namun tidak dia kira itu akan menjadi pujian. Telinga June memerah tanpa dia sadari.
⚔⚔⚔
XIII. Menetap
Rasya memeriksa persediaan makanan yang ada di dalam tas June. Matanya berbinar melihat makanan yang akrab setelah tiga hari tidak keluar rumah. June mendekat. Rasya menatap pemuda itu dan tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Bolehkah aku ikut makan dengan kalian?"
"Bukankah kamu sudah mengambil permen dari dalam tasku." Rasya sedikit malu. Dia memang mengambil tanpa izin sebelumnya. Hazel juga tidak menegurnya jadi dia pikir itu bukan masalah besar. "Bagaimana kamu mendapatkan makanan jika tidak pergi keluar?" tanya June penasaran.
Rasya menunjuk sayuran yang dia ambil sebelumnya. "Aku bertahan dengan sayuran yang aku tanam." June melihat sayur segar yang ada di dalam keranjang. Dia tidak terlalu menyukai sayur, namun setelah dua hari hanya memakan mi dan roti. Sayuran terlihat sangat lezat dan berharga di akhir dunia.
"Mari kita makan bersama. Aku memiliki beberapa beberapa bahan makanan di sini."
Rasya segera menyetujuinya. "Berikan padaku. Aku bisa memasak."
"Aku akan membantu."
Kedua pemuda itu pergi ke dapur, meninggalkan Hazel sendirian di ruang tamu. Setelah bersama Hazel yang jarang bicara, June akhirnya menemukan seseorang seperti Rasya dan merasa sangat bahagia. Mereka akrab dengan cepat. June memotong sayuran. Rasya sendiri sedang membuka daging kaleng yang dibawa June. "Kalian akan pergi ke mana setelah ini?" tanya Rasya.
"Kota K. Kakakku berada di sana." June menaruh sayuran yang dipotongnya ke dalam mangkuk. Rasya terdiam. Tidak ada jaminan seseorang akan tetap hidup di akhir dunia. June mengerti dengan apa yang Rasya pikirkan. Dia tersenyum. "Kakakku seorang polisi. Dia pasti baik-baik saja."
Rasya balas tersenyum. "Kalau begitu dia pasti selamat." Rasya menyalakan kompor mulai memasak makan malam. Sementara Rasya memasak sayuran dan daging kaleng. June memasak mi sebagai pengganti nasi.
Makanan siap dengan cepat karena keduanya saling bekerja sama, June dan Rasya menata makanan di atas meja ruang tamu. Untuk akhir dunia, makanan hari ini terlihat sangat lezat. Rasya samar-samar mendengar suara hujan. "Sepertinya hujan."
June juga mendengarnya. "Kamu benar."
Banyak yang telah terjadi hari ini, terjebak di pusat perbelanjaan, membunuh manusia serta melarikan diri dari para zombie. Suara rintik hujan membuat ketenangan dan membuat June melupakan kejadian yang telah dia lewati.
"Bangunkan Hazel. Kita harus makan sebelum hari menjadi gelap." seru Rasya, dia mengambil piring dan juga sendok dari dapur.
June melangkah pada Hazel, menyentuh bahunya pelan. "Hazel, bangun."
Hazel membuka matanya perlahan, dia duduk setengah sadar. "Arkana?" panggilnya. Dia menatap ke arah June berdiri. Belum menyadari kenyataan. June tertegun. Berdiri diam. Hazel mendapatkan kesadarannya kembali setelah beberapa saat. Dia ingat bahwa sedang bersama June dan Rasya, tidak ada Arkana bersamanya karena ini bukan kehidupan sebelumnya.
"... Makanan sudah siap." kata June lalu duduk di depan meja.
"Baiklah."
Hazel turun dari sofa. Duduk di lantai. Dia melihat makanan yang tampak beragam. Setelah dua kehidupannya di akhir dunia, Hazel melihat makanan yang terlihat sangat lezat untuk pertama kalinya. Meskipun memiliki ruang tanpa batas dan telah menyimpan banyak persediaan makanan, Hazel tidak pandai memasak. Karena itu dia hanya memakan mi dan roti.
Hazel mengeluarkan lentera dari ruang tanpa batas. Saat Rasya kembali ke ruang tamu, dia melihat cahaya lentera dan merasa senang. "Kita seperti sedang berkemah." katanya. Ikut duduk di depan meja.
Dengan adanya lentera meskipun langit berubah menjadi gelap dan tidak ada cahaya bulan, ketiganya dapat makan dengan tenang. Tidak terburu-buru. "Kalian berdua sangat kuat, aku yakin kalian bisa hidup lebih lama." kata Rasya memecah keheningan. Dia memasukan sayuran ke dalam mulutnya. Merasa sedikit masam. "Aku sangat penakut. Entah berapa lama aku bisa bertahan dengan berbekal sayuran dan air hujan."
Rasya melirik makanan yang ada di piringnya. Matanya berkaca-kaca. "Mungkin ini terakhir kalinya aku dapat memakan makanan lezat." Rasya memakan mi dan sayur yang dia masak dengan rakus. "Aku harus makan lebih banyak."
June melihat Rasya, menepuk bahu Rasya seakan mengerti apa yang dia pahami. "Seandainya kamu bisa ikut dengan kami." kata June tanpa berpikir.
Rasya menatap June penuh harap. Jika dia ikut mereka, ada kemungkinan dia akan mati namun itu lebih baik daripada berdiam diri saja menunggu kematian menghampiri. Setidaknya dengan bersama Hazel dan June, kemungkinan untuk hidup juga ada. Apalagi keduanya berhasil selamat dari sarang zombie. Keberuntungan mereka sangat bagus. Dan yang terpenting, Rasya tidak perlu khawatir akan mati kelaparan.
"Tidak." June menggeleng. "Bukan aku yang mengambil keputusan di kelompok."
Rasya dan June menatap pada Hazel dalam waktu yang bersamaan. Hazel duduk dalam diam. Memasukan sesendok sayur dalam mulutnya. Mengunyah dan kemudian menelannya. Dalam keseluruhan proses itu, Rasya dan June tidak berhenti menatap Hazel. "Apa yang bisa kamu lakukan?" tanya Hazel pada akhirnya.
June tersenyum, menatap Rasya agar dia segera menjawabnya. Ini kesempatan. Jika Hazel tidak mau dia pasti akan segera menolak tanpa perlu bertanya. "Aku seorang dokter. Aku bisa mengobati jika kalian terluka. Aku juga pandai memasak. Kamu dapat percaya dengan kemampuanku!" kata Rasya dengan sangat percaya diri.
Hazel selesai makan, dia meminum air. Kemudian menatap lurus pada Rasya. "Apa pun yang aku lakukan, jangan bertanya."
Rasya tidak mengerti dengan maksud Hazel. Dia melirik ke arah June yang tersenyum. "Kamu diterima." jelasnya, mengartikan kata-kata Hazel dengan senang hati.
"Terima kasih! Aku akan bekerja keras agar berguna di dalam kelompok." kata Rasya serius. Namun, dia segera menyesali kata-katanya begitu pagi datang. Rasya melihat pisau dapur yang ada di tangannya, kemudian pada Hazel dan June yang berdiri dengan tenang di depan pintu klinik. June mengepalkan kedua tangannya untuk menyemangati.
Jakun Rasya naik turun dengan gelisah. Kakinya bergetar. Dia menatap zombie yang berjalan di depannya dengan takut. Rasya ingin berbalik dan melarikan diri dari sini. Dia mengangkat pisau dengan ragu. Menurunkan kembali tangannya dan mundur beberapa langkah. Hazel masih berdiri untuk mengamati. Tidak mendesak Rasya agar segera membunuh zombie. Dia menunggu dengan tenang. Tidak ada tempat yang aman di dunia ini. Untuk bertahan hidup itu artinya harus membunuh. Rasya harus belajar dan menyadari kenyataan itu.
Rasya mengambil batu di jalan. Melemparkan ke arah yang jauh dari dirinya. Para zombie yang mendengar segera menuju ke batu itu. Rasya melihat beberapa zombie yang terpisah dari kawanan. Mendekat padanya, dia sedikit tersandung dan hampir kehilangan keseimbangan. June ingin maju dengan tongkat bisbolnya untuk membantu namun Hazel menahannya. Rasya sedikit panik tapi dia segera menusuk kepala zombie itu dan melarikan diri dengan cepat.
Hazel berhenti menahan June, dia kembali ke dalam. June menyambut Rasya yang berhasil membunuh zombie pertamanya. Dia merasa bangga pada Rasya, seperti orang tua yang melihat anaknya berhasil mendapatkan juara pertama. "Kamu melakukan dengan baik." puji June.
"Benarkah? Aku sangat takut tadi."
June menepuk bahu Rasya. "Jangan takut. Jika kamu berada dalam bahaya, kami pasti akan melindungimu." June tersenyum. Saat dia ingin maju untuk menolong Rasya, Hazel memang menahannya namun June dapat melihat bahwa Hazel sudah mengeluarkan pedangnya. "Tapi kami tidak bisa selalu melindungimu. Akan ada banyak situasi yang mengancam nyawa ke depannya. Hanya kamu yang bisa melindungi dirimu sendiri."
"Kamu benar." Rasya mengangguk. Dia sama sekali tidak membenci Hazel karena menyuruhnya membunuh zombie sebaliknya dia semakin yakin bahwa keputusan yang dia ambil untuk mengikuti Hazel adalah keputusan yang tepat.
Hazel sama sekali tidak tahu bahwa kepercayaan June dan Rasya meningkat. Dia sibuk menyimpan obat-obat yang ada di dalam rak ke dalam ruang tanpa batas. Begitu June dan Rasya masuk, obat di dalam rak sudah menghilang setengahnya. June menahan tangan Hazel. "Sisakan untuk keadaan darurat. Jika kamu tidak sadarkan diri, akan sulit untuk mendapatkan obat saat kita membutuhkannya."
Hazel mendengarkan. Dia menarik tangannya dan berhenti menyimpan. Perkataan June memang benar. Jika Hazel tidak sadarkan diri, dia memang tidak bisa mengeluarkan persediaan dari ruang tanpa batas. Dengan pemikiran itu, Hazel mengizinkan June untuk mengambil alih. Lagi pula dia sudah mengambil banyak obat di apotek sebelum datang ke sini. "Baiklah." putusnya.
Hazel masuk ke dalam rumah, mengeluarkan pedangnya. Bilah pedangnya tidak lagi setajam sebelumnya. Hazel menghela napas, dia duduk bersila, mengeluarkan batu gosok dari ruang tanpa batas. Perlahan mengasah pedangnya dengan penuh kesabaran.
Rasya melihat rak obatnya yang sudah kosong setengah. Memandang dengan takjub. "Pergi ke mana obat-obat ini? Apa ada pencuri saat aku membunuh zombie?" tanya Rasya. Mengucek matanya berulang kali, namun obat itu benar-benar menghilang dari tempatnya.
"Hazel menyimpannya." kata June menjelaskan.
Rasya memandang setengah rak yang kosong. Jelas Hazel tidak memegang apa pun tadi. Tidak ada plastik ataupun tas yang berisi obat-obatan yang telah diambil oleh Hazel. Obat itu menghilang begitu saja seakan lenyap dari dunia ini. Rasya memikirkan dengan serius. June sedang mengambil sisa obat lainnya dan memasukan ke dalam tas.
"Apa ini yang tidak bisa kita tanyakan pada Hazel?" Rasya membantu June memasukan obat.
"Mungkin. Hazel memiliki banyak rahasia dan aku rasa tidak ada satu pun yang boleh ditanyakan."
Rasya membenarkan. Hazel terlalu pendiam dan terlihat menjaga jarak meski dia masih memperlakukan mereka dengan baik. Rasya berdiri. "Ada yang mau aku tanyakan!"
June menahan Rasya. "Hazel melarang kita untuk bertanya, dia memberitahumu kemarin."
"Bertanya untuk apa yang dia lakukan, aku masih ingat dengan apa yang Hazel katakan." Rasya tersenyum, dia sangat yakin. "Hazel tidak pernah melarang kita bertanya jika ada yang ingin ditanyakan."
Rasya masuk ke dalam rumah. Duduk di samping Hazel yang tengah mengasah pedang. "Hazel." panggilnya. Rasya melihat pedang Hazel yang terlihat lebih tajam daripada kemarin. Nyalinya sedikit ciut. Hazel berhenti mengasah, mengangkat pedangnya dan menatap ke Rasya. "Aku mau memasak nasi. Jika kamu menyimpannya di tempatmu apa itu akan basi?"
June mendengar pertanyaan yang Rasya ajukan. Demi nasi dia mengorbankan dirinya. June tidak bisa lagi menganggap Rasya sebagai seorang pengecut.
"..." Hazel terdiam. Dia tidak pernah memikirkan ini sebelumnya. Writer jelas berkata bahwa tidak ada waktu yang bergerak di ruang tanpa batas. Seharusnya menyimpan makanan seperti nasi, air panas ataupun makanan yang sudah dimasak di ruang tanpa batas sangatlah mungkin. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Hazel menjawab. "Tidak."
Rasya bahagia. "Aku akan memasak banyak nasi untuk kita simpan di tempatmu."
Hazel mengangguk. Mengeluarkan beberapa beras dan memberikannya pada Rasya. Dia juga memberikan lauk lainnya untuk dimasak Rasya. June terpukau. Semudah itu? June menahan dirinya sejak bersama Hazel untuk tidak mengajukan pertanyaan yang akan menyinggungnya tapi Rasya segera berhasil dalam percobaan pertamanya. June menyusul Rasya menuju dapur. Membantunya memasak. Mereka akan sangat sibuk karena harus memasak banyak hal. Hazel melanjutkan mengasah pedangnya.
"Hazel seperti kulkas berjalan." Rasya menyingsingkan lengan bajunya untuk mencuci beras. "Di akhir dunia, aku memiliki harapan untuk makan enak karena ada Hazel." serunya senang.
Mereka tinggal selama dua hari di rumah Rasya. Meskipun tidak demam, tangan Hazel masih sedikit bengkak. Jadi ketiganya memutuskan untuk pergi hanya setelah keadaan Hazel menjadi lebih baik. Dan selama dua hari itu, Rasya bekerja keras untuk berlatih membunuh zombie. June dengan senang hati mengajarinya.
"Aku rasa zombie tidak terlalu menakutkan seperti sebelumnya." Rasya mengusap keringat di dahinya. Mendapatkan pelatihan selama dua hari membuatnya kehilangan rasa takut. Namun, jika zombie datang secara bergerombol Rasya pasti akan melarikan diri.
Hazel mengayunkan pedangnya, membunuh satu zombie dengan tenang. Dia tidak lagi merasakan sakit, bengkak di tangannya juga perlahan berkurang. Hazel baik-baik saja sekarang. Untuk memastikannya lagi, Hazel membunuh beberapa zombie tambahan.
Rasya mengamati Hazel yang membunuh zombie. Dia berbisik pada June, "Apa dia sudah sehebat itu sejak awal?"
June menatap Hazel. Melihatnya membunuh zombie segera setelah sembuh, June juga menggerakkan tongkat bisbolnya dengan penuh semangat. "Iya. Dia memang hebat." June tersenyum.
to be continue...
Baca Lebih lanjut di Perpustakaan SMKK BPK PENABUR Bandar Lampung