Earthian's Power
Earthian's Power
Yudhistira Tanudjaya
XI AK 1
Prolog
Di gelapnya malam di dalam sebuah ruangan yang tengah terbakar hebat. Dengan banyak luka aku terlentang sambil memandang bintang-bintang lewat atap yang telah hancur.
Di tengah sendirian aku berpikir, jika teknologi di ciptakan manusia untuk menyakiti sesama, lalu kenapa tuhan tidak melenyapkannya saja?
Sepertinya tuhan bersependapat denganku.
Pada pertengahan agustus, sebuah ledakan berskala besar muncul di daratan Eropa, puluhan Negara hancur dan ribuan nyawa melayang. Manusia menyebut ledakan itu dengan peristiwa Big Bang, tapi bukan itu bagian terburuknya. Beberapa hari setelah ledakan, di saat seluruh ilmuan dunia berkumpul untuk meneliti pusat BigBang, mereka menemukan sebuah benda seperti pasak raksasa yang menancap di tanah.
Beberapa menit setelah para ilmuan melaporkan temuan tersebut, semua yang berkaitan dengan teknologi di bumi mati.
Kepanikan, kerusuhan, perusakan, penjarahan, bunuh diri massal terjadi hampir di seluruh Negara. Hanya dalam beberapa tahun bumi kehilangan 2/3 penghuninya dan hanya beberapa Negara yang dapat bertahan.
******
Pertemuan
8 tahun setelah peristiwa BigBang....
Angin bertiup kencang dibulan November, yang menandakan awal dari musim hujan.
Dengan berseragam siswa SMA dan seraya menggendong tas, aku berjalan di atas aspal yang dulunya merupakan tempat mesin beroda yang saling melaju.
Di saat aku sedang fokus untuk melompati sebuah genangan, terdengar suara panggilan yang tidak asing ditelingaku, seorang laki laki berlari sambil meneriakan namaku.
Dengan terengah-engah dia akhirnya dapat menyusulku.
"Pagi Eris."
Hansamu menyejajarkan langkahnya denganku, dia adalah teman masa kecil yang seumuran denganku.
Hansamu Yamato, seorang laki-laki berwajah asia dengan rambut hitam berpotongan sedang, dia orang indonesia campuran jepang, seorang blasteran.
Aku melompat melewati genangan tadi.
"Pagi Hans-chan."
Aku menjawab sambil meneruskan langkah.
"Ayolah...." Hansamu menambahkan, "Berhenti memanggilku seperti ayahku memanggilku."
"Tapi itu lucu."
"Itu tidak imut! lagi pula sekarang itu tidak penting, apa kau lupa jika.."
Dia berhenti bicara, tak menyelesaikan perkataannya.
Aku sadar jika ekspresi diwajahnya sedang mengisyaratkan bahwa dirinya mengkhawatirkan sesuatu, aku hanya diam dan tidak mepedulikannya.
"Hmmm," dia bergumam.
aku paham jika dia mencoba untuk menarik perhatianku. namun aku tidak tertarik dengan apa yang akan dia sampaikan.
"Hmmmm!!" dia bergumam dengan keras. dengan ekspresi yang semakin mengesalkan.
Aku menyerah Hansamu.
"Jika kau khawatir soal pertandingan itu maka hentikanlah, kau selalu berpikir yang tidak-tidak."
Hansamu menundukkan kepalanya, dan bergumam kecil seperti, "Bukannya begitu."
Dia mulai mengengam tangannya dengan cukup kuat.
"Kita berdua memegang rekor tidak pernah terkalahkan selama beberapa tahun di sekolah. Tidak terkalahkan."
Hansamu mulai meperlambat langkahnya lalu kemudian berhenti.
"Jika kita tidak dapat mengikuti pertandingan itu, bayangkan hinaan yang akan kita dapatkan. Bagaimana jika-"
Akhirnya Dia sadar jika sudah tertinggal cukup jauh dariku.
Langkah kami kembali sejajar.
Masih terlihat sebuah ekspresi wajah yang mencampurkan antara tidak percaya diri, kebingungan, ketakutan yang menjadai satu di wajah orang yang tepat disamping kananku ini.
"Kembalilah ke sifat aslimu yang selalu bahagia dan tertawa lepas, aku lebih menyukai kau yang seperti itu, kau tidak cocok memiliki wajah seperti itu," aku mengatakannya sambil memperagakan senyum khas Hansamu.
Sebuah senyuman melebar di wajah hansamu. "Hahahaha."
Dia tertawa dengan keras, cukup keras sampai beberapa orang di sekitar melihat ke arah kami.
"Bisa saja kau, kurasa aku memang tidak cocok memiliki wajah dingin sepertimu."
Wajahnya langsung berubah 180 derajat, seolah dia dapat melupakan hal yang dia khawatirkan dengan sekejap mata.
Setelah beberapa langkah dan banyak percakapan tak penting kami pun sampai di depan gerbang sekolah.
Mulai terdengar percakapan antar siswa yang samar- samar ditelinga.
Saat melewati gerbang, aku melirik kearah Hansamu. Dia tersenyum bahagai seraya menatap bagian depan sekolah.
"Tidak terasa sudah satu tahun kita lewati. Di tahun kedua ini ayo lakukan yang terbaik seperti biasanya."
"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang? Ini bukan hari pertama kita sekolah." tanyaku sambil melirik mukanya dan terlihat wajahnya masih tersenyum.
"Aku hanya ingin mengatakannya!"
Dengan tiba tiba, dia memeluk perutku menggunakan kedua tangannya di tengah-tengah halaman depan sekolah dan di balas dengan bisikan-bisikan para siswa di sekitar kami, entah kenapa walaupun tidak mendengarnya secara jelas tapi aku tau apa yang mereka bicarakan.
Menyebalkan.
Aku melihat sekitar, memperhatikan para murid. Aku merasakan sebuah perbedaan.
Terpancar ekspresi kebahagiaan diwajah para murid, tidak seperti biasanya. Aneh, Hari ini senin bukan? Bukankah hari senin adalah musuh bebuyutan kita para siswa? Apa yang sebenar--
Festival tahunan ke dua! aku tau jika itu tidak lama lagi, tapi pidato kepala sekolah hari ini? Jadi penentuan perwakilan JKN sudah akan dimulai hari ini?. Bagaimana bisa aku melupakannya. Pantas saja Hansamu yang selalu ceria seperti tanpa dosa dan beban hidup sangat kebingungan tadi. Pertandingan JKN ya? Bersama Hansamu mungkin kami dapat memenangk-
Aku melihat ke arah Hansamu dan tersadar, dia masih memelukku.
Festival tahunan atau biasa di sebut JKN adalah sebuah festival tahunan yang di selengarakan oleh Indonesia yang diikuti delapan Negara besar di dunia sebagai peserta, atau lebih pantas di sebut delapan Negara yang tersisa di dunia.
Ini merupakan tahun kedua festival, dan kedua kalinya di selengarakan di sekolah kami. Satu-satunya sekolah militer yang berada langsung di bawah kementerian pertahanan.
Setelah meletakan tas di kelas, kami langsung menuju ke aula untuk mendengar pidato mengenai JKN.
Ki hajar Dewantara adalah nama untuk sebuah aula di dalam sekolah, bangunan yang sangat besar bahkan cukup untuk menampung ribuan orang. Sebuah tempat yang memang di khususkan untuk berbagai kegiatan indoor.
Dari pintu kanan, para guru masuk dan naik keatas panggung aula. Di hadapan kami, para guru berdiri dan berbaris dengan gagah.
Dengan cepat dan terlatih seluruh siswa yang pada awalnya saling mengobrol dengan tidak teratur berberbaris dengan rapi dalam hitungan detik.
Kami di sekolah cukup terlatih untuk urusan baris- berbaris.
Hening, tak satupun suara terdengar.
Beberapa saat kemudian sebuah langkah memecahkan suasana hening aula. Pintu kanan aula yang sebelumnya di lewati para guru kembali terbuka, dengan pakaian dan sepatu pantoferl-nya seorang pria memasuki aula. Auranya dan suasananya berubah.
Ekspresi seluruh siswa terkecuali diriku menunjukan rasa kagum yang mendalam, seperti melihat sesosok pahlawan Negara.
Alasan dibalik ekspresi tersebut adalah karena kepala sekolah kami memang seorang pahlawan, atau lebih baik disebut mantan pahlawan.
Erfan padjinaro, seseorang yang di anggap paling berjasa di Negara ini setelah peristiwa BigBang.
Menurut seluruh buku yang pernah kubaca, semuanya berisi tentang kehebatan dirinya. Berhasil menyatukan seluruh pulau indonesia yang sempat terpecah adalah yang selalu di sebutkan dalam semua buku yang ada, namun aku tau jika itu semua hanyalah kebohongan.
Erfan menyalami seluruh guru diatas panggung.
Terlihat ekspresi bangga di keluarkan guru-guru yang bersalaman dengannya, bahkan guru paling killer dapat mengeluarkan senyum manis saat bersalaman dengannya.
Jujur saja itu pemandangan yang tidak menyenangkan bagiku yang mengetahui siapa itu Erfan Padjinaro.
Setelah bersalaman, dia maju beberapa langkah kedepan dan berhenti di belakang sebuah podium.
Erfan melihat kearah siswa yang masih dalam keadaan hening, menunggu-nunggu apa yang akan di bicarakan kepala sekolah mereka.
Setelah beberapa saat, Erfan dengan lantang memberi salam para siswa di hadapannya.
"Selamat pagi!"
Seluruh siswa menjawab dengan lantang dan bersamaan. "Pagi"
"Dikarenakan jadwal bapak yang cukup padat, bapak akan langsung pada inti pidato bapak."
Seluruh siswa mendengarkan dengan penuh fokus.
"Seperti yang kita ketahui, delapan tahun lalu merupakan kejadian yang tidak akan terlupakan bahkan untuk anak cucu kita. Ratusan negara hancur dan hanya menyisakan delapan negara. Tetapi bukannya bersatu dan mencari jalan keluar bersama, negara yang tersisa malah saling bermusuhan. Agama, sejarah, fisik, ideologi dijadikan alasan."
Nada Erfan semakin lantang.
"Negara kita, satu satunya yang berada diposisi netral memiliki beberapa pilihan, menyelesaikankannya atau melanjutkan perang dingin tak berkesudahan ini. Setiap satu tahun sekali dan untuk ke dua kalinya, sebagai negara yang tidak berpihak, kita menyelengarakan Festival Joang Kanggo Nagara atau yang kita kenal dengan Festival JKN sebagai acara perdamaian yang diikuti seluruh negara yang ada. Satu minggu penuh! dimana kata perbedaan diganti persatuan."
Erfan menujuk salah satu siswa yang tenag berbaris di depannya.
"Karena dari itu kalian sebagai kesatria negara, saya wajibkan ikut serta dalam seluruh kegiatan yang akan di selengarakan dan tim yang terpilih yang akan mewakili Negara ini untuk puncak acara tersebut. Jika masih ada yang ingin kalian tanyakan, tanyakan wali kelas kalian. Jelas?!!"
"Jelas pak!!"
Jawab siswa dengan singkat dan keras dihadapan kepala sekolah dan para guru.
Tak lama kemudian Erfan berbalik ke arah para guru di belakangnya, turun dari panggung dan keluar dari pintu tempat dia masuk tadi.
Para guru ikut menuruni panggung aula. Dan hanya meninggalkan seorang guru perempuan.
Guru tersebut maju ke arah podium, seluruh siswa kini terfokus kearahnya.
"Kalian di perbolehkan kembali ke kelas masing- masing."
"Siap, terima kasih Bu."
Seperti guru yang lain, guru perempuan tersebut keluar dari aula.
Sebuah keributan memenuhi aula, barisan yang sebelumnya rapi menjadi tidak keruan.
Aku keluar dari pintu belakang aula, Hansamu mengikutiku dari belakang.
Di sebuah taman kecil yang cukup jauh dari aula, diikuti Hansamu aku duduk di salah satu bangku taman.
Aku menghela nafas panjang. "Apa kau sudah tau kabar itu?"
Tanya hansamu saat aku selesai menghela nafas.
"Kabar jika kalau kita tidak bisa ikut JKN karena peraturanya?" Aku balik bertanya.
"Aku sudah tau itu. Begini, ada kabar jika akan ada anak pindahan di kelas kita, bukannya hampir mustahil kalau anak pindahan dapat masuk kita? ke kelas A loh. Karena itu kita harus merekrutnya. Hanya ini kesempatan kita."
Anak baru di kelas A kah? pasti orang yang menarik.
Hansamu memandangku dengan wajah yang serius, tidak biasanya.
Dia memandangku dengan lama, menunggu sebuah jawaban .
Salah satu peraturan dasar pertandingan PVP festival JKN adalah setiap tim harus berisikan setidaknya tiga orang. Sedangkan sejak SMP, kami adalah pemain duo.
Aku pun menarik nafas pendek.
"Baiklah, tapi akan kulihat dulu orangnya. Dan kau yang harus memohon padanya."
Aku tidak suka dalam urusan rekrut merekrut, itu menyebalkan.
"Tenang!" Seru Hansamu seraya menepuk bahuku. Kelihatanya dia cukup puas dengan jawabanku.
Sebuah bel berberbunyi, tanda sebentar lagi pelajaran pertama akan dimulai.
Aku berdiri dari bangku dan berjalan menuju kelas.
Hansamu mengikutiku dengan ekspresi ceria khasnya, mungkin dia sedang memikirkan cara terbaik merekrut seorang anggota baru.
Kami sampai di depan ruang kelas, aku menjejakkan kaki ke dalamnya.
Sebuah ruangan seperti kelas pada umumnya. Kelas yang berisikan beberapa meja dan kursi, dimana pada setiap mejanya terdapat dua kursi.
Keributan langsung menusuk telinga, tidak biasanya.
Kelas A, kelas terbaik dan terkuat diantara kelas lain. Sebuah kelas yang memiliki reputasi setinggi langit, namun yang kulihat sekarang hanyalah kelas yang penuh keributan.
Aku berjalan kearah tempat dudukku, aku tak sengaja mendengar obrolan ketua kelas.
"Menurutmu, dia laki laki laki atau perempuan? Mungkin saja dia punya keahlian yang unik bukan." itu lah yang terdengar di telingaku.
Menanyakan kepada teman sebangkunya kelamin dan keahlian siswa baru? Seperti diharapkan dari ketua kelas yang super kepo. Aku jadi kasihan dengan wakilnya yang selalu mendengarkan ocehan pertanyannya.
Aku pun menyadari bahwa siswa baru lah yang sedang menjadi topik panas di dalam kelas, mengalahkan topik JKN
Tapi dimana dia? Bukankah anak baru itu seharusnya sudah ada disini?
Aku tiba di barisan meja terakhir.
Tempat dudukku berada paling belakang dan paling kiri dari pintu masuk kelas. Sementara di samping kanan telah duduk Hansamu yang sedang membuka tasnya, di sana memang tempat duduknya.
Aku lansung duduk dan menoleh kearah kiri, melihat keluar jendela.
Dengan tidak memperdulikan kondisi kelas, aku memandang langit dari jendela.
Perlahan lahan keadaan menjadi sunyi, langit yang kulihat mulai menjadi gelap, kepulan asap hitam legam membumbung tinggi di luar kelasku.
Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah kelasku, tidak ada kursi, meja, atau pun teman sekelasku. Hanya ada kursi yang kududuki dan sebuah ruangan yang terbakar hebat, aku berada disebuah rumah yang tengah terbakar.
Posisiku di rumah tersebut sama dengan posisiku saat di kelas.
Abu hitam berterbangan, panas api menyelimutiku, benar-benar nyata.
Pandanganku kembali kuarahkan ke tengah ruangan.
Aku melihat seorang anak laki-laki dengan penuh luka dan bermandikan darah.
Dengan memegang sebuah kalung ditangan kirinya, dia terlentang di tengah-tengah ruangan.
Atap diatasnya hancur, di gelapnya malam di bawah sinar bulan dia menatap bintang seolah sedang mengharapkan sesuatu.
Yang terdengar pada waktu itu hanyalah suara malam dan suara api yang sedang mengerogoti bangunan tersebut.
Aku melihat lebih detail anak itu dan--
Sebuah tepukan tangan yang keras berbunyi di depan wajahku.
Hansamu melihatku dengan kebinggungan. "Kenapa bung, kau terlihat tidak sehat?"
Tanya dia sambil melihat wajahku yang berkucuran keringat.
Aku tersadar, melihat sekitar dan kembali menatap Hansamu.
Hah ... aku melihat ingatan itu lagi.
"Tidak ... tidak ada.... " aku menambahkan. "Aku hanya teringat kembali masa laluku."
Kemudian Hansamu tertawa.
"Hahahaha, ternyata menjadi seseorang yang pendiam,dingin, dan kejam itu susah juga ya?"
Aku kembali menatap langit.
"Apa menurutmu aku harus mencari tau tentang anak itu?"
"Maaf saja ya, anak itu adalah dirimu. Jadi, yang harus menjawabnya adalah anak itu sendiri. Jika kau memiliki masalah, jangan di pendam sendiri kawan."
Hansamu mendekatkan wajahnya ke arahku dan memelankan suaranya.
"Oh ya, kalungmu. Bukannya aku tidak menyukai itu karena mirip kalung perempuan atau semacamnya, tapi bukankah tidak seharusnya kau memakai kalung itu diluar pakaian? nanti di sita guru loh."
Dia kembali duduk ke kursinya.
Sudah bertahun tahun kami selalu berbagi meja di kelas, bahkan sejak Sekolah Menengah Pertama sampai Sekolah Menegah Atas ini.
Menurut buku yang aku baca di perpustakaan, sekolah ini dulunya hanyalah sekolah SMA biasa tetapi semenjak peristiwa BigBang sekolah ini berubah menjadi sekolah ksatria yang nantinya digunakan untuk keperluan negara.
Sejak sekolah ini menjadi sekolah militer yaitu 6 tahun lalu, tempat ini telah menghasilkan banyak ksatria terbaik, yang betugas untuk menjaga kedamaian atau untuk berperang jika dibutuhkan.
Sekolah ini memiliki program kasta, dimana kemapuan siswa di uji dan di nilai. Penilaian dilakukan berdasarkan 4 kriteria kemampuan. Sword atau Berpedang, Archer atau Memanah, Spears atau Bertombak, dan Fixers atau Pemecah Masalah.
Nilai tersebut lalu dicocokan dengan kelas yang akan di tempati yakni kelas A, B, C, D, E. Mau tidak mau siswa harus menerima apapun keputusan dari sekolah.
Kelas A merupakan kelas yang di huni oleh orang orang terbaik, kelas yang mustahil di masuki oleh orang yang tidak memiliki kemampuan. Seorang yang memiliki kemampuan dapat saja pindah ke sekolah ini, namun hampir tidak mungkin dapat masuk ke dalam kelas ini.
Beberapa menit kemudian terdengar langah kaki, teman sekelasku yang berada di luar buru-buru masuk dan duduk di tempat mereka biasa duduk.
Tak lama, seorang wanita yang umurnya berkisaran 30 tahun masuk kedalam kelas. Dia tidak lain adalah wali dari kelas A.
Seorang walikelas yang terkenal akan ketegasan dan dedikasinya di dirgantara dan pendidikan selama bertahun tahun.
Dengan baju ASN, dia berjalan kearah meja tempat biasa dia mengajar.
Hari ini dia tampak berbeda, dia membawa seorang wanita muda ke dalam kelas.
Seorang gadis dengan rambut putih salju. Dengan tersenyum dia memasuki kelas.
****
Rencana Pertama
Sambil melangkah memasuki kelas, dia tersenyum.
Mataku terpaku beberapa saat padanya. Panjang rambut yang sampai pinggang dan terurai, sesuatu yang sangat menarik untuk di pandang.
Rambut yang berwarna sudah sering kulihat. Rambutku sendiri berwarna biru aqua. Namun rambut seputih salju, baru kali ini kulihat.
Kelas terdiam, sepi bagaikan kuburan yang berada di dalam perpustakaan.
Wanita tua dan gadis muda itu pun berdiri didepan kelas, berhadapan dengan siswa kelas A seperti calon presiden dan wakilnya yang siap akan berorasi di depan pendukungnya.
Selamat pagi anak-anak”
“Pagi.”Jawab para murid dengan serentak.
“Hari ini kita kedatangan murid baru. Sesuai dengan peraturan dan kesepakatan yang ada, sekolah setuju masukan dia ke dalam kelas ini.”
“Woo…”
Semua orang di kelas yang tengah duduk terkejut dan terkesan mendengarnya.
Tentu saja semua murid termasuk aku terkesan, ini adalah sejarah, dia adalah murid pindahan pertama yang dapat masuk ke kelas A.
Walikelas kami pun mundur satu langkah dan memberi kode menyuruhnya untuk merperkenalkan diri.
Gadis tersebut menerima kode tersebut lalu maju satu langkah.
Dengan mata biru cerahnya dia melihat seluruh siswa di depannya, tanpa terlihat ekpresi malu, hanya terlukis sebuah senyuman di wajahnya.
“Pagi teman-teman, perkenalkan nama saya Selvia dan mulai saat ini dan kedepannya saya akan berada dikelas ini. Mohon kerja samanya.”
Dia mengatakannya dengan lancar tanpa terbata-bata.
Bu Sarah memandangi wajah seluruh siswa perwaliannya.
Kelihatanya dia menyadari dibalik ekpresi terkesan siswa perwaliannya ada pertanyaan besar di benak mereka.
Seperti aku, meski pun terkesan tapi ini cukup terasa ganjil. Aku masih merasa bingung, kenapa ada siswa pindahan dikelas ini? Kenapa sekolah memasukannya ke kelas A? apa sih dipikirkan kepala sekolah?
Erfan sialan.
Aku menoleh kearah Hansamu, dia pasti memiliki pandangan yang sama denganku.
Sebuah senyum penuh harapan terdapat di wajah Hansamu, matanya berkilau seperti melihat sebuah cahaya dalam kegelapan. Dia benar benar tidak peduli dengan bagaimana cara cahaya itu masuk ke kelas ini.
Anak ini mengesalkan.
Setelah memandangi siswanya, walikelas itu menghela nafas pendek.
“Akan ibu bacakan hasil penilaian Selvia dalam tes.”
Dia membuka selembar kertas yang dia ambil dari sakunya dan membacanya.
“Sword A, Archer A, Spears A, dan Fixers B. olehkar-” “Waa…”
Belum selesai walikelas tersebut bicara, seluruh siswa yang berada didalam kelas kecuali aku bersorak.
Beberapa kalimat seperti “Keren” “Bukankah itu hebat” “Tidak mungkin” dan lain lain ikut muncul serentak bersama sorakan siswa lain.
Bahkan Hansamu ikut bersorak dengan keras dan semangat, paling keras menurutku diantara siswa lain.
Para siswa tau jika nilai tersebut bisa dikatakan sempurna dan bisa dipastikan jika mereka semua itu ingin merekrutnya.
Jika dia sesempurna itu, bukankah sulit untuk merekrutnya? Ah terserahlah, lagi pula itu tugas Hansamu.
Wanita berkepala tiga itu menatap ke arah para siswa. Dia mengangkat tangan kanannya lalu menaik turunkan telapak tangannya, tanda meminta seluruh siswa untuk tenang.
Seluruh ruang kelas menjadi tenang kembali.
“Tentu saja seperti yang kalian ketahui, sesuai peraturan yang ada, Selvia dapat mengikuti JKN jika memiliki tim.”
Bu Sarah memalingkan pandangannya ke Selvia.
“Untuk selvia, ibu harap kamu memilih tim yang tepat karena acara ini diadakan hanya satu tahun sekali.”
Walikelas tersebut menundukkan kepalanya kearah telinga Selvia dan membisikan sesuatu.
Kemudian walikelas menjunjuk kursi kosong. Tampaknya dia tengah memberit tau dimana lokasi duduk Selvia.
Selvia berjalan dari depan ruang kelas menuju kursi yang ditunjuk tadi. Seluruh siswa dikelas memperhatikannya.
Dia duduk di paling belakang dan paling kanan kelas.
Hansamu menoleh kearahku “Bagaimana?”
“Dia itu air ditengah hewan-hewan yang kehausan. Dia bukan hanya harapan kita tapi juga harapan seluruh tim di kelas ini, bahkan tim di sekolah ini,” Jawabku tanpa ikut menoleh
Hansamu mengarahkan pandangannya ke Selvia.
“Semakin besar tantangannya, semakin besar semangatku.”
Aku sedikit menganggukan kepala. “Jangan menangis jika ditolak.”
“Tenang, aku punya pengalaman di tolak lebih banyak darimu”
Kenapa kau mengatakannya dengan bangga? Aku menoleh kearahnya.
“Bung,
terakhir kali kau meminta orang lain bergabung, kau di tolak. Lalu kau menginap di rumahku dan menagis selama berjam jam.”
“Kali ini akan berbeda bung.”
Dia meletakan buku yang dia ambil dari tasnya diatas meja,
aku melakukan hal yang sama.
Teng, teng, teng. Bel kedua berbunyi
***
Teng, teng, teng. Bel ketiga berbunyi
***
Teng, teng, teng.
Bel keempat berbunyi, kami melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Selvia ikut belajar seperti siswa yang lain.
***
Teng, teng, teng.
Bel kelima yang menandakan waktu istirahat pun berbunyi.
Aku sering berpikir jika bel sekolah ini terlalu berisik. Bagaimana tidak, panjang lonceng tersebut adalah tiga meter dan berada tergantung di atas sekolah. Suaranya sangat keras sehingga terkadang mengangu konsentrasiku.
Menyebalkan
Aku melirik kesebelah kanan melihat Hansamu belum beranjak dari tempat duduknya.
Aku memulai pembicaraan.
“Gak jadi?”
“Oh jadi dong.” “kapan?”
“Sabar tuan tidak sabaran, aku tengah membuat rencana. Kau meragukanku?”
Aku terkekeh.
“Tidak, tidak pernah tuan perencana. Apa kau bisa memberitahu rencanamu itu”
“Tentu”
Dia menaruh tangan kirinya ke pundakku. Dan menunjuk selvia yang sedang membereskan buku dimejanya
“Kau lihat air ditegah gurun itu.” “ya.”
“Sebentar lagi hewan-hewan yang kau bilang di jam pertama tadi akan berdatangan”
“Kau juga akan seperti hewan itu?”
“Tentu tidak. Air ini dapat bicara, berjalan, dan manis bung. Menurutmu dia akan menerima semua permintaan mereka yang meminta untuk menjadi anggota mereka?”
“Tidak.”
Aku melihat hansamu masih memandangnya dengan senyumannya
“Hahahaha..…”
Hansamu tertawa kecil
“kita harus mencari cara lain yang lebih efisien dan cepat.”
Aku melepaskan tangannya dari pundakku.
“Berhenti menatapnya. Kau terlihat seperti penguntit.” Hansamu berdiri dan melakukan kuncian di leherku.
”Kenapa?kau cemburu? Cemburu denganku atau dengannya?”
Kunciannya longgar, namun dia memaju mundurkan kunciannya.
“Terserah kau saja.”
Dia masih mengunciku, tanganku memegangi tangannya berharap supaya dia melepaskan cekikannya. Itu tidak nyaman.
Beberapa menit setelah bel istirahat berbunyi, yang Hansamu perkirakan sebelumnya pun terjadi.
Siswa laki laki dan perempuan, baik dari kelas A maupun tidak, berkumpul mengelilingi Selvia. Keributan pun mulai terdengar.
Siswa kelas lain ada disini?
Informasi di sekolah ini sangat cepat menyebar.
Aku melihat Hansamu.
Dia sedang duduk tenang sambil menutup kedua matanya, aku tau kalau dia tidak sedang mencoba untuk tidur. Dia sedang menggunakan kemampuannya.
Sebenarnya jika dibandingkan dengan siswa lain dikelas A, nilai Hansamu tidak terlalu sempurna. Jika bukan karena kemampuannya yang spesial, dia tidak bisa berada dikelas yang sama denganku.
Kemampuan Sword B, Archer A, Spears C.
Siswa dengan nilai C sangat tidak cocok berada dikelas A.
Tetapi, Hansamu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki siswa lain dikelas A maupun siswa kelas lainnya, yaitu kemapuan Fixers.
Nilai kemapuan Fixers: S
S adalah tingkatan yang dimiliki oleh mereka yang telah melampaui kemampuan manusia normal. Tidak banyak orang yang memilikinya.
Seorang Fixer adalah tipikal berpikir, dimana mereka yang memiliki kemampuan ini dapat rencanakan serta menerapkanya dalam kondisi dimanapun, kapanpun, bagaimanapun. Sebuah kemampuan yang langka.
Diam dan tenang tanpa mempedulikan sekitar adalah tanda untuk Hansamu yang sedang memikirkan suatu rencana.
Saat-saat dia berpikir seperti ini adalah waktu yang amat berharga bagiku, karena hanya diwaktu inilah dia dapat tenang.
Setelah beberapa menit, dia membuka mata. Kali ini, apa yang akan kau rencanakan? ”Ok, ikuti aku.”
“Kemana?”
“Ruang guru, aku ingin tau data dirinya.” “Aku ikut?”
“Kau masih ingin melihat air yang manis itu? Baik kawan, aku paham.”
“Baiklah. Bisa kita hentikan mengilustrasikan dia? memang aku yang memulainya tapi tolong hentikan”
Kami berdua berdiri dan langsung meninggalkan kelas Ruang guru tidak berjauhan dengan kelas A.
Saat memasuki ruangan tersebut, mata kami langsung tertuju pada meja walikelas.
Dia sedang duduk dengan tangan kanan membalikan kertas sebuah buku.
Aku melihat sekilas.
Buku tersebut berjudul Strategi Vs Emosi, aku pernah membacanya.
Buku itu menceritakan taktik strategi dalam bertarung di arena. Buku yang sangat terkenal di kalangan pemain arena.
Kami mendatanginya.
Bu Sarah yang menyadari kehadiran kami langsung mengalihkan pandanganya dari buku yang tengah ia baca
“Eris? Hansamu? Ada perlu apa?” “Kami ingin meminta data Selvia.”
Tanpa berbasa basi, Hansamu mengatakanya.
“Hoo... apa yang membuatmu berpikir ibu akan memberikanya?”
Hansamu melakukan sikap istirahat di tempat, aku dan Bu sarah hanya memperhatikan apa yang sebenarnya akan anak ini lakukan.
“Sebagai walikelas yang berdedikasi, ibu pasti mengenal betul setiap siswa yang anda ajar.”
“Jadi?
Aku dan Bu sarah mengucapkanya secara bersamaan.
“Karena itu, anda pasti paham betul dengan kekuatan tim kami dan juga…”
Senyum pahit terlihat di wajah Hansamu “Permasalahan kami.” Hansamu melanjutkan.
“Kekurangan dan tak pernah mendapatkan anggota baru?”
Kejam, apa kau mengatakannya tanpa mikirkan perasaan lawan bicara mu? Kau seorang guru bukan?
Hansamu menganguk pelan.
Bu sarah mengambil selembar kertas yang sudah ada di atas mejanya dan mengibas ngibasnya ke udara.
“Jadi itu yang mendasari jika aku akan memberimu ini?”
Aku dan Hansamu melihat lembaran itu, sudah pasti itu yang Hansamu cari.
“Jujur, sudah banyak yang menginginkan kertas ini bahkan sejak tadi pagi.”
Sebuah keringat mengalir di pipi Hansamu, dia terlihat cukup tegang.
Apa rencanamu gagal Hansamu?
Sebuah senyum tipis terlihat di balik wajahnya yang tegang. Senyum yang sudah biasa kulihat, senyum yang mengatakaan “Berhasil.”
Ap- ah begitu rupanya. Bu Sarah melanjutkan.
“Namun, melihat salah satu bintang sekolah gagal hanya karena tidak memiliki cukup anggota? Bukankah itu mengecewakaan?”
Lembaraan kertas yang sempat dia mainkan diarahkan bu Sarah ke Hansamu.
“Ini, buat sebuah pertandingan yang menyenangkan.” Hansamu menerima kertas tersebut.
“Baik.”
Setelah menyalaminya kami berjalan keluar dari ruang guru dan berjalan ke arah kelas.
Bu Sarah adalah seorang guru yang menyukai pertarungan arena, aku sering melihatnya duduk di arena saat kami bertanding. Jadi selama ini dia memperhatikan kami dan Hansamu menyadarinya.
Seorang yang menyukai pertandingan tidak akan membiarkan tim kesayangannya kalah.
Menyebalkan, seharusnya kau memberitahuku lebih awal.
“Bagaimana?” tanya Hansamu
“Apanya? Harusnya aku membawa alat lukis, wajahmu saat tegang sangat lucu.”
“Jika itu lucu kenapa ekspresimu biasa saja? Selalu dingin seperti itu.”
“Tidak, saat ini aku sedang tertawa.” Hansamu menatapku dengan kesal. Kami sampai di kelas.
Masih banyak orang yang berkumpul di sekitar Selvia.
Selvia terlihat masih tersenyum meskipun pasti sangat lelah menaggapi seluruh pertanyaan dan ajakan bergabung ke bermacam-macam tim.
Hansamu tidak peduli dengan keadaan tersebut.
Saat berjalan ketempat duduk, aku menoleh kearah Selvia, ingin melihat sekali lagi keadaannya.
Tubuhku bergetar sesaat, menggigil mengetahui apa yang sedang aku lihat.
Dia menatapku dari jauh, menatap dengan dingin.
Aku mengalihkan pandanganku dengan cepat, mempercepat langkahku dan duduk di kursiku.
Aku berusaha mengingat kembali tatapan yang dia berikan
Ehh. Kenapa? Kenapa dia melihatku seperti it- Tunggu, bukan aku yang dia perhatikan.
Aku memegang sebuah kalung yang tergantung dileherku.
Apa dia merasa aneh melihatku memakai kalung? Ya… memang seperti kalung perempuan sih.
Di waktu yang sama, Hansamu duduk di sampingku.
“Mau lihat sekarang?” Tanya Hasamu sambil menoleh ke arahku.
“Pelankan suaramu, itu harta negara.”
Hansamu hendak tertawa, namun dia menahannya.
Dia membalik kertas yang berisikan data siswa baru itu. Kami langsung melihat isi kertas itu bersama.
Terdapat beragam data disana seperti data nilai, data kesehatan, grafik kemampuan dan lainnya.
“Ehh…?”
Hansamu menyadari sesuatu…
*****
Rencana Kedua
Hansamu membalik kertas yang berisikan data Selvia. Aku langsung melihat isi kertas tesebut.
Terdapat beragam data di sana seperti data pribadi, data nilai, data kesehatan, grafik kemampuan dan lainnya.
"Ehh..kosong?"
Hansamu menyadari sesuatu.
Dia menunjuk sebuah tabel yang kosong. Kemudian akupun ikut menyadarinya, alamatnya tidak tercantum di sana.
Baru kali ini aku melihat data siswa yang tidak menyantumkan alamat di dalamnya. Alamat memang tidak terlalu penting dalam data seseorang siswa. Namun bagi Hansamu yang ingin mencari tau rumah Selvia, data itu sangat penting.
Hansamu berencana mengunjungi rumah Selvia untuk merekrutnya dengan berbicara secara baik- baik.
Aku mungkin seharusnya bertanya kepada Hansamu... kenapa seorang siswa tidak menuliskan alamat rumahnya sendiri? Tapi untuk saat ini hal seperti itu tidak penting.
"Apa selanjutnya?" tanyaku sambil berbalik kearah Hansamu.
"Stalker." jawab Hansamu singkat. Apa? Stalker?
Aku menelan ludah dengan mengeluarkan suara karena terkejut.
Stalker merupakan rencana Hansamu ketika dia gagal merekrut setiap siswa dengan cara baik-baik. Saat dia menjalankan rencana ini, dia akan membuntuti serta mencari tau rahasia si korban untuk memaksanya menjadi anggota tim kami.
Bisa dikatakan ini adalah rencana terakhir.
Tentu saja rencana ini tidak pernah berhasil. Beberapa korban dari rencana stalker bahkan melaporkannya ke pihak keamanan. Karena itu kami sering berurusan dengan polisi.
"Apa kau yakin?"
Hansamu menganguk sedikit. Itu menandakan dia serius akan melakukannya.
"Mungkin kali ini akan berhasil."
Suara tidak meyakinkan keluar dari mulut Hansamu. Aku mengambil kertas yang di pegang Hansamu.
Semua lengkap kecuali alamatnya.
"Aku tidak bertanya tentang kemungkinan keberhasilan recanamu itu."
Aku mengalihkan pandangan dari Hansamu, kembali melihat data Selvia yang sedang kupegang.
"Apa kau yakin kita tidak akan di tahan kali ini? Bukankah kita sudah di peringati pak polisi itu di kantor polisi minggu lalu? Dua minggu lalu? Tiga minggu lalu? Apa aku harus menyebutkan beberapa kali kunjungan kita ke kantor polisi setiapkali kau menjalankan rencana itu?"
"Ayolah, salah mereka yang melaporkan kita. Lagi pula kita harus mendapatkan satu anggota lagi, hanya butuh satu anggota."
Apanya yang salah mereka? Kau yang memulainya bukan?
Hansamu tersenyum kesal, lalu melanjutkan omelannya.
"Grup terkuat di sekolah terbaik gagal bertarung di acara bergengsi hanya karena tidak punya cukup anggota?"
Telapak tangan kanan Hansamu memukul meja dengan tidak terlalu keras
"Yang benar saja. Bu Sarah mungkin akan tertawa jika itu benar-benar terjadi. Kenapa sih mereka menolak setiap kita merekrut seseorang?"
Satu, apakah karena hubungan persahabatan kita yang terlalu dekat hingga diragukan siswa lain?
Dua, apakah karena semua tim terkuat di sekolah ini kita kalahkan hingga siswa lain tidak percaya diri untuk bergabung?
Ketiga apakah karena kau Hansamu, seorang yang sudah terkenal suka mencari tau privasi siswa lain dan menggunakannya untuk memaksa mereka bergabung?
Apa kau terlalu bodoh untuk tidak menyadarinya? "Ini benar-benar membingungkan."
Hansamu mengerutkan dahi dengan tangan kirinya. "Hee..."
Mataku menatapnya dengan cukup sinis.
Tiba-tiba dia berdiri dari kursinya dan menatap kedepan. Aku agak terkejut dengan itu.
"Kali ini akan berbeda Eris, kali ini akan berhasil..." Sebuah kalimat yang meyakinkan terdengar.
Dia masih berdiri dan melanjutkan. "...mungkin"
***
Jam telah menunjukan pukul lima, tak lama kemudian bel sekolah pun berbunyi nyaring di dalam kelas.
Bel itu bukan hanya menandakan waktu pulang, namun juga menandakan di mulainya rencana stalker.
Seluruh siswa dengan rapi keluar dari kelas.
Dengan pelan dan hati-hati, dua orang laki-laki tampak mengikuti seorang gadis di koridor sekolah. Benar-benar terlihat mencurigakan, sebenarnya ini sangat ingin aku laporkan ke pihak berwajib, tapi masalahnya akulah salah satu dari kedua orang mencurigakan itu.
Dengan aku di belakang, Hansamu mengikuti Selvia.
Tak lama kami sampai di kantin sekolah, tempat di mana siswa biasa makan dan minum.
Kenapa dia ke kantin?
Suasana kantin sepi, semua pegawai dan siswa lain telah meninggalkan sekolah.
Selvia berhenti di dalam kantin, dia menoleh kanan dan kiri seperti mencari sesuatu.
Tak lama kemudian dia mendekati satu dari banyak meja kantin, terdapat sebuah kantong plastik hitam diatas meja itu.
Sebuah kantong kresek sampah hitam berukuran sedang.
Kantong itu terisi penuh sesuatu yang tak terlihat, mungkin tidak terlihat karena warna plastik itu sendiri.
Kantong apa itu? Apa itu sampah? Tidak mungkin, ya kan? Perempuan mana yang mencari sampah di kantin?
Aku melihat ke arah Hansamu, dia sama bingungnya denganku.
Tanpa ragu Selvia mengambil kantong hitam itu.
Dia tidak lagi melihat apa isi dari kantong dan melanjutkan langkahnya ke suatu tempat lewat koridor sekolah.
Kami kembali mengikutinya dan sampai di gerbang belakang sekolah.
Gerbang belakang adalah tempat yang sepi karena sangat jarang di lewati para murid baik untuk pulang ataupun berangkat sekolah, termasuk aku dan Hansamu yang selalu memilih gerbang depan.
Meski begitu, satpam sekolah senantiasa membuka dan menutup gerbang ini sesuai jam masuk dan pulang.
Pemandangan gerbang belakang berbeda jauh di bandingkan bersih dan rapinya gerbang depan sekolah.
Kotor dan berantakan adalah kata yang tepat untuk gerbang belakang sekolah.
Jika ditanya mengapa gerbang ini di bangun, maka jawabannya adalah untuk jalan keluar siswa saat dalam keadaan darurat atau saat gerbang depan tidak bisa di lalui karena suatu hal.
Selvia melewati pintu gerbang, keluar dari lingkungan sekolah.
Hansamu dan aku yang terus mengikutinya dibawa ke sebuah jalan yang tidak pernah kami lalui.
Kemana dia membawa kami?
Kaki-kaki kami terus melangkah selama beberapa belas menit. Masuk ke beberapa belokan dan beberapa lorong, melewati lapangan kecil hingga sebuah tanah kosong dan sampai di...
Taman kota? Jadi kita bisa sampai ke taman lewat jalan tikus gerbang belakang sekolah?
Taman kota adalah taman yang berada di lingkungan perkotaan dalam skala yang besar, banyak orang datang kesini untuk menikmati hijaunya taman ini. Tempat ini sangat terkenal.
Yang unik dari taman ini adalah sungai dan jembatannya.
Sungai besar yang mengalir tenang dan bersih membagi taman menjadi dua, taman selatan dan taman utara. Serta jembatan panjang khusus pejalan kaki yang menyatukan kedua taman.
Kami yang terus mengikuti Selvia dari belakang dengan menjaga jarak masuk ke area taman selatan.
"Bukankah sebentar lagi gelap, mengapa dia menuju taman?" tanya Hansamu tanpa melihatku. Matanya sangat fokus mengikuti langkah Selvia.
"Mungkin saja rumahnya di dekat sini. Hey Hansamu, bukannya orang tuamu akan marah jika kau pulang terlalu malam?"
Ibu Hansamu cukup tegas dalam beberapa hal, termasuk jam pulang sekolah. Jika kami tidak segera pulang, dapat dipastikan dia akan di hukum saat pulang nanti.
"Ahh~ benar juga, ibuku mungkin akan membunuhku."
Hansamu menggigil sesaat, sepertinya dia sedang membayangkan hukuman yang akan dia terima.
"Tapi.... "
Hansamu menoleh kearahku.
"Aku terlambat pulang karena menemani Eris mengikuti pujaan hatinya pulang. Bukankah itu dapat menjadi alasan yang bagus"
"Ap--"
Hansamu mengangkat jari tangan kanan kedekat mulutnya, memberi kode untuk tidak terlalu berisik.
Tapi itu sudah terlambat.
Selvia berhenti melangkah, tampaknya dia menyadari keberadaan kami. Taman ini memang sudah cukup sepi karena akan senja, sudah sewajarnya pembicaraan kami terdengar.
Dirinya untuk menunjukan tampangnya.
"Haah kita ketauan, ayo... "
Hansamu sadar kami telah ketahuan.
Dia mulai mencoba mendekati Selvia dengan tangan kanan memegang tangan kiriku.
"Kenapa aku harus ikut?" tanyaku sambil mencoba melepaskan tanganku.
"Jangan banyak tanya, ini kesempatan kita. Ayo!" seru Hansamu sambil mempercepat langkah.
Dengan tangannya yang mencengkram kuat, aku terpaksa mengikutinya.
Sekarang kami tepat di belakang Selvia dan mulai memperlambat langkah.
Selvia berbalik. Dia agak terkejut, mungkin karena orang yang mengikutinya berseragam sama dengannya.
Akhirnya kami saling berhadapan setelah aku dan Hansamu membuntutui dan hanya melihat dia berjalan dari belakang.
Keadaan menjadi sepi selama beberapa saat. Canggung, suasananya tidak bagus.
"Hai."
Hansamu mencoba memulai percakapan. Ekspresi curiga dan kesal tampak di wajah Selvia. Perlahan Hansamu mencoba untuk medekatinya.
Selvia mundur satu langkah sambil mengeluarkan gerakan bertahan. Dia mencoba melindungi kantong hitam di tangan kanannya.
"Jika kalian menginginkan uang atau barang berharga, aku tidak memilikinya."
Aku harus menenangkan anak ini jika ingin selamat.
Aku maju satu langkah. Sekarang aku sejajar dengan Hansamu.
"Kau salah paham. Kami tidak menginginkan itu, kami hanya-"
Selvia mundur lebih jauh dari sebelumnya. Dari ekpresinya dia terlihat ketakutan dan bersiap akan berteriak sekencang mungkin untuk meminta pertolongan.
Gadis mana yang tidak takut saat perjalanan pulangnya di ikuti dua orang mencurigakan.
Ahh... aku tidak ingin berurusan dengan polisi lagi. "Kumohon, tenanglah. Kami hanya ingin berbicara"
"Apa ini tentang perekrutan tim? Jika iya, aku tidak tertarik."
"Bagaimana dengan JKN?"
"Maksudmu festival delapan negara itu?" Aku menganguk tanpa suara.
"Ya... aku sedikit tertarik."
"Hanya sedikit?" Hansamu menanggapi Selvia.
"Baiklah. Tapi aku sudah cukup lelah untuk ngobrol sambil berdiri. Ayo bicara ditempat lain saja."
Selvia berbalik dan mulai berjalan.
Hansamu dan aku kembali mengikutinya dari belakang. Sama seperti saat kami membuntutinya, namun sekarang kami sudah ketahuan.
Beberapa saat setelah mengikuti Selvia, kami sampai di sisi taman selatan yang paling dekat dengan sungai.
Dari sini, sisi taman utara dapat terlihat jelas.
Banyak bangku taman berjejeran menghadap sungai di sana. Dengan beraturan, bangku tersebut memiliki pola memanjang mengikuti aliran sungai yang mengalir tenang di depannya.
Dengan dipimpin Selvia, kami bertiga sampai di salah satu bangku taman tersebut.
Hansamu duduk di sisi kanan tempat duduk, berjauhan dengan Selvia yang duduk di sisi kiri di bangku yang sama. Sementara aku berdiri di sebelah Hansamu.
Baru beberapa detik duduk, Selvia tiba tiba menatap kami berdua dengan serius.
"Hmm.... hey, sepertinya aku kenal kalian."
"Benarkah? Ya, mungkin kau pernah melihat lukisan kami saat mengangkat piala kesatria saat SMP." Hansamu mengatakannya dengan nada sombong
"Bukan."
"Atau mungkin kau melihat lukisan kami di perlombaan yang lain?"
Selvia tersenyum sambil mengelengkan kepalanya.
"Kalian pasangan sesama jenis itu kan? Aku melihat kalian di gerbang tadi pagi."
Aku dan Hansamu sontak terkejut.
Dia melihatnya! Bukankah tadi pagi Hansamu memelukku?
"Ahh.. "
"Ahh...itu.. "
Kami berkata berbarengan, kebingungan dan saling menatap satu sama lain.
"Nampaknya kau salah paham, kami hanya...berteman." Hansamu berkata lebih dahulu.
"Oh, jadi kalian belum pacaran? tenang saja mungkin beberapa tahun lagi pernikahan sesama jenis legal di negara ini"
"Kami adalah laki-laki normal!" Hansamu berkata dengan nada cukup kesal.
Selvia terkekeh.
"ok, ok, maaf. Aku suka berlebihan dalam bercanda. Bisa kita memulainya dari awal?"
Hansamu mengulurkan tangannya.
"Baiklah. Perkenalkan aku Hansamu Yamato dan orang yang terus mengikutiku ini, Eristan."
Selvia ikut mengulurkan tangannya dan bersalaman dengan Hansamu
"Selvia. Senang perjalanan pulangku di ganggu oleh kalian." .
Bukankah mereka berdua memiliki sifat mengesalkan yang mirip?
"Kalau aku boleh bertanya, kenapa kau menolak semua siswa yang ingin merekrutmu tadi?" Hansamu menatap wajah Selvia
Selvia mengindari tatapan Hansamu dan menatap sungai di depan kami.
"Bagaimana ya...aku tidak menolaknya." "Lalu?"
"Aku hanya tidak tau apa itu festival? apa itu JKN? Tetapi saat aku bertanya kepada mereka, mereka tertawa dan mengatakan kalau aku hanya bercanda."
Wajar mereka berkata sepert itu, orang mana yang tidak tau JKN?
Aku mulai berbicara dengan nada datar.
"Jadi kau tidak menolak? Tetapi hanya tidak tau apa itu JKN? Apa kau kesini dengan mesin waktu? Semua orang tau itu."
Selvia mengaruk garuk kepalanya.
"Ya begitulah. Hey kenapa kau tidak duduk dan terus berdiri, ambeien?"
Anak ini mengesalkan.
Menggunakan tangan kananku, aku memukul punggung Hansamu, memberi kode untuk menjelaskan apa yang tidak diketahuinya.
Nampaknya Hansamu menerima kodeku.
"Baiklah, akan kujelaskan. Tujuh tahun yang lalu ada seorang pemersatu bangsa yang dianggap sebagai pahlawan negara ini, Erfan Padjinaro. Sang pahlawan yang sekarang adalah kepala sekolah kita membuat sebuah festival yang pesertanya berasal dari 8 negara tersisa."
Selvia dengan serius memperhatikan. "Untuk apa kepala sekolah melakukan itu?"
"Karena 8 negara tersisa tidak ingin bersatu dan saling bersitegang satu sama lain. Untuk meredakan keteganggan, kepala sekolah melakukannya."
"Setiap satu tahun sekali festival diadakan. Festival yang sekarang adalah festival yang kedua." Aku menambahkan.
"Lalu kenapa banyak siswa yang ingin merekrutku?" "Eris jelaskan, aku haus."
Menyebalkan, apa menurutmu aku tidak haus.
Hansamu membuka tas punggungnya, dia mengambil sebuah botol air lalu meminumnya.
Sial, kau minum itu di depanku?
"Festival tersebut berisikan banyak perlombaan. Tim berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Sudah sewajarnya banyak tim yang tertarik denganmu. Apa lagi dengan nilaimu itu."
"Ah~ seperti Asian Games dan Olimpiade."
"Benar. Tapi festival ini di khususkan untuk pelajar setingkat SMA."
"Lalu bagaimana dengan JKN?"
Jadi begitu, anak ini tidak tau apa apa. Apa aku harus menjelaskan semuanya?
"Di antara banyaknya acara festival, JKN lah yang menjadi puncak acara. Juang Kanggo Nagara adalah acara besar yang menyajikan pertandingan antar dua negara di dalam sebuah arena"
Hansamu menimang-nimang botol minum di tangannya
"Eris jelaskan tentang peraturannya, kau cukup baik dalam hal ini"
Anak ini....
Aku menatap Hansamu dengan kesal. Dia hanya tersenyum tanpa dosa.
"Peraturan JKN berbeda dengan peraturan pertarungan arena biasa. Satu tim harus berisi maksimal lima dan minimal 3 pemain. Informasi mengenai lawan, lokasi arena dan kondisi arena tidak akan diberi tau bahkan hingga pertandingan mulai. Jadi setiap tim harus mempunya pemain yang terbaik."
Haah~ Aku capek menjelakan semua itu. "Oh, aku paham."
Selvia mengangukan kepalanya berberapa kali, tanda jika dia mengerti sesuatu.
"Jadi kalian kekurangan anggota dan ingin merekrutku bukan?"
Hansamu tersenyum, Selvia sudah tau niat dia sebenarnya.
"Ya, begitulah."
Selvia terlihat sedang berpikir.
"Kalian tau...sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan semua itu."
"Tapi kau bilang--"
Selvia tiba-tiba berdiri, memotong perkataanku yang belum selesai.
Dia berjalan kedepan, meninggalkan kantong hitam yang selama ini dia bawa di bangku.
Aku dan Hansamu hanya terdiam dan melihat dia berjalan dengan perlahan dan melangkah dengan lembut.
Setelah beberapa langkah dia berhenti. Dia terlihat seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri.
"Baiklah..."
Selvia membalikkan badannya dengan cukup cepat, rambut putih dan rok sekolahnya ikut berputar seperti penari balet yang memutar tubuhnya dengan anggun. Dia yang sebelumnya membelakangi aku dan Hansamu sekarang menjadi berhadapan.
Tangan kanan dan kirinya membelakangi tubuhnya, jari kanan dan kirinya terlihat seperti saling mengengam.
Dia terdiam sesaat seperti menunggu suatu momen. Mataharinya!
Matahari tenggelam tepat dibelakang Selvia, tubuhnya menghalangi sinar matahari yang akan tenggelam itu.
Sinar yang seharusnya menyilaukan mataku kini tertutup oleh badan rampingnya, membuat pemandangan yang sangat indah.
Entah kenapa aku seperti pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.
"Aku terima permintaan kalian. Tapi..." "Tapi apa?"
"Tapi?"
Aku dan Hansamu berkata secara bersamaan.
Matahari sudah tenggelam, terang sore taman telah digantikan oleh gelapannya malam.
Selvia tersenyum. Matanya yang berkaca-kaca menatap kearahku.
“Eristan….”
Aku membalas tatapannya. Sekarang kami saling bertatapan satu sama lain.
"harus bertanggung jawab atas tragedi 8 tahun yang lalu."
Ingatan Sarah Bagian I
(flashback)
Satu tahun sebelum kepindahan Selvia...
Ruang guru, 24 desember, 19:00.
Aku membuka tirai yang menutupi jendela. Sebuah jendela yang tertutup kaca di sisi ruangan, jendela itu terarah ke lapangan gerbang depan sekolah.
Hujan yang awalnya hanya bisa kudengar kini dapat kulihat dengan kedua mataku.
Hujan yang tidak terlalu deras, hanya hujan ringan yang menjatuhkan air dalam jumlah kecil. Meski begitu, hujan ini membuat suhu di dalam ruangan menjadi turun.
Beberapa tahun lalu jika dalam keadaan seperti ini, biasanya orang-orang akan menyalakan pemanas ruangan. Namun BigBang berkata lain, pemanas ruangan, air conditioner dan teknologi lain sudah tidak bisa digunakan lagi. Benar-benar peristiwa yang mengerikan.
Walaupun begitu kenyataanya, suhu yang dingin ini tidak terlalu aku rasakan. Aku tidak masalah dengan dingin, malahan aku suka.
Suasana dingin seperti ini sudah biasa aku rasakan saat masih seorang tentara. Semasa pelatihan dulu, aku pernah di perintahkan untuk berendam di kolam yang penuh dengan es balok selama berjam-jam saat tengah malam, 17 dari 20 peserta perempuan di pelatihan pingsan.
Aku termasuk peserta yang sukses melewati neraka beku itu.
Masa-masa yang cukup mengerikan dan menyakitkan karena aku masih baru disana. Meskipun begitu menyakitkan tapi sekarang aku dapat merasakan manfaatnya.
Setelah menutup tirai, aku duduk di meja di dalam ruang guru dan bersandar di punggung kursi, tempat yang berada tepat di samping jendela ruang guru.
Enam tahun sudah di tempat ini aku melaksanakan tugasku, di meja yang murid kenal sebagai meja seorang guru yang tegas dan berdedikasi. Seorang guru yang dikenal seluruh penjuru sekolah dengan nama Sarah Emilia.
Malam hari ini aku melakukan hal yang biasa seorang guru lakukan, menilai tugas harian para murid. Aku melakukannya sendirian.
Kertas tugas yang sedang kunilai ini adalah kertas tugas siswa kelas A tahun pertama.
Bagiku, kelas ini tergolong menjekelkan jika di beri tugas seperti ini. Meskipun kelas A adalah kelas terbaik, namun hal itu juga yang menjadi masalah. Karena kejeniusan merekalah jawabannya menjadi sangat panjang.
Seperti soal nomor 3 ini, aku bertanya pada abad keberapa agama hindu-budha di indonesia?
Dan yang di jawab seluruh siswa kelas A adalah menceritakan sejarah lahirnya agama hindu-budha, bagaimana agama itu berkembang, hingga akhirnya cara masuk agama tersebut ke Indonesia. Padahal mereka sudah di anggap benar jika menjawab soal nomor 3 dengan jawaban 14 Masehi.
Hasil dari kejeniusan mereka ini adalah Tumpukan ketas yang membumbung tinggi di mejaku. Tapi sebagai guru yang berdedikasi, aku harus membaca seluruh jawaban mereka dengan baik sebelum memberi nilai.
Karena itulah aku masih berada di sekolah meski malam telah tiba.
Sejujurnya ini tidak terlalu buruk. Walaupun sendirian toh sama jika aku pulang. Tidak ada yang menungguku di rumah.
Keluargaku berada jauh dari sini. Akupun hidup di sebuah rumah dinas yang disediakan pemerintah untuk guru di sekolah ini. Sebuah rumah yang cukup besar bagiku yang hanya menempatinya sendirian.
"Haaaah~"
Sebuah helaan nafas yang berat dan tidak biasa aku keluarkan, seakan tugas ini tiada habisnya, aku melanjutkan pekerjaanku.
Meskipun sedang fokus berkerja, namun otakku yang lelah mulai membayangkan masa laluku.
Kalo tidak salah ini tanggal 24. malam natal huh, malam dimana aku menerima tawaran kepala sekolah meskipun aku sempat menolaknya dengan keras. Jika dipikir-pikir kenapa aku menerima tawaran Pahlawan ya?
Aku menggelangkan kepalaku
Apa yang sedang kupikirkan? Itu sudah lama sekali, aku sudah tidak mengingatnya.
Aku kembali kepekerjaanku, membalikan kertas untuk menilai tugas murid yang lain.
Hansamu Yamato, nama yang tertera di kertas tugas itu.
Bayangan wajah anak itu berkelebat di benakku. Seorang Blasteran yang sangat ceria. Kalo tidak salah...
Aku mencari dalam ingatanku.
Ya, aku ingat. Hansamu dan teman dekatnya, Eris. Merekalah yang membuatku menerima tawaran pahlawan
Seluruh ingatan yang aku lupakan tadi masuk kedalam pikiranku. Otakku berhasil menggingat ingatan itu dan juga berhasil menghentikan pekerjaanku.
"Anak itu huh..." Hmph, aku tersenyum.
Aku mengalihkan pandangan ke jendela yang tirainya telah terbuka. Gerimisnya belum berhenti.
"Itu sudah lama sekali."
Secara perlahan aku menyingkirkan senyum di wajahku.
Aku terfokus melihat kearah lapangan gerbang depan lewat jendela.
Gerimis yang turun membasahi kaca luar jendela. Petrikor yang dikeluarkan oleh rumput sekolah mulai memasuki ruangan, baunya yang menyengat menusuk hidungku. Bau yang semerbak bagi penciumanku.
(Note: Petrikor adalah aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah kering, bau tersebut berasal dari minyak yang dikeluarkan oleh tumbuhan dan menghasilkan bau yang unik)
"Dulu juga seperti ini bukan? Enam tahun lalu..."
*****
Ingatan Sarah Bagian II
Enam tahun lalu....
Ruang kepala sekolah, 24 desember, 10:00 WIB.
Aku berjalan dengan gugup, seluruh siswa SMA yang kulewati menatapku. Mereka melihatku dengan bingung. Seseorang yang asing di mata mereka sedang berjalan di koridor seperti aku, pasti menarik perhatian para siswa.
Setelah berbulan-bulan menjadi pasukan perdamaian BigBang, aku akhirnya kembali ke Indonesia. Tapi, kenapa jadi seperti ini? Kenapa seorang tentara lapangan sepertiku malah berjalan di koridor Sekolah Menengah Atas?
Masa kerjaku di pasukan perdamaian BigBang belum habis, tapi seorang pahlawan malah memintaku bertemu dan berbicara empat mata dengannya di sekolah ini.
Karena permintaan pahlawan, atasanku bahkan langsung memberiku tiket kapal keberangkatan pertama untuk kembali ke Indonesia.
Kalo tidak salah, pahlawan juga seumuran denganku bukan? Enaknya ... menjadi pahlawan di usia muda.
Menyatukan sebuah Negara yang berada di ambang kehancuran pasca BigBang. Terlebih lagi Negara yang dia satukan adalah negara yang terdiri dari lima pulau besar dan ribuan pulau kecil yang di pisahkan oleh birunya lautan. Benar-benar pencapaian yang luar biasa. Seorang individu yang pantas benar-benar pantas di sebut sebagai pahlawan.
Aku cukup mengaguminya atas prestasi yang dia lakukan.
Padahal sebelum dia menjadi pahlawan, kami pernah bertugas bersama di Republik Ceko pasca BigBang, tepatnya di area Z8, pusat ledakan BigBang. Aku tidak terlalu memikirkan apa yang dia lakukan di sana, tapi aku di perintahkan atasan untuk menemaninya sebagai ketua regu pengawalan.
Tapi yang menjadi pertanyaan adalah....
Apa yang seorang pahlawan butuhkan dariku?
Di saat pertanyaan itu muncul di kepalaku, telihat sepasang kekasih tengah bermesraan. Seorang siswa laki- laki tampak mendorong seorang siswa perempuan kearah dinding. Di tepi koridor dekat ruang penyimpanan yang sepi, kedua siswa itu berdiri dan saling memandang satu sama lain. Siswa laki-laki itu dengan percaya diri memberi setangkai mawar putih yang dia pegang dan di terima dengan senyum malu si perempuan.
Jangan jangan ... pahlawan ingin menikahiku. Langkahku terhenti.
Aku memukulkan tangan kananku ke tiang koridor terdekat dengan sekuat tenaga.
Pukulan ke tiang itu mengeluarkan bunyi yang keras. Beberapa serpihan beton jatuh ke lantai saat aku menarik tanganku kembali. Sebuah rongga retak terbentuk di tempat yang sama saat aku memukul.
"Ah sialan. Ini membuatku bingung!"
Aku mengangkat suaraku dengan cukup keras. Beruntung di sini cukup sepi untuk mendengarkan suar-
Kedua pasangan yang tadi sedang bermesraan kini menatapku dengan kebingungan dan ketakutan. Tak lama kemudian mereka lari terbirit-birit ke arah berlawanan dan menjauhiku, mereka saling meninggalkan satu sama lain dan hilang entah kemana.
Aku cukup kebingungan melihat prilaku mereka. Apa aku yang membuat mereka ketakutan?
Aku memilih tidak mepedulikan mereka dan melanjutkan langkah ke suatu.
Kemudian aku sampai di depan sebuah ruangan.
Aku mendekati pintu ruangan itu dengan perlahan. Sebuah pintu yang di dalamnya menjadi tujuanku di sekolah ini, ruang kepala sekolah.
Pahlawan memilih ruangan ini sebagai sebagai tempat pertemuan kami.
Setelah di depan pintu, aku mengetuknya dengan lembut dan membukanya.
"Permisi."
Pintu itu terbuka, aku bisa melihat wajah seorang laki- laki di dalamnya. Tentu saja itu adalah kepala sekolah sendiri, Erfan Padjinaro.
Aku melangkah masuk dengan perlahan.
Aura seorang pahlawan tiba tiba menusuk seluruh tubuhku.
Dengan hati-hati aku duduk di satu satunya kursi kosong di ruangan.
Meski sudah banyak peperangan yang kulewati tapi rasa takut itu tidak ada apa apanya di banding takut akan manusia di depanku.
Sang pahlawan, duduk di hadapanku. "Tolong santai saja."
Aku yang tertuduk menoleh kearah Pahlawan ketika mendengar suara dari sesosok orang penting itu.
Suaranya yang tidak tinggi dan tidak rendah membuatku makin grogi.
Aku tidak ada apa apa dibanding dengannya. Aku mungkin akan di hukum mati jika salah bicara.
Tanganku gemetar tidak karuan. Aku tidak bisa santai sesuai permintaannya.
Ibu, ayah, tolong anakmu ini....
Pahlawan membuka sebuah dokumen dengan hati hati, dia membacanya.
"Sarah Emilia?"
"Benar." jawabku dengan cepat dan gugup.
Kini kakiku ikut gemetar seperti kedua tanganku, membuatku menjadi lebih gugup.
Diamlah para anggota tubuh! "Ceritakan tentang dirimu."
Aku mengangguk sedikit setelah mendengar permintaan Pahlawan.
"Baik. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih karena telah di undang langsung oleh seorang Pahlawan. Nama saya Sarah Emilia. Saya seorang Perwira TNI dengan lima tahun pengalaman di medan perang. Sebagai seorang perwira, fokus, berani, dan berhasil adalah moto saya setiap menjalankan misi."
Aku Secara tidak sengaja melihat wajah lawan bicaraku. Dia mengangguk tanpa kata kata sambil melihat dokumen itu.
Pahlawan sangat serius mendengarku.
"Meski wanita tapi saya cukup menikmati pekerjaan ini, saya menyimpan mimpi untuk mengabdi kepada negara selama hidup yang saya miliki."
Rasa puas menggulung di dadaku, itu semua adalah yang ingin aku katakan.
Erfan kembali mengangguk dan mengalihkan tatapannya kearahku.
"Kau punya mimpi yang menarik. Mengabdi pada negara? Sebagai tentara yang berpengalaman, kau telah mewujudkannya bukan?"
Ehh ... mimpiku?
Aku agak terkejut mendengar pahlawan menyinggung mimpiku.
Itu adalah angan-angan sewaktu kecil, mimpi itu juga yang menjadi alasanku menjadi seorang tentara. Aku kira tak masalah untuk mengatakannya.
"Benar pak. Tapi saya masih belum merasa mimpi itu telah terwujud. Saya belum sepenuhnya berguna bagi negara."
Erfan tesenyum tipis.
Itu adalah senyum pertama yang kulihat dari seorang pahlawan, walaupun terlalu tipis untuk disebut senyuman.
Lalu, dia menolehkan garis pandangannya untuk melihat ke arahku.
"Jadi... "
Ada tatapan tajam di dalam mata itu, dan dari mata itu hanya dapat diartikan satu hal. Tatapan seseorang yang penuh akan ambisi.
"Apa kau ingin mewujudkan itu sepenuhnya?"
****
Ingatan Sarah Bagian III
Erfan tesenyum tipis.
Itu adalah senyum pertama yang kulihat dari seorang pahlawan, walaupun terlalu tipis untuk disebut senyuman.
Lalu, dia menolehkan garis pandangannya untuk melihat ke arahku.
"Jadi... "
Ada tatapan tajam di dalam mata itu, dan dari mata itu hanya dapat diartikan satu hal. Tatapan seseorang yang penuh akan ambisi.
"Apa kau ingin mewujudkan itu sepenuhnya?"
Hah? Tentu saja aku mau. Mimpiku belum berubah hingga saat ini, berguna bagi negara adalah segalanya bagiku. Tapi apa maksud dari mewujudkan sepenuhnya mimpiku itu?
"Apa maksud bapak?"
"Negara ini membutuhkan orang-orang sepertimu, aku ingin kau dapat menurunkan semangat dan cita-citamu kepada penerus bangsa. Ini adalah alasanku sampai memanggilmu meski kau sedang bertugas di luar negeri."
Menurunkan semangat kepada penerus bangsa? Artinya- "Maksud bapak aku harus. "
"Benar."
Erfan secara tiba-tiba menundukan kepalanya. Wajahnya tertunduk rendah menghadap meja, dia memohon di hadapanku.
"Aku, Erfan Padjinaro, sang Pahlawan memohon dengan sangat agar perwira tingkat menengah, Kolonel Sarah Emilia menerima permintaan egoisku untuk menjadi salah satu guru di sekolah ini."
Eh?
Kebingungan menyelimuti otakku. Seorang pahlawan memohon kepada ku? "Mohon izin untuk menolak."
Tanpa pikir panjang aku langsung menolaknya.
Ada alasan kenapa aku menolaknya bahkan tanpa pikir panjang. Itu karena seorang guru adalah orang yang bersifat empati, ramah dan penuh kasih sayang. Aku sangat tidak sesuai dengan profesi itu. Jika di antara menyukai dan membenci profesi ini maka aku membenci pekerjaan seorang guru.
Di masa lalu, aku menganggap guru tidak bisa mewujudkan mimpi ku, bahkan sampai saat ini aku masih berpikiran sama.
Yang aku tahu, seorang tentara yang berperang lebih berguna untuk negara di banding guru yang hanya diam mengajar di kelas. Oleh karena itu, aku akan mati-matian menolak permintaan itu, meskipun permintaan itu dari seorang pahlawan sekalipun.
Lagi pula kenapa seorang Pahlawan yang menjabat sebagai kepala sekolah malah meminta seorang tentara menjadi guru?
Setelah menolah permintaannya dengan cepat, Pahlawan merubah posisinya ke semula. Mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk tadi.
Dia tidak bisa sepenuhnya menutupi keterkejutannya, mungkin dia cukup terkejut dengan penolakanku. Dia terlihat tidak percaya dengan apa yang telinganya dengar.
"Aku mohon pikirkan it-..."
"Mohon izin untuk menolak pak."
Aku kembali menjawabnya dengan segera untuk menegaskan penolakanku.
"Kenapa?"
Pahlawan pasti sangat kebinggungan. Tapi tidak mungkin aku mengatakan alasan penolakanku yang seperti alasan anak-anak itu.
Kemudian, ketika mengingat seorang pahlawan yang memanggiku secara langsung lalu memohon dengan sangat dan kutolak tanpa pikir panjang, perih itu semakin kuat.
Aku tertunduk, tak berani melihat wajahnya yang terlihat kecewa.
"Jika menembak target, meledakan tempat, membunuh manusia, aku dapat melakukannya. Tetapi menjadi guru adalah hal yang tidak mungkin aku lakukan. Dan juga menjadi guru ... tidak akan bisa mewujudkan mimpiku."
Lingkungan peperangan lebih cocok untuku di banding lingkungan sekolah. Aku tidak bisa memaksakan kehendak Pahlawan.
"Kalau begitu, bagaimana jika percobaan kerja? Kau mungkin akan berubah pikiran."
Pahlawan lebih terdengar membujuk sekarang.
Aku memberanikan diri untuk kembali melihat pahlawan. "Tentang hal itu. "
Jika menilai dari sudut pandang militer, jelas sekali bahwa pahlawan berada pada level yang bahkan tidak bisa aku hadapi. Terus menerus menolaknya mungkin akan berdampak buruk bagiku.
Sederhananya, aku akan terus di bujuk hingga tidak dapat menolak dan menerima permintaannya. Aku berada di posisi yang tidak di untungkan jika terus berada di sini.
Aku tidak punya pilihan, jika seperti itu....
"Maaf pak, aku memiliki urusan lain."
Di tengah-tengah kebingungan ini, aku berdiri dengan tiba-tiba. Pahlawan agak terkejut melihat tindakanku.
Dengan cepat aku berjalan kearah pintu, pintu yang sama di saat aku masuk tadi.
Aku mencoba melarikan diri.
Pahlawan tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikanku, dia hanya terdiam melihatku mencoba keluar ruangan. Alasannya mungkin karena dia sudah kehabisan kata kata.
Saat aku sampai di depan pintu aku kembali melihat Erfan. Sebuah rasa perih kembali muncul dari dalam tubuhku saat aku memandangnya.
Pahlawan tertunduk dan terlihat menghela nafas dalam- dalam. Sebuah senyum pahit terlihat di wajahnya, meski tanpa ekspresi penyesalan.
Maafkan aku pahlawan. Tapi aku tidak punya pilihan.
Aku menekan rasa perih yang terpancar dari perutku saat keluar ruangan.
Ini adalah pertama kalinya aku bertemu dan pertama kalinya juga aku menentang seorang pahlawan dengan meninggalkannya begitu saja, sebuah hal yang hina bagi seorang tentara sepertiku.
Aku yang sudah keluar dari ruangan kepala sekolah, berjalan cepat untuk keluar dari lingkungan sekolah.
Kemana sekarang aku harus pergi? Aku terus berjalan, meski tanpa tujuan.
**Bersambung**