Neraka di Timur Jawa
Neraka di Timur Jawa
Kita harus melakukan sesuatu terhadap orang-orang Londo tersebut.” “Aku mengerti keresahanmu, tetapi aku bukanlah seorang pria yang penuh dengan kekerasan. Aku bahkan tidak pernah mengangkat sebuah senapan.” Sahut Abi untuk meyakinkan Idrus. “Aku mengerti, kau masih bisa membantu tanpa harus mengangkat senjata. Aku yakin orang berpendidikan sepertimu akan bermanfaat bagi kami.” Sambil melangkah ke luar teras “Senja sudah bergulir, aku harus menghadiri rapat yang penting dengan pemuda lainnya. “Sampaikan salamku kepada Dewi dan juga Ibu Rahmi, terimakasih atas kopinya”. Malam telah tiba, Ibu Rahmi dan Dewi telah menyajikan makan malam di ruang makan. Pada malam itu mereka menyajikan gudeg khas Yogya, masakan yang membawa Abimanyu berlabuh ke relung masa kecilnya. Sebelum menetap di Surabaya, dulu mereka tinggal di sebuah rumah yang sederhana di Yogjakarta. 5 Setidaknya sebelum Abi melanjutkan pendidikan ke HBS, bapaknya dipindah tugaskan untuk mengurus administrasi di Surabaya. Sehingga Abi terpaksa melanjutkan pendidikan di HBS Surabaya. Selama bertugas di Yogyakarta, Bapak Harjo, mendapat julukan “si tangan kilat” dari rekan-rekannya. Menurut rekan rekannya, ia sangat terampil dalam mengurus administrasi, jauh lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekannya yang lain. Mungkin itu juga menjadi salah satu alasan mengapa akhirnya ia dipindah tugaskan ke Surabaya. “Bapak yakin, kamu sudah mendengar beritanya kan?” Tanya bapak kearah Abi memecah keheningan. “Berita tentang apa? Belanda kembali lagi ke Surabaya?” “Iya tentang itu, sebenarnya bapak sedikit bersyukur ketika mendengar berita tersebut.” “Lho, piye ki bapak. Belanda balik lagi kok malah bersyukur?” Tanya Dewi dengan sedikit keresahan. “Yha bersyukur, setidaknya pekerjaan bapak dikantor jadi lebih dipermudah. Hidup kita nggak akan susah lagi seperti belakangan-belakangan ini. Lagipula, memangnya kalian tau apa? Kalian juga kan masih kecil. 6 Sebelum Jepang datang kesini, upah bapak masih tinggi. Yha kamu pikir, kalian bisa sekolah sampai jenjang tinggi itu duit darimana? ” “Tapi kan kita gabisa tutup sebelah mata pak. Belum genap dua bulan negara kita sudah merdeka. Seharusnya kan didukung, bukan justru mendukung Belanda kembali”. Tegas Abi dengan sedikit geram. “Waktu peralihan Jepang dari Belanda, kamu kira upah bapak tetep sama? Karena alasan biaya administrasi dan restorasi, upah pekerja dulu dipotong. Apalagi sekarang, dari Jepang ingin dikelola sendiri. Kamu pikir gak akan makan biaya juga? Bisa-bisa besok bapakmu kerja cuma digaji satu cangkir beras tiap minggu.” “Saat ini dunia sedang berubah pak, bangsa bangsa kecil di dunia sudah melek akan penindasan imperialisme. Semestinya kita bersuka cita ketika bangsa kita menyatakan merdeka dari pendudukan kolonialisme”. Sahut Dewi. “Kamu tahu darimana? Dari pacarmu yang mengaku militan dan revolusionis itu? Kamu itu cuma termakan doktrin kepentingan politik saja.” Tegas bapak. 7 “Loh, kenapa jadi membawa-bawa Idrus pak? Terlepas dari siapa yang mengatakannya, tapi memang begitu kenyataannya.” Jawab Abi dengan ringan, berusaha menahan amarahnya. Bapaknya memang tidak menyukai Idrus, ia beranggapan bahwasannya Idrus merupakan seorang komunis yang hanya mencoba menjalankan kepentingan internasionalisme nya, sehingga ia begitu semangat dalam menentang imperialisme oleh Belanda ataupun Jepang.
Meskipun ia tidak memiliki bukti dan hanya berdasarkan asumsi saja. Sambil menggebrak meja, “Sudahlah, kalau kamu merasa lebih benar dari bapak, lebih pintar dari bapakmu, coba dibuktikan. Bapak menyekolahkan kamu tinggi-tinggi bukan sekedar jadi penulis puisi atau cerpen untuk surat kabar setiap hari Minggu! “ sahutnya dengan nada tinggi. “Bagaimana kalau kamu sudah menikah, sudah punya anak? Upahmu dari sastramu itu tidak akan mampu untuk memberi makan mereka.
Kamu mestinya bersyukur, masih tinggal dibawah atap, mampu makan nasi sehari dua kali, itu karena kerja keras bapakmu.” Tambahnya, sedangkan Abi hanya diam menunduk. 8 “Sudah-sudah, tidak usah dipermaslahkan lagi. Habiskan saja gudegnya” Sahut Ibunya. “Kamu merasa sebagai orang yang berpendidikan, tapi tak sedikitpun ilmu yang kau miliki pernah bermanfaat bagi orang lain.
Jangankan untuk orang lain, untuk dirimu juga belum tentu bermanfaat!” Tegas bapaknya sambil meninggalkan ruang makan. *Setelah keadaan carut-marut tersebut, Abi duduk di perkarangan rumahnya. Dengan merenungi perkataan yang telah dikatakan oleh bapaknya sebelumnya, ia menatap kosong ke langit dan merenungi, “Aku tidak pernah menjadi orang yang berkontribusi terhadap negaraku, aku bahkan tidak pernah menjadi orang yang bermanfaat untuk keluargaku.
Seluruh pengetahuanku hanya berasal dari buku-buku yang sudah usang. Ilmuku bagaikan suatu emas yang tertimbun ratusan meter dibawah tanah, tidak ada artinya dan tidak bermanfaat.” Lekas ia kembali ke kamarnya, menggambil beberapa barang-barangnya, lalu pergi meninggalkan rumah. Ia hanya meninggalkan secarik kertas yang berisi permintaan maaf kepada keluarganya. Abi ingin membuktikan kepada keluarganya bahwa kelak ia 9 mampu menjadi orang yang bermanfaat setidaknya bagi dirinya sendiri. Tanpa memiliki tujuan yang jelas, Abi akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju Genteng. Menuju ke tempat sahabatnya yang paling dikenalnya, Idrus. 10 SUATU PAGI DI GENTENG “Apa yang sedang kau lakukan disini? Ini sudah tengah malam, lagipula bagaimana kau bisa tiba kemari?” Tanya Idrus, dengan mencoba membuka kedua matanya yang sebelumnya telah terlelap. “Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah, aku merasa hanya menjadi beban keluargaku. Bolehkah aku menetap disini untuk sementara, setidaknya hingga aku tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya.” Jawab Abi dengan sedikit kelelahan. “Baiklah, masukan barang- barangmu, sini biar kubantu.” Tanpa banyak berbicara, Idrus menuntun Abi menuju kamar tidurnya dan segera meletakan barang barang yang dibawanya. Idrus memberikan segulung tikar, dan menunjukan di mana Abi dapat merebahkan tubuhnya. Pada suatu pagi, di luar rumah terdengar suara kericuhan dari pemuda-pemuda lainnya. Sayup-sayup Abi mendengar kalimat “Londo Ngamuk” yang terdengar dari luar ruang peristirahatannya tersebut. 11 Sontak semuanya keluar dari ruangan dan menanyakan apa yang terjadi. “Londo Ngamuk! Hotel oranye pasang bendera merah putih biru.” Singkat jawab seorang pemuda yang berada di sekitar rumah tersebut. Lekas Idrus kembali ke dalam rumah dan membawa bedil yang disimpannya di dalam lemari dan bergegas menuju hotel oranye. Abi kebingungan, ia hanya membawa buku catatan kecil dan sebuah pena dan bergegas mengikuti Idrus.
Setibanya di hotel oranye, sontak keduanya terkejut melihat banyak masyarakat surabaya yang sudah mengelilingi gedung tersebut dengan membawa senjata api maupun senjata tajam. Di sekitar loby hotel sudah diawasi oleh para tentara NICA dan tentara Jepang, dengan laras panjangnya bersiap menmbak siapapun yang mencoba memberontak masuk. Tentara Jepang berada di tempat untuk bertugas mengamankan keadaan status quo dari Surabaya itu sendiri. Langkah Abi berhenti melihat keadaan yang cukup memanas tersebut. Sehingga ia memutuskan untuk menyaksikannya dari kejauhan dan mencatat peristiwa yang terjadi. Tidak lama dalam keadaan yang tidak kondusif tersebut, akhirnya datang salah seorang 12 Residen Surabaya didampingi dengan dua orang pemuda pada saat itu untuk melakukan perundingan dengan Mr. Ploegman, orang yang bertanggung jawab atas kericuhan yang terjadi di pagi hari tersebut. Dengan mempercayai residen tersebut, masa yang berada di luar gedung mencoba untuk tetap kondusif dan menghindari pergesekan dengan tentara-tentara Belanda tersebut. Setelah beberapa menit semenjak kedatangan wakil residen tersebut, terdengar suara tembakan dan teriakan dari dalam gedung hotel. Masa yang berada di luar menyadari bahwa perundingan tidak berjalan dengan baik. Sontak masyarakat yang berada di luar gedung mencoba menerobos loby hotel tersebut. Residen Sudirman digiring keluar oleh salah satu pendampingnya yang bernama Hariyono. Pertikaian antara keduanya tidak dapat dihindari, suara senapan dari tentara NICA dan tentara Jepang yang berada di loby hotel justru semakin membakar semangat masyarakat Surabaya. Diantara orang-orang yang mencoba menerobos masuk ke hotel tersebut, Abi melihat Idrus dengan bedilnya. Bayonet yang terpasang pada senjatanya, telah menumpahkan darah dari tentara tentara NICA yang mencoba menghadangnya. 13 Dengan keadaan loby hotel yang penuh darah, masyarakat yang tersisa memasang tangga untuk mencapai tiang bendera tersebut. Abi mulai memberanikan diri memasuki kerumunan tersebut untuk mencari sahabatnya yang entah berada dimana. Pandangannya semakin kabur, melihat jenazah yang tergeletak di sekitar gedung tersebut. Sayup-sayup ia terus mendengar kata “Merdeka” berkumandang dari arek-arek Suroboyo. Diatas gedung, bendera merah putih biru telah diturunkan, dan disobek warna birunya. Abi melihat keatas, dan melihat sahabatnya berada pada salah satu titik di gedung tersebut. “Lihat itu, kau tahu apa artinya?” Tanya Idrus kepada Abi yang telah berada di ruang pertemuan. “Ini artinya pertumpahan darah akan terjadi dalam waktu dekat. Dia adalah Mr. Ploegman, orang-orang Londo itu tidak akan diam saja. Hal berikutnya yang kau tahu, kau bisa saja berada dalam kamp penyiksaan mereka.” “Idrus, mari kita kembali ke markas. Banyak yang mesti kita bicarakan!” Ujar Tigor, salah satu kawan Idrus dari persatuan pemuda militannya. “Ikutlah denganku, kita memerlukan semua tenaga yang kita miliki.” Ajak Idrus kepada Abi. 14 * Ruang pertemuan sudah hampir terisi penuh. Beberapa diantaranya yang hadir masih membawa senjata-senjata yang sebelumnya digunakan di hotel oranye. Tidak sedikit dari yang hadir bersimbah peluh ataupun darah di pakaiannya.
Tak lama sesudahnya, Idrus mulai memasuki ruangan. Dan pembahasanpun mulai dilaksanakan, Tigor memulai pembahasan pembahasan dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu. Sebelum akhirnya membahas pokok permasalahan pada hari itu. “Kalian sudah melihat apa yang terjadi hari ini. Yang berikutnya mereka akan lebih membabi buta!” Bentak Tigor dalam pertemuan dengan para militan lainya. Tigor memang memiliki watak yang keras, bahkan lebih keras dibandingkan Idrus. Ia merupakan kelahiran Sumatra Utara, ia datang ke Surabaya sebelum masa pendudukan Jepang dengan alasan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Namun yang ia temukan justru tidak jauh berbeda. Penindasan atara pribumi dan golongan kulit putih masih nampak. Meskipun berasal dari Sumatera Utara, hal itu tidak membuatnya sulit 15 beradaptasi dengan arek-arek Surabaya. Justru ia mengagumi bagaimana arek-arek Surabaya sangat terbuka terhadap perbedaan suku itu sendiri. “Kita harus mempersiapkan masa, mempersenjatai mereka yang ingin berjuang bersama. Kita juga harus menyebarkan propaganda agar rakyat Surabaya ingin berjuang bersama kita juga!” Tambah Idrus. “Tujuan Inggris ke sini adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memulangkan mereka kembali. Terakhir regu pengintai melihat, Residen Sudirman telah melakukan kerjasama untuk proses penyerahan senjata tentara Jepang ke tangan Inggris dan Belanda. Jadi pihak Residen kita akan menjadi perantaranya, kita bisa memanfaatkan senjata tersebut untuk melawan Inggris. Untuk apa kita berikan itu semua ke tangan orang-orang Londo itu?” Ujar Farid, selaku pimpinan dari regu pengintai. “Meskipun kita telah memiliki persenjataan yang lengkap, tidak akan ada artinya jika kita hanya berjuang sendiri. Orang- orang Inggris hanya akan menganggap gerakan kita sebagai gerakan kecil suatu kelompok saja, bukan penolakan umum arek-arek Surabaya.” Jawab Idrus, membuat seluruh ruangan seketika hening. 16 “Aku bisa membantumu dalam membuat propaganda untuk arek-arek Surabaya.” Sahut Abi dari belakang, “Aku cukup ahli dalam membuat tulisan tulisan, dan aku juga punya kenalan dari Soeara Asia”. Tambahnya. “Ide yang bagus, kita bisa memanfaatkan juga surat kabar untuk menyebarkan kebencian terhadap orang-orang Londo tersebut. Tempelkan juga poster poster disetiap gedung-gedung dan jalan yang terdapat di Surabaya. Sehingga mereka juga akan tergerak untuk melawan Inggris dan Belanda”. Tambah Idrus sambil mempersiapkan menutup pertemuan tersebut. Pertemuan tersebut diakhiri dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya oleh setiap peserta yang hadir. Gaungan “Merdeka!” juga turut meramaikan suasana pembubaran perkumpulan itu. Di luar ruangan, Abi melihat adiknya sedang berdiri menunggunya di depan pintu, lekas ia segera menghampirinya. “Aku tahu kau pasti akan berada disini,” Ujar Dewi yang tidak terlalu lamamenunggunya. “Ibu cemas kamu kenapa-kenapa kak. Ayo kita pulang.” Ajaknya kepada kakaknya tersebut. 17 “Dewi? Apa yang sedang kamu lakukan disini?” Tanya Idrus yang kebingungan melihat Abi dan Dewi yang sedang berdiri di dekat pintu. “Aku ingin mengajak mas Abi untuk pulang, mas. Ibu cemas terhadap mas Abi.” Jawab Dewi. “Maafkan aku, tapi aku tidak akan pulang sekarang.
Disini aku mencoba untuk membantu sebisaku. Bapak benar, selama ini aku tidak pernah menjadi orang yang bermanfaat. Sampaikan salamku untuk Ibu dan Bapak.” Seketika berlalu meinggalkan Idrus dan Dewi berdua. “Mas, tolong jaga mas Abi ya. Aku tidak ingin hal yang buruk menimpa dirinya. Pastikan ia baik-baik saja sampai nanti ia kembali ke rumah.” Ucap Dewi dengan menahan sedikit iba. “Tenang saja, aku yakin kakakmu akan baik-baik saja. Mungkin justru dia yang akan melindungiku nanti dari para Londo.” Jawab Idrus kepada Dewi dengan menggodanya. “Ih tapi aku serius mas.” Dengan memukulnya manja. 18 “Hari sudah mulai gelap, ayo mas anter ke Tambaksari.”
Ucap Idrus sambil mengantarnya keluar ruangan itu. * Dengan menggunakan lampu pijar di meja tulisnya, ia berusaha menuliskan sebuah catatan dalam bukunya. “Belum tiba satu purnama hariku di tempat ini. Aku telah menyaksikan hal yang tidak pernah tergambar dalam buku-buku usang itu. Bagaimana manusia begitu kokoh terhadap keyakinannya dan menumpas mereka yang meyakini hal yang berbeda. Tuhan, berikan aku kekuatan untuk melakukan apa yang telah diwajibkan kepadaku, jadikanlah aku manusia yang bermanfaat, setidaknya bagi diriku sendiri. Seketika ia menutup buku catatan tersebut dan segera menuliskan kalimat-kalimat propaganda dalam secarik kertas. “Ini akan menjadi malam yang panjang” ujarnya dalam batin. 19 API DAN DARAH Yang ditakutkan kini benar adanya. Setelah terjadinya suatu insiden di hotel oranye, Inggris dan Belanda tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang ringan. Konflik antara arek-arek Surabaya dengan tentara Inggris dan NICA terjadi di seluruh belahan Kota Surabaya. Suara tembak-menembak tidak ada henti hentinya.
Suasana sepanjang Stasiun Gubeng dan beberapa titik lain di Kota Surabaya tidak kondusif. Poster- poster propaganda yang terpajang diseluruh penjuruh kota disobek bahkan dibakar. Bagi mereka yang tertangkap basah menyebarkan poster-poster tersebut menjadi buron dari pasukan Inggris. Gelagat militan Surabaya mulai terbaca oleh para tentara Inggris. Senjata yang selama ini disimpan oleh rakyat Surabaya dipaksa untuk diberikan kepada Inggris. Pamflet-pamflet kewajiban menyerahkan senjata tersebut diturunkan di seluruh pelosok Kota Surabaya. “Persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot!” Bagi mereka yang 20 memegang senjata api namun enggan menyerahkannya kepada tentara sekutu layak untuk ditembak! Dalam keadaan yang genting tersebut, para tokoh tokoh besar di Surabaya mengadakan pertemuan untuk menentukan langkah yang akan dilaksanakan. BKR (Badan Keamanan Rakyat), Angkatan Muda Indonesia (AMI), Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) dan simpatisan simpatisan lainnya mendiskusikan apa yang akan terjadi seandainya seluruh senjata yang diperoleh oleh rakyat Surabaya diserahkan kepada Inggris. “Jika kita menyerahkan seluruh senjata kita kepada Londo, itu sama saja menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada Belanda. Kita tidak akan memiliki senjata untuk menumpas pasukan mereka!” Seru salah satu hadirin dalam rapat tersebut. “Jangankan demikian, dengan kita tidak menyerahkan senjata itu kita semua akan dihabisi juga!” Jawab salah satu hadirin. “Para tentara Inggris kini telah mengakuisisi gedung-gedung penting yang ada di Surabaya. Terakhir kami melihat Gubeng, Ketabang kali, Darmo, Sawahan, Bubutan, dan daerah pelabuhan telah dikuasai oleh Inggris.” Tegas Farid. 21 “Adakah diantara kalian yang telah mendengar kabar dari pasukan propaganda? Terakhir mereka menuju ke gedung Radio di jalan Simpang, namun hingga hari ini belum ada yang kembali.” Tanya Idrus kepada rekan-rekannya yang lain. Namun tidak ada yang menjawabnya, sebagian hanya menggelengkan kepala. “Ini bukan waktunya bagi kita untuk berdiam diri! Tanah kita sudah dikebiri lagi oleh para Londo, apakah kalian hanya akan diam saja!?” Bentak Tigor untuk menyulut semangat dari rekan-rekannya tersebut.
Serentak rekan-rekannya menjawab “TIDAK!” “Kita beruntung, perjuangan kita tidak sendiri. Tokoh- tokoh besar dari seluruh Surabaya ikut mendukung menggulingkan Inggris dan Sekutunya dari tanah Surabaya!” tegas Idrus. “Beberapa waktu lalu, K.H Hasyim Ashari mengemukakan suatu Resolusi Jihad! hukum membela Tanah Air adalah fardhu ain bagi setiap islam di Indonesia. Tak hanya itu dalam Resolusi Jihad juga ditegaskan bahwa muslimin yang berada dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran wajib ikut berperang!” Tambah Idrus untuk meyakinkan. “Bahkan para santri dari daerah pedalaman mau untuk berjuang melawan orang-orang Londo. Kita tidak 22 boleh kalah, kita harus berjuang! MERDEKA!” Ucap Tigor. “MERDEKA!” Serentak seluruh hadirin dengan semangat yang membara. Pertempuran semakin memanas diseluruh pelosok Surabaya. Idrus dan rekan-rekannya berusaha untuk kembali menduduki gedung radio yang terletak di jalan Simpang tersebut. Ia melihat beberapa kawannya yang lebih dahulu dikirim ke gedung itu banyak yang telah tertembak mati. Hal ini memicu amarah dari Idrus dan kawan-kawannya. Adegan tembak- menembak tidak dapat terelakan lagi, beberapa arek-arek Surabaya yang nekat menghantam dengan senjata tajam menjadi sasaran yang empuk bagi tentara Inggris dan Belanda. Darah bertumpah ruah, bak hujan di bulan desember. Hal ini menyulut kemarahan arek-arek Surabaya lainnya, dan memutuskan untuk membumi hanguskan gedung radio tersebut. Di antara kegaduhan yang terjadi, Idrus melihat sahabatnya Abi sedang terduduk dibawah sebuah pohon Cendana.
Tangannya berlumuran darah, sambil menahan sebuah luka tembakan yang terdapat di bahunya. Lekas ia segera 23 menghampirinya dan meminta bantuan beberapa rekannya untuk mengungsikannya dari tempat tersebut. Tatapan wajahnya kosong, nafasnya semakin berat dan sekujur tubuhnya bergetar. Dengan tergagap-gagap dia hanya menyebutkan”Londo... Londo..” Matanya beralih kepada gedung radio yang kini telah dilahap oleh si jago merah. “Bertahanlah, kita akan membawamu ke rumah sakit.” Ujar Idrus sambil membopongnya, dan memerintahkan kawannya yang lain untuk mengabarkan keluarganya yang berada di Tambaksari. Kondisi Surabaya yang semakin tidak kondusif menyebabkan pimpinen Inggris Mayor Jenderal D.C Hawthorn, mencoba mencari orang yang mampu mengkondusifkan kondisi arek-arek Surabaya. Sehingga akhirnya mengundang Sukarno dan beberapa perwakilan dari pemerintah pusat untuk mengadakan gencatan senjata. Dalam perjanjian gencatan senjata tersebut, keduanya sepakat untuk membentuk suatu badan yang bertanggung jawab atas penyelesaian konflik antara arek Surabaya dengan pihak Inggris. Akhirnya Sukarno keluar dan memberikan pernyataan kepada Arek Surabaya untuk berhenti melakukan tindakan anarkis, dan diberlakukannya gencatan senjata. Meskipun 24 banyak dari masyarakat Surabaya yang kecewa, namun keputusan tersebut masih coba dihormati oleh masyarakat. * Abi terbangun di rumah sakit, bahu kirinya terdapat luka yang cukup dalam yang disebabkan oleh peluru yang menerjang. Di sekitarnya sudah terdapat keluarganya mengelilinginya, namun ia masih mencari sosok sahabatnya dalam ruangan tersebut. Orang yang telah menyelamatkannya dari malam yang penuh petaka tersebut. “Alhamdulillah nak, kamu sudah bangun.” Ujar ibunya dengan sedu, dengan mencoba merangkulnya untuk menenangkannya. “Buk, dik, Idurs dimana? Aku belum sempat berterimakasih kepadanya.” Ujar Abi sambil memaksakan berdiri. “Sudah mas, jangan banyak bergerak dulu, istirahat saja.” Sahut Dewi dengan membantu membaringkannya. “Kamu kok berani-beraninya, meninggalkan rumah malah untuk bertindak bodoh seperti itu. Gimana kalo kamu sampai meninggal? Kamu gak mikirin ibu 25 sama adikmu juga?”Ujar Pak Harjo dengan sedikit menyentaknya. “Sudahlah pak, yang penting anak kita sekarang sudah tidak apa-apa. Lagipula dia juga kan ingin mengabdi kepada negaranya.” Seru Ibu Rahmi membela anak cikal nya tersebut. “Kalo ya ingin mengabdi silahkan ikut BKR, jangan seperti itu. Ini namanya bunuh diri. Bahkan kamu sendiri tidak bisa melindungi dirimu sendiri. Kamu justru menjadi beban bagi rekan-rekanmu!”Seru bapaknya dengan membentak. Seluruh ruangan menjadi hening, Abi menyadari apa yang dikatakan bapaknya memang adanya. Ibu Rahmi hanya terdiam mencoba menahan isak tangisnya sambil memeluk Dewi. “Selepas kamu pulang dari rumah sakit, bapak mau kamu pulang ke rumah. Besok bapak daftarkan menjadi pegawai di Stasiun Gubeng. Sampai kapan kamu mau termakan oleh idealisme mu sendiri.” Tambahnya. 26 RIAK YANG MEMECAH AIR Semenjak kedatangan Sukarno dan Hatta dengan upaya diplomasinya, memberikan kekecewaan dikalangan arek-arek Surabaya. Masyarakat yang sudah siap bertempur melawan penindasan harus dikecewakan dengan janji diplomasi yang sudah basi. Tanggal 29 oktober, perjanjian gencatan senjata tersebut telah resmi ditanda tangani. Perjanjian yang telah diketahui oleh arek-arek Surabaya hanya akan mengancam kedaulatan Surabaya di hari-hari berikutnya. Upaya gencatan senjata yang hanya dilakukan untuk menghimpun kekuatan lebih besar untuk menghancurkan Surabaya hingga akar-akarnya. Yang membuat arek-arek Surabaya kecewa adalah, ketika melihat pimpinan tertingginya tidak menghendaki suatu perjuangan bersenjata, dan memilih berdamai dengan serigala. Bentuk kekecewaan tersebut dirasakan hingga pembuluh darah arek-arek Surabaya. Sepanjang perjalanan dari gedung pertemuan, hingga Gedung Internatio (tempat menetapnya perwira-perwira tentara sekutu), selalu diiringi oleh masyarakat yang menghujat 27 para pimpinan- pimpinan sekutu tersebut. Sehingga terjadi suatu peristiwa yang memicu tentara gurkha menarik pelatuk laras panjangnya, menyebabkan arek Surabaya berlarian meninggalkan lokasi dan bersembunyi. BKR, AMI, PRI dan santri-santri militant telah mengantisipasi hal tersebut. Di atas Jembatan Merah, pertempuran sudah tidak dapat dihindarkan. Satu mobil yang ditumpangi oleh Brigadir Jenderal A.W. Mallaby meledak begitu saja. Hal tersebut justru membuat tentara Inggris semakin membabi-buta, mereka mengejar para militant yang masih mencoba untuk bersembunyi. * Abi kini sudah pulang kembali ke rumahnya yang berada di Tambaksari. Kondisinya masih belum memungkinkannya untuk melakukan aktivitas yang berat. Ia hanya menghabiskan hari-harinya membaca buku-buku tentang sastra ataupun membantu pekerjaan di rumah. Pak Harjo telah mendaftarkannya untuk bekerja di Stasiun Gubeng, mengikuti jejaknya, Abi didaftarkan untuk mengurus pekerjaan administrasi. Pak Harjo cukup senang dengan keputusan yang telah 28 diambil oleh Abi, karena ia menginginkan anaknya untuk mau belajar bertanggung jawab. Suatu pagi, tanggal 2 November 1945. Seseorang datang mengunjungi rumahnya. Abi masih terbaring di kasurnya, tapi Dewi sudah berada di depan pintu untuk menerima tamu tersebut. Seketika Dewi menghampiri Abi yang setengah terlelap tersebut, mengatakan tamu itu untuknya. Tanpa berbicara banyak, Dewi langsung kembali ke kamarnya dan menutup pintunya. Ditemuilah tamu tersebut, yang ternyata sudah dikenali juga olehnya. “Apa yang sedang kau lakukan dipagi hari seperti ini Tigor?” Tanya Abi dengan masih sedikit mengantuk. “Senang bisa melihatmu lagi, aku kemari membawa suatu berita.” Jawab Tigor dengan nada yang rendah. “Pada hari itu, kita turut mengawasi proses berjalannya perundingan gencatan senjata yang dilakukan oleh Sukarno dengan pihak Inggris. Peristiwa menjadi keruh, kekecewaan masyarakat terhadap Sukarno tidak dapat lagi digambarkan dengan kata-kata. Sejak kembalinya para militer Inggris ke Gedung Internatio, masyarakat menghujat para tentara Inggris tersebut. Hal tersebut semakin diperburuk sejak 29 meledaknya mobil yang ditumpangi Mallaby. Baku tembak sudah tidak terhidarkan. Sungai Kalimas menjadi berwarna merah darah. Kita kehilangan banyak orang dalam peristiwa tersebut, termasuk salah satu diantaranya adalah Idrus.” Tambah Tigor sambil menahan sedih. Abi tidak mampu berkata-kata. Ia hanya terdiam mendengar penjelasan yang telah disampaikan Tigor. Matanya mulai berkaca-kaca, air matanya sudah mulai mengucur. Ruang tamu tersebut terdiam mendengarkan tangis dari Abi. Tigor yang sebelumnya berbicara banyak, kini hanya mampu mendengarkan tangisnya. “Jumlah kita semakin sedikit, kita memerlukan semua tenaga yang ada. Kita membutuhkanmu.” Ucap Tigor. Abimanyu hanya terdiam dan tidak menjawab ajakan dari Tigor. “Jangan jadikan pengorbanan Idrus sia-sia, perang akan segera datang. Balaskan dendam Idrus terhadap orang-orang Londo tersebut.” Tambah Tigor untuk meyakinkannya. Abimanyu berdiri dari tempat duduknya dan segera masuk ke kamarnya. Lekas ia mengambil tasnya dan memasukan barang-barangnya ke dalam tasnya. Ketika ia hendak keluar dari kamarnya, ia melihat Dewi 30 sudah berdiri menghalangi jalannya tersebut. Matanya masih berkaca- kaca sehabis menangisi kepergian kekasihnya. Tanpa berkata-kata, Dewi hanya berdiri saja menunggu reaksi dari kakaknya tersebut. “Jangan menghalangi jalanku, aku akan bergabung dengan rekan-rekanku yang lainnya.” “Mengapa kau masih keras kepala untuk kembali kesana? Semestinya kau bersyukur untuk berada di rumah pada saat ini. Lihat bahu mu itu! Itu adalah pertanda, kau tidak akan bertahan lebih lama dari sebelumnya di luar sana. Untuk apa lagi kau masih memaksakan diri untuk terlibat dalam pertempuran?” Ujar Dewi sambil menitikkan air mata. “Aku tidak bisa hanya berdiam diri disini saja. Aku harus melakukan sesuatu, dan aku yakin kau tahu betul tentang itu.” “Kau sudah dengar kabang dari Bang Tigor, Idrus meninggal di tengah pertempuran tersebut! Aku tidak akan nasib itu juga menimpa kakakku.” “Tujuanku kembali kesana bukanlah untuk mati. Aku tidak pernah sempat untuk mengucapkan terimakasih kepada Idrus karena telah menyelamatkanku dari gedung radio tersebut. Aku bisa saja mati di tempat 31 itu, aku tidak mungkin berdiri disini jika tidak dibantu olehnya. Setidaknya izinkan aku untuk memperjuangkan apa yang selama ini telah diperjuangkannya. Izinkan aku untuk kembali lagi ke medan pertempuran.” Ujar Abi sambil mencoba melalui adiknya. “Mau kemana toh mas? Bahu kamu juga masih belum pulih.” Ujar Ibu Rahmi ketika melihat Abi mencoba untuk keluar dari kamar. “Bu, Abi mau kembali lagi untuk berjuang bersama rekan-rekan relawan lainnya. Semestinya Abi bersyukur baru tertembak di bahu dan masih bisa berdiri sampai sekarang. Tapi teman-teman Abi tidak begitu bu, mereka masih mau berjuang sampai titik darah penghabisan. Abi berhutang budi kepada Idrus, dan kini Idrus sudah dikebumikan karena orang-orang Londo tersebut. Abi akan tetap berangkat, meskipun ibu dan bapak tidak akan mengizinkan.” Ucap Abi dengan nada yang jelas. “Ibu tidak akan melarangmu nak, jika menurutmu itu merupakan hal yang benar ibu Cuma bisa mendoakan keselamatanmu.” Mendengar pernyataan tersebut, Abi seketika duduk bersungkem kepada ibunya seraya berkata, 32 “Terimakasih bu, doakan agar Abi bisa kembali pulang dengan selamat. Sampaikan salamku untuk bapak, maafkan aku jika aku lebih memilih untuk berjuang dibandingkan bekerja dikantor.” Tanpa mengulur waktu lagi, Abimanyu dan Tigor melangkah keluar rumah dan bergegas menuju tempat dimana teman- temannya telah berkumpul. Sesekali Abi melihat ke belakang dan masih melihat ibu dan adiknya melambaikan kearahnya. 33 ULTIMATUM 9 November, 1945. Kematian Mallaby telah membawa kabar buruk bagi seluruh arek-arek Surabaya. Di pagi yang cerah, mereka telah menjatuhkan pamflet-pamflet ultimatum, mereka memaksakan agar seluruh rakyat Surabaya menyerahkan seluruh senjata yang dimiliki paling lambat tanggal 10 November, pukul 6 pagi. Hal ini justru dianggap sebagai suatu penghinaan bagi rakyat Surabaya. Kematian dari Brigadir Jenderal tersebut sepenuhnya disalahkan atas rakyat, meskipun kebenarannya masih abu-abu. Dengan muslihatnya,
Inggris mengancam akan menjatuhkan hukuman ke tanah Surabaya apabila persyaratan tidak dipenuhi.” “Ini merupakan suatu penghinaan! Mengapa kita harus membayar dosa atas sesuatu yang bukan sepenuhnya salah kita.” Bentak Tigor yang sangat keras menentang melaksanakan ultimatum tersebut.
Suasana perkumpulan relawan saling bercarut carut, meskipun mereka masih bingung bagaimana merespon ultimatum tersebut. Sebagian banyak yang 34 menyarankan untuk menuruti permintaan tersebut, sebagian lagi terang menentangnya. “Terakhir kali mereka membabi- buta, mereka berhasil membunuh Idrus dan kawan-kawan kita yang lainnya, jika kita tidak menuruti mereka kita semua tinggal hidup dalam hitungan detik!” Ujar salah satu orang yang mendukung untuk melaksanakan ultimatum. “Satu hal yang pasti, kita tidak bisa mengambil keputusan ini seorang diri. Kita harus merundingkan ini dalam jajaran forum yang lebih tinggi. Kita harus mendengar pendapat dari Residen, Gubernur atau siapapun yang memiliki otoritas lebih tinggi disbanding kita. Meski kita melaksanakan ultimatum, tapi seluruh dari masyarakat Surabaya menentangnya, kita hanya akan menjadi orang bodoh yang begitu mudahnya menyerah.” Ucap Abimanyu menengahi pertentangan diantara kedua pendapat tersebut. Tak lama berselang dari perundingan itu, para pemuda berusaha mengumpulkan informasi untuk berkordinasi bagaimana menyikapi ultimatum yang telah diberikan tersebut. Salah satu diantaranya adalah dengan mendengar Radio Pemberontakan, dimana Bung Tomo memberikan perintah yang tegas untuk tidak 35 berhenti dalam berjuang melawan Inggris. Secercah kalimatnya yang selalu terngiang di telinga pemuda Surabaya “Dan untuk kita saudara-saudara. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!” Dilain kesempatan, pemuda-pemuda juga menemukan pernyataan yang dikemukakan oleh Gubernur Suryo yang meminta para pemuda untuk menghimpun seluruh kekuatan yang ada. Dengan demikian bulat sudah seluruh tekad dari para relawan dalam menghadapi ultimatum yang akan ditolak tersebut. Para pemuda terus menggunakan Radio Pemberontakan sebagai sarana untuk mobilisasi pergerakan. Perlawanan tidak akan dapat dihindarkan, tinggal menanti fajar dan berharap badai akan berlalu. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan perlindungannya kepadaku dan keluargaku, gumam Abi dalam malam yang panjang itu. 36 NERAKA DI TIMUR JAWA Mansergh tidak bercanda mengenai ultimatum yang diberikannya, sejak pukul 6 pagi jalanan Surabaya sudah dipenuhi kendaraan lapis baja milik sekutu. Kapal-kapal perang sudah menyiapkan meriamnya disekitar pelabuhan dan perbatasan-perbatasan kota. Langit terbelah oleh pesawat tempur yang siap menjatuhkan bom-bomnya. Di sisi lain, arek- arek Surabaya mencoba tetap berada di bawah radar dan menunggu Inggris untuk menyerang terlebih dahulu. Sekejap meriam-meriam dilepaskan, bom-bom dijatuhkan dan peluru mulai menerjang. Bangunan bangunan mulai roboh, tiang-tiang serta pohon pohon juga mulai tumbang.
Banyak mayat bergelimpangan seperti seekor binatang di sepanjang jalan dan selokan. Namun hal tersebut tidak membuat rakyat Surabaya mundur, dengan semangat perjuangan mereka berani menghadang pasukan-pasukan Inggris. Bermodalkan bambu runcing, senjata tajam dan segelintir senjata api yang diperoleh dari tentara Jepang, tidak menggoyahkan pasukan-pasukan tersebut. 37 Pidato-pidato dari Bung Tomo terus berkumandang, Radio Pemberontakan menjadi api yang membakar semangat arek-arek Surabaya. Para relawan militan tidak menyerang di ruang terbuka, mereka cenderung menyergap dalam jalan-jalan yang gelap. Sesekali mereka menjadi pasukan taktis yang bertugas menghambat mobilisasi dari pasukan-pasukan Inggris. Begitu pula dengan Abi, meskipun tidak selamanya ia mengangkat senjata api, namun bukan berarti ia tidak berkontribusi.
Dalam benaknya, ia hanya menginginkan agar pertempuran ini cepat selesai, dan ia bisa kembali bersama peluk hangat keluarganya. Namun dalam waktu ini, ia harus terbiasa tidur berpindah- pindah, dengan tanah sebagai alas dan bintang malam sebagai atapnya. “Apa yang sedang kau pikirkan?” Tegur Tigor kepada Abi yang sedang melamun dengan pena nya. “Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku akan menjadi bagian dari perjuangan ini. Bapakku biasanya hanya menuntut ku untuk menjadi orang yang pekerja keras, dan bertanggung jawab atas diriku sendiri. Kau tahu? Beberapa kali aku sempat dimarahi olehnya karena hanya menghabiskan waktuku untuk menulis 38 sajak-sajak cengeng, begitu dia biasa menyebutnya.” Jawab Abi dengan sedikit berguyon. “Kau tahu, terkadang aku merindukan Idrus. Dalam keadaan seperti ini dia mampu membuat guyonan tentang orang-orang Londo itu, tapi akan selalu tetap sigap ketika harus berhadapan dengannya.” Ujar Farid, sambil membenarkan posisi duduknya. “Tanpanya aku tidak akan berada disini bersama kalian. Aku bisa saja menjadi bangkai yang terduduk dibawah pohon cendana di depan sebuah kantor radio yang terbakar. Sayang aku tidak pernah punya kesempatan untuk mengatakan terimakasih kepadanya.” Jawab Abi dengan sendu. “Jangan terlalu keras terhadap dirimu sendiri. Kematiannya bukan merupakan salahmu, ia memilih untuk berjuang atas apa yang dianggap benar bagi dirinya. Kita semestinya bukan menangisi kepergian Idrus, tapi justru menjadikannya sebagai motivasi kita untuk meneruskan perjuangannya. Kelak, ketika ini semua berakhir, kita akan kembali kepada hidup yang normal. Dan sejarah kelak akan menuliskan cerita tentang hari-hari ini.” Jawab Tigor seraya mencoba menenangkan Abi. 39 * Pertempuran berlangsung cukup lama, apa yang diperkirakan hanya berlangsung kurang dari satu minggu, kini telah memasuki paruh minggu kedua. Inggris telah berhasil menguasai 2/3 dari keseluruhan Kota Surabaya. Jalan-jalan besar menjadi sepi, kabel kabel telepon bergelantung hingga beberapa jengkal dari permukaan tanah. Mayat-mayat manusia ataupun binatang bergelimpahan mengisi sisi jalan dan selokan selokan. Sesekali terdengar gema suara peluru dalam gedung-gedung yang kosong dan derap kaki yang tenggelam dibalik genangan air. Suasana yang sangat tidak layak disaksikan, seperti neraka telah jatuh ditengah Surabaya. Namun hal tersebut tidak menandakan perjuangan telah berakhir begitu saja. Gabungan kekuatan arek-arek Surabaya masih mampu menahan serangan- serangan Inggris. Radio Pemberontakan telah diungsikan dari Surabaya dikarenakan beberapa gedung penting telah dikuasai atau bahkan hancur menjadi korban dari serangan Inggris. Bagi pasukan-pasukan yang tersisah mereka masih melakukan perlawanan yang bersifat 40 sporadis.
Diantaranya, banyak warga sipil yang terjebak dalam medan pertempuran ini. “Jumlah amunisi kita sudah tidak akan mencukupi, dari hari ke hari jumlah tentara Inggris terus meningkat. Tank-tank lapis bajanya juga semakin sering berkeliling di jalan raya. Kita tidak akan bisa menandingi kekuatan mereka.” Ucap Farid dengan sedikit ketakutan setelah mengamati pergerakan dari tentara infanteri- infanteri Inggris. “Semestinya orientasi kita sekarang bukan untuk melawan pasukannya lagi,tapi bagaimana kita bisa mengungsikan warga-warga sipil dari tempat ini.” Tambahnya. “Tapi kita tidak boleh berhenti berjuang! Jika kita berhenti dalam tahap ini, semua yang telah kita lakukan akan sia- sia!” Ujar Tigor dengan nada yang membentak. “Kita juga harus memikirkan masa depan dari bangsa ini. Saat ini sudah tidak ada kemungkinan bagi kita jika memaksa melawan mereka bermodalkan arit dan bamboo runcing. Farid benar, kita harus mengevakuasikan warga sipil dari kota ini. Kita boleh kalah hari ini, tapi kita pastikan masa depan harus menjadi milik kita!” Jawab Abimanyu dengan nada yang tinggi. 41 “Apa kau sudah lupa dengan apa yang diperjuangkan Idrus? Karenanya kau masih bisa berdiri disini sekarang! Bahkan, jika ia masih ada disini, ku yakin ia akan melakukan apa yang akan kulakukan. Aku tidak berasal dari daerah ini, tapi aku rela mati berjuang demi mereka.
Semestinya kalian malu untuk mempertimbangkan lari dari medan pertempuran!” Bentak Tigor. “Ini bukan masalah ego, ini tentang perjuangan. Tidak akan lahir pejuang untuk memperjuangkan tanah ini, jika seluruh rakyatnya dikebumikan dalam waktu yang singkat!” Bentak Farid kepada Tigor.
Kelompok kecil relawan tersebut akhirnya terpecah menjadi dua kubu. Farid, Abi dan segelintir relawan lainnya berusaha untuk mengungsikan warga setempat ke Solo. Sedangkan Tigor dan beberapa relawan lainnya tetap untuk memutuskan bergeriliya melawan serdadu-serdadu Inggris. Tidak ada perpisahan yang istimewa diantaranya, hanya diiringi dengan gaungan meriam dan bom yang menghantam gedung gedung di Surabaya. 42 SEBUAH CATATAN Minggu ketiga, semenjak pertama kali Masergh menghujani Surabaya dengan peluru dan meriamnya. Kini dentuman- dentumannya sudah berhenti bergema dalam lorong-lorong gedung yang kosong. Dari kejauhan, kini yang nampak dari kota ini adalah asap hitam yang pekat. Di sepanjang perjalanan ke Solo, sesekali aku menengok ke belakang. Mengingat bagaimana Ibu dan Dewi masih melambaikan tangan kearahku. Semoga mereka baik-baik saja, aku percaya Tuhan akan selalu melindungi mereka.
Setidaknya kini peluru tidak akan lagi menghujani diriku, hanya kerinduan dan kehampaan yang bergema dari bilik kalbu. Ratusan ribu korban jiwa berguguran hanya untuk menumpaskan beberapa ribu orang Londo. Meskipun dalam batinnya mereka tahu untuk tidak lagi mengusik Republik ini.
Yakinlah yang terjadi dalam satu bulan terakhir kelak akan berbalas hasil yang lebih baik. Sesungguhnya jasamu tidak akan mampu tergantikan oleh materi. 43 Mereka adalah bangsa yang bebas ketika kita masih dirantai 350 tahun dalam kebodohan. Sampai kapanpun, kita tidak akan bisa mengalahkan mereka menggunakan senjata yang mereka miliki. Perjuangan dengan senjata telah dilakukan. Kini jalan lain juga harus ditempuh, satu jalan yang tidak menggunakan api dan darah 4