Bila Esok Tak Pernah Ada
Bila Esok Tak Pernah Ada
Priscilia Natania, Jeane Faustine dan Sheren Anastasia
XI AK 2
Bab 1 – Pangeran Pertama
23 oktober 2010, Lampung.
Bila mengingat tentang 8 tahun yang lalu, gadis kecil ini tak pernah lupa kalau pernah mendapati dirinya terjatuh sendirian, di kamarnya yang gelap malam-malam. Sebagian dari dirinya yang selalu ia panggil dengan sebutan ‘Mama’ meninggalkannya tanpa pamit. Bukan lagi sekadar obrolan-obrolan malam yang asal dengan sang ibu tentang meninggalkan dan ditinggalkan, tapi benar-benar meninggalkannya. Sang Ibu –Liliana Sandara– seakan tega meninggalkan anak semata wayangnya sendirian.
“Aku kira kamu dimana, untung aku ingat ini tanggal 23 bulan oktober, Ra.” Liora Gracelia Adara, siswi SMA Perkasa Utama, tidak pernah meninggalkan tempatnya di pemakaman umum daerah perbatasan Lampung Selatan dengan Bandar Lampung ini ketika 23 oktober datang. Nisan abu-abu sederhana tertulis nama Liliana Sandara beserta tanggal lahir dan tanggal wafatnya lengkap, dengan pembatas-pembatas keramik setinggi lima sentimeter untuk membatasi pusara Liliana. Bunga anyelir berwarna putih yang terlihat masih segar berada di tengah tanah kering yang sudah nyaris ditutupi semua oleh rumput-rumput kecil.
Tatapan Liora pada orang disampingnya, Kenan Pradipta tidak pernah berubah meski perasaannya sedang tidak baik,”Harusnya tidak perlu kamu cari” ucap liora dengan suara kecilnya. Kalau Liora memiliki penopang hidup setelah ayahnya kabur dan ibunya meninggal itu pasti Kenan Pradipta. Hidup ikut orang meski itu adalah Bibi-nya sendiri menurut Liora tidak pernah enak. Selain takut merepotkan, dia juga sering diperlakukan sangat berbeda dengan anak Bibinya. Bukannya tidak bersyukur, hanya perlakukan seperti itu kadang membuatnya semakin ingin keluar dari rumah Bibinya. Tapi untung sahabatnya itu selalu mau mendengar cerita-ceritanya dan mendukungnya sekolah sampai sarjana, baru setelah itu keluar dari rumah Bibinya.
Liora berdiri dari duduknya, berjalan menghampiri laki-laki tegap dengan baju kemeja SMA-nya yang sudah keluar setengah sambil tersenyum simpulnya. “Ayo pulang aja, Ken.” Ken – begitu orang-orang memanggilnya – bukannya kembali ke tempatnya memarkirkan motor, laki-laki itu malah mendekat ke arah pusara Liliana. Berjongkok disamping pusara, sang lelaki mengusap lembut nisan ibu dari sahabat tercintanya.
“Ken, datang lagi. Kali ini selain menjemput Liora, Ken mau meminta izin untuk memacari Liora. Sepertinya kalau menjadi teman saja, Ken tidak bisa menjaganya dengan sangat baik.” Candaan jadul, kalau kata Liora. Makanya dari pada mendapatkan reaksi serius atau terkejut dari sang wanita, Ken malah dapat tawa puas dari Liora. Cowok itu sudah biasa menggoda gadis-gadis SMA, dari kakak kelas, anak kelas-kelas lain atau sampai adik kelas, nyaris semua Ken buat jatuh cinta padanya. Tapi meski nampak seperti buaya, Kenan Pradipta tidak pernah berpacaran sekalipun. Dan Liora nyaris menjadi satu-satunya gadis sekolahnya yang tidak pernah tergoda dengan kata-kata manisnya.
“Ken, cepetan. Udah hujan, nanti malah deres. Gak bisa pulang lagi.” Ken benar berdiri dan menghampiri Liora, tapi dibanding mengajak Liora pergi, dia malah menahan Liora di bawah hujan menanyakan apakah Liora mau menjadi pacarnya atau tidak. Alih-alih menjawab, Liora malah menggerutu kesal, “Ah, jangan bercanda terus donk. Bajunya udah basah ini kena hujan.”
“Biarin.”
“Apanya yang biarin? Bajunya kan besok dipakai lagi.”
“Makanya jawab dulu, mau gak jadi pacar aku?”
Liora menghela nafas seraya memutarkan matanya, “Yaudah deh. Iya. Dari pada gak pulang.” Ken tersenyum penuh kemenangan. Dia langsung merangkul Liora dan mengajaknya ke tempatnya memarkirkan motor, Liora mungkin terlihat seperti tak peduli dengan statusnya sebagai pacar dari Kenan Pradipta sekarang. Tapi bila seluruh dunia bisa melihat da mendengar hatinya, dia akan memperlihatkan ke seluruh dunia betapa bahagia dan bangganya dia menjadi pacar Ken.
“Sini dulu, Tuan Puteri. Aku pakein helm.”
Liora pernah meminta pada dunia kalau kebahagiaannya tidak boleh dan jangan pernah menghilang. Biarkan dirinya saja yang menghilang tapi jangan kebahagiaannya bersama Ken dan Ken yang ia sayangi. Sebelum akhirnya dunia menunjukkan hal sebenar-benarnya dari kisah percintaan tuan puteri dan pangera berkuda putihnya. Tidak pernah ada yang namanya bahagia. Mereka hanya pandai menyembunyikannya dan berpura-pura bodoh. Tidak ada tuan puteri dan tidak ada pangeran yang berakhir hidup bahagia.
Kenan Pradipta bukan pilihan yang pasti, bukan juga kebahagiaannya. Liora menghargai perjuangan dan seluruh hal-hal baik yang didatangkan Ken dalam hidupnya. Tapi tidak lebih dari itu. Karena ternyata Kenan pun tak jauh beda dengan Ayahnya. Hanya membuat penyakitnya bangkit tiap mengingat hal-hal itu.
23 Oktober 2020, Lampung.
“Jadi kelanjutan cerita Liora setelah bertahun-tahun gak cerita sama Mama begitu, Ma.” Benar, setelah hari itu, Liora tak lagi bercerita hal-hal detil tentang hidupnya. Ia pikir, dirinya hanya akan menambah pikiran Mamanya. Padahal itu hanya sugestinya yang menahan Liora bercerita kepada pusara sang ibu. “Aku putus setelah tiga tahun pacaran, Ken kayak Papa jadi sebelum dia yang ninggalin aku kayak Mama ditinggalin Papa, aku tinggalin dia duluan. Terus untuk ngebales dia, aku kerja keras banget sekarang untuk ngebahagiain diri aku sendiri. Mama baik-baik ya di sana.”
Suara tawa kecil seorang laki-laki di belakangnya membuat Liora terusik, Liora memutar badannya menghadap si laki-laki. “Eh, sorry banget. Gue gak sengaja denger lo ngobrol sama kuburan itu. Kayak lagi ngedongengin kuburan tentang dongeng yang gagal karya lo. HAHAHA.”
Laki-laki dengan rambut gondrong sepertengahan leher yang berwarna pirang itu tak henti-hentinya cengengesan. Kalau masalah tinggi, Liora yang memiliki tinggi kurang lebih seratus enam puluh lima sentimeter saja hanya sebahunya berarti laki-laki ini sekitar seratus delapan puluhan. Gayanya udah mirip artis. Tanggapan pertama Liora tentang laki-laki pirang di hadapannya ini tidak baik, laki-laki itu terlihat seperti orang yang sombong.
Sadar akan tanggapan buruk Liora dari tatapan wanita berusia dua puluh enam itu, pria pirang itu berjalan melewati si perempuan dan mengucap salam kepada pusara Liliana. “Selamat siang, Ibu… Liliana,” ucap laki-laki itu mengintip sedikit ke arah nisan. Liora melihat pria itu dari samping, dia tak lagi melihat tatapan main-main darinya. “Gue gak bermaksud mengejek kok. Cuma, ya, lo agak… bo- ah enggak, maksudnya terlalu polos dulu. Sekali lagi sorry banget gue denger cerita lo, gak sengaja sih sebenernya tapi ternyata lo jago cerita makanya jadi terhanyut gue.”
Pria pirang ini banyak bicara tidak seperti tampilannya yang awal seperti orang sok keren dan sombong. Dia menolehkan kepalanya ke arah Liora di sampingnya, “Kuburan yang gue kunjungi gak jauh dari sini, gue denger lo cerita serius banget sampe gak tau kalo suara lo teralu besar. Jadi gue dateng buat negur lo untuk gak terlalu berisik, tapi ternyata gue terhanyut sama cerita lo. Lo youtuber kayak Nessie Judge, ya. Jago jadiin cerita jadi seru. Lain kali kalo mau curhat mending sama orang aja atau ke tenaga ahli buat dengerin sekaligus ngasih hal lain untuk lo.”
Setelah mengatakan itu dia pergi, tanpa mengatakan perpisahan apapun. “Gak ada siapapun orang di dunia ini yang bisa untuk denger cerita gue, kalaupun ada dia udah buat gue kecewa.” Sepertinya Liora sudah terlalu banyak bercerita hari ini, sehingga ia menyadari bahwa laki-laki pemilik punggung dengan balutan kaus kebesaran putih dengan perpaduan celana pendek selutut berwarna hitam itu sudah tahu terlalu banyak. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Liora keceplosan. Dia menutup mulutnya sendiri dengan tangannya.
“Oh, Pangeran Ken lo itu?” Liora mendapati sudut bibir kiri laki-laki itu yang naik ketika ia menolehkan kepalanya ke kiri, sebelum akhirnya mengakhiri percakapan yang kalau dilanjutkan seluruh kisah hidup Liora pasti akan diketahui laki-laki itu. “Gue udah tau terlalu banyak nih kayaknya. Good luck besok. Dahh~”
Tak tahu mengapa tapi Liora merasa bahwa pria pirang itu adalah tempat yang tepat untuk berbicara sebebasnya, cerita sebanyaknya, berkeluh kesah semaunya. Dia terlihat nyaman untu melakukan itu semuanya. Maka Liora berbicara pelan kepada semesta saat itu, semoga dirinya dapat bertemu dengan pria pirang itu sekali lagi. Semoga dirinya dapat membangun percakapan lagi dengan laki-laki itu. Dan semoga kali ini bukan lagi pilihannya yang salah.
Paginya Liora bangun dengan perasaan segar. Tapi sesuatu mengganjal pikirannya, yaitu rasa penyesalan. Akhirnya ia tahu arti dari “Good luck besok.” yang dikatakan oleh pria pirang itu kemarin sebelum dia pergi dari area pemakaman kemarin. Penyesalan selalu datang terakhir memang benar. Tapi kenapa Liora bisa-bisanya melupakan perasaan seperti ini tiap ia terlalu banyak bercerita kepada orang. Dia adalah orang yang selalu ingin tidak bercerita apapun kepada orang lain tapi selalu saja gagal. Kali ini lebih parah dia nyaris bercerita segalanya kepada laki-laki yang dia kenal secara langsung dan tidak langsung.
Hari itu kalau tidak ingat kalau hari itu dirinya akan resmi naik jabatan dan dilantik menjadi manajer pemasaran baru di perusahaannya. Cemerlang Kencana merupakan perusahaan yang bergerak dibidang travel, perusahaannya ini sudah berdiri sejak tahun dua ribu dua belas. Baru setelah lulus Liora bekerja di perusahaan yang pada saat itu baru berdiri selama kurang lebih lima tahun. Perjalanannya tidak mudah untuk sampai dititik ini. Beberapa tahun yang lalu saat perusahaan sedang mengalami penurunan drastis lalu beberapa karyawan mengundurkan diri, Liora tetap setia sampai akhirnya perusahaan kembali naik dibeberapa tahun terakhir. Semua perjuangan karyawan yang bertahan tak perlu diragukan lagi.
Peresmian kenaikan jabatannya tak begitu lama, yang lama hanya acara makan-makan bersama rekan kantornya di kantin perusahaan dengan makanan dari restoran luar yang begitu memuakkan. Masalahnya bukan pada makanan tapi ketika perusahaan membaik banyak karyawan baru yang selalu cari muka di depannya dan banyak rekan lamanya yang juga melakukan banyak hal untuk dapat naik jabatan termasuk mencari perhatiannya. Menurut Liora berada di antara para orang-orang munafik ini begitu melelahkan karena harus terus memasang topeng. Jujur saja Liora bukan orang yang lurus sekali. Dia mengetahui banyak hal-hal busuk, baik tentang perusahaan maupun karyawan-karyawannya. Tapi selagi itu tidak mengganggu atau mengusiknya sama sekali, dia akan tetap diam saja demi kelangsungan hidupnya yang aman.
“Ra, besok temenin gue nonton konser yuk. Gue udah beli dua tiket biar ada temen, masa lo tega biarin gue sendirian. Ya, please.” Liora yang sedang makan makanannya dengan tenang lantas langsung melihat ke arah Shanna Bolaeva di kanannya dengan malas. Gadis seumurannya dan juga temannya sejak mereka masuk ke perusahaan ini terhitung sangat tidak peka dengan sekitar dan sangat polos makanya dia adalah sasaran empuk para senior untuk dimanfaatkan. Liora mau menemani dan menjaga Shanna hanya karena kasihan, setidaknya begitu kesaksiannya. “Gue males, Na. Jangan gue deh.”
“Siapa lagi kalo bukan lo, Ra. Please ya, Ra. Temenin gue untuk yang terakhir kali, nanti waktu konsernya Louis Tomlinson gue nonton sendiri.” Suara Shanna agak dia perkeras karena saat ini suasana kantin sangat ramai.
“Aduh, iya deh. Tapi waktu nonton Louis bareng gue.” Shanna tertawa sambil mengangguk, dia tahu kalau temannya ini paling tidak bisa dipancing dengan grub band kesayangannya, One Direction. “Emang nonton siapa lagi sih lo? Bukannya Vierratale lagi di Bandung ya?”
“Bukan, ini band kesukaan gue yang lain. Cakrawala, tau gak lo? Udah terkenal banget itu, dari debutnya tahun 2015 aja udah terkenal lagu-lagunya. Personilnya ada lima, Jinan penulis lagu sekaligus pianisnya, Mahesa gitarisnya, terus ada Stevan bassist-nya, Jevano drummernya, kalo Jevano itu idola banyak orang soalnya orangnya humble dan lucu, ganteng juga sih, banyak bisanya dia mah. Dan yang terakhir, ini mah tipe gue banget, Daren.”
Liora tersenyum tipis, “Dari namanya aja udah keliatan jelas itu tipe lo banget.” Tapi pernyataan Liora langsung membuat tangannya yang sedang menyendok makanan dipukul kecil oleh Shanna. “Bukan karena namanya kayak nama mantan gue! Tapi dia emang ganteng banget, tinggi, atletis, pinter, selera musiknya juga sama kayak gue.”
Menanggapinya, Liora hanya tertawa puas, lumayan memperbaiki suasana hatinya. “Ayo temenin gue beli jus jeruk.” Tangan Shanna ditarik oleh Liora tak peduli kalau Shanna belum selesai memakan makanannya, “Saya permisi duluan ya, Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian. Terima kasih untuk semuanya.”
Setelah pamit pun masih banyak kata-kata selamat yang sudah berulang kali mereka ucapkan. Shanna benar-benar Liora tarik dari meja mereka untuk ke sebuah kedai minuman, Liora memesan dua jus jeruk dingin untuk dirinya dan Shanna. Tujuannya agar Shanna tidak terlalu banyak mengomel karena habis ia tarik padahal makanannya belum selesai, dalam kata lain Shanna disogok.
“Selamat ya, Mbak Liora udah naik jabatan. Bakal jarang ke sini lagi gak ya? Secara kan jadi manajer bakal lebih sibuk.”
“Makasih, Pak. Gak tau sih bakal sering ke sini lagi atau enggak, tapi kalau sempet pasti saya dateng.”
“Haha, saya tunggu selalu ya, Mbak. Ini minumannya.”
“Makasih, Pak.”
Sekarang orang-orang kebanyakan sudah terlihat seperti para pembual dan pembohong. Kebanyakan orang di sekitar Liora perlahan-lahan berubah menjadi haus akan jabatan dan uang sehingga lupa bahwa sebelum kita menjadi seperti itu, dulu kita diajarkan untuk senantiasa baik dan menjadi jujur. Tapi nyatanya dunia gak selalu berjalan demikian. Orang jujur kadang sulit untuk berada di atas atau bahkan bertahan di atas.
Bab 2 – Lima Bintang di Cakrawala
Jihan Neorama Pratama, setidaknya begitu yang tertulis pada nisan berwarna abu-abu di hadapan laki-laki dengan perawakan seperti bule nyasar ini. Bagaimana tidak membuat orang lain reflek mengajaknya berbicara bahasa inggris untuk mengajaknya berfoto – tapi kalau yang terakhir sepertinya biasa saja untuknya soalnya dia seorang artis terkenal – wajahnya yang terlihat seperti orang luar negeri, kulitnya yang begitu putih sampai rambutnya yang sejak tiga bulan lalu dia biarkan pirang.
“Udah tiga tahun aja, Han. Dan kayaknya secepet itu orang-orang ngelupain kamu.” Rokok yang diapitnya di antara jari telunjuk dan jari tengahnya ia biarkan hidup tanpa sekalipun dihisapnya. Empat tahun yang lalu saat ia memutuskan untuk memacari Jihan Neorama Pratama saat itu juga dia memutuskan untuk tidak lagi merokok. Apa lagi saat mengetahui Jihan memiliki sakit asma dan kanker paru-paru. “Kepopularitasan yang aku dapet sekarang buat aku takut dilupakan nantinya. Aku takut kalau aku tidak lagi bisa memberikan ‘pemandangan’ yang mereka inginkan, aku gak lagi berarti untuk mereka.”
Laki-laki itu berdecih kecil, senyum mengejeknya dia lemparkan untuk dirinya sendiri. “Padahal dulu aku yang kerja keras banget buat sampai di titik ini ya. Tapi kadang aku juga capek, Han. Nyaris gak ada waktu istirahat. Aku terlalu gak punya waktu sampai aku lupa sama Mama, untung Mama sama Papa mau aku bujuk untuk liburan dan gak mikirin aku. Takut kalau Mama liat aku sekarang, aku bakal disuruh keluar dari Cakrawala.”
Dia Jevano Aditya Sagara, drummer dari band yang sejak debutnya saja sudah menyita banyak perhatian orang karena prestasi dan telenta mereka yang segudang membuat nama mereka sangat bersinar dan melampung tinggi, Cakrawala. Bassist sekaligus ketua mereka Pandu Stevan Ibrahim bersama Jinan Bumimegara disebut-sebut sukses mempertahankan band usai pembaruan kontrak kelimanya, sekaligus membesarkan band sampai sekarang. Sedangkan Mahesa Cahaya Surya dan Daren Sevano Leonandra yang masuk ke dalam band setelah lima bulan debut Cakrawala hanya dengan tiga anggota saja, disebut sebagai pelengkap jalan kejayaan Cakrawala. Dan Jevano sudah seperti gudangnya Cakrawala, semua anggota tanpa terkecuali akan membahas seluruh perasaan mereka kepada Jevano sebagai kakak tertua mereka setelah Stevan.
Bila membicarakan Cakrawala tidak lengkap rasanya bila tidak membahas persahabatan mereka yang telah menjadi panutan banyak orang. Dengan kesuksesan band ini sampai pada anggota-anggotanya yang sangat bertalenta, bila kelimanya memilih karir solo, mereka pasti tak akan kalah bersinar. Tapi tahun lalu, mereka memutuskan untuk terus bersama sebagai satu tim dan membuat lebih banyak karya-karya terbaik mereka untuk diperdengarkan kepada para penggemar.
“… dia kayak Papa, Ma. Ken belum atau memang gak pernah selesai dengan masa lalunya.”
Jevano baru saja akan pergi dari pusara sang kekasih. Tapi langkahnya berhenti karena suara seorang perempuan yang menganggunya sedari tadi itu kembali muncul setelah beberapa saat berhenti. Jevano bukan sosok pemberani dengan makhluk halus, bukan juga sosok manusia yang peduli dengan manusia lain atau sekitarnya. Namun kali ini rasa penasarannya membawa kakinya mendekat pada sumber suara. Sampai ia dapat melihat seorang perempuan meringkuk di dekat makam yang Jevano tebak itu adalah makam ibu dari perempuan itu. Selama ada di pemakaman itu Jevano baru kali ini datang tapi fokusnya hilang karena mendengar cerita perempuan itu, dia bahkan nyaris melupakan apa yang harus diceritakan kepada Jihan tadi karena ocehan perempuan di depan sana.
Kemeja putih berlengan panjang tanpa motif yang dimasukkannya ke dalam kulot cokelat muda yang dikenakan perempuan itu terlihat sudah kotor. Jevano tidak ada niatan untuk memberhentikan cerita itu bila ia tak mendengar kisah ‘balas dendam’ konyol yang keluar dari mulut perempuan itu, menurutnya ‘balas dendam’ seperti itu hanya akan membuatnya tembah terlihat menyedihkan alih-alih dipandang menjadi gadis yang kuat atau hebat. Kalau Jevano menjadi sang lelaki, ia tidak akan menyesal diputusi gadis seperti itu. Terdengar kejam tapi baginya seorang perempuan yang tidak mencintai dirinya sendiri tidak akan pernah puas dengan cinta yang didapatnya apa lagi jika itu dari Jevano.
Jevano mendekat pada pusara dan memeri salam singkat kepada Liliana. Ucapannya jika salah tangkap akan terdengar sangat kejam untuk orang lain tapi dia adalah Jevano yang tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya sendiri. Salam perpisahannya pada gadis itu mungkin terdengar tidak mengenakkan tapi ia tau itu akan berkesan. Diam-diam, entah mengapa, Jevano pun merapalkan semoga yang sama dengan gadis itu. Dia tidak pernah merasakan hal seperti ini jadi bila esok atau nanti, semesta berbicara tentang takdir kepada Jevano dan jika persaannya saat ini benar. Biarkan gadis itu bertumbuh dan mencintai dirinya dahulu baru saat itu Jevano tak akan menolaknya.
“Dari mana aja lo, Van?” Perkataan sang ketua, Stevan, membuat semua anggota Cakrawala yang saat itu sedang mempersiapkan alat musik mereka untuk memulai latihan langsung menoleh kepada pintu yang baru saja tertutup. Mereka sudah dari setengah jam yang lalu datang ke studio latihan ini dan memutuskan untuk menulis lagu baru mereka dulu sambil menunggu Jevano yang sejak pagi pamit pergi kepada manajer mereka.
“Kalo gue jadi lo sih, gue gak akan nanya, Bang.” Mahesa yang berbeda tiga tahun dengan Stevan dan Jevano memang memanggil keduanya dengan sebutan ‘Abang’ kecuali kepada Daren teman SMA-nya dan Jinan yang hanya berbeda dua tahun. Mahesa merasa Daren dan Jinan terlalu muda untuk ia panggil ‘Abang’ kalau Jevano dan Stevan kan memang sudah terasa aura-aura senior secara umur yang jauh sekali. Dan ya, Jevano selalu mengunjungi makam kekasihnya bila ke Lampung.
Stevan mengigit kecil bibir bawahnya dengan wajah terkejut, sebenarnya ia hanya bercanda dengan ekspresi wajahnya itu. Tapi melihat wajah Jevano yang tampak baik-baik saja membuatnya kali ini terkejut sungguhan, biasanya Jevano adalah orang yang paling malas untuk diajak melakukan apapun bila baru kembali dari pemakaman Jihan. Kali ini bukan hanya ekspresinya yang seolah baik-baik saja, Jevano malah langsung duduk di kursi drumnya dan mengambil stick drum yang baru saja ia beli karena stick sebelumnya ia patahkan di konser sebelum ini. “Kota terakhir konser kita nih, ayo semangat yuk.”
“Lo abis ngapain, Bang?” Mahesa bertanya takut. Pikirannya kemana-mana, ia sampai kepikiran Jevano kerasukan setan rajin. Sampai ia tak melihat wajah lelah yang biasa dilihatnya dihari-hari kerja seperti ini. Jevano puas menertawakan anggota-anggotanya yang menatap dirinya aneh. “Abis main-main sama takdir sih kayaknya.”
“Beneran serem lo, Van.”
“Sok banget main-main sama takdir, biasa dipermainin aja belagu bener.” Suasana hening sesaat lalu kembali ricuh karena suara tawa Daren, Stevan dan Mahesa karena dark jokes dari Jinan yang memang sebuah kenyataan yang harus ditelan dalam-dalam Jevano sebagai sejarah kelam pembentukan Jevano yang sekarang, yaitu kehilangan sang kekasih yang sangat disayanginya karena ternyata Tuhan lebih menyayangi kekasihnya.
“Udah woi ketawanya, latihan dulu ini, lima jam lagi press conference konser besok.” Suasana kembali kondusif setelah Jinan mengingatkan jadwal mereka setelah ini. Sebenarnya saling menghibur begini adalah satu-satunya cara agar mereka tidak kehilangan akal sehat dengan jadwal yang begitu padat dan mengekang. Bersyukurnya tidak satu pun dari mereka keberatan untuk menjadi penghibur untuk satu sama lain, menurut orang di sekitar mereka Cakrawala akan baik-baik saja apapun keadaannya jika mereka tetap bersama. Kelimanya bukan lagi sahabat tapi keluarga.
Jinan mengambil alih piano di hadapannya, jari-jarinya menekan setiap tuts piano dengan amat baik hingga menyampaikan perasaan dari lagu-lagu yang diciptakannya dengan sempurna kepada siapapun yang mendengarkan melodi pianonya. Jevano bagai menyatu dengan drumnya, menurut kesaksian produser-produser Cakrawala yang bekerja sama dengan Jinan, Jevano dan drumnya adalah perpaduan paling sempurna yang pernah mereka lihat. Sulit sekali mendapati dirinya melakukan kesalahan, dalam setiap tabuhan drumnya ada perasaan tersirat yang sulit diartikan. Mahesa dan Daren adalah orang-orang yang akan mengeluarkan segenap jiwanya untuk dapat bermain gitar, itu kenapa mereka tak bisa dipisahkan dari gitarnya. Bila bukan gitar kesayangan mereka masing-masing, mereka biasanya tidak akan bermain sebagus ini. Stevan pernah bercerita, menjadi ketua Cakrawala adalah pekerjaan paling menguras tenaga dan melelahkan sekaligus menyenangkan, tapi ketika dirinya berdiri di atas panggung dan memainkan gitar bass adalah saat dimana dia melupakan semua beban dan kesesakannya.
Untuk sampai di posisi mereka sekarang, dahulu ada lima anak remaja yang hanya bisa bermimpi, bernyanyi dan memainkan alat musik mereka tanpa pernah berfikir hidup kedepannya akan seperti apa. Mereka hanya lima anak laki-laki yang dikumpulkan perusahaan untuk didebutkan sebagai sebuah band yang membawa banyak sekali harapan di dalamnya. Perusahaan kecil yang sakarang mereka besarkan namanya tak bisa berkata apapun lagi selain terima kasih. Meski sering mengeluh, mereka begitu mengahargai perusahaan yang telah berusaha melakukan banyak hal untuk lima anak mereka yang masih belum dewasa ini.
Empat jam latihan dengan minim pengulangan itu kini telah usai. Cakrawala sekarang telah kembali ke hotel dan bersiap-siap untuk ke press conference tur konser ketiga mereka di kota terakhir yaitu Lampung. Belum jam empat sore tapi semua anggota Cakrawala sudah duduk di tempat duduk masing-masingg dan menunggu mulainya press con hari ini. Layaknya penyanyi senior pada umumnya, tanpa diberi tahu sekalipun mereka mengetahui beberapa pertanyaan mendasar yang ada pada daftar pertanyaan pembawa acara.
“Halo, Cakrawala. Kita bertemu terakhir kali dalam press conference tahun lalu ya. Sebelum kalian memperpanjang kontrak dan melakukan tur ini sebagai bentuk terima kasih kepada fans yang telah mendukung kalian sepanjang lima tahun. Sekarang boleh gak aku tahu kabar kalian masing-masing dan kesibukannya akhir-akhir ini?” Perempuan berusia empat tahun lebih tua dari Stevan yang sudah mereka kenal sejak tahun lalu itu duduk di paling kiri dari mereka, berjarak setengah meter dari Mahesa.
Mahesa membuka suara duluan, “Kabar baik sih aku, kesibukan akhir-akhir ini olahraga, nulis lirik lagu, latihan aja.”
“Aku sama kayak Mahesa, tambahannya cuma aku lagi suka olahraga tenis, jadi akhir-akhir ini lebih sering ngabisin waktu untuk latihan memanah.”
“Bohong itu, alasan buat menghindari latihan aja.”
Jevano yang duduk tepat di samping Stevan pun langsung mendapat tatapan tajam andalan Stavan bila kesal, tapi Jevano adalah orang yang paling berani menggodanya diantara anggota lain jadi tatapan seperti itu tidak masalah untuknya. Malah Stevan menimpali candaan Jevano, “Jangan buka kartu donk, Jev. Kan lo juga ikut waktu gue ajak, malah lo cuma duduk-duduk aja.”
“Jadi Jevano akhir-akhir ini ikutan Stevan aja nih kerjaannya?” Perempuan yang bertanda pengenal Siska Amellia itu ikut menimpali candaan mereka, sebenarnya tujuannya agar tidak memakan banyak waktu.
“Enggak juga sih, sambil nungguin dia main tuh sebenernya aku lagi buat lagu juga. Jadi gak cuma duduk-duduk sambil ngadem kayak yang kalian pikirkan.” Meski produser utama pembuatan lagu-lagu Cakrawala adalah Jinan, semua anggota Cakrawala juga berpartisipasi sedikitnya sepertiga isi album. Seperti Daren dan Jevano yang biasa membuat lagu yang lengkap dengan lirik dan melodinya, Stevan dan Mahesa yang membuat banyak lirik-lirik lagu meski kadang tidak satu lagu penuh. Jinan beruntung bila mereka sedang serius mengerjakan tapi juga tidak rugi-rugi amat bila mereka datang ke studio miliknya hanya untuk bercanda karena dirinya jadi mendapat penyegaran sedikit dari sibuknya dia membuat lagu.
Mikrofon beralih ke tangan Jinan, “Sibuk di studio dan jalan-jalan ke pantai untuk nyari ide-ide baru yang bagus aja sih.”
“Oh sekarang lagi suka ke pantai ya, Jinan. Mau nanya kamu pernah gak sih ketemu sama fans di pantai, kan secara fans-nya Cakrawala nih banyak banget.”
“Sering kok, minta tanda tangan atau foto. Tapi gak jarang juga yang gak mau ngasih tau kalau dia fans Cakrawala padahal keliatan banget reaksinya lucu. Kalau ketemu aku di tempat umum, boleh kok ngasih tau kalau kalian fans kami, aku seneng juga lihatnya.” Kalimat terakhirnya, ia sampaikan ke penggemar dengan menatap ke arah kamera di hadapannya.
“Apa lagi kalau ketemu sama Stevan, kasih tau kalian fans kita terus minta uang ke dia.” Pernyataan Jevano kali ini disetujui oleh semua anggota Cakrawala. Alasannya sebenarnya karena Stevan berasal dari keluarga yang cukup berada, Papanya memiliki perusahaan pajak yang besar dan Mamanya adalah dosen dan konsultan hukum. “Alasan kita milih Stevan jadi ketua kan memang karena dia yang paling kaya, biar selalu ditraktir.”
Karena tawa mereka yang seperti tak berujung dan Amellia yang tidak tahu bagaimana untuk memberhentikan mereka, Daren yang notabenenya anak paling normal di antara mereka langsung menegur, “Tolong ini gue belom ngomong, ketawanya bisa setelah gue ngomong aja gak ya?”
“Oh iya, iya. Lo lagian diem aja geh,” Mahesa berujar.
“Iya, sebenernya aku akhir-akhir ini lagi suka liat-liat seni, jadi sering ke museum lukisan atau pameran gitu. Kalau ketemu aku, disapa aja gapapa.”
Amellia kadang selalu kagum dengan sikap Cakrawala yang sangat menyayangi penggemar mereka, dibalik kelimanya yang agak sulit untuk serius, tapi cinta mereka antara satu sama lain dan ke para penggemar tidak ada duanya. “Tuh, Teman-teman. Kalau kalian ngeliat anggota Cakrawala di tempat umum, kalian boleh sapa mereka tapi jangan kelewatan juga ya mintanya, nanti minta Mahesa guling depan lagi.”
“Tadi kan kira udah tau kabar kalian masing-masing dan hal yang kalian lakukan akhir-akhir ini. Sekarang kita mulai masuk ke hal yang lebih dalam tapi sebelum itu, aku mau tanya, kira-kira kapan kalian akan mengeluarkan single terbaru atau album terbaru nih?”
“Nunggu Jinan siap dan selesai dengan lagu-lagu buatannya sih, Kak,” kata Stevan agak ercanda. “Haha, setelah konser di Lampung ini kita akan mulai persiapan peluncuran album terbaru terus aka nada banyak projek-projek kita nanti. Tungguin aja.”
“Oke, bakal ditungguin banget nih projek-projeknya Cakrawala. Nah, tahun lalu kalian sempet memberikan kabar bahagia kalau kalian semua memperpanjang kontrak untuk tetap sebagai satu tim. Boleh tau gak sih kita semua, rahasia apa yang membuat terjadinya keputusan itu dari kalian.”
Melihat kanan kirinya, Stevan member kode untuk menjawab, tapi akhirnya Jevano yang mengambil alih sebagai yang menjawab pertanyaan. “Daren dan Mahesa sih kunci utamanya, mereka bener-bener sekuat tenaga mempertahankan tim ini untuk tetap utuh.”
“Mereka tuh kayak ‘Pokoknya kita gak boleh pisah’ gitu kan ya?” lanjut Jevano, menurut kesaksiannya dari awal debut sih dia memang tidak pandai bercerita jadi hanya berbicara sesuai pengertiannya saja yang belum tentu orang lain mengerti.
“Nah jadi cerita resminya akan diceritakan pertama kali oleh Daren yang dari tadi mau ngomong.” Mendengar perkataan Mahesa, Daren yang baru saja selesai minum air mineralnya langsung terkejut dan menatap keempat anggotanya bertanya-tanya. Daren pandai bercerita hanya saja tidak di depan publik, dia sangat jarang banyak berbicara di depan orang-orang yang masih belum membuatnya nyaman sedangkan teman-temannya suka sekali menempatkannya pada situasi seperti ini. “Silahkan Bapak Daren bercerita.”
“Sebenernya itu situasi sulit untuk Cakrawala, terlalu banyak perasaan dan pikiran yang kalau dipikir-pikir lagi sekarang agak bikin kami kecewa sama diri sendiri. Dari sangat muda kami udah bersama dan berjuang untuk debut bersama, waktu awal Cakrawala hanya bertiga saja Mahesa dan aku sudah agak kecewa dengan perusahaan dan nyaris keluar. Tapi dengan berbagai pertimbangan lagi akhirnya kami dimasukkan ke dalam tim. Bersama mereka sebenarnya bekerja berasa lagi main aja, masih ketawa-ketawa, bercanda. Tapi ada disituasi rumit seperti membuat aku sempet membenci diri sendiri. Banyak yang harus dilewatin termasuk debat dengan diri sendiri. Tapi aku yakin kita semua memiliki keinginan yang sama makanya aku rasa tetap egois untuk mempertahankan Cakrawala gak masalah.”
Suasana berubah menjadi sentimental, kenangan-kenangan mereka mengenai hari-hari bahkan bulan-bulan berat dalam pembicaraan tentang kontrak kembali terputar bagai film di kepala mereka. Hari-hari yang harus mereka jalani dengan penuh kepura-puraan agar orang-orang tidak tahu suasana hati buruk mereka karena setiap hari harus memikirkan keputusan memperpanjang atau menyudahi kontrak. Teman bermain mereka seakan hilang, hanya ada teman-teman dengan perasaan, pikiran dan pertimbangan yang berbeda satu sama lain.
“Rasanya gak mau lagi ada disituasi itu, cukup sekali aja,” Jinan menambahi.
“Aku ngerti sih, pasti sulit banget ada diposisi itu. Jadi bener ya, meski udah berteman sedakat kalian ada dalam situasi pekerjaan dan pertamanan ini sulit banget.” Amellia merasakaan sedikitnya suasana kelima anggota Cakrawala itu ketika berbincang tentang masalah ini tahun lalu.
“Cakrawala emang bisa aja bubar kalau ngomongin duit dan masalah keambisiusan kita.” Bukan hanya Stevan dan anggota Cakrawala yang mengakui itu, orang-orang yang mengenal mereka beberapa hari dan melihat bagaimana mereka bermain game saja sudah mengetahui betapa kompetitif dan ambisiusnya mereka untuk menang. Ini rasanya bukan lagi candaan tapi kenyataan yang sudah berulang kali mereka perbaiki, sekarang mereka tidak separah dahulu.
Beberapa pertanyaan setelah itu mereka jawab dan selesaikan dengan baik. Press conference hampir selesai dan Amellia tinggal menanyakan pertanyaan terakhirnya. “Sekarang yang terakhir, apa yang mau kalian sampaikan ke satu sama lain sebagai sebuah tim yang baru saja memperpanjang kontrak? Mungkin bisa dimulai dari Daren dulu.”
“Mungkin aku lebih pengen kita bareng terus, nyiptain banyak karya sama-sama, menyampaikan banyak hal positif ke para pendengar terutama penggemar kita.” Maksudnya, Daren meminta dengan sangat agar tidak ada satu pun dari anggota yang meninggalkannya sendiri dan kesepian. Karena ia merasa tidak ada yang akan bersamanya jika tidak ada Cakrawala, tolong pegang tangannya dan arahkan dia ke arah yang benar agar anak yang masih belum dewasa ini bisa belajar dan kuat untuk berjalan sendiri bila memang waktunya tiba mereka meninggalkan Daren sendiri.
“Setuju sama Daren, dari pada sebuah penghargaan atau pengakuan, aku pengen band kami sekarang dikenal sebagai band yang membagikan hal-hal positif ke orang-orang. Mengingat keadaan sulit kita tahun lalu, kayaknya kalian harus membayar kekecewaan gue selama ada di band ini.” Jinan kesepian bila tidak bersama kalian, dia tak tahu nanti siapa yang akan membuat dirinya yang selalu merasa rendah diri dan tidak percaya dengan karyanya sendiri ini kembali semangat membuat lagu. Sampai akhirnya tiba, ayo terus bersama, Jinan bahagia bertemu kalian.
“Sama aja, ah kalian berdua pada ngambil kata-kata gue nih. Intinya bersama kalian gue mau bertumbuh dan gue tau kalian sayang sama gue.” Jevano sangat menyayangi kalian dan takut kehilangan. Dia masih belum sempurna dan masih mau bertumbuh bersama kalian sampai dirinya rela melepaskan kalian dan akhir itu datang menjemput.
“Walau menjadi pemimpin kalian itu susah dan ribet, malah kalian yang memimpin jalan gue. Makasih udah setia ada di belakang gue yang belum sempurna ini. Makasih udah percaya.” Setelah menjadi pemimpin Cakrawala nyaris tak ada satu pun hal yang dia pikirkan melebihi Cakrawala dan anggotanya. Dia terus merasa tak sempurna meski para anggotanya selalu bila bahwa dia adalah pemimpin terbaik mereka. Mereka telah menerima Stevan dengan segala kekurangan dan kelebihannya, Stevan bahagia dan bersyukur untuk itu.
“Sebagai anak bontot, makasih abang-abang yang udah menjaga Mahesa sampai sekarang. Geli sih weh, tapi makasih dan ayo menjadi Cakrawala yang menghasilkan karya lebih baik lagi sampai setinggi cakrawala.” Meski gak sampai langit beneran, Mahesa telah dibuat menjadi bintang di Cakrawala. Dia tau semua kakaknya bisa menerangi jalan mereke sendiri, oleh karena itu dia hanya mau berjalan di paling belakang biar nanti kalau kakak-kakaknya meredup, ia akan menjadi penerangnya.
“Baik, terima kasih, sukses untuk projek-projeknya nanti dan sukses untuk besok konsernya.”
BAB 3 - Semesta Yang Berbicara Tentang Takdir
“Ayo, Ra. Cepetan donk, udah telat nih.” Rasanya baru saja Liora terbangun dari tidur di Minggu siangnya. Shanna tiba-tiba saja mengetuk-ngetuk pintu kosannya seperti orang yang ingin mengejar hari gajian untuk membangunkan Liora. Sekarang dirinya malah ditarik-tarik Shanna untuk keluar dari mobil Shanna yang telah diparkirkannya asal di tempat parkir. Liora hanya heran saja, apakah sebanyak itu rasa suka temannya ini kepada band yang memang beberapa kali ia dengar namanya.
Cakrawala. Rasanya tidak asing untuk Liora. Beberapa tahun terakhir, sepertinya nama itu sering didengarnya. Sebuah band yang bahkan sekiranya ia tidak pernah mengetahui lagu-lagu mereka, atau memang Liora sering mendengarnya tapi tidak mengetahui lagu-lagu itu bersal dari band Cakrawala ini. Pasalnya, Liora memang tidak terlalu mengetahui banyak hal tentang dunia musik setelah band kecintaannya yaitu One Direction hiatus tahun 2015 lalu. Meski masih sering mendengarkan lagu-lagu One Direction, tapi hanya itu saja, tidak ada lagu lain yang didengarnya karena tak pernah merasa bosan. Maka sekarang Liora diselimuti penasaran, apakah lagu-lagu dari band ini bisa membuatnya jatuh cinta dengan lagu itu atau masih tetap hanya One Direction di hatinya seperti band-band sebelumnya yang gagal menggantikan One Direction di hati Liora.
“Gue jamin, Ra. Lo bakal suka lagu-lagu mereka, mirip-mirip sama gaya musiknya One Direction tapi ini versi yang berbeda. Mereka menyajikan lagu-lagu yang gak kalah sama lagu-lagunya One Direction.” Liora yakin sekali Shanna sudah hafal dengan dirinya yang tidak pernah merasa puas dengan band-band lain karena di hati Liora hanya ada One Direction. Kalau kata Shanna, Liora ini terlalu setia kalau sudah nyaman atau terlalu suka kepada sesuatu. Kecenderungan yang tidak tahu baik atau tidak ini terus saja membayangi dirinya.
Konser dimulai dengan baik, Liora pikir memperkenalkan diri dan berbincang sedikit setelah membawakan tiga lagu sebagai pembukaan merupakan kebiasaan mereka dalam setiap konser-konser Cakrawala. Mereka sadar bahwa setiap konser mereka pasti akan ada orang-orang baru yang sebelumnya tidak mengenal mereka satu persatu, dengan kata lain mereka mengetahui pasti bahwa mereka seterkenal itu di berbagai kalangan usia. Untuk Liora masalahnya adalah beberapa orang luar negeri yang berdiri di depannya ini menutupi seluruh pandangannya.
“Halo semua, aku Stevan. Senang bertemu kalian semua. Untuk konser berikutnya, kami memiliki rencana untuk mengadakannya di tempat yang tertutup seperti di stadion yang cukup besar untuk banyak penonton.” Entah mengapa perkataan seperti itu membuat Liora cukup bahagia karena mungkin bila dia ikut menonton tur konser selanjutnya, dia akan bisa duduk dengan nyaman sambil melihat Shanna loncat-loncat dan bernyanyi dengan kencang. Namun kalimat selanjutnya sedikit mengejutkan Liora karena suara teriakan penggemar Cakrawala, “Dan mungkin di tur konser selanjutnya tidak hanya tur kota tapi juga sampai tur ke luar negeri. Semua ini berkat kalian, terima kasih semuanya.”
“Halo, halo, semuanya. Kalian pasti udah tau gue siapa, siapa? Iya, gue Jevano, drummer terkeren Cakrawala.” Kesan pertama Liora terhadap Jevano ini adalah pasti orang ini adalah orang tertengil dan jail di antara anggota yang lain. Meski tidak melihat wajahnya, tapi Liora yakin orangnya tidak akan jauh berbeda dari deskripsi laki-laki itu di kepalanya saat ini. Rambut sedikit gondrong dengan sorot mata yang sedikit redup namun terlihat dari pandangannya bahwa dia adalah seseorang yang suka bercanda dan menjadi orang yang selalu membuat teman-temannya tertawa dengan segala tingkahnya. Dia sepertinya bukan orang yang suka menjadi perhatian banyak orang tapi suka membuat orang lain tertawa yang otomatis membuatnya menjadi perhatian. Seseorang yang tampan tapi sedikit tertutupi dengan kelakuannya yang tak jarang membuat orang menggeleng-gelengkan kepalanya.
Perkataan Jevano tadi bahkan menimbulkan kericuhan diantara anggota dan tawa dari para penggemar karena mendengar protesan anggota lain. “Ya kan cuma lo drummer Cakrawala. Kalo ada dua boleh deh lo ngomong gitu walau kelewat peraya diri jadinya.” Laki-laki yang sedikit lebih pendek dari keempat anggota yang lainnya itu membuat kesan tersendiri untuk Liora. Tatapannya tajam tapi tidak kejam. Tegas tapi tidak lebih tegas dari tatapan seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai Stevan tadi. Perkataannya tidak sampai menusuk hati tapi cukup memberikan sebuah pesan. Liora tebak, cukup mudah membaca suasana hati pria itu hanya dengan perkataannya saja. Apakah dia sedang menanggapi candaan temannya atau sedang kesal.
“Tapi gue cuma mau menyampaikan rasa terima kasih kami yang sedalam-dalamnya kepada semua orang yang telah mendukung kami sampai hari ini tidak perduli apakah kalian mendukung kami dari awal debut atau baru-baru saja. Kami bisa ada sampai disini, bahkan sampai sebesar ini karena kalian semua. Meski saya dan keluarga telah menetap di Jakarta, tapi saya tidak akan melupakan bahwa saya lahir di Bandar Lampung. Senang bertemu kalian semua dalam keadaan baik.” Laki-laki yang awalnya cengengesan karena kejailannya itu sekarang menunjukkan sisinya yang berbeda. Liora tahu sisi seperti ini pasti cukup sering ditunjukkannya meski tak sesering saat dirinya menjukkan bahwa dia suka bercanda. Tapi di balik itu semua sekarang Liora merasa familiar dengan suara itu.
“Halo semua, aku Daren. Terima kasih telah datang dan selamat menikmati konsernya.” Meski hanya mengatakan dua kalimat tapi dampaknya kepada penonton sangat banyak, terutama Shanna yang sekarang sudah seperti cacing kepanasan. Mendengar suaranya dan seberapa formal dirinya berbicara saja Liora dapat menebak bahwa Daren ini model orang yang lebih diam bila bertemu orang baru. Bukan malu-malu hanya saja bila tak nyaman dirinya jadi lebih sering diam. Orang-orang yang sedikit memilih bila tentang lingkungan atau orang-orang terdekatnya.
Seseorang mirip dengan Liora. Sedikit sulit diatur dan rumit jalan pikirannya. Namun bila sudah nyaman pada sesuatu tidak akan ada yang dapat mengganggu gugat jalan pikirnya itu. Meski orang-orang memberitahunya suatu hal yang harus dipertimbangkan tapi karena percaya diri dan keras kepala mengenai hal-hal yang sudah diyakininya. Tapi mendengar bahwa mereka memiliki pertemanan yang erat dan juga baru saja memperpanjang kontrak meski bila mereka melanjutkan karir sendiri-sendirinya pasti akan laku dari Shanna, Liora yakin mereka pasti sangat cocok satu sama lain dan melengkapi. Hingga nyaris seperti bergantung kepada satu sama lain sangking tidak bisa dipisahkannya mereka. Sifat mereka pastinya tidak akan jauh berbeda meski ada beberapa yang memiliki pendapat dan kesukaan yang berbeda.
Liora tidak pernah suka pelajaran menghitung tapi dia suka membaca buku dan menganalisis sesuatu seperti sifat seseorang. Meski jarang bertemu banyak orang dan tidak memiliki banyak pengalaman, tapi Liora memiliki firasat yang sulit untuk dibohongi dan tak jarang penilaiannya benar. Liora sadar bahwa ini tidak sopan meski dia tidak bisa menghentikan sifat suka menilai sifat seseorang ini, jalan satu-satunya adalah tidak mengatakan penilainnya itu kepada siapapun karena takut dikira membaca orang lain secara kurang ajar. Namun Liora hanya bisa menilai seseorang yang cukup jujur atau terbuka tentang karakter mereka sendiri.
Konsernya berlangsung selama kurang lebih tiga jam lebih, Liora tidak tahu bahwa sebuah band seperti ini akan memberikan konser yang panjang dengan Liora yang masih saja kesulitan melihat orang-orang di panggung konser itu. Ternyata tidak hanya menyita perhatian para wanita tapi juga pria-pria yang tak kalah banyak, yang sejak awal menutupi pandangan Liora karena tidak mau mengalah untuk melihat Cakrawala. Selama berlangsungnya konser, Liora sadar bahwa banyak lagu-lagu yang dibawakan Cakrawala yang terasa familiar untuknya. Artinya Cakrawala dan nyaris seluruh lagunya sangat terkenal sampai-sampai si penggemar garis keras One Direction ini mengetahui lagu-lagu mereka.
“Liat, seru banget kan konser mereka. Makanya di otak dan hati lo tuh jangan One Direction doank, nyanyinya The Story of Mylife terus sih.” Merupakan kata-kata pertama yang diucapkan Shanna setelah keluar dari lokasi konser ini dengan susah payah. Shanna terus saja menyanjung-nyanjung band itu dan anggota kesukaannya, Daren. Liora akui band ini cukup baik atau memang sangat baik.
Penampilan mereka cukup memuaskan, penampilan yang berani berbeda dengan band-band lain yang mulai terkenal atau memang sudah terkenal yang kebanyakan menciptakan lagu bertempo lambat dan bertemakan percintaan dan keresahan hati. Mereka malah menyuguhkan penampilan sangat baik dengan lagu-lagu tempo cepat dengan beberapa lagu yang malah mereka ciptakan untuk mendukung penggemar mereka yang sedang mengalami pergumulan batin dan menyatakan perasaan terima kasih juga cinta mereka kepada para penggemar. Liora yang bukan penggemar mereka juga jadi merasakan perasaan hangat dan ketulusan dalam setiap lagu-lagu mereka.
“Mereka bagus. Semoga aja bertahan lama, soalnya dunia musik berjalan cepet banget sekarang. Jadi kalau hiatus setahun aja mereka mungkin bakal kesulitan lagi untuk balik.” Itu pendapat dan harapan Liora untuk band dalam negeri seberkualitas ini. Mungkin menjadi band dalam negeri terbaik menurut Liora, pantas saja Cakrawala dapat konser sampai ke luar negeri.
“Langsung ke mobil kan, Ra?” Baru saja Liora akan mengucapkan jawabannya, tapi ponselnya malah bergetar terus tanda ada panggilan masuk. Tertera nama bosnya di layar ponselnya, “Pak Bos telepon gue angkat dulu, lo duluan masuk mobil duluan aja.”
Mereka berpisah di pintu keluar lokasi konser, Shanna memilih ke kanan menuju mobil miliknya sedangkan Liora memilih lurus, ke tempat sepi agar dapat menerima telepon dari atasannya. “Halo, Liora. Saya mau mengabari saja kalau besok akan diadakan rapat, kamu wajib datang.”
“Mohon maaf, Pak. Tapi apakah bapak sudah memberitahu sekretaris saya? Kenapa Bapak yang memberitahu saya ya?”
“Sudah saya beritahu sekretaris kamu, tapi karena rapat ini mengenai kamu dan karirmu jadi saya pikir saya harus memberitahu kamu sendiri.” Perkataan yang berasal dari suara bariton khas bapak-bapak milik Direktur dua anak itu membuat Liora getir. Pikiran-pikiran buruk mengenai nasib dirinya dan karirnya membuat bibirnya kelu. Matanya menjadi sayu, bahunya jatuh melemah, hanya bisa mengucapkan kata iya untuk mengakhiri panggilan mendadak itu.
Helaan nafas beratnya tidak bisa dihindari. Pikirannya kacau hanya dengan sebuah kalimat sederhana yang dikatan atasannya. Bukannya apa, sampai di posisinya ini, Liora sudah berusaha sangat keras. Tapi hanya beberapa hari saja, dia sudah mendapatkan berita seperti ini. “Enggak, Ra. Siapa tau berita bahagia ya, kan?”
Baru saja tubuhnya akan berbalik sempurna tapi tangkapan netranya ketika Liora baru saja berbalik ke kanan membuatnya sangat terkejut. Rambut gondrong dan pirang yang jelas saja mirip dengan laki-laki yang ia temui beberapa hari yang lalu di makam ibunya. Memakai hoodie hitam dan celana training berwarna hitam dengan garis putih di pinggirnya. Sehingga entah dorongan dari mana sampai Liora mau memanggil laki-laki yang ketika mendengarnya langsung berjalan menjauh lebih cepat.
Liora pikir dia sudah cukup jauh dari lokasi konser dan dia kehilangan jejak pria itu. Saat kakinya baru akan kembali melangkah ponselnya kembali bergetar karena adanya panggilan masuk ke ponselnya, ketika melihat nama Shanna di sana, Liora langsung mengangkatnya berniat meminta maaf dan akan segera kembali tapi isakkan Shanna membuatnya terdiam di tempat. “Halo, Na. Lo kenapa?”
“Papa… udah gak ada, Ra. Papa gue udah gak ada di dunia ini.”
“Shanna, maaf banget karena denger itu. Turut berduka cita. Sekarang gue lagi ada urusan mendadak, gapapa kalau lo mau pergi duluan nemuin Papa lo. Gue mah gampang.”
Shanna kesulitan mengatur nafasnya, “Kalo gitu gue jalan ya, Ra. Lo hati-hati, udah malem soalnya. Makasih ya, gue tunggu di pemakaman, lo dateng sebisanya aja.” Liora pernah ada di posisi itu, kehilangan tidak pernah mengenakan. Tapi harus berkata terima kasih kepada seseorang yang mengatakan turut berduka jauh lebih sulit rasanya dari pada harus menahan duka karena harus terus diingatkan sebuah duka oleh mereka semua.
“Lo yang harusnya hati-hati. Kendaliin diri lo setidaknya sampai ke rumah sakit, jangan kenapa-napa.”
Gak lama, panggilan itu berakhir. Liora tidak tahu harus pulang kemana dan menggunakan apa. Rumahnya cukup jauh dari tempatnya sekarang. Berkali-kali Liora merutuki dirinya sendiri yang terus bertindak ceroboh, sekarang dia hanya bisa menyesalinya.
“Nyari siapa, Mbak?” Liora sangat terkejut dan reflek berbalik badan, mengahadap orang yang berbicara. Seseorang masih dicari-carinya sejak berapa waktu yang lalu, pria pirang yang membuatnya sampai ada di tempat itu sekarang. Pria itu malah celingak celinguk tidak jelas seolah mengejek Liora yang tertangkap basah mengikutinya. “Kalau nyari tempat konser lewat kanan, Mbak. Nanti ketemu band saya, Cakrawala.”
Pria pirang itu sudah berbalik dan siap melangkah sebelum Liora membuka suaranya, “Ngaku-ngaku aja lo. Masa band sebagus mereka punya anggota kayak lo.” Pria itu reflek berbalik dengan wajah cerah menatap Liora sungguh-sungguh seolah tak percaya.
“Lo kok sok tau bener, justru gue yang seganteng ini tuh inceran agensi-agensi musik di luar sana. Jangan meremehkan donk.” Pria itu memakai topi hoodienya, membuat wajahnya lebih tidak jelas. “Udah malem. Lo gak pulang? Gak takut gue culik atau gue apa-apain?”
“Gue ini sabuk hitam karate, buat ngebanting badan kurus lo itu mah gampang.” Pria itu terkejut, selain manajer perempuannya tidak pernah ada perempuan yang mampu menjawabnya demikian. Kebanyakan yang dia temui malah memilih takluk dengan ketampanannya ketika menjawab pertanyaannya itu, bahkan ketika orang-orang itu tidak mengenalnya sama sekali.
Dia menawarkan mengantarkan Liora pulang, “Udah malem banget. Mama gue ngajarin untuk gak ngebiarin perempuan pulang sendiri kalau udah malem. Dan gue cuma nanya ini sekali, mau gue anter pulang gak? Soalnya udah sepi banget juga.”
Pertanyaan yang dilontarkannya menurutnya sangat santai tapi menurut orang yang mendengarnya pasti terdengar arogan. Liora melihat ke sekitarnya sebentar lalu tembali diam untuk berfikir, persentasenya lima puluh persen-lima puluh persen. Kalau orang di hadapannya orang jahat dia akan kesal sekali dan pastinya akan menggunakan segala cara untuk membela diri, tapi kalau orang di depannya baik dan dia menolak tawaran ini, dia akan menyesal. Liora menyerahkan segalanya kepada Tuhannya lantas berkata, “Iyaudah, tapi awas kalau lo sampai macam-macam. Bukan gue tapi lo yang akan kenapa-napa.”
Jadi, di sinilah mereka. Pria pirang itu menghidupkan mobilnya yang ternyata tak begitu jauh dari tempat mereka berdiri tadi, melaju pergi dari area konser Cakrawala. Mobil berwarna hitam dengan kisaran harga dua miliar dan berasal dari Jerman ini melaju kencang membelah jalanan malam yang kala itu jam menunjukkan angka setengah sebelas. Liora baru saja merasakan masuk dalam mobil mahal yang hanya ada dua puluh tiga unit saja di dunia. Simpulannya, orang yang sedang mengemudi di sampingnya ini adalah orang kaya dengan penampilan sederhana entah karena itu kesukaannya atau memang memiliki alasan lain.
“Jevano, nama gue Jevano.”
Dengan cepat Liora melihat ke kanannya, menatap heran laki-laki di sampingnya. Jujur, pada awalnya Liora kira pria ini adalah mafia Italia yang menghindari kejaran orang dengan pergi dan berbaur dengan orang Indonesia. Walau aneh karena Bahasa Indonesia pria ini sangat bagus dan seperti penduduk asli. Lalu ketika Jevano memperkenalkan dirinya, barulah Liora sadar bahwa orang di sampingnya saat ini hanyalah orang kaya yang sepertinya biasa saja.
“Gue Liora.”
“Kita ke mana ini?”
“Jalan aja, gue tunjukkin jalannya nanti sambil jalan.”
“Lo nonton Cakrawala? Fans-nya juga?”
“Gue cuma nemenin temen aja. Dia tadi izin pulang duluan aja karena ada urusan mendadak.” Jevano menyimpulkan sendiri bahwa Liora tidak menyimak konsernya benar-benar dan tidak memperhatikannya, makanya Liora tidak mengenali sosok drummer Cakrawala yang satu ini.
“Lo ngikutin gue tadi? Kenapa?”
Liora tertangkap basah ternyata. Tak dapat dihindari lagi, tapi dia harus memberikan alasan yang logis agar tidak memalu-malukan dirinya sendiri. “Gue kira tadi lo itu orang yang gue kenal ternyata bukan.” Aduh, pernyataan bodoh ini tidak jauh dari kata memalukan juga sebenarnya. Tapi dia berharap Jevano tidak membalasnya saja atau menanyakan hal-hal aneh lagi mengenai alibinya.
“Lo bisa dikatakan sebagai orang beruntung karena bisa masuk mobil yang bahkan temen-temen gue gak gue bolehin masuk kesini.”
Liora berdecih kecil, “Lo orangnya emang punya pede yang ketinggian ya.”
Tidak tersinggung, Jevano malah tertawa. Liora benar-benar jujur dengan perasaannya, biasanya orang baru akan menjaga citranya dengan amat baik agar tidak memberikan pandangan buruk terhadapnya. Tapi Liora tidak. Dia mengatakan apa yang mau dia katakana kepada lawan bicaranya. Jevano sangat jarang bertemu orang seperti Liora ini. Kepribadian yang tidak jauh beda sebenarnya dengan Jevano.
“Lo bener-bener orang pertama yang memperlakukan gue seperti ini. Biasanya orang-orang akan jatuh cinta duluan dengan wajah gue.”
“Gak semua orang harus jatuh cinta sama wajah lo. Gue mungkin orang yang baru lo temui dari sebagian orang yang tidak jatuh cinta dengan wajah lo itu. Tapi emang lo ganteng, cuma gue gak pernah mikirin jatuh cinta hanya karena wajah aja sih.” Liora berkata jujur tapi tidak mengatakan semua yang ada dalam pikirannya, karena terdapat privasi di dalamnya juga.
Tapi Liora lupa, Jevano ini telah mendengarkan sebagian cerita hidupnya di makam waktu itu. “Gue ngerti sih. Selain gak melihat wajah aja, lo juga pasti gak akan jatuh cinta semudah itu setelah kisah hidup lo yang berulang kali dikecewakan laki-laki.”
“Kalau lo pernah pacaran atau berhubungan apapun itu dan orang yang lo percayai menghancurkan kepercayaan lo, lo bakal ngerti. Kepercayaan itu kayak kaca. Sekali lo buat retak apalagi kalau sampai pecah akan kembali untuh lagi, dan yang harus dilakukan cuma menyingkirkannya terus ganti yang baru kan? Kayak gitu.”
Jevano tersenyum tipis, “Bener. Harus tau juga kalau diberi kesempatan jadi tempat curhat jangan mengkhianati orang yang curhat karena kita gak tau seberapa berpengaruhnya cerita-cerita mereka itu. Meski terkesan seperti tempat sampah tapi itu tempat sampah yang berharga.” Seperti ada perasaan lega bisa mengeluarkan perasaannya walau tidak jelas seperti ini. Biasanya dia tidak dapat melakukan ini apalagi kepada orang yang tidak mengenalinya sebagai artis.
“Rasanya pasti kadang capek ya.” Pernyataan mendadak itu membuat Jevano tertegun sebentar, gadis di sampingnya mengetahui perasaannya? “Maksud gue, sebagai orang yang terus menampung cerita-cerita orang pasti akan sulit dan kadang merasa berat atau capek sendiri. Tapi kalau dinikmati dan dilihat dari sisi baiknya ya bakal baik juga.”
Jevano merasa tenang kembali dan mengangguk-angguk, membenarkan perkataan Liora. “Menurut lo, artis yang dicintai banyak orang karena wajahnya aja tuh kalau udah gak jadi artis atau udah gak ada, bakal ada yang inget gak?”
Liora tertawa, “Gue suka banget sama One Direction. Mereka udah bertahun-tahun hiatus. Dan gue masih punya perasaan yang sama besarnya seperti saat awal gue menyukai mereka. Menurut gue, gak semua orang akan melupakan artis itu apalagi kalau artis itu memberikan karya-karya baik dan positif ke penggemarnya. Pasti akan terus dikenang sebagai masa-masa indah meski artisnya udah pension atau udah gak ada di dunia. Tapi kalau orang-orang yang cuma melihat wajah aja sih ya kemungkinan besar bakal dilupakan. Jangankan waktu udah gak ada di dunia, waktu udah tua dan gak ganteng atau cantik lagi aja pasti ditinggal.”
Menarik nafas sebentar, Liora lantas melanjutkan perkataannya. “Itu masalah si artis. Kalau dia gak berhasil buat si penggemar wajah doank ini jatuh cinta dengan karya dan talentanya ya berarti dia gak bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik. Tapi ya itu terserah di artis, ada yang bodoamat dengan pandangan itu ada juga yang memperhatikan banget masalah ini.”
Malam dalam mobil berjenis sedan mewah itu terasa sangat cepat. Rasanya mereka baru berbincang sebentar tapi waktu berjalan tanpa menunggu siapapun. Keduanya berpisah tanpa memberikan apapun kecuali nama dan kenangan manis yang sepertinya tidak akan dilupakan mereka selamanya. Orang-orang bilang, kebetulan biasanya menjadi cara takdir untuk berbicara kepada seseorang. Entah ini karena takdir yang berbicara atau karena semesta sedang iseng, tapi keduanya dipastikan tidak akan melupakan malam disaat mereka bertukar pikiran seperti memang mengenal baik satu sama lain.
BAB 4 – Langit Abu-abu
“Apa? Pindah ke cabang?”
“Yang bener, Bu? Jangan bercanda donk.”
Ruangan kecil yang disediakan pihak rumah duka yang disewa Shanna untuk ayahnya terasa penuh hanya karena Liora, Shanna dan Kiran – Sekretaris Liora, kedatangan Liora ke rumah duka setelah rapat dengan petinggi perusahaan dan izin untuk pulang lebih cepat tidak semata-mata untuk menghormati ayah dari temannya saja. Tapi juga untuk menyampaikan berita yang awalnya juga membuat dirinya sangat terkejut.
“Gue bakal jadi kepala cabang di cabang Jakarta Pusat minggu depan, beneran,” ujar Liora kesal. Shanna yang menitikan air matanya membuat Kiran terheran-heran. Pasalnya, waktu awal kedatangan dirinya yang lebih dulu dari Liora, Shanna tidak sekalipun terlihat menitikan air mata untuk ayahnya. Tapi saat mendengar Liora akan dipindah tugaskan barulah Shanna menangis.
Shanna langsung memeluk Liora erat seolah sangat-sangat tak ingin membiarkan temannya pergi jauh meninggalkannya, “Secepat ini lo akan naik pangkat dan pindah?” Liora kebingungan menjawabnya, selama hidupnya ini menjadi keinginannya. Walau terasa sedikit berat meninggalkan kota yang berisi seribu perasaan dan kenangannya, Liora tetap merasa sedikit bahagia karena impiannya tercapai cukup cepat. Liora terlihat egois kan? Dia individualis, padahal dia hanya ingin mencapai posisi bagus dengan penghasilan baik di usia mudanya.
Masa lalunya membuat dirinya terlihat seperti tidak berperasaan, membuatnya takut memiliki hubungan dalam kepada semua orang. Termasuk pertemanan dengan perempuan sekalipun. Takut kehilangan sampai ketakutannya untuk memulai sebuah hubungan apapun benar-benar membuatnya seperti iblis tak berperasaan. Namun tak ada satupun orang yang mau mengertinya. Bahkan hanya Shanna yang bersih keras mau mendekati dan mencoba mengerti Liora meski ditolak berulang kali.
“Lo bisa dateng kapan aja ke Jakarta, lo bisa tinggal di apartemen gue juga.”
“Papa ninggalin gue, lo juga?”
“Gak ada yang ninggalin lo, Shan. Gue ada kalau lo butuh, suruh gue pulang aja atau lo ke Jakarta.”
Shanna Bolaeva. Orang-orang akan melihatnya sebagai perempuan ceria dengan senyum manis yang akan sulit diluapakan semua orang yang ada disekitarnya. Tapi dibalik itu semua, Shanna hanya tulang punggung dan anak pertama keluarganya yang tidak bisa meninggalkan ibu dan adik perempuannya sekarang. Bahunya yang biasanya bergetar karena tawa, setiap malam hanya bergetar karena tangisan karena bahunya sebenarnya tak kuat menahan betapa beratnya beban yang harus dia tanggung. Ibunya yang sakit terus, adiknya yang harus sekolah setinggi mungkin untuk menjadi orang besar suatu hari nanti, sampai ayahnya yang meninggalkan dirinya duluan.
Saat Shanna lebih tenang, dia mulai buka suara mengenai kepergian sang ayah. “Pembuluh darahnya pecah, dia jatuh dari kamar mandi terus gak terselamatkan karena Mama sama Della, adek gue, lagi gak ada di rumah. Gue gak bisa nyalahin mereka soalnya emang yang paling pinter nutupin rasa sakit Papa, jadi kalau dia pura-pura kuat pun serumah pasti percaya aja.”
“Terakhir kali gue ngobrol serius sama Papa itu waktu pulang acara pelantikan lo, Ra. Papa bilang takut nyusahin anak-anaknya. Dia takut kalau lebih tua dan dia benar-benar ketergantungan sama obat darah tinggi terus, dia jadi nyusahin anak-anaknya. Padahal kan enggak, gue kerja ya untuk mereka. Kalau enggak buat mereka dan gue anak orang kaya, gue gak akan kenal namanya kerja keras kali.” Liora tak mengerti rasanya bekerja untuk orang lain, dia hanya tau kalau bekerja dan menghasilkan banyak uang hanya untuk masa depannya dan balas dendam kepada orang-orang yang meremehkannya. Liora tak punya siapa-siapa lagi.
Siang sampai malam hari Liora dan Kiran setia menemani Shanna. Tapi menyadari besok mereka akan bekerja, keduanya pamit pulang. Kiran menaiki motornya sendiri sedangkan Liora pulang menggunakan mobilnya sendiri. Malam itu belum terlalu malam, tapi langit malam terasa sangat kelabu dan udara amat dingin. Langit abu-abu selalu terasa biasa saja sebelumnya, tapi malam ini terasa berbeda. Jantungnya berdebar, di hatinya terasa ada yang mengganjal, terasa bahagia dan sedih bersamaan. Liora hanya mengabaikan perasaan itu dengan menghidupkan lagu di album-album One Direction kesukaannya saja.
*****
“Wey, Jevano! Ngelamun terus lo.” Menurut pengakuan semua anggota Cakrawala, Jevano adalah anggota yang paling sering terlihat seperti orang yang sedang berfikir tapi ternyata tidak memikirkan apapun. Maka mereka semua telah hafal setiap gerak gerik Jevano bila mulai melamun seperti saat ini. Laki-laki berambut pirang itu menghembuskan nafasnya yang terasa berat itu pelan, lalu menoleh ke kiri, melihat keempat anggotanya yang sudah menatapnya sedari Jinan menegurnya.
“Gue pikir kita tuh belum seterkenal itu. Jadi gue mikirin gimana caranya kita bisa melebarkan sayap lebih lebar lagi.” Stevan lagi-lagi disadarkan sebuah alasan kenapa setiap manajer mereka tidak pernah ada yang bertehan lebih dari tiga bulan. Sejak awal anak-anaknya memang sulit diatur, apalagi pemikiran kelimanya yang sangat berbeda dan aneh-aneh. Memang hanya Stevan yang tahan mengurus keempat bocah aneh ini.
“Burung gak akan punya sayap yang lebar kalau badannya gak besar, kalau sayapnya lebar tapi badannya kecil bakal gampang untuk jatuh. Jadi dari pada fokus ngembangin sayap biar lebih terkenal, lebih baik kita mengembangkan inti band kita ini yaitu karya kita. Dari awalkan motto kita menghasilkan karya untuk terkenal bukan terkenal dulu baru menghasilkan karya. Kalau mau terkenal gampang, bikin sensasi aja kayak artis-artis kebanyakan.” Daren terbilang anggota yang paling sulit untuk banyak berbicara, tapi dia bisa terbilang sebagai ahli sastra diantara kelimanya. Kata-kata yang keluar biasanya memiliki banyak arti, kalau kalian berfikir artinya A bisa saja maksud Daren adalah B atau C. Daren adalah yang paling sulit tertebak orangnya.
“Masa langsung skakmat sih, Ren. Lo liat mukanya Bang Jevano udah sepet.” Perkataan Mahesa terdengar seperti ejekan dan sindiran halus untuk Daren. Tapi Daren bagi empat yang lain adalah anak kecil yang masih harus mereka jaga. Malah Mahesa adalah yang paling tidak cocok selera dan kepribadiannya dengan Jevano sehingga sering kali berbeda pendapat, itu kenapa mereka semua sering bersama, untuk menjadi pendamai antara anggota yang berbeda pendapat walau keseringan mereka hanya menjadi orang yang tertawa saja tanpa membantu. Sehingga pada akhirnya pekerjaan menenangkan anggota yang berbeda pendapat hanya dilakukan oleh Stevan.
“Kapan sih kita ngeluarin album selanjutnya?”
Jujur saja, sekarang suasana menjadi sunyi setelah pertanyaan polos situ keluar dari mulut sang drummer. Semua anggota lantas menghembuskan nafasnya kasar, Jinan bahkan sampai menepuk kepalanya pelan. “Bang, lo banyak pikiran banget tah sampai lupa terus? Album selanjutnya keluar dua bulan lagi, di pertengahan bulan.”
“Gue udah berulang kali bilang soal ini ke lo, Van. Bahkan tadi pagi kalau gue gak nyamperin lo, lo gak akan ke sini deh kayaknya. Masih asik gak ada kerjaan di kamar lo.”
“Lo kenapa, Van? Akhir-akhir ini terlalu sering ngelupain hal-hal penting tentang band. Biasanya lo gak sesering ini.”
Protes dan pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan secara berturut oleh Mahesa, Stevan dan Daren. Jevano bukan orang yang akan mudah melupakan hal-hal yang sudah didengarnya berulang kali dan mereka yakin sekali telah mengulang terus-terusan hal-hal mengenai pengerjaan dan pengeluaran album terbaru nanti. Tapi Jevano terus melupakan itu. Bagi mereka ini sangat aneh.
“Kalo lo sakit atau kecapekan mending istirahat aja, Van. Tur konser yang kebanyakan juga bisa bikin lo sakit. Jadwal kita bakal padet banget abis ngeluarin album jadi mending lo istirahat dulu.” Jinan pikir tak masalah bila album kali ini pekerjaan Jevano dibuat lebih sedikit dari pada yang lain karena memang Jevano banyak bekerja sejak di awal tur konser, belum lagi banyak pemotretan yang harus dilakukan Jevano sejak beberapa bulan yang lalu.
“Gak. Gue gak kenapa-napa kok. Cuma kayaknya terlalu banyak hal yang harus gue pikirkan akhir-akhir ini. Kita balik ke Jakarta kan besok?”
Empat yang lain mengangguk sambil menunjukkan ekspresi dan tatapan ragu kepada Jevano. Mereka hanya ragu dengan perkataan Jevano yang bilang kalau dia baik-baik saja karena mimic wajah Jevano mengatakan sebaliknya. “Gue gak kenapa-napa, serius.”
Perkataan Jevano membuat keempatnya mengangguk lagi lalu kembali fokus dengan diskusi mereka mengenai lirik dan lagu-lagu baru mereka nanti. Namun Jevano mulai merasakan kepalanya yang pusing, pandangannya sudah mulai tidak jelas. Akhir-akhir ini memang perasaan ini sering dia rasakan tapi kali ini sangat tidak bisa dia kendalikan seperti biasanya. Pingsannya Jevano membuat keempat anggota Cakrawala yang lain langsung cepat-cepat mendekati tubuh temannya itu.
Mobil saat itu hanya ada satu yaitu mobil yang biasa mereka gunakan untuk jalan ke tempat lain berlima dengan manajer mereka. Dengan panik, semua anggota Cakrawala membangunkan manajer mereka yang memegang kunci mobil di kamar hotel lain. Jevano benar-benar tak berdaya saat itu, Mahesa sebagai pemilik badan paling besar membawa Jevano turun duluan ke parkiran mobil mereka.
“Kalian lama amat. Gue udah nunggu lama nih,” protes Mahesa.
“Yaudah ini sekarang udah dateng, cepet masukin Jevano. Masukin di jok paling belakang aja, biarin Daren yang jaga dia. Gue di depan bareng Brandon.” Brandon – manajer Cakrawala – juga tak kalah paniknya dengan mereka. Dia cepat-cepat membuka dan menghidupkan mobil. Stevan langsung mencari lokasi rumah sakit terdekat untuk mereka datangi, untung saja hotel mereka tak jauh dari salah satu rumah sakit terbaik di Bandar Lampung. Tapi tetap saja keadaan Jevano setelah sampai di rumah sakit cukup buruk, dia benar-benar tak berdaya.
Beruntungnya para dokter dan suster bergerak cepat dan cekatan untuk menyelamatkan Jevano. Semua orang yang menjadi harap-harap cemas saat melihat Jevano tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Tidak ada lagi Jevano yang berlaga sok kuat saat dia sakit seperti biasanya, candaan dan tawa yang keluar dari mulutnya. Sekarang bahkan membuka mata saja rasanya sulit, bibirnya pucat dan kaku, seperti diberi obat tidur.
Brandon tak tahan berada di sana, hatinya terenyuh setelah pertama kali melihat secara langsung betapa luar biasanya persahabatan Cakrawala. Jadi dia memutuskan untuk pamit pada Stevan untuk pergi ke kantin. Selain pengertian kepada sesama anggota, para anggota Cakrawala juga menganggap semua orang yang bekerja bersama mereka sebagai teman dan sahabat. Mereka cukup santai dan tidak terlalu keras kepada para staf Cakrawala, maka mudah bagi Brandon untuk pergi ke kantin.
Sepertinya hampir setengah jam keempat anggota Cakrawala berdiri di IGD menyaksikan Jevano yang sedang coba distabilkan dokter. Sampai akhirnya mereka bisa bernafas lega. Dokter yang dari wajahnya terlihat seperti yang tertua diantara empat dokter di sana menghampiri Stevan, Jinan, Daren dan Mahesa. “Saya sepertinya butuh pemeriksaan kesehatan dari pasien, apakah ada hasil pemeriksaan terbaru dari seminggu terakhir? Atau kita periksa pasien saja langsung?”
“Kami baru cek kesehatan empat hari yang lalu sebelum ke Lampung, tapi hasil pemeriksaan ada di Jakarta.” Stevan menjawab dengan lugas.
“Bisa telepon dokter yang bertanggung jawab atas hasil pemeriksaan itu?”
Stevan menggeleng pelan, mereka tak punya nomor dokter itu. “Tapi kami punya hasil rontgen yang biasa dilakuin bareng cek kesehatan, Dok.”
“Ada hasil rontgen kepala pasien?”
“Ada, Dok.”
Dokter itu memanggil salah satu dokter muda disana dan menyuruh Stevan memberikan hasil rontgen Jevano kepada dokter muda yang diketahui bernama Awan itu untuk nanti mudah dibaca oleh dokter senior itu. Stevan bahkan diminta ikut ke ruangan dokter tersebut untuk melihat bersama hasil rontgen Jevano.
Dokter itu menunjuk ke sesuatu pada gambar di laptopnya, “Anda lihat di bagian depan ini terdapat benjolan. Ini yang saya perkirakan sebagai tumor otak. Saya tidak berbicara pasti bahwa itu adalah tumor, tapi kita harus bertindak cepat. Harus segera kita lakukan MRI otak.”
Stevan menahan nafasnya lama, baru setelah hatinya membaik dia menghembuskan nafas itu dengan berat. Rasanya jauh lebih berat ketika dia harus mengurus keempat adiknya di Cakrawala, “Kalau gitu. Langsung lakukan MRI saja, Dok.”
Pria dengan jas putih kebanggannya itu mengangguk lalu berdiri dan menemuk bahu Stevan seolah menguatkan. Karena sebenarnya nafas berat laki-laki ini pun sudah menyatakan betapa beratnya posisi itu di bahunya sekarang. Jevano sudah seperti penopang Cakrawala malah sekarang runtuh nyaris seluruhnya. Hanya rapalan doa yang tidak pernah putus Stevan sebutkan dalam hati sejak keluar dari ruangan dokter yang membuatnya kuat. Saat ditanya keempatnya pun dia tetap diam. Stevan tahu diamnya hanya akan membuat suasanya semakin runyam tapi dari pada melihat ketiga adiknya bersedih lebih baik dia pendam sendiri.
“Hasil MRI sudah keluar, kalian bisa masuk ke ruangan radiologi menemui Dokter Bayu dan Dokter Rasi.”
Maka disinilah mereka berada. Brandon, Stevan, Mahesa, Jinan dan Daren menatap layar komputer dekat tempat berbaringnya Jevano yang sedang di MRI sekarang. Beberapa menatap bingung, tapi Stevan menatap dengan penuh harap. Dia tidak berharap berita buruk menerpa mereka. Tapi harapan Stevan memang hanya harapan. Dokter menyatakan bahwa Stevan terdiaknosis tumor otak pada bagian lobus temporal.
“Pasien akan mulai kesulitan berbicara dan mendengar, kehilangan ingatan pada kejadian yang baru terjadi atau halusinasi mendengar suara yang sebenarnya tidak ada.”
“Iya, Bang Jevano belakangan ini jadi sering lupa, suka bilang ngedenger sesuatu juga padahal gak ada suara apa-apa.” Jujur saja pernyataan yang berupa fakta itu menjadi tamparan keras untuk Cakrawala saat ini. Mereka tak pernah menganggap serius gejala-gejala aneh itu. Kebiasaan-kebiasaan Jevano pun berubah tapi mereka tak menyadari itu.
“Kita perlu menganggap ini serius karena ukurannya telah mencapai 0,5 sentimeter.”
“Berapa kemungkinan hidup, Dok?” Pertanyaan tertahan itu akhirnya Daren ungkapan. Dirinya tak mau kalimat itu keluar karena akan menyakitkan, tapi sebelum terambat dia akan mencoba yang terbaik untuk Jevano.
“Lima belas persen bertahan hidup selama sepuluh tahun setelah didiaknosa.”
BAB 5 – Mimpi
“Bang! Astaga si Daren hampir copot jantungnya liat lo pingsan.” Saat memasuki ruangan Jevano memang hanya Mahesa yang sangat heboh. Tiga yang lain sibuk membawa beberapa makanan dia malah sibuk mengomel. Mereka sepakat bersikap biasa saja sampai Jevano mau menceritakannya sendiri. Mereka sendiri memundurkan jadwal pulang ke Jakarta menunggu kondisi Jevano membaik, “Awas Bang tangan lo, ada infus itu, santai geh liat susunya.”
“Giliran susu stroberi aja rasanya gak ada hari esok.” Ucapan Daren disetujui semua orang yang ada di ruangan. Jevano hanya menyunggingkan giginya seolah tak merasa bersalah. Awalnya dia kira para anggotanya akan memarahinya habis-habisan karena sampai pingsan tapi melihat suasana yang amat baik terjalin di antara mereka, rasanya tenang. Jevano benci hal-hal ‘berisik’, maka dia sudah menyiapkan berbagai argumen untuk menutup mulut anggotanya.
Senyum laki-laki dengan rambut pirang itu mengembang ketika dia sadar bahwa susu stroberi kesukaannya diletakkan Daren di meja nakas samping tempat tidur pasiennya. “Ternyata masih inget punya gue kalian ya.”
“Ingetlah, semaleman aja gak ada yang pulang. Nungguin lo.”
“Ah, lebay, gue mah gak kenapa-napa.”
Stevan kembali membalas ucapan Jevano, “Gak kenapa-napa tapi pingsan, apaan?”
Ada kata-kata yang tertahan di tenggorokannya, ada kalimat-kalimat yang urung disampaikannya, ada perasaan yang ingin diungkapkan tapi tak diizinkannya, ada penyesalan yang diulang-ulangnya dalam hati. Jevano bingung, dia ingin mengungkapkan segalanya tapi egonya tak mau terlihat lemah. Karakternya yang jarang serius dan membuat para anggotanya tersenyum mau dia bawa kemana nanti? Apakah anggotanya akan menerimanya seperti Jevano yang dulu?
Sadar akan kecanggungan ini, Mahesa mencairkan suasana, “Bang, gue minta T*ngo yang stroberi ya satu bungkus? Laper gue keliling supermarket, mana Bang Stevan udah kayak jenderal militer yang ngawas kerja rodi, gak boleh istirahat gue.”
“Hiperbola banget, Mahesa. Fitnah, jangan membuat nama gue jelek ya.” Stevan menyangkal.
“Gue boleh ngomong serius?” Ternyata Jevano telah membuat sebuah keputusan. Semua orang dalam ruangan itu kini duduk berdekatan di sekitar ranjang pasien Jevano. “Gak tau kalian udah tau kabar ini atau belum, tapi waktu hasil cek kesehatan beberapa hari yang lalu keluar, sebelum ke Lampung gue ketemu Dokter Selly dulu. Dia bilang gue harus MRI biar dia yakin kalau kepala gue gak kenapa-napa. Disana gue sadar kalau ternyata gue ketahuan.”
Pria itu menghela nafas, tak mampu menunduk ataupun menatap empat yang lain. Sedangkan empat yang lain hanya diam membiarkan Jevano berbicara sesukanya. “Tiga bulan. Tiga bulan gue tahu kalau gue kena penyakit ini, waktu itu gue pingsan beberapa jam di balkon kamar. Setelah gue sadar, gue memutuskan untuk ke Dokter karena gue sudah merasakan hal-hal aneh dengan tubuh gue terutama seringnya gue mendengar hal-hal aneh yang kata kalian gak ada suara apa-apa. Dokter gue bilang kalau gue terkena Tumor otak jinak bagian lobus temporal. Kemungkinan sembuhnya ada, tapi gak banyak.”
“Tapi gue gapapa. Gue baik-baik aja. Mama sama Papa gue kirim untuk jalan-jalan ke luar negeri biar kabar ini gak sampai dengan cepat kepada mereka dan mereka gak akan terlalu sadar dengan perubahan gue.” Jevano tersenyum simpul, benar-benar tak ada penyesalan sama sekali dalam wajahnya. “Sebelum semuanya berakhir, gue cuma pengen melakukan semua yang gue suka dan gue mau. Karena gue pikir selama ini hidup gue hanya diatur oleh orang lain jadi gue mau sisanya ini bakal jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya.”
Baru Jinan akan protes dengan keputusasaan Jevano tapi kata-kata selanjutnya yan dikatakan pria ini membuat semua orang di ruangan itu terdiam mendengarnya, “Berobat hanya akan menambahkan kesakitan gue. Gue gak mau. Biarin semuanya berakhir dengan seadanya aja. Maaf kalau waktu kita ternyata singkat, kita gak bisa selamanya tapi bagi gue, kita ini sampai akhir. Maaf dan makasih untuk semuanya.”
Suasana lenggang sejenak. Tapi lagi-lagi Mahesa mencairkan suasananya.
“Apaan sih? Kayak bakal pisah aja. Emang lo bakal meninggal besok, Bang?”
“Mahesa!” ketiga Kakaknya menegur membuatnya menjadi ciut sedikit. “Maaf. Tapi ya ngapain sedih-sedih sekarang. Bang Jevano sekarang udah terbuka kan? Kita tahu kalau kita bisa manfaatin waktu-waktu ini sebaik-baiknya. Ayo nyanyi sampai kita gak sanggup lagi, ayo main musik sampai gak mampu lagi, ayo terus ada di atas panggung sampai Cakrawala udah gak bisa berdiri di atas panggung. Ini mimpi kita kan? Mimpi kita untuk tur konser ke seluruh dunia kan?”
Yang lain ikut bersemangat, mereka masih punya mimpi, mereka masih punya keinginan. Bagi mereka dan Jevano, tak akan ada yang bisa mengalahkan mimpi mereka. Benar kata Mahesa. Mereka tela berjuang sejauh ini untuk Cakrawala, tak ada yang harus mundur, tak perlu pengorbanan hanya dari satu orang saja. Satu jatuh maka kelimanya akan jatuh bersama.
Tak sangka juga, anak-anak yang berangkat dari mimpi ini bisa bertahan bersama sejauh ini.
*****
Jakarta jadi tempat tinggal kedua perempuan dengan blazer crop top dan kulot berwarna hitam senada. Hari pertamanya dimulai dengan memantau pembangunan kantor barunya, karyawan-karyawan baru dan lama pindahan dari Lampung telah dipersiapkan oleh perusahaan. Selama kantor belum jadi sepenuhnya dan siap digunakan, kegiatan operasional kantor dilakukan secara online. Kebijakkan-kebijakkan barunya di tempatnya sekarang kadang agak dipertanyakan oleh direktur utama perusahaan ini, yaitu anak dari pemilik perusahaan sekaligus orang yang telah mengirimnya sebagai kepala cabang di Jakarta. Liora tahu bahwa laki-laki yang menggantikan posisi ayahnya sekarang itu menganggapnya sebagai saingan, setelah adik perempuannya menikah dan tak ikut campur lagi dalam kegiatan perkantoran dia menganggap dirinya paling berkuasa dalam perusahaan yang masih menjadi milik ayahnya itu.
“Abis ngapel, Teh?”
“Enggak, Mang. Abis mantau pembangunan aja, ceritanya saya lagi jadi Bu Boss jadi pakaiannya harus keren biar citra saya bagus.” Liora tak berbohong sama sekali. Hari ini agendanya hanya memantau pembangunan kantor lalu pergi ke supermarket, karena dirinya lapar maka dia mampir ke kedai yang menjual ayam bakar di pinggir kota. Ayam bakar di ruko kecil samping bank ini bernama “Ayam Bakar Mang Ujang” makanya Liora berani memanggil ‘Mang’ pada laki-laki yang sekitar dua puluh tahun lebih tua darinya itu. Liora berani ke tempat itu karena sepi, sedangkan dia harus menyelesaikan laporan perkembangan kantor cabang baru yang harus dikirimnya esok pagi. Jadi tempat yang tenang seperti ini menjadi pilihannya. Sehingga sekarang dia duduk di tempat paling depan dan leluasa berbincang dengan bapak penjual ayam bakarnya.
“Waduh, siap Bu Boss! Ini ayamnya, dimakan yang lahap biar makin cantik.” Liora perlu mengakui laki-laki yang sudah memiliki beberapa keriputan di wajahnya itu sangat pandai membuatnya tertawa. Sampai-sampai hati perempuan ini mengiris sakit karena berharap laki-laki yang dihadapannya adalah ayahnya yang sedang berusaha membuatnya tertawa setelah hari-hari sulit yang dilewatinya. Tapi itu hanya harapan kosong karena bahkan Liora tak lagi ingat wajah ayahnya.
Bapak-bapak itu tersenyum melihat Liora yang senang dengan kehadirannya dan dengan makanannya. “Biasanya ada si Ibu yang nemenin jualan, tapi hari ini enggak. Soalnya si Ibu lagi sakit demam di rumah.” Liora terkejut dengan perkataan Mang Ujang di hadapannya itu, “Emang biasanya cuma Mang Ujang sama si Ibu aja yang jualan? Gak ada yang bantu lagi?”
“Enggak ada, Neng. Mau bayar pegawai gak cukup, untuk makan sehari-hari aja harus muter-muter mikirnya. Anak saya seumuran Teteh harusnya, tapi waktu umur tujuh tahun meninggal karena tabrak lari.” Liora yang sedang meminum teh hangatnya langsung cepat-cepat menyudahi dan meminta maaf karena mendengar kejadian menyedihkan itu dari Mang Ujang. “Gapapa, Teh. Si Teteh lanjut makan aja, biar makin keren kayak Boss-boss.”
“Iya, Mang. Kalau kantor saya bengunannya udah jadi, terus saya ngadain acara kecil-kecilan, bisa gak ya saya pesen makannya dari sini? Sekalian Mamang sama Ibu dateng ikutan.” Laki-laki yang menggunakan kaus berkerah berwarna biru tua itu terlihat senang sekaligus tak enak. Takut kalau Liora mengasihaninya hanya karena cerita yang diceritakannya dengan maksud membangun hubungan yang lebih akrab dan agar Liora tak merasa takut bila hanya berdua bersamanya sore-sore begini apa lagi bank di sebelah sudah lebih sepi sejak dua jam yang lalu.
“Gapapa, Teh. Mamang mah bisa bikinin makanan buat Teteh sama temen sekantornya aja udah seneng banget. Gak usah dateng, takut malu-maluin juga masa orang kayak Mamang diundang.”
Liora menyerit sebentar lalu tersenyum dengan tenang, “Dulu, Boss saya yang punya perusahaan tempat kerja saya sekarang ini pernah ngajak orang-orang yang– kalau kita lihat sih jelas gak selevel sama si Bapak, jauh malah. Tapi beliau bangga dan memperkenalkan orang-orang itu sebagai orang yang membuatnya bersemangan sehingga gak mau menyerah dengan keadaan apapun yang menghadangnya. Jadi saya belajar sama beliau, kalau kita hanya melihat ke atas maka kita gak akan pernah terlihat cantik seperti langit, tapi kalau kita lihat ke bawah kita masih lebih beruntung dari beberapa orang di luar sana.”
Senyumnya lebih mengembang dari sebelumnya. Bukan, Bossnya itu bukan hanya sekadar atasan biasa untuknya. Surya Barastara, Pak Bara orang-orang biasa memanggilnya. Bara sudah seperti ayah bagi Liora, tak pernah perempuan ini menemukan laki-laki sebaik Bara. Bara yang membuatnya pantang menyerah seperti sekarang, bagi Liora pengabdiannya tidak pernah kepada perusahaan tapi hanya kepada Bara. Semuanya hanya karena laki-laki itu.
“Sepertinya, Boss itu bukan Boss biasa aja ya, Teh?” Netra laki-laki di hadapannya ternyata masih memperhatikan si perempuan. “Iya, sudah seperti Papa saya, Mang. Karena dia bahkan saya rela meninggalkan Lampung dan kesini, katanya cari pengalaman baru.”
Laki-laki itu terkejut, “Teteh, baru atau…”
“Baru, Mang. Baru dua hari yang lalu sampai di Jakarta.”
Jarum pendek jam tangan Liora menunjukkan saat ini adalah jam tujuh malam dan perempuan yang sudah kelelahan itu baru saja keluar dari mobil yang sekarang sudah diparkirkannya di parkiran apartemennya lalu mengunci mobil. Liora mencari-cari kartu akses apartemennya di tas tenteng miliknya, sehingga menabrak seseorang yang baru saja akan ke parkiran.
“Aduh, jalan yang bener donk!” omelnya.
“Lo yang jalannya liat-liat, gue mah jalannya bener.” Sang lelaki tak mau mengalah. “Lo kalo diajak ngomong bisa liat orang yang ngajak ngomong gak sih? Gak sopan amat.”
Perkataan ketus yang berasal dari laki-laki yang menggunakan kaos putih oversize dan celana training abu-abu itu membuat Liora yang masih sibuk mencari kartu aksesnya langsung mendongak untuk melihat laki-laki yang membuat suasana hatinya memburuk itu. “Lo… kok di sini?” Suaranya tertahan karena rasa terkejut yang melandanya, dia mengenali laki-laki di hadapannya begitu pun sebaliknya.
“Loh emang gue gak boleh di sini? Emang tempat ini punya Nenek lo?”
Lawan bicaranya yang terlihat tidak terkejut membuat Liora menatapnya curiga, “Heh, Jevano, lo ngikutin gue sampe kesini ya?”
Jevano yang rambutnya kini telah dipotong lebih pendek dan berganti warna dengan warna cokelat dengan alasan bosan itu sekarang menatap Liora aneh, “Lo siapa emang harus gue ikutin? Pede amat kali. Gue ada di sini yak arena gue tinggal di sini, yang harusnya nanya malah gue. Gue gak pernah liat lo ada di sini kok tiba-tiba muncul di sini? Lo kali ya yang ngikutin gue?”
“Kalau gak keburu bayar dua tahun juga gue pindah soalnya gue gak mau satu gedung sama lo. Malessss,” balas Liora tak mau kalah. Dia melihat bibir Jevano sudah terbuka, siap membalasnya yang sama-sama tak mau kalah. Tapi terhenti karena suara panggilan dari orang di belakang Jevano.
“Bang, lo ngapain di situ? Kirain udah ngidupin mobil.” Liora menyembulkan kepalanya ke kanan untuk melihat siapa yang mendekat. Ternyata tak hanya satu orang tapi empat, laki-laki tinggi dengan tubuh besar atletis dan tinggi yang Liora yakini sebagai orang yang baru saja berbicara membuatnya terdiam dan lupa dengan semua kekesalannya kepada Jevano tadi. Laki-laki yang sama seperti yang waktu itu di lihatnya di konser Cakrawala, dia anggota Cakrawala, kalau Liora tak salah ingat Mahesa namanya. Yang mencuri perhatian Liora dari awal sampai akhir konser.
“Oh– halo, kamu siapa?” Mahesa bertanya hati-hati.
“Udahlah gak usah ngurusin dia,” Jevano pergi duluan diikuti Jinan dan Daren. Liora sudah mengira-ngira bahwa mereka bertiga satu tipe manusia. Mereka hanya pergi begitu saja seolah tidak ada Liora di sana, apa lagi Jevano yang membuatnya sangat kesal sejak tadi.
“Sorry ya, Jevano memang begitu kalau suasana hatinya lagi jelek. Kalau Jinan sama Daren anaknya emang cuek, jarang nunjukkin ekspresi apa lagi ngomong. Mohon maklumnya ya. Gue sama Mahesa permisi duluan.” Laki-laki yang memiliki bentuk wajah yang tegas sehingga memperlihatkan kedewasaannya itu pun pamit pergi sambil menarik Mahesa dengan senyum manisnya yang juga dibalas Liora. Tapi Liora lupa namanya, hanya mengingat Mahesa saja.
Tapi bahkan sampai dia berada di apartemennya, membersihkan dirinya lalu terlelap pun, Liora masih memikirkan Jevano dan huungannya dengan Cakrawala tanpa adanya jawaban yang pasti. Bahkan belum waktunya dia tertidur tapi karena energinya sudah terkuras habis hari ini, sekarang di temani bulan yang terang Liora telah terlelap.
Gelap itu rasanya sudah menjadi kebiasannya, namun kali ini gelap yang dirasakannya terasa sangat berbeda. Rasanya engap. Seperti sedang ada di ruangan tanpa fentilasi yang gelap, Liora tak bisa melihat apapun termasuk dirinya sendiri. Dia hanya bisa merasakan bahwa dirinya sedang terduduk di tengah-tengah ruangan sendirian. Ya, sendirian. Sebelum akhirnya dia mendengar langkah kaki dari belakangnya, membuat Liora secara reflek berbalik. Seiring terdengarnya langkah itu, Liora selangkah demi selangkah mundur.
“Ini Papa, Nak.”
“Ini Papa. Papa minta maaf ya, maaf banget, maaf karena ninggalin kamu sama Mama.”
Bukannya tenang, Liora malah tambah panik. Keringatnya bercucuran, nafasnya tak teratur, jantungnya berpacu dua kali lebih cepat seiringnya dia mundur dari orang yang mengaku Papanya itu. Tapi aneh, aneh sekali, hatinya malah berteriak-teriak memanggil satu nama yang menurutnya tidak perlu dilibatkan sama sekali dalam hal ini. Lebih aneh lagi saat dia mendengar suara orang itu, suara dari orang yang namanya sejak tadi disebutnya dalam hati.
“Li?” Suara itu berasal dari belakang tubuhnya, sehingga reflek Liora meraih tubuh laki-laki itu dan bersembunyi di belakangnya. Seorang Liora yang tak mempercai laki-laki, malah mempercayai laki-laki itu sekarang. Bagaimana mungkin Liora malah meremat baju bagian pinggang laki-laki itu dan berdiri di belakangnya.
Orang yang mengaku Papanya itu langkahnya tak terdengar lagi, malah mulutnya sekarang berbicara, “Cari laki-laki yang tidak seperti Papa ya, Nak. Sekali lagi maafkan Papa.”
Liora terbangun dari mimpinya dengan keadaan yang sama. Keringatnya membasahi bantal, jantungnya berdetak sangat cepat, nafasnya sangat tak teratur. Jam memperlihatnya jam sembilan malam, telepon genggamnya bergetar tanpa henti tanda bahwa ada yang menelponnya. Ikon berwarna hijau digesernya perlahan dengan tangannya yang masih bergetar.
Suara dari teleponnya menyapa, “Halo juga, Pak. Ada apa ya?”
“Saya yang nanya ke kamu, kamu kenapa nafasnya gak teratur begitu?”
Liora menceritakan mimpinya, tidak semua. Liora tak menceritakan kehadiran Jevano di dalam mimpinya. Tapi menceritakan kalimat terakhir Papanya sebelum akhirnya dia terbangun. Pikirannya kacau, dia rasa, dia terlalu banyak memikirkan Jevano sebelum tidurnya sampai-sampai laki-laki itu muncul dalam mimpinya. Pak Bara menenangkannya dan juga karena dia tak terlalu memikirkan hal-hal berbau mimpi, Liora dengan cepat mengendalikan dirinya kembali.
Sebelum mematikan panggilan teleponnya, Pak Bara memberi pesan. “Jaga diri di sana, Ra. Saya akan cari Papa kamu, siapa tau dia memang mau minta maaf sama kamu.”
BAB 6 – Sepi dan Bulan
“Kamu pergi ke perempuan itu lagi?”
“Apa lagi sih, Lian? Saya baru pulang, kamu masih aja mau ngajak berantem.”
“Terus wangi apa lagi ini kalau bukan parfum perempuan itu?”
“Ya terus kenapa kalau saya bertemu dia?”
“Kenapa kamu masih gak bisa lepas dari masa lalu kamu itu? Saya ini kurang apa?”
“Kurang kamu cuma satu, kamu bukan Dian.”
“Sekarang kamu maunya apa?”
“Pisah. Saya cintanya sama Dian, bukan kamu Lian.”
Umur lima tahun katanya bukan umur-umur anak memiliki ingatan yang kuat. Tapi melihat Liora yang terus mengalami kesulitan karena ingatan masa kecilnya kadang terasa tidak adil. Dia ingin melupakan semua itu namun terlalu melekat dalam alam bawah sadarnya, sehingga untuk melupakannya saja sangat amat sulit.
Liora pikir suara dari earphone-nya sudah sangat berisik, ternyata suara lagu-lagu bergenre pop itu bahkan masih tertutup suara pikiran Liora sendiri. Malam minggu sepi itu yang sebenarnya membawa Liora ke rooftop, Liora suka sendiri tapi tak suka sepi, karena suara di kepalanya akan terdengar lebih berisik bila dia berada dalam ruangan yang sepi. Tapi baru saja dia ditegur tetangga barunya secara halus karena menyetel musik terlalu kencang. Jadilah Liora berdiri di rooftop, memandang gemerlapnya kota Jakarta pada malam hari. Berdiri di pinggir rooftop bagian paling kanan dari pintu masuk rooftop malam-malam sepertinya akan menjadi kebiasaan barunya di tempat ini.
Tak terasa sudah satu minggu Liora di Jakarta dan beberapa hari lagi akan dilaksanakannya pembukaan kantor cabang barunya. Jakarta sebenarnya terlalu besar dan terlalu sibuk untuk Liora. Dia merasa sendiri. Gadis itu tidak pernah memiliki ‘sandaran’ tapi dia tidak pernah merasa seasing ini di kota lain sebelumnya. Bukan takut, hanya terlalu sepi untuknya. Tapi, Liora hanya punya dirinya dan memang selalu begitu, jadi dia tidak perlu siapapun untuk membuatnya semangat dan bertahan di kota ini kalau dirinya saja cukup.
Manik cokelat itu menatap kosong ke bulan di atas sana. Malam ini bulan terlihat sangat terang seperti bulan baru, yang masih bersemangat untuk menjalani hari-hari esok. Belum menjadi bulan-bulan redup lainnya yang sepertinya telah lelah menerangi setiap malam-malam gelap. Tapi malam ini tidak begitu, bintang-bintang bahkan sembunyi karena kalah saing cahayanya dengan cahaya bulan. “Kalau besok-besok kamu gak lagi seterang malam ini gak masalah. Semua itu siklus. Setidaknya bertahan sampai ada gantinya kamu.”
“Bulan gak pernah berganti, terang tidaknya bulan bukan salahnya karena dia hanya memantulkan cahaya dari matahari. Gue gak pernah suka dengan manusia yang menggambarkan dirinya dengan bulan.”
Liora tak lagi penasaran kenapa laki-laki ini ada di sini, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Dia hanya tertarik dengan arah pembicaraan ini, di setiap kata-kata dari laki-laki di sampingnya menampilkan banyak makna. “Kenapa?”
Jevano menarik sebelah ujung bibirnya, “Karena bulan nyatanya gak seindah kelihatannya. Dia terang karena memantulkan cahaya dari yang lainnya. Gue percaya kalau manusia bisa bersinar sendiri tanpa bantuan cahaya dari orang lain, tergantung mau atau tidak orang itu bersinar. Lagi pula lihat bulan, kadang dia sangat terang kadang dia sangat gelap tergantung dari keadaan yang meneranginya kan. Bintang-bintang berada jauh darinya. Dia hanya sendirian karena gak punya apa-apa selain cahaya dari matahari.”
“Jadi lo… bintang, bulan atau matahari?”
“Bintang. Itu cita-cita gue sejak dulu, menjadi bintang.”
“Udah tercapai donk keinginan lo?” Jevano menoleh ke kanannya, melihat sisi kiri wajah Liora yang masih menengadah lurus. “Menjadi bintang kan udah lo dapatkan sekarang. Lo bintang terterang sekarang ini.”
“Belum. Bukan menjadi bintang terang seperti sekarang ini yang gue inginkan. Gue gak suka melihat kebelakang dan melihat seluruh hal yang sudah gue lewati untuk menjadi bintang yang seperti sekarang. Gue mau jadi bintang yang malam ini dengan percaya dirinya menunjukkan dirinya meski redup di langit apapun yang terjadi.”
Liora menurunkan pandangannya dan tersenyum, masih dengan Jevano yang memperhatikannya. “Berarti cita-cita lo bukan jadi bintang. Tapi jadi cahaya di langit yang gak akan pernah mau meninggalkan langit, meski di lupakan, meski tidak lagi di lihat, meski gak menarik, tetap mau menjadi bagian yang menerangi langit.”
Laki-laki itu mengerutkan dahinya, gak yakin dengan kesimpulan yang diambil Liora. “Gue sebenernya takut di lupakan sih, takut gak menarik lagi. Tapi mungkin lo juga benar.”
Hening melanda keduanya. Musik yang didengar Liora berganti, kali ini menjadi lagunya Benson Boone yaitu In The Stars. Jevano hanya menganggap dirinya tidak terlalu berharga makanya dia tidak terlalu percaya diri bahwa dialah yang akan melukai hati banyak orang ketika suatu saat dia tak lagi ingin hidupnya menjadi sorotan atau ketika dirinya meninggalkan segalanya begitu saja.
“Lo bintang yang gak akan dilupakan orang lain. Setidaknya untuk satu saja orang di dunia ini. Lo telah membantu menyinari kegelapan banyak orang. Kalau bukan lo yang melupakan mereka atau menyuruh mereka melukapan lo. Gak akan ada yang mau melupakan lo.” Jevano, selagi bisa bersinarlah terang. Sinari setiap langit dan jalan gelap orang-orang yang mempercaimu. Sayangnya dua kalimat terakhirnya itu hanya berkumandang di dalam hati.
Jevano tertawa, teringat bahwa benar adanya kalau dia yang akan lebih dulu melupakan seberapa banyak orang yang memberikannya cinta. Dia akan kehilangan ingatannya lebih cepat bukan karena umur tapi karena sakitnya. “Setelah gue melupakan sebanyak apa cinta mereka kepada gue, selanjutnya apakah mereka akan melupakan gue juga?”
“Gue kan bilang, lo itu bintang paling terang saat ini. Kalau orang-orang di masa depan nanti gak akan mengingat lo, setidaknya orang-orang memberikan lo banyak cinta sekarang akan mengingat lo sampai nama lo bersanding dengan kata-kata turut berduka cita.” Mendengar suara tawa dari laki-laki di sampingnya, Liora jadi ikut tertawa. Menertawakan hal-hal yang ternyata tak berjalan seperti apa yang mereka inginkan dan hal-hal masa depan yang tidak bisa mereka ketahui dengan pasti tapi dapat mereka tebak-tebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Selanjutnya teriakan Jevano membuat suasana di antara mereka menjadi lebih baik, “Hari ini rasanya sulit banget, besok juga akan sulit, lusa juga akan lebih sulit. Tapi suatu hari nanti kalau semuanya berakhir maka kesulitannya juga akan berakhir. Jevano, ayo bertahan sampai akhir!”
Entah dorongan dari mana Jevano mengajukan tawaran yang entah kenapa rasanya akan disesalinya di kemudian hari, “Lo baru di Jakarta kan? Mau Keliling Jakarta gak? Gue lagi bosen, sekalian.” Liora tertegun sebentar lalu menoleh ke Jevano yang langsung membalas tatapannya. Kali ini rasa penasarannya kembali, tapi merasa bahwa tidak ada salahnya menerima ajakkan Jevano.
Mobil Jevano masih sama, wanginya pun sama, suasananya saja yang berbeda. Mereka sudah bukan lagi dua orang asing, rasanya sudah seperti teman. Meski tidak ada pembicaraan resmi tentang pertemanan ini tapi mereka sama-sama tau kalau mereka nyaman berada dalam keadaan ini, berbicara tentang apapun hal yang mereka sukai tanpa terbebani dengan apapun. “Gue anggota Cakrawala. Kalau lo mau tau aja sih.”
Liora tak terlalu terkejut, dia telah menebak-nebak hal itu tapi dia hanya ingin menggoda Jevano. “Loh anggotanya? Gue pikir manajernya, cocok soalnya. Kayak Mas-mas banyak pikiran karena ngurusin band yang sibuk banget.”
“Enak aja, ganteng gini.” Sambil melajukan mobilnya, Jevano melihat dirinya sendiri pada kaca spion tengahnya sambil merapihkan rambut. “Gue mah tipe-tipe cowok mahal bukan cowok mamba atau kue.”
“Lo mah cowok rumahan. Lo bawa mobil ini pake kaos oblong sama celana pendek kayak sekarang aja udah keliatan kayak supir, kebanting sama mobil lo, Je.”
Laki-laki itu tak mau kalah, “Kalo gue supir brati lo pembantunya. Boss kita Stevan, itu ketuanya Cakrawala. Yang pamitan sama lo waktu itu.” Jevano sudah masuk ke dalam mobilnya saat melihat Mahesa dan Stevan masih pemitan kepada Liora hari itu. Melihat Stevan yang sudah seperti seorang ayah yang menarik Mahesa karena tidak mau lepas dari teman perempuannya.
“Boleh deh kalo dia Boss-nya, gue mau jadi pembantu rangkap istri aja. Ganteng soalnya.”
“Lo suka sama Om-om?”
“Apaan? Masa dia udah Om-om, palingan seumuran sama lo.”
“Ya, lo liat aja dia gayanya aja udah kayak Om-om, udah tua dia tuh.”
“Kalo yang satunya, yang di tarik Stevan kemaren itu, siapa namanya?”
“Mahesa. Selain suka sama tipe-tipe orang kayak Om-om, lo suka sama bocil?”
“Apaan deh, band lo gak ada yang bener apa? Ganteng-ganteng padahal, kecuali lo.”
Jevano langsung tersedak salivanya sendiri, baru saja akan menyombongkan dirinya karena baru saja dibilang ganteng tapi ternyata ada lanjutannya. Dia hanya mampu menghela nafasnya kesal, sambil menampilkan wajah melasnya. Bermaksud mengambil simpatik dari lawan bicaranya, namun yang didapatkannya hanya kejutan lainnya. “Gak usah sok melas. Jujur si Stevan gantengnya gak ada obat, pasti dia punya sisi lucunya kan? Gue semaleman ngebayangin betapa gemesnya dia.”
“Jelas gantengan gue lah, gemesan gue juga. Tapi jadi pacar gue dulu biar bisa liat gemesnya gue.”
“Gak dulu deh, maap.”
Hati Jevano tertawa pahit karena ini pertama kali dalam hidupnya dia ditolak oleh seorang wanita. Padahal biasanya dia yang menjadi pusat perhatian para wanita dan dicintai banyak perempuan. Ini pengalaman yang baru baginya. “Gila, gue sakit hati banget, Li. Baru pertama kali gue ditolak cewek sih, cuma lo doang nih yang nolak gue mentah-mentah.”
Ocehan Jevano diabaikan setelah Liora terdiam dengan panggilan yang sama dengan Jevano yang ada di dalam mimpinya waktu itu. “Li, hey! Bengong lo, belom makan? Mau gue tunjukkin restoran enak?”
Liora tersadar dan bersikap seolah biasa saja di depan Jevano tapi kata-katanya jadi berbelit, “Gak perlu kok. Biasanya emang lo makan di resto apa? Siapa tau gue tiba-tiba mau meeting di luar sama klien, gue kan gak tau Jakarta.”
“Resto untuk meeting sih gue gak tau banyak tapi Bella Oxcend bagus untuk suasana formal, kalau makanan resto sih biasa, selera. Kalau gue biasanya makan di warteg seberang gedung apartemen, di sana enak banget makanannya. Semua orang yang gue bawa kesana selalu bilang kalau makanannya enak banget. Lain kali gue ajak lo deh kesana. Atau Nasi Padang di samping apartemen.”
“Lo lebih suka makan yang kaki lima ya?”
“Iya, gak tau kenapa tapi kalau gue sendiri, kalau makan di resto tuh selalu kayak tekanan, mungkin karena gue artis kali jadi terbiasa selalu diperhatiin orang. Kayak, kalau makan harus sesuai tata karma, jangan pake tangan kalau makan. Tapi kalau di warung makan kaki lima gue bisa lebih santai, gak tau deh kenapa.”
Liora menganggung-anggukkan kepala, dia mengerti. Itu pernah menjadi perasaannya juga waktu dulu dia menjadi idola siswa-siswi karena prestasinya yang gemilang sewaktu SMA. “Jaga image kali ya. Tapi lo harus jadi diri lo sendiri kan, kadang kalau terlalu mikirin orang lain perasaan kayak gitu pasti dateng. Kita mikir gimana sih pandangan orang-orang di sekitar, apa yang mereka pikirin tentang kita.”
Jevano memperlambat laju mobilnya untuk berhenti di lampu merah, “Bener. Gue takut pandangan mereka tentang gue jadi jelek karena satu kesalahan kecil gue aja. Ngomong-ngomong lo mau ke Bandung sekalian? Atau jalan-jalan ke tol habis itu pulang?”
“Jalan-jalan aja kali ya? Lo kan artis nanti ada yang ngenalin atau besok mau kerja.”
“Besok kan minggu, konser gue juga udah selesai, libur donk gue. Santai lah, gue juga bosen kalau di apartemen aja.” Katanya, lalu lanjut menjalankan mobilnya menuju tol. Tujuannya hanya agar bisa mengendarai mobil dengan cepat dan menikmati angin malam untuk menyegarkan pikiran seperti yang biasa dia lakukan. “Kalau dipikir-pikir pertemuan pertama kita aneh banget. Masa di kuburan.”
Liora tertawa seiring dengan mereka yang mulai memasuki tol serta jendela mobil yang mulai di turunkan, “Aneh tapi unik banget. Mana ada orang yang ketemu di kuburan kayak kita terus berakhir kayak gini. Apalagi kesan pertama gue jelek banget ke lo, bule ngeselin.”
Kali ini gantian Jevano yang tertawa, “Lo ngira gue bule beneran? Karena rambut gue blonde?”
“Iya, mana gaya lo udah kayak turis beneran lagi. Kirain bule yang udah lama tinggal di Indonesia jadi lancar ngomong bahasa Indonesianya. Padahal bagusan item atau cokelat kayak gini. Dulu tuh lo beneran keliatan kayak orang yang gak rapih, kalau sekarang udah rapih.” Setelah mengoceh begitu, Liora baru sadar dia telah mengatakan semua perasaannya tanpa disembunyikan. Padahal Liora bukan merupakan orang yang dengan mudah menceritakan dengan gamblang pada orang baru seperti ini.
“Berarti tujuan gue motong rambut udah tercapai nih dengan lo ngomong begitu. Tapi orang-orang pada bilang rambut blonde gue bagus, gue jadi keliatan lebih ganteng.” Dalam hati Liora membenarkan itu karena Jevano benar-benar cocok dengan warna rambut begitu. Mungkin karena wajahnya menampilkan pahatan yang sangat tidak Indonesia, dia terlihat seperti campuran orang Prancis sangking tampannya.
“Lo itu beneran orang Indonesia? Maksud gue lo gak punya keturunan dari luar negeri gitu?”
“Gak ada sih, Nyokap orang Jogja yang udah lama tinggal di Jakarta, Bokap orang Jakarta asli. Abis nikah pindah ke Lampung sampai gue diterima masuk agensi gue yang sekarang. Dua-duanya orang Indonesia asli. Kenapa lo mulai mengakui gue ganteng banget kayak orang luar negeri beneran meski tanpa rambut blonde ya?”
Liora tampak berfikir sejenak. “Iya sih. Lo gantengnya tipe orang eropa gitu. Mata lo belo banget, rambut lo sekarang udah cocok tuh, kulit lo putih banget. Pokoknya kalau lo bilang lo orang Inggris atau Prancis pun gue akan percaya. Soalnya lo cocok.”
“Makasih gue emang ganteng.”
“Yeeee malah sombong dia.”
Obrolan mereka berlanjut terus tanpa terhenti. Habis satu topik pasti akan berpindah pada topik selanjutnya dengan mudah. Percakapan mereka selalu berlangsung mulus meski tak jarang ada perbedaan pendapat diantara mereka yang membuat topik itu bertahan lebih lama dari pada topik-topik yang lain. Sebut saja seperti perbedaan pendapatat keduanya mengenai masalah politik yang bahkan perdebatan mereka tidak akan didengar para petinggi negara. Atau sesimpel menyatakan ketidaksukaan mereka dengan beberapa mata pelajaran sewaktu sekolah.
Kesimpulannya adalah keduanya memiliki banyak kesamaan dan cukup sering berpendapatan sama walau kadang pemikiran mereka sedikit berbeda.
“Makasih hari ini-nya, Jevano. Mimpiin gue biar mimpi indah.”
“Lo yang harus mimpiin gue, liatin malaikat secara gratis tanpa ketauan siapapun itu cuma bisa di dalam mimpi aja.” Mereka juga sama-sama tidak mau kalah dalam beberapa hal. Saling mengejek sepertinya akan menjadi ciri khas mereka selanjut-selanjutnya. Mereka berpisah setelah saling melemparkan tatapan sinis bercanda, arah tujuan mereka berbeda. Liora pada lantai dua belas sedangkan Jevano pada lantai delapan belas.
Setelah membersihkan diri, Liora terduduk di pinggir kasurnya menatap kaca lebar yang menjadi pembatas kamarnya dengan balkon di depan. Sebenarnya bukan kacanya melainkan bulan yang ternyata masih setia di langit dan tetap terang seperti tadi, bedanya sekarang beberapa bintang mulai muncul menemani sang bulan malam itu agar tidak sendirian.
“Setelah mengenal lo lebih dalam malam ini, sekarang gue tau kenapa banyak orang yang sayang sama lo. Terus terang ya, lo cahaya banyak orang. Kalau lo redup gak masalah asal jangan sampai berhenti untuk terang.” Suaranya seperti bisikan, tak yakin apakah bisa didengar atau tidak. Tapi angin malam yang mendengar malah menyampaikannya kepada sang pemuda yang masih belum mau istirahat dan memilih duduk di balkon malam itu. Entah mengerti atau tidak apa yang angin sampaikan, yang jelas senyum pemuda itu mengembang dengan sempurna.
Sadar jendelanya belum ditutup, Liora segera menutupnya sekalian gorden abu-abunya yang ia tarik untuk menutupi kamarnya dari cahaya terang bulan malam itu.
BAB 7 – Yang Baru Datang, Yang Lama Pergi
Lima tahun bersama, sepertinya baru kali keempat anggota Cakrawala merasa ada yang aneh dengan permainan drum Jevano. Bukan, bukan karena tidak pas. Masalah tempo dan permainan drum, keempatnya sepakat kemampuan se-profesional dan sehebat itu baru mereka lihat pada diri Jevano saja. Jadi rasanya kurang pantas meragukan kemampuan bermain seorang drummer yang menganggap bahwa drumnya adalah cinta sejatinya. Hanya saja, hari ini aneh sekali. Sejak lima tahun terakhir, baru kali ini mereka melihat Jevano memainkan drumnya dengan perasaan yang berbeda sekali, seperti orang yang sedang berbunga-bunga.
“Ketukannya gak pas?” Pertanyaan polos itu lolos keluar dari bibirnya. Meski sejak tadi sangat sibuk dengan drumnya, Jevano tau semua anggotanya menatap dirinya dengan aneh. Jadi setelah lima dari tujuh lagu dalam album baru mereka nanti telah dibawakannya, Jevano menghentikan latihan sebentar dan bertanya kepada anggota-anggotanya.
“Enggak, cuma rasanya lo kayak lagi berbunga-bunga aja. Tumben pas latihan lo sesemangat ini, biasanya ada embel-embel ‘hemat energy’-nya,” Daren mewakili keempatnya. Gitar listrik berwarna cokelat putih itu digantinya dengan gitar lain –Laila, bagitu dia memanggil gitar listrik berwarna biru itu. Melihat pernyataan Daren tidak ditanggapi, Jinan menghampiri Jevano lalu memukul bahu laki-laki itu.
Jevano sempat mengaduh sebelum akhirnya menyerah dan memberikan tanggapan, “Gue emang kenapa? Lagunya gue suka aja.”
Kali ini Mahesa yang sedang meminum air mineralnya yang tersedak mendengar perkataan Jevano, “Lebih aneh lagi kalo lo suka sama lagu-lagu percintaan yang ceria kayak ‘Step & Walk’. Biasanya kan lo sukanya lagu-lagu balad.”
Laki-laki yang sedang memainkan stick drumnya itu mengangkat bahunya sambil tersenyum, “Gak tau, gue suka aja sama lagunya. Salah?” Senyuman itu berbeda. Mereka tahu itu. Lima tahun cukup untuk mereka mengenal satu sama lain dan tatapan Jevano sekarang adalah tatapan yang sudah lebih dari tiga tahun tak dilihatnya lagi setelah kepergian Jihan. Dan Daren tahu bahwa bila hal itu benar terjadi, tak masalah hanya bila Jevano juga sungguh-sungguh dengan perkataannya tempo hari di rumah sakit. Daren rasanya tak rela.
Dua lagu setelahnya diselesaikan mereka dengan baik. Tiga lagu dari tujuh lagu yang ada mereka ulang beberapa kali karena mereka belum terbiasa sehingga melakukan beberapa kesalahan. Latihan itu seperti biasa mereka selesaikan pada setengah dua belas siang dari jam tujuh pagi. Setelah mereka sepakat untuk menyelesaikan latihan pada hari itu, Jevano langsung mengambil dompet dan ponselnya dan berlari keluar kamar apartemen lain yang mereka modifikasi menjadi studio latihan.
“Bang, jangan lari-lari. Kemarin aja hampir jatuh dari tangga, untung gue tangkep.” Mendengar perkataan Mahesa, Jevano jadi berbalik menatap keempatnya yang tampak khawatir. Senyumnya melemah seolah menyatakan bahwa dirinya baik-baik saja. “Iyaaa, Mahesa. Kalian mau dibawain apa nih kalau gue pulang nanti? Gue mau ke bakso Bu Ana.”
“Ooh mau ngapel sama cewek.”
“Enggak loh, Mahesa. Gue mau keliling Jakarta aja, soalnya temen gue anak baru.”
Jinan baru selesai memasukan keyboard-nya ke dalam sarungnya, lalu bergabung dengan empat yang lain di sofa panjang milik mereka. “Temen apa temen sih, Van. Gue nitip mie ayam deh, dua porsi ya.”
“Siap, Pak Boss.”
“Gue mau satu porsi bakso urat semua ya, Bang.”
“Gue satu porsi bakso biasa, gak pake sayur ya, Van.”
“Van, gue mie ayam pake bakso kecilnya tiga.”
“Pesanan terkonfirmasi. Makanan lagi dalam perjalanan, tapi masih lama ya, Bapak-bapak.”
“Awas aja kalau sampe sore gak dateng makanannya, bintang nol.”
Jevano menertawakan perkataan Daren sambil berlari meninggalkan studio latihan mereka. Mobil seharga rumah itu dikendarainya membelah jalanan Jakarta yang siang itu sangat macet karena jam makan siang kantor-kantor. Jevano sudah berdecak berkali-kali sampai dirinya memarkirkan mobil di basement perusahaan travel tersebut. Faktanya, meski Jevano hampir tidak pernah marah kepada manusia tapi Jevano paling tidak bisa mengendalikan amarahnya kepada hal lain selain manusia. Contohnya seperti kemacetan Jakarta hari itu yang membuatnya sampai membanting ponselnya ke jok kosong di samping kursi yang ia duduki.
“Lily –oh maksud saya, Bu Liora ada di ruangan?”
“Anda siapa dan ada keperluan apa ya?”
Jevano diam, berfikir akan memberikan alasan seperti apa. “Saya pacarnya Bu Liora. Bisa kasih tau gak ya dia lagi ada di ruangannya atau enggak.”
Resepsionis perempuan itu terdiam sebentar, menimbang-nimbang apakah dia harus mengizinkan orang yang mengaku sebagai kekasih boss-nya itu untuk masuk atau menahannya. Kalau menahannya dia takut mendapat masalah di kantor barunya, sedangkan bila ia berikan izin masuk takut bila Jevano hanya berbohong dan hanya ingin mengacaukan kantornya. Semuanya beresiko tapi dengan penuh pertimbangan Jevano diizinkannya masuk dengan memberitahu keberadaan Liora yang sekarang sedang ada di ruangannya.
Tapi ternyata selain ditahan resepsionis di depan, sekretaris Liora juga menahannya. Malah lebih parah, Jevano yang sudah mengaku-ngaku sebagai kekasih Liora itu tetap ditahannya. “Maaf, Bapak kalau belum ada janji gak bisa masuk.”
“Tapi saya pacarnya loh? Masa harus bikin janji dulu mau ketemu pacar sendiri?”
Mendengar keributan yang tak berhenti-berhenti, Liora terpaksa keluar ruangannya. “Ada apa sih? Ribut banget. Pusing saya dengernya,” ucap Liora sambil melepas kacamatanya.
Jevano lantas berlari ke belakang tubuh Liora. “Yang, masa aku di tahan sama dia. Emang kalau mau ketemu pacar sendiri harus ada janji?” Liora terkejut dan langsung membalikkan badannya agar bisa menatap Jevano dengan leluasa, tatapan bertanya tak bisa disembunyikan. Perkataan Jevano benar-benar membuatnya terkejut setengah mati. Tapi yang ditatap malah memberikan kode melalui matanya agar Liora menyetujui sandiwaranya.
Liora menyetujuinya, dia berbalik dan memberi pengertian siapa Jevano sebenarnya. “Kalau besok-besok dia dateng lagi, biarin masuk aja. Tadi aja kalau saya gak keluar kamu bisa digigit sama dia, dia emosian orangnya.” Liora sangat tahu bahwa mulai besok dirinya akan dikenai rumor kalau dia berpacaran dengan orang aneh meski tampan.
Segera Liora menarik Jevano ke dalam ruangannya, ditatapnya Jevano dari atas sampai bawah. “Jaket denim biru, kaos putih, celana pendek hitam lagi, sepatu. Pantesan lo ditahan, Je, penampilan lo bener-bener gak banget untuk ke kantor begini. Lagian, apa tadi? Lo ngaku pacar gue? Yang bener aja, Jevano.”
Laki-laki yang sedang diomeli itu malah sibuk melihat-lihat dan duduk sembarangan di sofa berwarna cokelat di ruangan Liora itu. “Biar gue bisa masuk lah, kalau gue gak kayak tadi lo gak akan ngasih ‘kartu’ akses kayak tadi kan. Lagian ini udah jam dua belas, lo gak makan gitu? Gue liat-liat tadi karyawan lo lagi sok-sok serius ngerjain kerjaan. Mereka gak akan istirahat kalau lo gak istirahat meski udah lo suruh geh, Li. Orang muka lo judes gitu, kayak gak ada ekspresi yang lain.”
“Lo mau ngapain ke sini?” Liora to the point.
“Mau ngajak lo makan bakso punya Bu Ana. Enak loh, Li. Murah lagi.”
Liora membereskan tas yang akan dibawanya itu, “Ah elah, lo mah dikasih nasi kotak juga suka.”
Jevano hanya membalas dengan tawa, lantas beranjak dari duduknya dan berjalan di belakang Liora. Saat melewati meja sekretaris laki-lakinya Liora itu dia menatapnya dengan tatapan angkuhnya. Rasanya hari ini dia benar-benar bahagia dan puas. Lagu dari One Direction, “Strong” diputarnya dengan volume sedikit keras. Membuat keduanya bernyanyi dan melupakan rasa jenuhnya menunggu suasana macetnya kendaraan yang tak kunjung hilang dari Jakarta apa lagi pada jam makan siang seperti ini.
Sudah beberapa kali lagu One Direction keluar, kali ini Jevano tak lagi menahan kata-kata yang mau keluar dari mulutnya itu. “Lo beneran sesuka itu sama One Direction? Gue liat-liat semua lagu yang keluar dari tadi lo hafal semua.”
Sebuah senyum didapat Jevano dari Liora, “Iya. Gue tipe orang yang setia.”
Lima hari selalu bertemu sudah membuat keduanya paham akan satu sama lain, mereka tak pernah benar-benar sependapat atau sepemikiran tapi rasanya mereka sangat cocok. Hingga membuat satu sama lain nyaman. “Lo artis kan, Je? Lo gak sibuk apa? Lima hari terakhir ini lo gak pernah absen nongolin muka di depan gue, lo gak ada kerjaan apa emang artis gadungan?”
“Lo mah kalo ngomong gak kira-kira, liat aja muka gua seganteng apa? Ini muka gue udah mirip kayak Leonardo DiCaprio waktu muda gini malah lo ragukan. Giliran Mahesa sama Stevan yang mukanya kayak bodyguard sama manajer aja lo percaya artis.” Waktu awal kenal dengan Jevano, Liora selalu berfikir kalau laki-laki ini adalah seseorang yang akan menjaga reputasinya meski dihadapan teman di luar bandnya sekalipun. Tapi ternyata tidak, meski tak gamblang menceritakan tentang dirinya sendiri tapi Jevano tak pernah menjaga reputasinya sama sekali di hadapan Liora termasuk sosok cerewetnya yang sekarang.
“Di band lo mah yang paling bener cuma Daren sama Jinan.”
“Mereka lagi.” Jevano memarkirkan mobilnya karena sudah sampai di tujuannya. Lantas menghadap Liora, “Di band gue mah gak ada yang bener. Kalo lo cuma liat secara fisik dan kemampuan ya lo bisa suka sama Cakrawala. Tapi kalau lo mau yang kelakuannya bener jangan cari di Cakrawala. Boss gue aja nyerah sama Cakrawala, yang bisa ngendaliin band gue itu cuma Stevan.”
“Satu banding sejuta band lo mah.” Liora terkekeh kecil.
Keduanya turun dari mobil dan menghampiri warung makan kaki lima itu beriringan. “Bu Ana, saya mau baksonya satu porsi sama es the manis. Lo mau apa, Li?”
Liora menatap daftar menu yang tertempel di gerobak kayu dicat hijau itu dengan serius, “Saya mie ayam aja satu porsi, sama es jeruk satu,” ujarnya melembut, berbeda dengan nada bicaranya kepada Jevano biasanya.
“Lo duduk duluan sana.” Liora menurut, kakinya melangkah menuju satu-satunya meja yang kosong. Jaraknya tidak lebih dari tiga meter antara meja dan gerobak milik sang pemilik. “Bu, Jinan kayak biasa, mie ayam dua porsi. Mahesa satu porsi bakso urat semuanya, Stevan satu porsi bakso biasa, gak pake sayur. Daren mah biasa lah, Bu.”
“Mie ayam pake bakso kecil tiga, betul?” Jevano tertawa kecil, lalu mengangguk. Jevano duduk di hadapan Liora dengan diiringi pertanyaan yang terlontar dari mulut sang pemilik tempat makan yang terlihat sudah sangat akrab. “Tumben bawa cewek. Pacar tah, Mas? Pamitnya berbulan-bulan konser, pulang-pulang bawa cewek, cantik banget lagi.”
Cepat-cepat keduanya menjawab, “Bukan, Bu.”
“Ini mah temen, anak baru di Jakarta dia. Saya kan baik orangnya jadi saya temenin keliling Jakarta, dateng ke tempat makan enak, salah satunya warung bakso punya Bu Ana ini deh.” Jevano mengeluarkan ponselnya dari saku celana yang sejak tadi bergetar tanda ada yang meneleponnya.
“Kenapa, Van?”
“Hari ini jadwal check up lo, ya?”
Belum sempat Jevano memberikan jawabannya, Stevan lebih dahulu melanjutkan kalimatnya. “Van, kalau lo gak mau jalanin pengobatan gak masalah. Gue setuju aja karena itu tubuh lo, lo punya hak atas tubuh lo sendiri. Tapi lo melewati check up? Gue gak mau keadaan lo memburuk dan kita-kita gak tau, malah lo maksa tubuh lo untuk bekerja ekstra karena gak mau ngecewain orang, jadinya makin parah. Lo cuma mempercepat aja ujungnya, Van.”
Jevano terdiam, dia tak bergeming di tempatnya. Dia sadar kelakuannya membuat semua orang khawatir pun diperjelas dengan perkataan Stevan selanjutnya. “Semua orang di sini khawatir dan takut, Van. Life is shorter than we think, kita takut. Lo satu dari lima nyawa di sini, nyawanya Cakrawala. Sekarang terserah deh, kalo lo masih mau ada di Cakrawala besok dateng check up, gue temenin. Kalo gak mau ya terserah lo.”
Panggilan diakhiri begitu saja oleh sang penelepon. Jevano mendengar sendiri bagaimana Stevan mati-matian menahan amarahnya. Dia sadar Stevan telah pada batas amarahnya, bila marah seperti biasa Jevano tak akan pernah terdiam tak menjawab seperti ini karena dia yang paling kenal dan bisa mengendalikan amarah Stevan. Namun kali ini berbeda, dia harus menuruti perkataan Stevan untuk check up besok. Jevano langsung mengintrospeksi diri sendiri dan kesal kepada dirinya karena mengambil keputusan yang gegabah pagi tadi.
“Ini mie ayamnya, Mbak.” Liora yang tadinya sedang fokus pada ponselnya langsung menolehkan kepalanya dan tersenyum kepada Bu Ana. “Aduh, Mbaknya cantik banget. Saya gak pernah liat cewek secantik Mbak. Cocok sih sama Mas Jevano.”
Jevano tertawa melihat wajah terkejut Liora, “Ganteng sama cantik kan, Bu. Dia nih ngeyel sih, dibilang saya udah cukup ganteng buat jadi pacarnya malah nolak terus.” Tawanya lebih lepas lagi saat melihat tatapan horor Liora kepadanya sedangkan Bu Ana sudah mengatakan kesetujuannya pada pernyataan Jevano sambil terkikik sendiri.
Sebelum hari ini, Jevano selalu melihat Liora sebagai seorang perempuan yang menghindari laki-laki lain karena harus menjaga perasaan prianya. Tapi melihat mata Liora barusan yang walau hanya beberapa detik itu, Jevano sadar kalau bukan karena dia harus menjaga perasaan orang lain, tapi dia yang harus menjaga hatinya. Ada perasaan takut dan sedih di sana. Jevano jadi merasa bersalah karena selama ini ketika dia mengejek Liora tentang ‘laki-laki’ atau ‘pacar’ dia tidak pernah melihat mata Liora. Mungkin juga karena Liora menutupinya.
“Habis ini lo ada rencana kemana gak? Keliling Jakarta gitu?” Jevano mulai membuka suaranya lagi setelah Bu Ana menjauh dari keduanya.
Liora sedikit bersemangat terlihat dari caranya menelan mie ayam di mulutnya cepat-cepat, lalu menjawab Jevano, “Mungkin bakal keliling mall di Jakarta, biar gue tau tempat-tempatnya ada dimana aja.”
“Mau gue anter? Besok lo pulang setengah hari, gue ajak keliling mall Jakarta sekalian ngenalin tempat-tempat ngopi yang enak di mall itu.” Salah satu kesamaan mereka memang menyukai kopi. Membuat mata Liora menjadi lebih berbinar, dia benar-benar terlihat bahagia dan Jevano senang walau tidak tahu pasti apakah itu karena dirinya atau hanya karena tawarannya.
*****
“Van, gue gak akan kabur.”
“Gak ada yang bilang lo akan kabur.”
“Ya enggak bisa, kan ada lo. Lagian ngapain nemenin gue sih? Gue malu, kayak anak kecil.”
Cowok yang sejak tadi berdiri sambil menyandarkan badannya pada tembok di samping tempat duduk rumah sakit yang di duduki Jevano dan memainkan ponselnya dengan gerakan jari cepat membuat Jevano sebal. Pasalnya sejak tadi laki-laki itu hanya berdiri diam dan menjawabnya singkat-singkat seperti perlakuan seorang Ayah yang sedang marah pada anaknya. “Lo dikasih kesempatan check up sendiri disia-siain, ya rasain sendiri perbuatan lo. Di dunia ini gak segalanya akan berjalan sesuai kemauan lo, apa lagi lo public figure, Van.”
Stevan menarik napasnya dalam-dalam saat suster memanggil nama Jevano, tanda kalau hasil tes laki-laki yang duduk sambil menampilkan wajah sebalnya itu telah selesai. Stevan berjalan duluan mengikuti suster, disusul Jevano yang sejak tadi telah berganti baju dari pakaian medisnya menjadi pakaian kasual miliknya.
“Tumornya memburuk, Stevan.” Kira-kira itu yang didengar Jevano saat baru memasuki ruangan dokter. Kaki-kakinya yang mulai lemas membawa Jevano untuk duduk di kursi samping Stevan di hadapan sang Dokter. Dokter laki-laki itu tidak terkejut ataupun menahan ucapannya karena Jevano selalu bilang untuk memberitahu dia berapa sisa hari-harinya. “Saya kira gak akan separah ini. Saya sudah menakar obatnya untuk menahan penyebaran tumornya setidaknya agar dia bisa bertahan lebih lama dari hasil diagnosa. Tapi kalau begini terus, Jevano tidak akan bertahan lebih dari tiga bulan.”
“Kalau mau lebih dari tiga bulan, cara satu-satunya jalani pengobatan, istirahat total dan bila memungkinkan jalani operasi pengangkatan tumor. Obat gak akan membuat Jevano bertahan lebih lama.”
Suara tawa Jevano menggema di ruangan sepi itu, “Tiga bulan waktu yang cukup. Terima kasih, Dok.”
Dia menarik Stevan keluar dari ruangan dokter itu, dia tahu pada ujung-ujungnya dia hanya akan kembali dibujuk untuk menjalani serangkaian pengobatan yang menyakitkan itu. Dia hanya lelah dan tidak mau menjalani semua itu. “Ayo, cepet, Van. Gue anterin lo dulu baru gue mau ketemu orang. Udah telat dari janji nih.”
Saat Jevano akan membuka pintu mobilnya, Stevan langsung menahannya. Tempat parkir yang sepi siang itu membuat suara mereka terdengar sampai sudut-sudut ruangan. “Apa yang lo pikiran, Van? Gak minum obat kan lo? Kalo capek itu istirahat, bukan mati. Lo cuma memanfaatkan penyakit lo sebagai alibi buat mati cepet, Jevano sadar! Banyak orang yang akan bersedih dengan kepergian lo. Jangan egois.”
“Lepas cewek itu kalo lo beneran gak mau hidup lagi! Jangan cuma mikirin diri sendiri, Jevano.”
Keduanya tak lagi berbicara di dalam mobil, hanya ada suara musik bertempo lambat dari radio mobil. Kata-kata Stevan di tempat parkiran rumah sakit tadi tak bisa lepas dari benaknya. Dia tahu Stevan berkata seperti itu karena kekesalannya, Jevano juga sadar kalau dirinya telah kelewatan. Dirinya bahkan tidak sadar sudah memarkirkan mobilnya di parkiran cabang perusahaan travel ini. Kakinya berjalan lunglai menuju meja resepsionis kali ini dia hanya bertanya dan tidak menerobos masuk meski sudah diperbolehkan.
“Bu Liora buru-buru pergi sejak tiga jam yang lalu.”
Menjadi kalimat selanjutnya yang membuat suasana hati Jevano makin tidak karuan. Sambil memperlebar langkahnya, Jevano berusaha menghubungi nomor Liora berulang kali. Mungkin sekitar sepuluh kali panggilannya tidak terhubung, akhirnya terdapat sebuah pesan dari Liora. Tak ada basa basi atau kata lain, selain sebuah lokasi lengkap mengenai sebuah tempat yang bila Jevano cari di aplikasi ponselnya itu adalah sebuah kuburan Kristen di daerah Bandung.
Jevano tidak tahu apa alasannya tapi dia melajukan mobilnya ke titik yang diberikan Liora. Dia hanya merasa kalau dia tidak boleh melepaskan Liora seperti apa yang dikatakan Stevan, benar, Jevano egois. Tapi dia tidak bisa melepaskan Liora begitu saja, setidaknya di sisa waktunya, dia juga ingin membahagiakan Liora. Jevano ingin melihat Liora di tiap dirinya melewati hari, Jevano ingin kehadiran Liora di sampingnya sampai harinya usai, tugasnya untuk menjadi bahagia berakhir. Dia ingin hanya Liora yang ada di akhir harinya.
Stevan salah. Jevano memang tidak ingin hidupnya, tapi dia tidak ingin melepas Liora setelah semua miliknya selama ini dia lepas demi karir di hidupnya. Peranan Jihan memang mungkin sudah saatnya tergantikan, Jihan akan tetap terkenang tapi Liora akan menggantikan posisi yang selama ini kosong di tinggal sang pemilik.
“Li.” Ketika sosok itu berbalik menghadapnya, Jevano tak lagi bisa menahan dirinya. Langkahnya yang pelan sedikit demi sedikit dia naikkan temponya untuk menghampiri Liora secepatnya. Lantas Jevano langsung memeluk Liora dengan senyumannya yang mengembang sempurna. Di ujung-ujung harinya. Di saat dirinya tak tahu apakah hari esok akan datang padanya, dia menemukan sosok rumah yang suasana telah nyaris dia lupakan.
“Gue pikir, gue yang akan menolak bertemunya. Tapi ternyata gue yang menghampiri makam ini.”
Jevano mengangguk kecil, “Iya, Li. Hidup itu pendek dan bisa berubah kapan aja. Perasaan lo hari ini mungkin besok sudah berubah. Waktu takdir itu berkerja gak pernah ada yang tahu. Mungkin mantan gue isi dari cerita gue, tapi bab terakhirnya mungkin orang lain.”
“Gue sudah menjalani hidup gue yang begini. Gue gak mau nyerah dan gak akan. Gue gak nangis untuk Papa karena gue gak mau kalau gue harus jatuh hanya untuk laki-laki seperti dia. Je, jangan kayak mereka.”
BAB 8 – Bintang Redup itu Punya Nyawa
“Dia menjadi penyesalan terbesar, keluarga gue adalah penyesalan terbesar gue. Ken yang waktu itu lo denger, juga menjadi kesalahan terbesar gue dalam hidup. Kelahiran gue juga kesalahan karena gue lahir disaat keadaan keluarga gue yang gak baik-baik aja, atau memang gak pernah baik-baik aja?”
Malam-malam Jevano tak pernah ia lewati dengan menikmati angin dingin pantai seperti ini. Duduk dan memainkan kecil pasir-pasir di sekitarnya tak pernah membuat Jevano setenang ini. Biasanya selalu banyak orang yang menemaninya di tempat umum seperti ini tapi malam ini hanya ada Liora di sampingnya. Kedua mata perempuan di sampingnya menatap langit cantik yang malam ini bertabur banyak bintang, tapi bagi Jevano hanya ada sepasang bintang redup di atas sana yang menarik perhatian laki-laki itu.
“Li, sepasang bintang redup deket bulan itu mirip kita. Bedanya kita punya nyawa dia enggak. Dia gak bisa mengubah dirinya menjadi lebih terang tapi kita bisa. Lo harus bisa menanamkan banyak kenangan baru yang lebih baik dari masa lalu lo, Li. Biar kalau gak ada yang bisa nemuin jiwa lo lagi, setidaknya mereka bisa menemukan kenangan bersama lo.” Jevano mengatakan itu juga untuk dirinya sendiri. Perkataan yang terdengar jahat dan egois.
Liora menghela nafasnya lalu menyilangkan kedua kakinya yang awalnya pada posisi lurus. “Lo mau berbagi kenangan sama gue? Biar pas gue hilang, pas jiwa ini gak lagi ada di raganya entah dengan alasan apa, tetap ada lo yang bisa mengenang gue sebagai salah satu tokoh yang pernah hadir di cerita lo.”
Meski mengangguk sambil tersenyum, tapi hati Jevano teriris-iris. Hatinya berteriak karena dia tahu bahwa hal itu tidak akan terjadi. Karena satu hal yang pasti, diantara mereka berdua, hanya Liora yang memiliki masa depan. Jevano hanya tinggal menghitung waktu, sampai semesta tak lagi membiarkannya bertahan di bumi. Beritahu Stevan dan biarkan laki-laki itu memaki Jevano setelah ini karena manusia yang hatinya telah ditutupi perasaan egois ini malah mengajak Liora untuk berkencan dengannya.
Jevano berjalan mendekati bibir pantai sampai ujung sepatunya terkena sedikit air laut, “Tapi sebelum lo jawab, gue mau bilang sesuatu. Gue bukan orang yang gampang terbuka tapi gue gak mau kelihatan terlihat sangat egois di sini. Jadi gue bakal bilang semuanya. Gue punya tumor di bagian lobus temporal otak gue. Dulu sih tumor jinak tapi mengingat waktu gue hanya tersisa tiga bulan, gue tahu sekarang itu sudah menjadi tumor ganas. Gue cuma punya waktu tiga bulan untuk menikmati semuanya, Li.”
Tangannya gemetar karena jantungnya yang berdegup dan dinginnya angin pantai malam itu, tapi tak lama tangan kirinya terasa sangat hangat. Di sampingnya berdiri sang puan yang tersenyum menatap lautan, “Tiga bulan gak akan pernah cukup, tapi tiga bulan pasti cukup kan untuk punya banyak kenangan bersama.”
“Ayo makan bakso dan mie ayam, jalan malem sampai tol, cerita tentang hari yang udah kita lewatin sambil lihat bintang dan bulan.” Elusan ibu jari sang puan menyapu kulit tangan Jevano. “Gue nyaman, gue juga bakal suka pacaran sama lo. Tapi, Je, gue adalah pengecut bernama Liora Gracelia Adara. Laki-laki adalah suatu hal yang paling takut gue biarkan masuk dalam hidup gue lagi. Walau gue rasa lo bakal berbeda dari mereka, tapi gue tetap butuh diyakini, Je.”
“Makasih mau ada di sisi gue selama waktu yang sangat singkat ini dan meski sampai akhir gue gak bisa bikin lo jadi milik gue, gue bakal tetap bahagia karena lo masih ada di samping gue. Lo harus sembuhin hati lo ya, Li. Jadi kalau di sana bukan gue sekalipun, gue bakal tetap seneng soalnya orang yang gue sayang sudah mengobati lukanya.”
*****
“Cinta Jinan pada studionya jauh lebih besar dari kasih sayang Bapaknya ke dia.”
“Ayo lah, Ji. Kita ke Medan bareng yuk, gue takut kalau sendirian.”
“Gila, si Jinan cinta sejatinya studio.”
“Kerjaan tuh segalanya buat Jinan. Padahal mah sekarang kerjaan bisa dibawa kemana-mana.” Perkataan dari anggota Cakrawala yang paling jarang berbicara itu membuat keempat yang lain terdiam. Jevano, Mahesa dan Stevan yang sedari tadi menyindir Jinan bahkan langsung memberikan tampang kakunya. Bila diingat-ingat lagi ini sudah lebih dari lima tahun sejak Jinan dan Daren sering bertengkar saat masa pelatihan dahulu. Siapapun di antara mereka semua tidak pernah ada yang bertengkar lebih sering dari pertengkaran Daren dan Jinan.
Stevan pernah sampai ikut pusing karena pertengkaran dua anak ini. Meski seringnya bercandaan tapi candaan mereka berdua sangat sulit diterima orang lain karena perkataan yang terdengar sangat menusuk di telinga orang lain. Kalau alasannya karena mereka memiliki kepribadian yang mirip dan seumuran, rasanya itu benar melihat keras kepala mereka yang sama meski pemikirannya berbeda.
“Ah elah, kalian kalo mau pergi ya pergi aja. Gue mau di studio aja.”
“Lo tuh udah kekurangan cahaya matahari, kurang tidur, kerjaannya di studio terus. Lagu lo gak akan beranjak kemana-mana kalau ditinggal dua minggu aja, Ji. Takut amat.” Daren menatap malas Jinan, bisa dibilang Darenlah yang memiliki nyali paling besar dari tiga yang lain untuk melawan Jinan. Kalau yang lain biasanya disinisin dikit langsung ciut nyalinya.
Jinan menghela nafas, “Lama-lama lo mirip nyokap gue, Ren.”
Daren berdecih megejek, “Lo yang masih kayak anak kecil. Dari dulu gak berubah. Kalau lo tetap gak mau berubah dunia yang berubah terlalu cepat, Ji. Kita lagi mengejar semesta bukan semesta yang mengejar kita.”
“Udah, udah. Kalian selesaiin sendiri deh, Liora udah di bawah nih mau berangkat ke bandara.”
Stevan memukul bahunya pelan, “Jadi aja lo berdua balik ke Lampung.”
“Oh iya dong. Pulang kampung nih gue, mumpung libur seminggu.” Jevano menarik tas ranselnya yang pada awalnya berada di atas sofa. “Pergi dulu gue, bye, teman-teman ganteng gue yang gak seganteng gue.”
Ketika pintu lift terbuka pada basement, Jevano langsung melangkahkan kakinya lebar-lebar agar cepat sampai pada Liora yang sudah berdiri di samping mobil hitam milik laki-laki itu sambil memainkan ponselnya. Terlihat sudah menunggu lama di sana, tapi Liora tak memperlihatkan wajah kesalnya sama sekali seolah tak akan keberatan bila Jevano tidak buru-buru menghampirinya. Di ibu kota, setiap hari bandara merupakan salah satu tempat yang paling ramai, tapi hari itu rasanya sangat sepi atau… mereka yang terlambat?
“Je, kok sepi ya? Kita gak telat kan?”
“Liat, sekarang ini jam berapa, Li.”
“Sebelas, dua sembilan.” Bersamaan dengan jawaban yang dilontarkan Liora, panggilan terakhir karena pesawat keduanya akan berangkat beberapa waktu lagi membuat mereka berdua panik dan langsung berlarian menuju pintu masuk pesawat. Barulah ketika mereka duduk di tempatnya masing-masing keduanya baru bisa tertawa.
“Gimana kalo kita gak sadar kita telat tadi ya?”
“Kayaknya gak jadi liburan ke Lampung sih, udah males duluan. Mending ke Bandung naik mobil lo aja.”
Jevano menahan tawanya karena tidak enak dengan penumpang yang lain. “Lagian gimana kalo ada yang tahu seorang Jevano, drummer Cakrawala malah lari-larian mau masuk pesawat karena sisa waktunya cuma satu menit. Artis mana lagi yang kayak begitu kelakuannya, fans lo geleng-geleng kepala kalo tau.”
“Bener sih. Ini aib jangan sampe mereka tau. Gue takut mereka kehilangan motivasi karena liat gue yang gak disiplin.” Laki-laki itu meneguk minumannya sampai setengah.
Tapi Liora malah menatapnya heran, seolah tak percaya. “Halah, kayak lo mempengaruhi hal positif aja untuk mereka. Beberapa orang kadang memandang idolanya kayak seseorang yang seratus persen positif, meski idolanya melakukan hal yang salah kadang mereka tetap mencari-cari hal positif di dalamnya. Itu kenapa gue akan begitu gak sukanya sama selebritas yang malah seolah bisa melanjutkan karirnya sendiri tanpa fans. Padahal fans mereka tuh orang paling berfikir positif tentang idolanya.”
“Li, sekarang gue bisa melihat lo sebagai sosok orang yang beneran udah dikecewakan berulang kali. Gue udah bilang belum ya? Pokoknya kalau lo mau menceritakan apapun lo punya gue. Mungkin gue akan lupa suatu hari nanti, tapi setidaknya lo jadi punya temen cerita.” Jevano merangkul bahu Liora yang duduk di samping kirinya. Dilihat dari jendela pesawat di samping Liora, ternyata pesawat sudah berada sangat tinggi di langit. Jevano merasa bahagia tapi sedih secara bersamaan, mungkin beberapa hari lagi dia juga akan bisa terbang meski tanpa menaiki pesawat atau malah akan memilih diam di bumi untuk menjaga keluarga, teman dan Liora.
“Udah setinggi ini aja masih belum sejajar sama bintang.”
“Masa? Udah sejajar, Li. Kalo dilihat dari bumi, nanti, suatu hari liat gue juga ya dari bumi. Mungkin meski gue gak setinggi bintang tapi ketika lo lihat itu dari bawah sana lo bisa lihat gue yang sejajar dan menjadi bintang redup yang lain ketika gue lelah.”
Liora memegang jari telunjuk tangan kiri Jevano yang masih bertengger di bahunya. “Enggak. Lo gak akan pernah jadi bintang redup. Kalau lo lelah gue yang akan marahin supaya lo gak lagi lelah dan terus terang kayak sekarang.”
Bohong kalau mengatakan bahwa Liora tidak sedih bila mendengar dan melihat Jevano selemah dan sepesimis ini dengan hidupnya. Helaan nafas beratnya menunjukkan betapa sedihnya dia sekarang, “Jangan redup, Je. Meskipun sangat lelah, jangan sampai redup. Biarin gue menjadi cahaya lo kapanpun itu.”
“Iya, Li. Lo gak pernah absen jadi cahaya gue. Tapi bintang redup ini sudah ada sejak sebelum lo datang, semesta menciptakan Jevano Aditya Sagara sampai menjadi seperti ini. Tenang aja, sekarang bintang redupnya lebih punya nyawa. Kalau diibaratkan warna tuh lebih cerah gitu.” Apa mau dikata? Jevano sangat pandai menenangkan orang lain, walaupun hatinya tidak tenang sekalipun, Jevano tidak pernah gagal membuat orang lain tenang. Keahliannya hadir begitu saja sejak ia kecil.
“Nanti kita mau kemana aja? Sore jalan yuk.”
“Makan bakso sama mie ayam di tempat Bude.”
“Oke deh.”
Jam empat sore di Bandar Lampung sudah mulai ramai dengan para pegawai yang mulai pulang dari kantor atau anak-anak SMP dan SMA yang baru pulang, sedangkan yang lainnya baru mulai pergi untuk mencari makanan. Seperti Liora dan Jevano sekarang yang menuju ke daerah pahoman dengan sedikit pertengkaran kecil di dalam mobil berbeda dari yang biasa Jevano bawa.
“Lo gak bilang kita makan bakso sama mie ayam di rumah makannya Bude, ya gue kira ke rumah Bude lo beneran. Gue kan harus meninggalkan kesan yang bagus donk, masa pake baju yang santai kayak biasanya.” Jevano membagi konsentrasinya dengan menyetir dan melihat peta di ponselnya. Karena setelah dicoba jalan tanpa bantuan peta –dengan Liora yang tidak terlalu tau jalan– dia sadar bahwa tujuh tahun itu sangat lama sehingga Lampung sudah mengalami banyak perubahan dan dia lupa dengan jalan-jalan di kota kelahirannya ini.
“Ya ini mah lo aja yang terlalu ngide pake pakaian bagus. Mana baju gue sekarang udah kayak pembantu yang lagi nemenin bossnya jalan buat nyari makan,” ujar Liora kesal.
“Maap, Li. Gue beneran mau sok keren di depan Bude lo aja.”
Walaupun Jevano sudah meminta maaf sepertinya maafnya kurang diterima. Permasalahannya sebenarnya karena Jevano memakai kemeja bergaris berwarna putih kebesaran dengan celana bahan berwarna krem yang juga sedikit kebesarah. Jevano bahkan sampai ditinggalkan Liora saat sudah sampai di tempat berjualan ibu-ibu yang memang memiliki nama dagang ‘Mie ayam dan Bakso Bude’. Laki-laki itu hanya pasrah saja sambil mengeluarkan kemejanya sebelum akhirnya ikut keluar mobil dan menghampiri Liora yang terlihat sedang memesan makanannya.
“Dulu masih kecil banget, malem-malem makan di sini. Sekarang udah gede ya, kerja apa sekarang?”
“Di Jakarta sih, kantor cabang aja, Bude. Anak Bude udah gede-gede juga ya?”
Wanita dengan rambut disanggul itu tersenyum lebih lebar dari sebelumnya, “Iya, si Rio yang paling gede aja udah punya dua anak. Naya baru nikah kemaren malah.”
“Wah udah pada nikah ya, Bude. Enak lah ya udah tinggal nimang cucu, menikmati masa tua.”
Kedua wanita itu tertawa, “Enak gak enak sih, udah tua lebih renta kena penyakit. Apa lagi sekarang penyakit mah ada aja, tapi udah santai lah anak-anak udah bisa sendiri semuanya, ada yang ngurusin selain ayah ibunya. Ini siapa ini ganteng banget kayak artis di sinetron yang suka bapak tonton.”
Liora menoleh ke kanannya lalu mendelik menatap laki-laki itu seolah bertanya apakah dirinya juga membintangi sinetron yang dimaksud Bude, tapi laki-laki itu langsung membantah dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan kok, saya cuma hobi nyanyi-nyanyi aja.”
“Berarti suaranya bagus dong ya? Gak kayak si Bapak, Bude pusing setiap denger Bapak nyanyi.”
“Apaan sih, Bu? Suara Bapak mah udah kayak suaranya Justin Bieber, suaranya ganteng kayak Bapak.” Suara bariton laki-laki menyaut dari dalam ruko. Ternyata suami dari Bude itu ada di dalam, duduk di kursi paling pojok sambil mendengarkan lagu dari band-band populer ibu kota.
Bude berdecih meremehkan suaminya, “Mana ada ganteng-gantengnya. Genteng mah iya.”
“Waduh si Ibu, kalau dulu saya gak ganteng mana mau kamu sama saya.” Lucunya malah perkataan suami Bude itu membuat Bude malah senyum-senyum sendiri bukannya membantah. Dari semua hal yang bisa membuat Liora iri, fenomena pernikahan yang bertahan sangat lama seperti ini lah yang membuatnya sangat iri. Di saat Liora malah trauma dan takut berkomitmen dengan seorang laki-laki.
“Udah. Mbak mau pesen apa sama Masnya?”
“Saya mie ayam-nya satu porsi. Lo apa, Je?
“Kalo saya baksonya deh satu porsi, makan di sini ya, Bude.”
“Oke siap. Duduk dulu di dalem, itu si Bapak kalau ngeganggu usir aja ya, gak usah sungkan.”
“Mereka lucu ya.” Menjadi kata-kata pertama Jevano setelah duduk di hadapan Liora. Jevano juga iri, tapi berbeda pada Liora, Jevano iri pada mereka karena bisa bertahan lama di bumi bersama pasangan yang mereka cintai. Bahkan terlihat sekali bagaimana cinta itu masih ada di antara mereka. Mirip seperti ibunya yang sangat setia pada ayahnya Jevano. Tapi Jevano sadar kalau dia tidak akan seperti itu.
“Besok kita makan cuanki di tempatnya Kang Maryadi di Teluk, jangan lo kira dia kakak gue juga. Nanti sangking mau capernya pake pakaian formal kayak mau dateng ke acara penghargaan artis aja. Pake celana pendek kesukaan lo sama kaos putih gambar teddy bear tercinta punya lo juga gak masalah, Je. Kayaknya fans lo juga udah biasa sama kebiasaan berpakaian lo.”
“Iya, besok gue pake training sama kaos kesukaan gue.”
Bab 9 – Terhenti atau Tertunda?
Pantai dengan Jevano dan Liora sepertinya menjadi suatu hal baru yang akan menjadi kebiasaan baru. Ini adalah pantai ke lima yang sudah dikunjungi keduanya selama enam hari berada di Bandar Lampung. Kali ini entah dari mana Jevano tau pantai dengan pasir putih ini. Kencangnya angin yang menyapu gelombang tinggi menuju pantai hingga air asin laut itu menerpa sepasang kaki milik Jevano dan Liora. Seperti biasa, hamparan indah langit biru menjadi pemandangan yang paling disukai keduanya.
Hari-hari singkat dengan banyak kesan yang dilewati rasanya ingin dilupakan saja. Walaupun keduanya terus saja meyakinkan diri masing-masing bahwa kenangan inilah satu-satunya cendera mata untuk keduanya, mungkin ini bukan hari terakhir keduanya tapi rasa tak relanya seperti akan berpisah lama sekali. Padahal pulang nanti pun mereka tetap bersama. Untuk mengatasi hatinya yang tak karuan mereka hanya meyakinkan diri sendiri bahwa mereka setelah ini akan sama-sama sibuk dengan pekerjaan sendiri-sendiri makanya merasa sedih dengan sore terakhir mereka saat liburan di Lampung ini.
“Kalau diberi kesempatan jalan-jalan kayak gini lagi, lo mau kemana, Je?” Liora lebih dulu mengeluarkan suaranya untuk bertanya. Dirinya sendiri sadar bahwa itu hanya pertanyaan basa-basi yang keluar karena dorongan suasana sendu sore itu.
“Paris.”
“Kenapa?”
Jevano mengedikkan bahunya, sulit untuk mengatakan alasannya karena memang tak ada alasan spesifik baginya. “Mungkin karena Paris salah satu kota seni, gue pengen aja jalan-jalan keliling paris sampai sore kayak gini melihat tempat-tempat seni di sana. Rasanya pasti nenangin banget.”
Liora bertanya lagi, “Kalau untuk menetap, selain di Indonesia lo mau dimana?”
“Roma. Sama alesannya, karena itu salah satu kota seni di dunia. Gue sesuka itu sama seni kalo lo penasaran. Di setiap titik kota Roma lo bisa dengan mudah menemukan seni, menurut gue, gue bakal ngerasa nyaman banget di sana kalau tinggal di Roma.” Jevano menjawab rasa penasaran Liora yang belum sempat gadis itu ungkapkan.
“Kalo lo mau kemana?”
“Lombok.” Belum sempat Jevano melontarkan pertanyaan untuk menanyakan alasan Liora memilih kota itu. “Gak ada alasan spesifik. Gue bakal suka ke mana aja dengan orang yang buat gue nyaman.”
Kedua sudut bibir Jevano terangkat cukup tinggi. Menurut riset yang dilakukan oleh para jurnalis, Jevano merupakan anggota Cakrawala yang paling jarang tersenyum selebar sekarang. Itu benar, Jinan dan Daren yang jarang berekspresi berlebihan atau mengatakan banyak hal saja dikalahkan rekor Jevano. Dia dengan mudah membuat orang lain tertawa tapi dirinya sendiri susah dibuat tertawa, kalau menurut orangnya sendiri, hidupnya sudah cukup bikin dirinya tertawa sendiri. Namun Liora dengan mudah membuat drummer Cakrawala itu tersenyum dengan mudah.
“Gue pengen pertemuan terakhir kita juga di pantai, boleh gak?” Setelah beberapa saat hening, ternyata perkataan Jevano malam memperburuk suasana. Sekarang benar-benar sepi, percakapan mereka nyaris tak lagi berlanjut gara-gara Jevano. Dirinya sendiri pun merutuki mulutnya yang berbicara sembarangan.
“Yaudah. Gue mau sebelum tiga bulan hal itu terjadi, gimana?”
Jevano terdiam sebentar lalu menyadari dirinya tidak boleh lagi egois lantas menyetujuinya. “Sejak awal, kita memang salah, Li. Dari awal, harusnya gue memang gak boleh nyaman sama lo. Kenapa ya dari sekian miliar orang di dunia ini malah lo yang menjadi orang terakhir yang gue izinkan masuk sebagai tumpuan gue? Kenapa harus orang lain? Kenapa gak gue bertumpu sendiri di kaki gue sendiri?”
“Karena semesta tau lo gak boleh sendiri, lo aja mengirim orang tua lo ke luar negeri biar gak ketauan. Kalau gue gak dateng ke hidup lo, mungkin lo gak akan mau rutin kontrol ke dokter, minum obat teratur atau lebih parah lo beneran nyerah banget sama hidup. Semua hal di dunia ini punya alesan, kecuali nyamuk, gue belum nemu alasan kenapa dia ada di dunia ini.”
Jevano tertawa, lagi. Ini adalah kali kesekian Liora berhasil membuat Jevano tertawa dengan mudah. Jevano bahagia, seluruh dunia harus tahu kalau Jevano bahagia memiliki Liora di sampingnya setidaknya sampai saat itu. Berulang kali dia mengucapkan syurkurnya karena telah diberikan seorang wanita seluar biasa Liora di sampingnya, rasanya seperti Jevano tak lagi hidup sendiri di tengah kerumunan orang.
“Gue mau jujur, akhir-akhir ini tubuh gue memburuk. Gue gak pake jam hari ini soalnya gue lupa taruh dimana, gue terlambat sarapan tadi pagi juga karena lupa ada dimana handphone gue. Gue mulai melupakan wajah orang tua gue, bahkan tadi malam gue video call sama mereka dan gue lupa kalau mereka adalah orang tua gue, gue cuma senyum aja sampai gue sadar kalau mereka orang tua gue. Sampai sekarang gue masih lupa banyak hal tentang kenangan kami bertiga, kenangan gue waktu kecil, padahal gue adalah seorang pengingat yang baik.”
Jevano menghela nafasnya berat, tak sadar beberapa tetes air mata sudah menetes dari mata Liora. “Gue takut. Gue merasa kosong saat gue ada di kerumunan orang, hati gue nangis setiap kali gue melupakan sesuatu tapi gue gak pernah mau orang lain tau kalau Jevano selemah ini. Mau tau gak? Kalau lo gak nyebut nama lo waktu pesen minuman kemaren mungkin hari ini gue udah bener-bener lupa nama lo. Gue mau lo terus sebut nama lo ketika gue nyaris lupa ya, Li. Gue gak mau kehilangan banyak kenangan kita yang udah cukup mengobati gue ini.”
Liora tak tahan lagi, dia langsung memeluk tubuh laki-laki yang lebih tinggi darinya itu erat-erat seolah bila ia lepaskan laki-laki itu akan terbang menjauh. “Iya, gue juga gak mau lo lupa tentang gue. Jadi Jevano, dengerin baik-baik, nama gue Liora Gracelia Adara dan jangan lupain gue sampai gue lupain lo. Jangan pernah lupa kalau lo pernah mergokin cewek ini di kuburan Mamanya cerita tentang segala sakit hatinya. Jangan lupa lo punya cewek bodoh ini di samping lo.”
Siapa sangka matahari yang nyaris tenggelam itu menyaksikan kisah tragis ini tanpa sengaja, “Je… bahagia ya. Bahagia. Lo punya jutaan orang yang siap membawa cahaya untuk menerangi bintang redup ini. Di Cakrawala, kelima bintangnya akan terus bersinar apapun yang terjadi.”
Percayalah, dengan hati yang seperti diremas ini, jika Jevano berbicara sedikit saja tidak hanya rahangnya yang nyeri tapi juga lidahnya menjadi kelu. Air matanya pasti turun dengan deras seiringan dengan lisannya. Maka dia membiarkan Liora yang sekarang mengatakan apapun yang mau dia katakan.
“Jevano jangan pernah takut karena cewek ini dengan menyedihkannya sudah menyerahkan hatinya sama lo. Jangan pernah menyerah karena gue gak akan menyerah. Je, yang menyedihkan itu gue.”
Namun lama kelamaan bahu Liora terasa berat, “Je. Je! Jevano, lo gak pingsan kan? Je, gak lucu!”
Benar saja, ketika tubuh lemah laki-laki itu terjatuh ke pasir, Liora bisa melihat wajah pucat yang mungkin sejak tadi disembunyikannya. Dengan panik dan bersusah payah, Liora membopong tubuh Jevano yang lebih besar darinya untuk duduk di kursi penumpang. Liora langsung membawa mobil itu menuju ke rumah sakit terdekat sambil terus menghubungi Stevan untuk mengabari keadaan Jevano, juga agar mendapatkan arahan jelas mengenai apa yang harus dilakukannya.
“Iya, halo, Ra. Kenapa?” Mendengar suara Stevan yang terdengar santai dari ponselnya, sebenarnya Liora agak sungkan tapi mengingat Stevan pernah menyuruhnya menghubungi laki-laki itu kapan saja bila dibutuhkan apa lagi mengenai Jevano, Liora jadi membulatkan tekatnya untuk berbicara.
“Jevano pingsan tiba-tiba, gue mau bawa dia ke rumah sakit sekarang. Gue harus apa aja lo bisa kasih tau? Prosedur-prosedur apa gitu?” ucapnya lugas.
Deru nafas laki-laki di seberang sana terdengar tidak sesantai tadi, “Waduh anak itu ada-ada aja lagi. Dia gak mau banyak orang tau, jadi tolong tutupin mukanya biar gak keliatan jelas dan bilang ke pihak rumah sakit untuk gak menyebar luaskan. Waktu dia sadar nanti, boleh gak ya gue minta dia dipulangin aja? Eh sorry banget kalo lo tersinggung dan jadi mengganggu liburannya. Tapi seperti yang lo tau, dia harus diobati sama dokter dia yang biasanya.”
“Gapapa, Van. Gue ngerti kok, gue usahakan pulang setelah Jevano sadar.”
Stevan menghela nafasnya lega, “Kabarin aja kalo Jevano udah sadar, biar gue yang pesen tiketnya. Titip anak itu dulu ya, Ra. Sekali lagi sorry ya.”
Panggilan dimatikan Liora duluan tepat saat dia sudah masuk ke lobby rumah sakit. Dia keluar mobil setelah memasangkan masker dan topi pada Jevano seraya memanggil-manggil petugas rumah sakit untuk cepat membawa Jevano agar cepat ditangani. Setelah memastikan Jevano terbaring dengan aman pada brankar bersama para suster, Liora cepat-cepat memarkirkan mobil karena rumah sakit ramai hari itu. Setelah menunggu beberapa saat untuk penangan Jevano sampai sang dokter menghampirinya.
“Apakah pasien memiliki riwayat penyakit yang serius?” Dokter perempuan dengan sneli dan stetoskop itu menatap Liora serius, membuat perasaan Liora menjadi tidak enak.
Liora menganggu agak ragu, “Iya, Dok.”
“Sepertinya penyakit itu sudah tersebar nyaris ke seluruh tubuh, sehingga tadi bila tidak cepat-cepat dibawa ke sini pasien akan mengalami koma karena sempat gagal jantung. Tapi sekarang keadaan pasien sudah stabil, mungkin beberapa jam lagi akan siuman. Saran saya, pasien agar cepat-cepat dirawat dengan cepat karena sudah berbahaya. Itu saja, terima kasih, selamat malam.”
“Iya, malam, Dok.” Bersamaan dengan kepergian sang dokter, beberapa dokter koas dan suster pun ikut pergi. Menyisahkan Jevano yang masih terkulai tak berdaya dan Liora di UGD besar rumah sakit itu. “Denger, Je? Lo harus ditangani dengan baik, tapi lo gak mau kan? Gak masalah, gak akan ada yang maksa lo lagi. Tapi kalo lo lupain gue, gue tonjok lo.”
Sepertinya sudah nyaris satu jam Liora menunggu Jevano siuman tapi masih belum sadar juga. Dua jam, tiga jam pun Jevano masih belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. “Je, lo tau kan tadi gue ngancem lo cuma bercandaan. Candaan kita kayak biasa, lo gak lupa kan? Masa gitu aja ngambek gak mau bangun. Kita kan mau pulang ke Jakarta, ini si Stevan sama anak-anak yang lain udah panik mau ke Jakarta semua demi lo. Iya, demi lo mereka meninggalkan liburan dengan keluarga mereka.”
“Keren ya. Tapi kasihan juga. Lo punya banyak orang yang sayang sama lo, tapi hidup lo ternyata gak sebaik itu. Kadang semesta adil, semesta yang menunjukkan arti adil sesungguhnya. Gak perlu sama bobotnya, tapi sesuai kebutuhannya.”
Sepertinya Liora kelelahan sampai-sampai tertidur di atas tangan Jevano, membuat laki-laki yang mulai siuman itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Untung yang diinfus tangan kiri, Li. Jadi gak sakit tangan kanan gue lo timpa kepala gitu.”
Ponsel Jevano di atas meja di samping ranjang Jevano bergetar tanda ada panggilan masuk, membuatnya harus mengambil ponsel itu dengan tangan kirinya. Ternyata panggilan dari Stevan, saat itu ia tersadar kalau Stevan pasti sudah mengetahui tentang keadaannya sekarang ini. “Halo, Van. Kenapa lo? Kangen sama gue?”
Laki-laki di seberang sana hanya menghela nafasnya kasar, Jevano tahu Stevan sedang menahan amarahnya. “Lo udah siuman kan? Habisin infus lo, terus pulang ke Jakarta. Gue udah pesen tiket pesawat, gak ada alasan apapun, gue bilang pulang ya pulang.”
Jevano memejamkan matanya lamat-lamat karena kepalanya yang sedikit pusing walau tidak sepusing saat tadi di pantai. “Lo tau kan gue mau liburan di sini? Besok gue pulang kok, Van. Lo gak perlu khawatir, gue bisa jaga diri sendiri.”
“Kalo lo bisa, lo gak akan masuk rumah sakit sekarang. Je, lo harus sadar kapasitas lo. Gue kan pernah bilang, gak mau jalanin pengobatan ya ayo, tapi jangan paksain diri lo. Jevano gak usah ngebantah lagi deh, lo itu udah berada diambang batas. Jangan maksa. Naik pesawat jam sepuluh malam ini.”
Laki-laki itu menundukkan kepalanya dalam-dalam dan menarik nafasnya sampai rasanya dadanya penuh dengan oksigen dari rumah sakit, lantas mematikan panggilan Stevan tanpa berkata-kata apa-apa lagi seraya menghembuskan nafasnya berat. Gadis di sampingnya itu masih tertidur, menandakan bahwa benar Liora sangat kelelahan sekarang. Sedangkan si gadis tertidur, Jevano mengelus lembut rambut Liora. Mata sendu yang selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi Jevano itu kini makin sendu, dadanya masih sesak tapi bukan karena masih kepenuhan oksigen tapi karena dia telah mendapati dirinya yang lemah semakin lemah sekarang.
“Eh lo udah bangun, Je?” Gadis itu terbangun setelah elusan dari Jevano terhenti beberapa saat sebelumnya, menatap Jevano yang tersenyum miring. “Infusnya udah habis, gue panggil suster dulu.”
Liora memencet tombol kecil di atas ranjang Jevano beberapa kali sampai sang suster datang untuk melepas infusnya. Masuk UGD karena pingsan sepertinya memang biasa bagi seorang artis sepertinya, tapi karena ini pertama kalinya dia masuk UGD pada saat sedang liburan agak membuatnya terkejut. Rasanya baru pertama kali liburan terasa aneh baginya, pasalnya Jevano tidak pernah kehilangan kendali dirinya sendiri dalam situasi seperti tadi.
“Koper lo sama gue udah ada di mobil. Kita balik ke Jakarta hari ini.”
“Berapa lama gue pingsan?” Jevano hanya penasaran tapi tidak berekspektasi akan selama itu.
“Ini setengah sepuluh berarti sekitar empat setengah jam lah, dua kali ganti infus, Je.”
“Masa?”
“Ye gak percaya dia, itu bapak-bapak yang kayaknya nemenin istrinya di ruangan sebelah UGD aja udah sampe godain gue, Je. Kepo bener, nanya-nanya nemenin siapa, gue jawablah nemenin pacar dari pada dia nempelin gue mulu.” Kali ini pun Jevano tidak bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk naik membuat lengkungan manis yang bisa membuat banyak penggemarnya berteriak histeris.
“Lo aja kali kegeeran, lagian siapa yang nyuruh ngaku-ngakuin gue pacar lo? Nanti kalo cewek gue di surga denger terus nangis karena cemburu gimana?”
Tidak, kali ini Jevano harus terdiam setelah mendengar balasan Liora. “Berarti lo sendiri yang udah buat dia nangis, soalnya lo duluan yang nembak gue, Je. Inget?”
Jevano tertawa tanda dirinya menyerah duluan dengan perdebatan yang mungkin tidak akan ada habisnya itu. Dirinya baru sadar dari pingsan lamanya, kepalanya masih sangat pusing bila digunakan untuk banyak-banyak berfikir. Laki-laki itu lelah, dia hanya ingin cepat-cepat tidur dan mengisi energinya kembali karena beberapa hari lagi dirinya harus kembali segar untuk tampil kembali di atas panggung.
“Sorry liburannya harus berhenti karena gue, padahal gue yang ngajakin.”
“Gapapa kali, Je. Kesehatan lo lebih penting, liburannya ketunda bentar aja nanti juga kalo ada waktu lagi bisa pergi lagi, Je.” Masalahnya Jevano merasa bahwa ini akan menjadi liburan pertama dan terakhir keduanya, mengingat betapa pesimis dan betapa kecilnya kesempatan Jevano untuk sampai di saat itu lagi. Tapi laki-laki itu memilih menampilkan senyumnya saja.
Entah memang yang terakhir seperti kata hati Jevano atau tertunda seperti yang coba diyakini Liora.
BAB 10 – Penampilan Selamat Tinggal
“Cakrawala tampil dua puluh menit lagi, siap-siapnya dipercepat ya.” Brandon sebagai manajer Cakrawala memastikan kelima artisnya sudah siap ketika dipanggil nanti. Menjadi manajer sebuah band yang anak-anaknya sangat aktif itu menurut Brandon seperti tantangan hidup, sulit dikendalikan jadi untuk menimalisir kehilangan anggota Cakrawala, beberapa menit sekali dia harus mengecek satu-satu anggota Cakrawala.
Hari ini Cakrawala datang ke acara pentas seni di salah satu sekolah SMA negeri di Jakarta. Memasuki pertengahan bulan terakhir di dalam satu tahun yaitu Desember, jadwal tampil di pentas seni untuk Cakrawala sangat padat. Membuat tidak hanya manajer Cakrawala dan anggota Cakrawala saja yang mewanti-wanti Jevano tapi juga para petinggi perusahaan yang khawatir dengan keadaan Jevano. Keadaannya yang memburuk setelah pulang dari Lampung menyebar dengan cepat ke seluruh gedung perusahaan.
“Je, aman?”
“Aman, aman.”
“Mahesa, mana Mahesa? Badannya udah paling gede, tetep gak keliatan juga.”
Stevan menggeleng-gelengkan kepalanya setelah melihat Mahesa yang sedang membelakangi Brandon sambil memakai kemejanya langsung berbalik melihat Brandon dan menunjuk dirinya sendiri. “Kalo masih ngantuk tidur dulu, Bang. Suruh si Jinan geser dikit biar lo bisa tidur di sofa.”
“Si Mahesa udah kurang gede apa lo sampe gak keliatan gitu?”
Kebiasaan Cakrawala masih sama, hubungan mereka dengan orang-orang yang bekerja sama dengan mereka sudah cukup dekat sampai-sampai mereka bisa bercandaan seperti itu. Selain ramah, Cakrawala juga mudah membuat orang-orang yang bekerja dengan mereka menjadi nyaman. Ada hal-hal unik dari mereka yang bisa membuat orang di sekitar mereka tidak perlu bekerja begitu keras untuk dekat dengan mereka pada kali pertama bertemu.
“SMANMA apa kabarnya? Kayaknya kita udah hampir setahun gak ketemu ya? Ketua panitia acaranya sampe udah ganti.” Alih-alih langsung menampilkan lagu-lagu mereka, Cakrawala biasanya mengajak penonton berbicara terlebih dahulu agar membuat mereka lebih nyaman dan menjadi lebih dekat dengan penggemar-penggemar mereka.
“Kayaknya SMANMA ini kalo ngundang kita ketua panitianya selalu cewek deh, tau di Cakrawala ada dua buaya darat apa gimana nih?” Mendengar candaan Jinan yang cukup jarang terdengar itu, secara tidak langsung menyatakan bahwa suasana hati Jinan sedang bagus saat ini. Membuat para penonton pun ikut tertawa dengan candaan sederhana itu.
Daren tersenyum kecil, “Si Mahesa sama Stevan udah ngantri minta nomor telepon Mbaknya dari tadi.”
“Siapa namanya, Sa?” tanya Jinan jail.
“Bunga. Namanya cantik kayak orangnya.”
“Kacau, Mahesa. Beneran mau ngincer ketua panitia. Kalo dimintain nomor telepon jangan mau ya, nanti nyesel soalnya Mahesa gak seganteng ini kalo di belakang kamera. Kasian takutnya jadi trauma ketemu cowok kayak Mahesa kedepannya.” Dua anggota terpendiam Cakrawala sepertinya memang sudah nyaman dengan suasana di SMA Negeri 5 di Jakarta ini, sampai-sampai Jinan dan Daren mau melemparkan candaan yang jarang mereka lontarkan. Ini menjadi salah satu sisi yang paling jarang keduanya perlihatkan ke public karena satu dan lain hal, jadi hanya mereka tunjukkan saat bersama sesama anggota saja.
Stevan yang sejak tadi hanya tertawa akhrinya ikut melontarkan candaannya, “Yang lebih ajaib hari ini tuh, Jinan sama Daren yang jadi aktif ngobrol dan bercanda. Bahkan tadi di belakang panggung yang biasanya mereka diem aja jadi bercanda-canda sama panitia.”
“Tandanya temboknya Jinan sama Daren udah mulai runtuh sih ini. Bentar lagi Stevan sama Mahesa ada penerusnya,” canda Jevano yang membuat ratusan penonton itu ikut tertawa bersama mereka.
Diam-diam Stevan merapalkan puji syukur dan doanya, harapannya hanya ingin melihat kebahagiaan ini awet sampai selamanya. Bila bisa dia berharap waktu berhenti pada saat-saat bahagia mereka seperti ini. Menjadi pemimpin Cakrawala sulit tapi tidak masalah selama bandnya memiliki suasana seperti ini. Tidak masalah bila dia harus terus merasakan kesulitan yang sama asal jangan biarkan satu pun dari mereka pergi. Bahkan bila suatu hari nanti tubuh mereka tidak dapat lagi bermain musik atau tidak lagi sanggup naik ke atas panggung, bila suatu hari dunia tidak lagi mengenal mereka, Stevan tetap ingin menjadi bagian Cakrawala.
Begitu banyak hal-hal indah yang mungkin akan sulit mereka wujudkan berlima. Hal-hal yang selalu menjadi mimpi Stevan, detik-detik berharga yang ingin dia abadikan bersama empat saudara seperjuangannya tapi mungkin akan terkubur begitu saja. Ketika Cakrawala memulai penampilan mereka, ketika Cakrawala mulai mendentingkan suara dari alat musik kelimanya akan menjadi momen berharga yang tidak akan pernah laki-laki asal Surabaya itu lupakan seumur hidupnya.
Meski diminta hanya menyanyikan tiga lagu, tapi Jevano malah memulai sebuah lagu yang menjadi awal dari sejarah hadirnya band Cakrawala di dunia terutama di Indonesia. “Langit Baru” menjadi lagu debut Cakrawala pada 2015 silam sekaligus lagu yang membesarkan nama Cakrawala dan lagu yang menaruh batu pertama pada membuat jembatan kokoh kesuksesan Cakrawala. Lagu yang akan terus dituliskan dalam sejarah Cakrawala dan para penggemarnya.
Air mata beberapa penonton yang mulai turun karena mengingat perjuangan Cakrawala yang juga sebenarnya tidak semudah kelihatannya kini harus turun lebih deras lagi karena pengumuman dari Jevano. “Sore semuanya, sebelumnya maaf bila ini terdengar mendadak sekali tapi selama beberapa bulan gue sudah mempertimbangkan semuanya. Kita udah janji untuk terbuka ‘kan? Maka dari itu gue akan memberitahu kalian keadaan gue sekarang. Gue… mengidap tumor jinak di otak yang mulai berubah menjadi kanker. Gak, gue gak akan meninggalkan Cakrawala setidaknya sampai gue meninggalkan dunia ini.”
Beberapa anggota Cakrawala mulai mengalihkan pandangan, berusaha untuk tidak melihat Jevano ataupun para penonton. Karena mereka tahu kalau mereka melihat para penonton yang menangis maka mereka juga akan ikut menitikan air mata. Tapi melihat Jevano yang sepertinya tidak lagi kuat berdiri di tengah panggung sendirian, Stevan mulai menghampiri anggota-anggotanya untuk ikut juga merangkul Jevano di sana.
“Ngomongin masalah waktu, beberapa kali gue selalu berbicara kalau waktu berjalan sangat cepat. Sampai-sampai Dokter menyatakan bahwa waktu gue hanya tinggal dua bulan lebih lagi sekarang. Gue memutuskan untuk tidak menjalani pengobatan dengan beberapa alasan jadi bukan salah rumah sakit atau dokter bila gue tidak lagi bisa berdiri sekuat ini di atas panggung. Terima kasih atas semua dukungannya, terima kasih atas semua waktu yang kita habiskan bersama. Mungkin gue akan lupa tapi maaf bila kenangan menyakitkan ini akan kalian ingat terus.”
Jevano masih mengangkat wajahnya, namun tidak lagi mampu menatap para penonton sampai matanya terpaku pada seorang gadis yang berdiri tidak jauh dari panggung. Gadis itu tersenyum seolah memberikan semangat, tapi di sebelah gadis itu ada seorang gadis lain yang beberapa bulan ini selalu ada di pikirannya. Liora berdiri di sana, tepat di samping Jihan. Entah halusinasinya atau bukan ketika melihat Jihan di sana atau mungkin Jihan mau menjemputnya.
“Mungkin… ini juga bakal jadi penampilan terakhir gue bersama Cakrawala, mengingat beberapa hari kedepan gue akan mulai dirawat di rumah sakit dan mungkin tidak lagi sanggup menjadi drummer Cakrawala. Terima kasih lima tahunnya ya.” Jevano dahulu juga pernah beberapa kali harus hiatus karena masalah kesehatannya atau cedera bahunya yang membuatnya belum sanggup memainkan drumnya tapi tetap mau ikut naik ke atas panggung. Jevano tidak pernah benar-benar hiatus selama lebih dari satu bulan, pasti akan dipaksanya naik ke atas panggung. Tapi melihat dirinya harus melawan diri sendiri dan mengambarkan sendiri dia akan hiatus sampai waktu yang tidak ditentukan membuat semua penggemarnya pasti sedih sekali.
Apa lagi sosoknya yang menghibur dan ceria tidak akan pernah lepas dari ingatan para penggemarnya. Rasanya pasti sulit menerima kenyataan ini dan menerima absennya laki-laki humoris itu dari kegiatan bandnya. Namun juga berat ada di posisi Jevano sekarang, dia memang ingin terus berada di atas panggung tapi sepulangnya dia dari Lampung dia langsung diminta dokternya istirahat total tanpa penolakan. Dia terpaksa harus menuruti sang dokter dan dirawat di rumah sakit mulai beberapa hari lagi seperti yang tadi diucapkannya.
Melihat Liora sedang tersenyum memberinya semangat, seperti biasa kedua sudut bibirnya pun ikut naik. Senyum yang jarang terlihat dari Jevano itu sedikit menenangkan perasaan para penonton walau masih terasa nyeri di hati, tetap mereka menegarkan diri agar dapat memberikan kenangan terbaik untuk Jevano yang tidak tahu akan kembali kapan dari istirahatnya.
“Satu lagu lagi gak sih? Bonus special deh,” usul Jinan. Setelah menyetujui usulan itu, kelimanya langsung kembali pada tempat masing-masing, bersiap memainkan alat musiknya. “Lagu ini dibuat dihari-hari sulit Cakrawala. Ketika gue sendiri merasa lelah dan Stevan mengalami stress berkepanjangan pada tahun lalu. Kami buat lagu ini untuk mengingatkan kalian bahwa kalian tidak sedang sendirian, setidaknya kalian punya Cakrawala.”
Mahesa tersenyum lalu membuka lagu tersebut, “Lalu.” Dia menyebut judul lagunya, mengingatkan para penonton judul lagu tersebut. ‘Lalu’ merupakan lagu bertema kesehatan mental dengan nada lembut dan tempo tidak terlalu lambat. Menjadi lagu kesukaan Mahesa juga karena dia selalu memulai lagu ini dengan petikan gitar lembutnya.
Aku melaju terlalu cepat
Tapi tak ada yang mengejar
Bila bukan menjadi pemenang
Lalu aku berlari untuk apa?
Aku tidak berhenti ketika lelah
Aku tidak hilang ketika kalah
Lalu apa yang membuatku menghela?
Pada langit aku bertanya
Tapi tetap tak ada jawaban
Lalu semesta berjalan cepat juga
Dan aku kewalah
Liora menangis di barisan para penonton, melihat Jevano yang sedang menahan tangisannya sambil mengimbangi teman-temannya yang membuatnya agak kewalahan tapi laki-laki itu tetap tidak mau terlihat tidak baik-baik saja. Rahang laki-laki itu nyeri, lidahnya kelu, sehingga dia melewati kesempatan untuk bernyanyi sampai-sampai penontonlah yang bernyanyi pada bagiannya.
Lagu itu selesai dan kelimanya mengucapkan kalimat-kalimat penutupnya. Jevano turun agak sempoyongan sampai harus dipapah Mahesa dan Daren agar tidak jatuh ketika turun tangga. Ketika para penonton pulang, Cakrawala masih terduduk di ruangan tunggu mereka. Makan dan minum yang telah disediakan panitia. Tapi Jevano yang terbengong sambil mengunyah lempernya.
“Mungkin ini bukan yang terakhir, Bang.” Mahesa mencoba menghiburnya membuatnya mengembangkan senyum terpaksanya. Helaan nafasnya membuat tiga anggota yang lain langsung memberikan fokus pada laki-laki yang rambut hitamnya itu sudah mulai panjang.
“Lo masih punya banyak waktu, dokter bukan Tuhan, Van.”
Sambil mengacak rambutnya, Jevano mengenggelengkan kepalanya. “Gue tau diri gue sendiri, Ren. Mungkin dokter bukan Tuhan, tapi pengetahuannya kan dari Tuhan juga.”
Mahesa, Jinan, Stevan dan Daren mendadak kelu, tidak bisa berkata-kata. Baru Stevan akan menasehati Jevano tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi tanda ada yang meneleponnya. “Ra, lo sekarang ke ruang tunggu Cakrawala deh. Ini Jevano udah kayak mayat hidup, pucet banget.”
Benar saja, tidak lama kemudian Liora memasuki ruang tunggu Cakrawala dengan raut wajah khawatirnya. Jevano tak tinggal diam, ketika Liora mendekati dirinya dengan gerakan cepat langsung saja Jevano menarik Liora agar masuk dalam dekapannya. Kepalanya yang berat dibiarkannya bertengger di bahu Liora. Mata gadis itu seolah bertanya kepada empat anggota Cakrawala yang lain.
“Dia pesimis.” Daren menjawabnya singkat.
“Loh kalian baru tau, Jevano selalu begitu beberapa hari ini.” Sambil menepuk-nepuk punggung Jevano pelan, Liora membalas pernyataan Daren sambil agak bercanda. “Je, lo gak mau lihat seberapa khawatirnya mereka sama lo? Katanya lo yang paling sayang sama Cakrawala, masa pesimis? Lo tega biarin mereka kehilangan jiwa dan kepositifan lo? Lo pernah bilang lo bintang redup tapi bintang redup ini masih punya nyawa. Ayo donk jangan bikin Cakrawala kehilangan bintang redupnya secepat ini. Jangan kehilangan cahayanya, Je.”
Jevano mengangguk, “Gue cuma perlu istirahat bentar aja. Bentaaaar aja.”
Suasana ruangan tersebut sepi, terdengar sangat sunyi lagi setelah semua pekerja menyelesaikan pekerjaan di ruangan itu sampai tersisa Jevano, Liora dan empat anggota Cakrawala yang masih pada posisinya masing-masing. Liora menyadari bahwa bahunya terasa lebih berat dari sebelum-sebelumnya dan mendapati Jevano benar-benar pingsan di bahunya.
Bab 11 – Tanpa Judul
2 bulan kemudian
“Happy birthday, Jevano. Happy birthday, Jevano. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday, Jevano.” Diletakkannya dua tangkai bunga lily yang baru dibelinya di toko bunga tadi sebelum datang ke rumah sakit. Hari ini hari ulang tahun Jevano, Liora tahu dari Stevan yang memberitahunya tadi pagi.
“Maaf jadi jarang mengunjungi lo ya, Je. Kantor sibuk banget minggu-minggu ini, gue baru sempet datengin lo hari ini. Biasanya hari minggu begini gue tiduran terus ngerjain tugas kantor yang belum selesai, tapi hari ini khusus untuk lo gue dateng. Selamat bertambah umur, Jevano.” Tangan lentik gadis itu membenarkan rambut Jevano. Menatap mata yang sudah dua bulan ini terpejam erat itu, seolah tak ada lagi harapan hidup. Selain karena sibuk dengan urusan kantor, Liora juga takut hatinya menjadi sangat sakit ketika melihat laki-laki ceria itu terbaring tak berdaya seperti itu.
Setelah malam penampilan terakhir sebelum istirahatnya Jevano, laki-laki itu mengalami koma. Bahkan dalam dua bulan ini sudah tiga kali laki-laki ini mengalami gagal jantung. Alat-alat yang tidak terhitung jumlahnya menempel di tubuh Jevano inilah yang memberinya kekuatan untuk bisa hidup sampai sekarang, dokter telah mendiaknosa bahwa Jevano tidak akan bertahan terus begini karena suatu hari nanti otaknya akan berhenti bekerja atau dalam kata lain Jevano akan mati otak bila tak kunjung bangun.
“Lo belum menyelesaikan tugas lo untuk menyakini gue kalau berhubungan dekat lagi dengan seorang laki-laki tidaklah salah,” ujar Liora frustasi. Rambunya yang diacak-acaknya seolah menjadi penunjuk betapa stressnya dia sekarang. “Kenapa disaat lo belum menyelesaikan janji lo, gue malah lebih dulu jatuh cinta? Kenapa disaat lo antara hidup dan mati kayak gini, Je?”
“Jevano, bangun! Seluruh dokter udah hampir nyerah, tapi gue gak akan nyerah. Lo harus bangun, Je. Meskipun hanya satu persen lagi kemungkinan lo hidup, meski tinggal satu persen lagi cahaya redup lo itu. Setidaknya ucapkan selamat tinggal ke orang-orang yang akan lo tinggalkan. Papa Mama lo udah tau, mereka udah di Jakarta mungkin habis ini dateng ke sini. Bangun dan tunjukkin sosok kuat lo, Jevano.”
Tangisannya tidak akan berbuat apapun untuk kesembuhan Jevano tapi setidaknya dia bisa menumpahkan itu setelah ditahannya berhari-hari, sesaknya seolah perlahan hilang, “Lo cuma bilang butuh istirahat sebentar. Dua bulan belum cukup, Je?”
Lelah dengan percakapan kosongnya, Liora bangkit berdiri dan mengambil tasnya setelah menghapus air mata dan memperbaiki penampilannya. “Gue pulang, Je.”
Liora keluar dari ruangan VVIP yang sedang ditempati Jevano itu. Hendak melangkah menjauhi pintu setelah menutupnya, sepasang suami-istri yang umurnya sekitar setengah abad lebih menghadangnya langkahnya. Setelah diproses otaknya, Liora agak yakin bahwa suami istri di depannya ini adalah Papa dan Mama dari Jevano.
“Kamu Liora, betul?” Sang wanita lebih dahulu memulai percakapan.
Liora mengangguk agak ragu, “Iya. Kalian berdua orang tua Jevano ya, silahkan masuk,” ujarnya ramah.
“Pa, kamu masuk duluan temenin Jevano. Kamu, saya mau ngomong sama kamu sebentar boleh?” suara wanita yang terlihat sudah agak lanjut umur itu terdengar tegas, berwibawa tapi juga lembut secara bersamaan. Membuat Liora mengangguk tanpa ragu lagi.
Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Vega Sarani itu mengajak Liora ke rooftop rumah sakit. Yang diketahui Liora tentang Vega adalah beliau masih ada keturunan ningrat di dalam darahnya. Makanya membuat dirinya masih terlihat berwibawa dan anggun. Sedangkan sang suami atau Arkana Bahrano adalah seorang pembisnis ternama yang saat Jevano memasuki SMP, perusahaannya mengalami krisis sampai hampir bangkrut. Bila dibandingkan dengan dirinya, keluarga Jevano sangat jauh di atasnya.
“Stevan bilang Jevano terlihat sangat bersemangat dan lebih ceria dari biasanya ketika sudah bertemu denganmu. Saya selalu bahagia ketika melihat anak semata wayang saya bahagia, terima kasih mau ada di sampingnya ketika saya tidak ada. Dia anak yang manja kan? Itu sifat yang tidak akan diperlihatkannya bila dirinya tidak seratus persen percaya dan nyaman dengan seseorang.” Senyum wanita itu membuat atmosfir di sekitar mereka berdua di tempat itu mencair.
Sedangkan Liora merasa bingung harus menjawab apa, Vega lantas melanjutkan omongannya. “Sejak kecil dia selalu punya cara biar orang lain merasa gemas padanya. Meskipun terjatuh dan terluka biasanya dia akan tetap memampangkan senyumnya agar orang tuanya tidak panik. Dia selalu menunjukkan sisi cerianya. Waktu anak saya itu masih kecil, dia selalu datang pada saya dengan banyak cerita. Entah dirinya yang terjatuh dari sepeda atau dirinya yang berani mengelabui penculik ketika hampir di culik.”
Vega tersenyum, mengingat kenangan manis anaknya yang masih kecil. “Dia anak yang paling pintar di setiap kelasnya. Dia bahkan meraih beasiswa disaat keluarganya mampu membayar sekolahnya. Tapi yang paling saya ingat bagaimana anak itu memiliki seribu satu akal untuk tidak membiarkan Mamanya khawatir atau Papanya marah. Vano anak tersayang saya sepanjang saya hidup, dia alasan kenapa saya mati-matian melawan orang-orang yang jahat pada keluarga kami.”
“Sekarang mau melihatnya yang terbaring saja rasanya sulit sekali. Hati saya sakit sekali ketika mendengar kalau anak saya masuk rumah sakit terlebih lagi setelah mendengar alasannya. Saya sudah bilang kan? Dia sangat pandai bahkan pandai menyembunyikan sakitnya dan tidak mau membiarkan Mamanya khawatir atau Papanya marah.” Vega menghapus air matanya. Hati ibu mana yang tidak sakit mendengar anaknya sakit parah dan dia tidak diberitau sebelumnya.
“Jevano selalu membuat saya bahagia dan khawatir sekalius. Ketika dia kehilangan cinta pertamanya pun saya melihatnya tersungkur sampai seluruh hatinya terluka. Saya titip Jevano sama kamu sampai hari terakhirnya, boleh?”
*****
Liora berlarian bergegas memasuki mobilnya ketika pihak rumah sakit mengabari kalau Jevano telah siuman dari tidur panjangnya. Gadis itu langsung menjalankan mobilnya keluar dari parkiran kantor saat Stevan meleponnya.
“Halo, Van. Gue udah denger kok si Jevano udah siuman. Gue lagi jalan ke rumah sakit. Jagain Jevano sebentar ya,” ujarnya terengah-engah.
“Ra, Jevano kayak lagi mau pamitan sama semua orang terdekatnya. Dia nyuruh gue manggil lo juga, gak sampai disitu aja. Dia bilang mau ke pantai sama lo.” Perkataan laki-laki itu dari seberang sana membuat Liora jadi lebih cepat lagi berkendaranya.
Liora langsung memasuki ruangan Jevano, dilihatnya Jevano sedang terduduk di ranjangnya. Empat anggota Cakrawala dan orang tua Jevano ada di sana. Bercanda-canda dengan Jevano yang tidak terlihat seperti baru terbangun dari koma dua bulannya. Gadis itu merasa sia-sia saja mengkhawatirkan Jevano yan mungkin saja selama komanya itu dia tidak kembali lagi. Tapi ada rasa senang juga di dalam hatinya.
Melihat kedatangan Liora, orang-orang di dalam sana langsung menyuruhnya bergegas membawa Jevano ke pantai yang biasa mereka datangi. Kedua orang tua Jevano telah mengizinkan, pihak rumah sakit dan anggota Cakrawala yang lain akan memantau mereka berdua. Takut-takut akan terjadi sesuatu pada Jevano.
Benar saja, Jevano dan dirinya langsung melaju menuju pantai yang biasanya. Jevano melihat iring-irinan mobil di belakang mereka. Senyumnya mengembang begitu saja, laki-laki yang sekarang rambutnya benar-benar sudah panjang itu menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan. Seolah sudah lama sekali tidak menghirup udara luar.
“Lo kenapa sih, Je? Baru sadar kenapa buru-buru mau ke pantai gini? Lo bisa tunggu sampai sembuh dulu kan? Bahaya tau gak kayak gini.” Jevano tersenyum tanpa menjawab, wajah pucatnya menunjukkan sekali bahwa dia belum pulih sepenuhnya.
“Kenapa enggak? Gue pernah janjikan kalau pertemuan terakhir kita sebelum tiga bulan dan di pantai. Ini belum tiga bulan dan gue lagi mau ke pantai aja. Lagian gue tidur terus selama dua bulan bosen kali, Li.” Kekehan laki-laki itu masih sama tapi rasanya berbeda. Liora sadar itu ada rasa sesak di hatinya ketika mendengar kekehan Jevano kali ini. Tidak ada lagi rasa kesal tapi sesak di dadanyalah yang sekarang malah ia rasakan.
Percakapan mereka berhenti di sana, keduanya sibuk mengatur sesaknya hati masing-masing. Sibuk menunjukkan bahwa mereka baik-baik saja. Tapi ketika sampai di pantai yang biasa mereka datangi, rasanya usaha mereka itu sia-sia karena suasana hati mereka menjadi kembali seperti tadi. Jevano berniat mengakhiri dengan baik-baik saja tapi sepertinya ini tidak akan begitu, terlebih kepalanya yang kembali pusing dan telinganya yang berdengung.
Jujur saja saat terbangun tadi dia nyaris melupakan segalanya kecuali Liora, butuh hampir satu jam mereka mencoba mengingatkan Jevano. Sang ibu bahkan sudah nangis histeris karena anaknya sendiri tidak mengingat dirinya. Rasanya sudah hampir seperti amnesia.
Jevano menggenggam erat tangan Liora, jari-jarinya di masukkannya pada sela jari Liora. Karena belum sore, mereka masih duduk di pinggir pondok sambil menunggu infus Jevano habis. “Li, malam lama ya. Padahal gue mau jadi bintang redup di antara bintang-bintang terang.”
“Lo tau gak? Lo orang pertama yang panggil gue dengan ‘Li’ karena selama ini gak pernah ada orang yang manggil gue dengan sebutan itu.” Liora mengalihkan pembicaraan.
“Lo juga tau gak? Lo orang kedua yang manggil gue dengan ‘Je’ soalnya yang pertama cinta pertama gue, Jihan namanya. Dia juga udah duluan jadi bintang.”
Merasa pengalihannya berhasil, Liora tersenyum. “Yahh gak adil amat, lo jadi orang pertama tapi gue enggak.”
“Ya lo aja datengnya telat, Li. Harusnya mah duluan biar gue gak ngerasain sakit itu. Biar kita lebih lama. Mungkin kalo kita ketemu jauh sebelum ini, gue udah jadiin lo milik gue, Li.” Jevano menyandarkan kepalanya pada bahu Liora. Gadis itu agak trauma dengan Jevano yang menyandarkan kepalanya pada bahu Liora tapi tetap berusaha tenang.
“Li, bahagia ya. Lo harus bahagia. Gue bakal kangen banget senyum lo, gue bakal kangen banget lawakan lo. Yang paling gue kangen adalah makan bareng lo, di peluk lo dan bersandar di bahu lo kayak gini.” Jevano menarik nafasnya dalam-dalam lagi, “Gue udah pernah bilang belom ya ke lo? Gue nyaman bisa meletakkan kepala gue yang rasanya berat banget ini di bahu lo. Gue boleh egois lagi gak sih? Jangan biarin bahu lo di letakin kepala orang lain selain gue. Boleh gak?”
“Gue udah capek banget, Li. Bilang sama semua penggemar gue yang nunggu gue kalau gue udah bahagia dan maaf kalau gak bisa kembali seperti semula kepada mereka. Bilangin ke Cakrawala maaf kalau gue harus meninggalkan mereka duluan. Bilangin Mama sama Papa gue kalau anaknya udah menyelesaikan pertandingannya dengan baik dan jangan khawatir. Gue baik-baik aja."
Liora tersenyum miris, "Gue gimana? Lo gak bilang apa-apa sama gue?"
"Bilangin aja sama diri lo sendiri, urus diri sendiri dengan baik, makan yang cukup, bahagia, jangan sakit-sakit. Jaga diri. Dan… Jevano sayang sama dia."
Jevano bergerak menyamankan dirinya sendiri di bahu Liora lalu kembali berujar, "Bilang bahwa gue bahagia bisa ketemu Liora yang sekarang. Gue bahagia punya Liora di samping gue. Gue bahagia karena gue gak lagi merasa sendiri disaat dia hadir dalam hidup gue. Makasih untuk semuanya."
Jevano menarik nafasnya dalam-dalam lagi dan untuk kesekian kalinya. Bahu Liora terasa berat, orang yang telah mengklaim bahu itu telah menghembuskan nafas terakhirnya. Benar-benar terakhir. Liora hanya bisa terdiam di tempatnya, membiarkan air matanya mengalir ke pipinya sampai menetes di bajunya. Sampai malam tiba Liora tidak beranjak dari tempatnya sama sekali. Air matanya pun rasanya sudah kering.
Liora lihat itu, bintang redup yang kali ini terasa berbeda. Dia tahu itu adalah Jevano. Dia tahu bintang redupnya telah bersanding dengan bintang-bintang terang lainnya dan tidak mau kalah untuk menunjukkan kalau dirinya juga pantas disukai. Jevano tidak pernah kalah dan belum kalah. Dia hanya dimakan oleh semesta yang melaju begitu cepat dan dia tidak bisa mengimbangi lajunya semesta.
Suster mendatangi keduanya untuk mengganti infus Jevano tapi malah mendapati Jevano telah tiada dan Liora yang terdiam di tempatnya. Beberapa orang yang di panggil suster itu mendatangi mereka dan mengangkut Jevano ke ambulans. Gengaman tangan mereka terlepas begitu saja. Baik Liora atau Jevano tak ada yang menahan, karena mereka tahu kalau kali ini mereka tak akan dibiarkan bersama lagi.
Lagi-lagi Liora sendirian. Jevano pergi, bintangnya hilang. Matanya menatap lurus bintang redup di atas sana. "Kalau kita memang ditakdirkan semesta dan bila kehidupan kedua memang ada, ayo ketemu di kehidupan selanjutnya, Je. Ayo hidup jadi orang biasa yang saling mencintai aja. Gue juga bahagia ketemu lo, gue juga sayang sama lo. Makasih juga untuk hari-hari berduanya."
Kisah tak berjudul dan abstrak ini berakhir tanpa akhir bahagia. Ceritanya tidak pernah dimulai tapi harus berakhir, mereka tidak pernah saling menggenggam tapi semesta menyuruh keduanya melepaskan. Kisah ini tidak sempurna, tidak pernah diizinkan untuk menjadi kisah cinta terbaik. Tapi bila langit mengizinkan, maka biarkan keduanya bersatu di langit yang lain atau di tempat yang lain.
Bila ini cerita ini diketahui banyak orang pasti banyak orang yang akan menyukainya tapi bagi Liora dia tidak pernah menyukai kisah hidupnya. Ketika dia memutuskan untuk menjalani hidupnya sendirian lagi. Saat hatinya memilih untuk berlabuh hanya kepada Jevano dan tidak ada yang lainnya, disuatu hari saat dirinya kelelahan karena terus mengimbangi laju semesta dan menyerah. Hatinya masih milik Jevano dan masih diisi laki-laki itu.
Jevano dan Liora bukan dua insane paling bahagia ketika bertemu tapi keduanya tak pernah menyesal dengan semua kenangan bersama mereka. Keduanya adalah isi dari cerita yang mereka tulis sendiri. Tapi bukan penyelesaian yang bahagia untuk kisahnya. Awal mereka di tempat peristirahatan terakhir orang lain, tapi akhirnya Liora lagi lah yang mengantarkan orang tersayangnya ke pusara mereka.
Ada perasaan yang tak pernah berubah, meski waktu berjalan cepat tanpa penat. Ada bahagia yang belum selesai, tapi harus diselesaikan. Disana ada isi hati yang tidak pernah berubah meski tempatnya telah berbeda. Karena mungkin esok tak pernah ada. Mungkin esok yang kita tunggu tak ada atau tak lagi sama, maka sebelum terlambat ucapkan saja pernyataan yang tertahan itu.
Karena bila esok tak pernah ada maka hari inilah yang akan menjadi bab penyelesaiannya. Dan inilah bab penyelesaian bagi Jevano dan Liora. Liora hanya berdoa agar ada epilog di kisah cintanya.
Bab 12 – Terisa Empat Bintang di Cakrawala
5 Oktober 2025, Jakarta
“Cakrawala, stand by. Lima menit lagi kalian masuk.”
“Stevan, Jinan, Daren, Mahesa, siap. Naik panggung dalam hitungan tiga, dua, satu!”
Sorak sorai penonton, lampu-lampu sorot hingga panggung yang lebih besar terasa sangat asing padahal Cakrawala adalah band dengan jenjang karir sepuluh tahun. Stadion Glora Bung Karno mereka sewa untuk dua hari untuk special konser bertajuk ‘Sepuluh Tahun Cakrawala’ untuk merayakan sepuluh tahun perjalanan Cakrawala dan empat tahun kepergian anggota dan sahabat tersayang mereka, Jevano Aditya Sagara.
“Hari ini tepat tepat lima tahun kepergian Jevano dan tanggal 1 Oktober ini sepuluh tahun Cakrawala. Jadi lagu pertama yang akan dibawakan adalah salah satu ciptaan Jevano, Bintang Pertama.”
Memutuskan tidak menyewa drummer pada setiap konser mereka ini adalah atas permintaan semua anggota yang masih ingin posisi drummer tiap konser mereka masih sama, Jevano. Bila bukan laki-laki itu berarti jangan ada satu satu pun yang duduk di kursinya drummer itu. Drum Jevano masih ada di setiap kon ser mereka, tapi jadi seperti pajangan karena tidak ada yang memakai drum itu.
Perusaaan menentang awalnya, karena mereka pikir, konser harusnya meriah dengan adanya tabuhan drum yang menjadi salah satu komponen terpenting dalam meriahnya sebuah konser. Tapi malah tak ada satupun drummer di antara keempatnya. Namun pemikiran perusahaan mereka salah, setiap konser Cakrawala diadakan, tidak ada komentar yang menyatakan bahwa konser Cakrawala tidak lagi seru atau tidak menyenangkan karena tidak ada lagi tabuhan drum. Konser Cakrawala masih sama, hanya salah satu bintangnya yang hilang. Benar, meski kehilangan satu nyawa tapi Cakrawala harus terus melaju karena mereka masih memiliki empat nyawa yang lain.
Tapi tentu ada perbedaan, siapa sangka bahwa Cakrawala yang selalu ceria dan heboh di atas panggung malah menjadi band yang sedikit berbeda setelah salah satunya tidak ada. Mereka seperti benar-benar tidak bisa dipisahkan, sehingga semesta terlihat benar-benar jahat karena telah mengambil Jevano. Cakrawala sekarang hanya Cakrawala yang jadi sering menurunkan ‘hujan’ bila tampil, mereka tidak menjadi gelap tapi penampilan mereka selalu seperti menaburkan luka.
“Cakrawala selalu lima, Stevan, Jevano, Daren, Jinan dan Mahesa. Bila kurang, berarti namanya bukan Cakrawala tapi hanya langit.” Itu suara Jevano, suara candaannya enam tahun lalu saat diwawancarai di acara televisi. Kekehan khasnya masih terdengar, video yang menampilkan wajah laki-laki yang kala itu masih berambut panjang blonde terpampang jelas di monitor yang di belakangi Cakrawala sekarang. “Cakrawala punya lima bintang dan akan selalu begitu.”
“Iya, Van. Cakrawala punya lima bintang dan akan selalu begitu. Lo… akan selalu ada di tempat lo ini. Makasih udah pernah memilih Cakrawala sebagai tempat lo pulang kalau lelah, makasih pernah jadi bagian dari Cakrawala, makasih udah mau menghibur kami. Cakrawala dan semua orang di sini akan mengenang lo sampai nanti kita semua berkumpul lagi di dunia yang baru.”
‘Nanti’ adalah lagu balada yang diciptakan keempatnya, berisi harapan-harapan yang diucapkan mereka untuk bertemu seseorang di kehidupan kedua. Lagu yang diciptakan Jevano.
‘Cahaya’ juga Jevano buat melodi lagu ini dengan membayangkan perempuan yang padanya Jevano menjadi pemberi pelukan ternyamannya, Liora. Dia membuat aransemennya di rumah sakit, karena takut dirinya tidak akan sempat mengungkapkan perasaannya maka dia ciptakan lagu ini. Tapi dia tak sempat menulis lirik. Jadi empat anggota Cakrawala menulis liriknya dengan sepenuh hati, namun mereka menulis liriknya untuk Jevano.
Mereka hanyut dalam lautan kesedihan karena ini pertama kalinya Cakrawala mengatakan hal yang sejujur ini mengenai perasaan mereka tentang kepergian Jevano. Cakrawala cenderung mengindari pertanyaan sensitive itu atau menjawabnya seperlunya selama lima tahun terakhir ini. Setiap nyanyian mereka terdengar tulus, ada pasrah di sana, dan sesak yang tak kunjung hilang. Mereka berempat berjanji akan tetap bersama sampai tua dan menjalankan Cakrawala sampai mereka sudah tidak sanggup lagi berdiri di atas panggung memainkan musik dan bernyanyi.
Suasana yang menyesakkan inni tidak luput dirasakan perempuan yang berdiri di barisan paling belakang. Tangannya menggenggam erat seikat bunga daffodil, “Bunga Daffodil itu melambangkan harapan, semangat baru dan terlahir kembali. Bunga ini jadi bunga yang paling aku suka sejak tanda tangan kontrak dengan Cakrawala tahun lalu, jadi setiap awal tahun aku sering lukis bunga ini.”
Harapan di dalam bunga ini masih terasa tapi orangnya telah tiada. Jevano Aditya pergi dengan meninggalkan seribu perasaan, seribu kenangan sekaligus seribu kesepian untuk orang-orang yang mengenalnya.
“Banyak yang sayang sama lo dan lo salah kalau berfikir gak akan ada yang ingat lo setelah satu tahun berlalu. Semua orang akan ingat kamu lewat karya-karya lo. Jadi bahagia dan tenang aja disana.”
“Jevano, tunggu kita berempat di sana. Nanti kita konser sebagai Cakrawala yang lengkap di cakrawala sana ya.”
SELESAI