Brianna
Brianna
Yolanda XI AK 2
BAB 1
Pagi hari di sebuah kantin SD Tunas Bangsa, terlihat anak-anak berseragam merah putih. Sebagian anak ada yang makan, dan ada anak yang duduk santai sambil mengobrol. Suasana sangat ricuh dan ramai. Tiba-tiba saja, kantin menjadi sunyi ketika ada seseorang yang berteriak dengan suaranya yang nyaring.
“Minggir, minggir! Ada si kurus dan gajah mau lewat!” Teriak Silvi menggema di seluruh penjuru kantin.
Sontak semua mata tertuju pada kedua orang yang hendak menginjakkan kaki ke kantin tersebut. Bri dan Riko, dua bersahabat itu membeku disana karena menjadi sorotan seluruh siswa yang ada di kantin.
“Mari kita sambut angka 10 yang akan memasuki ruangan.” Lanjut Silvi sambil tertawa melihat Bri dan Riko.
Sebagian anak-anak langsung tertawa mendengar hinaan yang dilontarkan oleh Silvi. Ada yang tertawa mengejek dengan terang-terangan, ada juga yang sambil bisik-bisik. Ada pula yang kasihan melihat mereka dicemooh.
Bri berdiri diam sambil mengepalkan tangannya. Wajahnya merah padam menahan amarah yang akan meledak keluar dari tubuhnya. Ia hendak berjalan menuju Silvi, namun langkahnya terhenti dikala Riko menarik tangannya. “Udah Bri, biarkan saja. Anggap angin yang berlalu,” ucap Riko mengerti bahwa sindiran itu ditujukan untuk Bri.
“Aku udah malas makan Rik, kamu saja yang makan,” ucap Bri kesal.
“Sudah, cuekin saja Bri,” bisik Riko menenangkan.
Pada akhirnya, mereka berdua meninggalkan kantin tanpa makan apapun dari sana. Mereka berjalan menuju taman belakang yang ada di sekolah tersebut dan duduk di sebuah bangku di tepi taman.
“Jangan sedih. Biarkan saja yang mereka katakan. Aku tetap sahabatmu.” Hibur Riko.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Bri dan Riko adalah sahabat dari kelas 1 SD hingga sekarang mereka kelas 6. Brianna Tanjung atau yang biasa dipanggil Bri, memiliki bentuk tubuh yang gemuk untuk ukuran anak seusianya. Dengan wajah putih bersih dan pipi yang gembul, ia memang terlihat lebih mencolok dibanding anak-anak lainnya. Sedangkan Riko Christian, memiliki bentuk tubuh yang kurus kering, kecil, dan berkacamata.
“Aku malas saja jadi tontonan Rik,” tutur Bri.
“By the way, apa kamu gak lapar Bri?” Tanya Riko yang tahu kalau Bri suka sekali makan siomay tanpa bumbu saat jam istirahat.
“Gak, Rik. Lapar aku hilang karena lihat wajah Silvi!” Ucap Bri sambil memajukan bibirnya.
“Hahaha… Bibir kamu kenapa sampai maju begitu?” Tanya Riko tertawa melihat gaya Bri.
“Ih malah diketawain coba. Orang lagi badmood juga.” Bri semakin memajukan bibirnya.
“Maaf ya. Habis kamu lucu kalau bibirnya dimajuin begitu.” Kata Riko sambil meminta maaf.
Di lain tempat…
Di ruang kelas 9 SMP, terlihat Jessica, Rosa, dan Sisil yang sedang asyik bercanda.
“Guys, pulang sekolah kita pergi ke mall yuk!” Ajak Rosa.
“Ayo, cuci mata lihat yang cakep-cakep disana!” Sahut Sisil yang paling heboh.
“Jess, kok diam saja?” Tanya Rosa ke Jessica.
Jessica yang ditegur merasa sedikit kaget.
“Eh iya? Iya aku ikut.” Kata Jessica yang bingung memikirkan uangnya yang tinggal sepuluh ribu rupiah.
Tiga serangkai ini terkenal sebagai geng centil di sekolah mereka. Sangat modis dan juga glamour. Tapi sayang tidak punya otak.
“Aku keluar dulu ya guys!” Ucap Jessica yang berlari keluar kelas.
“Mau kemana kamu Jess?” Tanya kedua temannya yang bingung melihat tingkah Jessica.
¥
“Bri! Susah banget nyariin kamu!” Tiba-tiba saja Jessica sudah ada tepat di depan Bri. Bri tentu saja kaget melihat kakaknya muncul mencarinya.
“Ada apa kamu nyari aku kak?” Tanya Bri.
“Pinjemin duit dulu, aku kehabisan uang jajan.” Ucap Jessica
Bri merogoh saku rok dan mengeluarkan dompetnya, tetapi Jessica langsung merebut dompet itu.
“Sekalian dompetnya saja.” Ucap Jessica ceria.
“Jangan semua dong kak. Kalau diambil nanti Bri jajan pakai apa?”
“Gak usah jajan dulu. Lagian berat badan kamu gak bakal berkurang.” Cibir Jessica.
“Kok kakak begitu sama aku?” Ucap Bri kesal.
“Puasa aja kamu hari ini, siapa tau bisa langsing. Hahaha..” Kata Jessica berbalik meninggalkan Bri dan Riko yang diam saja sedari tadi.
“Huft.. Uang jajanku habis semua.” Ucap Bri sedih sambil menghela nafas.
“Aku traktir kamu, jadi gak usah sedih lagi ya. Nanti cantiknya hilang.” Ucap Riko mencairkan suasana.
“Kita masuk ke kelas yuk. Bentar lagi bunyi bel soalnya.” Lanjut Riko.
Akhirnya, Bri dan Riko kembali ke kelas mereka.
Pulang sekolah, Bri dan Riko kembali ke rumah masing-masing. Bri melangkah masuk ke rumah mewah dan besar, tetapi hatinya terasa kosong dan hampa.
“Siang, Pa.” Sapa Bri yang melihat papanya sedang menonton TV.
Richard hanya acuh tak menjawab sapaan putri bungsunya.
Sejak ia lahir sampai saat ini, Briana sudah terbiasa dengan sikap papanya yang tak pernah menganggap keberadaannya. Karena kelahirannya yang membuat papanya kehilangan istri yang dicintainya.
Ia hanya bisa menghela nafas, kemudian melanjutkan langkah kakinya menuju kamarnya. Sampai di kamar, ia hanya berbaring di kasur sembari terisak.
Tok tok tok
Terdengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Dengan langkah lesu, Bri membuka pintu kamarnya.
“Non, sudah ditunggu Tuan sama Non Jessica makan siang,” terdengar suara Bi Ira dari depan kamar.
“Iya, Bi. Sebentar lagi Bri kesana. Terimakasih ya,” jawab Bri yang segera mengganti seragamnya.
Di ruang makan, terlihat Richard dan Jessica yang sudah makan tanpa menunggu dirinya. Ia menarik kursi untuk duduk, tetapi kemudian Richard meletakkan alat sendoknya ke piring.
“Aku sudah tidak berselera untuk makan. Kamu lanjutkan saja makan siang kamu Jess,” ucap Richard sambil meninggalkan ruang makan.
Jessica pun menatap Bri dengan sinis, lalu ikut meninggalkan ruang makan. Yang di tatap hanya bisa menunduk dengan perasaan bersalah, merasa kehadirannya merusak makan siang papa dan kakaknya. Kemudian, ia pun makan dalam kesendiriannya.
¥
Keesokan harinya, Bri menemui papanya.
“Pa, hari ini Bri minta uang jajan ya”, pinta Bri.
“Memang kemana uang jajanmu, bukannya sudah papa berikan setiap minggu?” Ucap Richard sinis.
“Em, itu pa,” sahut Bri menatap Jessica yang kebetulan ada disana sambil melotot ke arahnya tanda mengancam.
“Uang jajan sudah diberikan setiap hari Senin. Jadi tunggu saja sampai dapat lagi.” Jawab Richard berlalu diikuti dengan Jessica meninggalkan Bri sendirian.
¥
Bri melangkahkan kakinya menuju ruang kelas dengan lunglai karena tidak mendapat uang jajan.
“Ndut.. Ndut.. Si gendut..”
Bri sudah menebak siapa yang memanggilnya dengan sebutan begitu, tetapi cuek saja karena itu bukan namanya.
“Bri gendut, budek ya kamu? Daritadi dipanggil kok gak jawab” Bentak Silvi.
“Nama aku Briana, bukan Ndut!” Sahut Bri kesal.
“Hahahaha… Kamu kan memang gendut, jadi wajar aja dipanggil Ndut. Kok malah marah.” Ucap Silvi tertawa meledek.
“Dasar mulut lemes!” Gerutu Bri dengan kesal.
“Ndut! Aku pinjem buku PR Matematika dong!” Ucap Silvi.
“Enak saja, emang kamu siapa minjem-minjem. Kerjain sendiri sana, kamu kan punya otak.” Sungut Bri meninggalkan Silvi.
“Dasar gendut, jelek, belagu! Gajah bengkak kamu!” Teriak Silvi kesal.
Riko melihat Bri masuk dengan wajah ditekuk. Dari kelas 1 SD sampai saat ini kelas 6, mereka berdua selalu satu kelas.
“Bri, pagi-pagi begini kenapa udah ditekuk itu wajahmu?” Tanya Riko.
“Hmm… Kalau ditekuk begitu nanti imutnya hilang,” Goda Riko tersenyum.
“Rikoo, masih pagi sudah ngegombal aja kamu.” Ucap Bri akhirnya bisa tersenyum.
“Gitu dong, baru Brianna namanya.” Celoteh Riko senang melihat sahabatnya bisa tertawa lagi.
Teng teng teng
Bel masuk berbunyi. Semua murid masuk ke kelas masing-masing tak terkecuali Bri dan Riko.
“Pagi anak-anak,” sapa Bu Dwi selaku wali kelas 6B.
“Pagi, Bu.” Jawab serempak para murid.
“Baiklah, karena sebentar lagi Ujian Nasional maka hari ini kita akan mengerjakan soal-soal latihan ujian. Karena nilai kalian akan menentukan SMP mana yang bisa kalian masuki.” Ucap Bu Dwi.
“Masukan semua buku yang ada di atas meja. Hanya boleh ada peralatan menulis saja di atas meja!” Perintah Bu Dwi
Kemudian ia pun membagikan lembar soal serta lembar jawab ke para murid.
“Kerjakan soal tersebut dalam waktu 60 menit. Yang sudah selesai segera bawa kemari. Jangan ada yang mencontek atau membuat keributan jika tidak ingin ibu kurangi nilainya.” Kata Bu Dwi sambil mengawasi murid-muridnya mengerjakan latihan ujian.
Suasana kelas menjadi hening. Anak-anak sibuk dengan kertas latihan di atas meja mereka.
Bri menatap kertas yang berisikan 40 butir soal tersebut. Setelah itu dia tersenyum,
“Ah, soal ini mudah sekali.” Ucap Bri dalam hati.
Setelah itu dia menyelesaikan soal tersebut dengan cepat. 40 menit setelah ujian berlangsung, Bri menjadi orang pertama yang berdiri maju menyerahkan lembar jawabannya kepada Bu Dwi.
Bu Dwi menatap Bri yang tersenyum, lalu diamatinya lembar jawaban yang diserahkan Bri.
“Sudah kamu periksa kembali semuanya, Bri?” Tanya Bu Dwi.
“Sudah, bu” Jawab Bri.
“Bagus, jaga terus rankingmu ya Bri. Ibu bangga menjadi wali kelasmu.” Ucap Bu Dwi.
“Kamu boleh istirahat lebih dulu, jangan ganggu kelas-kelas lain ya, ke kantin saja.” Lanjut Bu Dwi.
“Baik. Terimakasih Bu.” Ucap Bri lalu meninggalkan ruang kelas.
Sesampainya ia di kantin, ia duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Saat asyik menyesap minuman, Bri dikejutkan dengan tepukan di pundaknya.
“Melamun saja!” Ucap seseorang tersebut yang tak lain adalah Riko.
“Sudah selesai juga, Rik?”
“Iya, cuma selisih sedikit waktunya dengan kamu, Bri.”
“By the way Rik, kita jadi daftar ke SMP Pelita sama-sama kan?”
“Eum, sebenarnya aku ingin kasih tau kamu sebelumnya. Setelah ujian selesai, aku ikut orang tua aku pindah…” Ucap Riko sembari menunduk.
“Hah?! Kok gitu? Memangnya kamu mau pindah ke mana Rik?” Tanya Bri.
“Papa ditugaskan ke Singapura, Bri.”
“Jadi kita gak bisa sama-sama lagi dong Rik?” Ucap Bri dengan sedih.
“Iya, maafin aku ya.” Jawab Riko.
Bri terdiam sejenak, berpikir akan kehilangan satu-satunya sahabat yang ia punya.
“Kok malah diam? Jangan sedih, Bri.” Ucap Riko.
“Tunggu, aku haus. Kamu mau nitip apa gak?” Tanya Riko
“Aku gak haus Rik.”
Riko meninggalkan Bri untuk membeli makanan dan minuman.
“Ini buat kamu Bri.” Riko menyodorkan siomay tanpa bumbu kesukaan Bri.
“Terimakasih Rik, tau aja kesukaanku.” Ucap Bri senang.
“Jelas aku tahu, kan aku sahabat kamu Bri.” Jawab Riko.
Hari-hari telah berlalu, dan Ujian Nasional telah usai. Bri merasa lega dan tinggal menunggu pengumuman dan kelulusannya saja.
Siang hari saat sekolah telah usai, Bri pulang ke rumahnya. Saat ia akan menuju ke kamarnya, di ruang tamu sudah ada papanya yang menunggu dia. Dengan muka yang menahan amarah, Richard berjalan ke arah putri bungsunya. Alih-alih menyambut dengan senyuman hangat, ia justru menampar Bri. Tamparan tersebut tidak kuat, tetapi mampu membuat Bri shock atas perilaku papanya.
“Aku salah apa pa sampai papa nampar pipi aku seperti ini?” Ucap Bri dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kamu bertanya apa salah kamu?! Untuk apa kamu mencuri uang saya?” Teriak Richard dengan nada marah.
“Maksud papa apa? Aku tidak mencuri uang papa sepeser pun.” Lirih Bri menahan tangis.
“Gak usah bohong kamu, penjara penuh kalau maling mau mengaku.” Jawab Richard dengan sinis.
“Tapi aku benar tidak mengambil uang papa. Kenapa papa cuma menuduh aku saja? Padahal di rumah ini juga ada Kak Jessica” Ucap Bri.
“Berani kamu menuduh kakakmu? Sekarang masuk ke kamar dan tunggu hukumanmu.” Bentak Richard.
Segera Bri berlari masuk ke kamarnya. Sampai di kamar, ia duduk di pinggir kasur dan menutup wajah dengan tangannya. Ia tidak bisa membendung air mata yang sudah ada di pelupuk matanya.
“Apa salah aku Ya Tuhan? Sampai kapan ini akan berakhir? Sampai kapan papa akan terus membenciku seperti ini?”
Bri yang larut dengan kesedihannya serta matanya yang sembab karena terus menangis pun lelah dan berakhir tertidur di pinggir kasur.
BAB 2
Keesokan paginya, dengan wajah yang lesu dan mata yang sembab, juga perasaannya yang bisa dibilang tidak baik-baik saja, Bri tetap sekolah seperti biasanya. Selama pelajaran berlangsung, ia tidak bisa fokus belajar dan seringkali ditegur oleh guru.
“Bri, tolong fokus ke pelajaran. Tumben sekali kamu hari ini. Biasanya kamu antusias dalam pelajaran ibu,” ucap Bu Dwi yang lagi mengajar pelajaran Matematika.
“Ah, iya bu? Tadi ibu bicara apa?” Tanya Bri yang sedikit terkejut karena ditegur.
“Kenapa kamu tidak fokus dalam pelajaran? Bukankah kamu sangat menyukai pelajaran Matematika?” Tanya Bu Dwi.
“Aku tidak apa-apa. Maaf tadi aku sempat melamun, bu.”
“Bri, kalau ada masalah, selesaikan baik-baik. Sekarang kamu lagi sekolah, jadi harus fokus dalam pelajaran. Lain kali jangan diulangi, ya.” Ucap Bu Dwi menasihati.
“Baik. Sekali lagi maaf, bu.” Ucap Bri.
Teng teng teng…
Bel istirahat berbunyi. Para siswa berhamburan ke kantin, kecuali 2 siswa yang ada di kelas 6B.
Riko menepuk pundak Bri pelan dan duduk di kursi disamping Bri. Sedangkan Bri hanya menatap keberadaan Riko disebelahnya.
“Hari ini kamu kenapa Bri? Coba cerita sama aku.” Ucap Riko memulai percakapan.
“Kemarin aku di tampar papa aku, Rik. Papa menuduh aku mencuri uang nya. Padahal aku tidak mengambilnya sama sekali.”
Bri sama sekali tidak menangis. Mungkin karena kemarin terus menangis, sampai air matanya sudah tidak keluar lagi.
“Memang benar-benar ya papa kamu itu. Mau sampai kapan beliau terus bersikap seperti itu ke kamu? Aku tidak mengerti pola pikir beliau.” Ucap Riko dengan emosi.
“Sudah, kamu jangan emosi. Aku tidak apa-apa. Yang penting kamu percaya kalau aku tidak mencuri uang papaku.” Jawab Bri sambil menenangkan Riko.
“Iya, aku percaya sama kamu. Aku sahabatmu, dan aku tau kamu pasti tidak akan melakukan perbuatan seperti itu.”
Setelahnya, keheningan pun melanda mereka berdua. Bri sibuk dengan pikirannya, dan Riko yang menahan emosi dalam hatinya. Akhirnya, Riko pun ingat apa yang ingin dia sampaikan kepada Bri.
“Eum, Bri…” Tiba-tiba Riko membuka suara.
“Besok aku akan pergi ke pergi ke Singapura. Harusnya itu sebulan lagi setelah kita lulus, tetapi papa mendadak dipindahkan.” Lanjut Riko merasa tidak enak hati.
“Hah, secepat itu Rik?!” Tanya Bri terkejut.
“Iya, maaf ya.” Ucap Riko sambil merogoh sakunya,
“Bri, simpan kalung ini dengan baik ya. Kalung ini akan mengingatkan hubungan persahabatan kita.” Ucap Riko sambil memberi kalung ke Bri.
“Iya, akan aku jaga kalung ini. Tapi aku gak bisa kasih sesuatu ke kamu Rik, aku gak punya uang.” Jawab Bri menundukkan kepalanya.
“Tidak apa-apa, Bri.”
“Terimakasih ya, Rik. Kamu nanti hati-hati disana. Belajar yang rajin.” Pesan Bri.
Sepulang sekolah, semua anak-anak sudah pulang ke rumah masing-masing tak terkecuali Bri. Namun alangkah terkejutnya ketika ia melihat banyak barang miliknya sudah ada di halaman depan rumahnya. Tampak papanya melipatkan kedua tangannya di depan dada sambil menyender ke pintu rumah.
“Pa, apa maksudnya ini? Kenapa barang-barang punyaku ada disini?”
“Mulai dari sekarang, keluar dari rumah ini. Saya tidak membesarkan pencuri sepertimu.”
“Hah? T-tapi pa…”
Terlambat, pintu sudah ditutup oleh Richard. Bri hanya bisa diam lalu mengemasi barang-barangnya dan masuk ke dalam mobil yang sudah ada Pak Yanto, seorang sopir di keluarga Tanjung.
Bri pergi tanpa membawa uang sepeserpun. Ia juga tidak tahu ke mana ia akan dibawa oleh Pak Yanto.
“Kita akan ke mana, Pak?” Tanya Bri kepada Pak Yanto.
“Sudah, kamu diam saja.”
Lumayan juga uang Pak Richard bisa aku pakai sendiri. Lagian mereka juga tidak akan tahu.
Batin Pak Yanto.
Flashback
Siang hari saat Bri belum pulang sekolah, Richard memerintahkan Bi Ira untuk mengemasi seluruh barang milik Bri. Ia juga memerintahkan Pak Yanto untuk membuang Bri ke mana pun tempatnya, kalau bisa di pelosok daerah. Sebenarnya, ia juga memberi uang yang cukup banyak ke Pak Yanto untuk diberikan ke Bri. Tetapi, keserahakan menyelimuti hati Pak Yanto.
Sekarang, Bri hanya menatap kosong ke luar kaca mobil.
Tak terasa beberapa jam perjalanan berlalu. Tanpa tahu di mana tempat itu, Pak Yanto dengan seenaknya menurunkan Bri serta barang-barangnya yang ada di mobil ke jalanan yang sepi. Setelah itu, Pak Yanto meninggalkan Bri yang masih berusia 12 tahun sendirian di sana.
“Hiks.. Pak Yanto jahat banget. Masa ninggalin aku sendirian di sini.” Ucap Bri dengan sedih.
Ia yang terlampau sedih pun akhirnya tertidur di jalanan yang terasa asing dan sepi itu.
BAB 3
Pagi hari tiba…
“Loh, ini anak dari mana kok bisa ada di sini?” Tanya seorang wanita paruh baya yang tidak sengaja lewat dan melihat Bri.
Bri yang merasa terusik dengan suara itu pun akhirnya terbangun.
“Eungh.. K-kamu siapa?” Tanya Bri kepada wanita tersebut.
“Seharusnya aku yang bertanya itu kepadamu, Nak. Sedang apa kamu berbaring di pinggir jalan?”
Bri yang mendengar pertanyaan itu pun kembali menangis lagi. Ia kembali mengingat perlakuan papa, kakak, dan sopirnya.
Wanita tersebut dengan sigap menenangkan Bri dengan suara yang lembut.
“Sudah, tidak apa-apa. Ada ambu di sini yang menemani kamu.” Ucap ambu sembari memeluk Bri.
“Ikut ambu, mau? Di sini dingin,” ajak wanita paruh baya tersebut menggapai tangan Bri.
Bri hanya diam menatap wajah wanita di depannya yang tersenyun dengan hangat. Sebenarnya Bri juga kedinginan, maka ia meraih tangan ambu dan mengikutinya.
Mereka berjalan cukup jauh, sampai ke sebuah rumah papan.
“Ayo masuk, ini rumah ambu. Kamu bisa istirahat di dalam,” ajaknya tersenyum.
Bri mengamati rumah itu, semua dindingnya terbuat dari kayu. Hanya ada sebuah meja kayu dan dua buah kursi di ruang tengah, dan nada dua kamar tidur di sana.
“Duduklah,” ucap wanita itu berlalu masuk ke dalam.
Di mana aku, batinnya sedih.
Tak lama kemudian, wanita itu keluar membawa nampan kecil.
“Minum teh ini dulu, biar badanmu hangat. Ini juga ada ubi rebus, kamu pasti lapar, kan?” Tanya ambu sambil duduk di kursi kosong di depan Bri.
Ragu-ragu, Bri mengambil gelas itu dan meminum isinya.
“Terima kasih ambu,” ucap Bri lirih.
“Kenapa kamu ada di pinggir jalan sendirian, Nak?”
Bri menunduk, diam. Ia juga tidak tahu kenapa ia bisa ada di sana. Hal apa yang menimpa dirinya hingga bisa jadi seperti ini?
“Jangan takut, ambu bukan orang jahat. Coba kamu ceritakan,” pinta ambu dengan suara lembut.
“Awalnya papa ngusir Bri dari rumah, terus Pak Yanto ninggalin Bri di pinggir jalan…” ucapnya kembali mengingat-ingat.
“Ya Tuhan, ayah macam apa yang tega berbuat begitu…” gumam ambu bingung.
Lalu didekatinya Bri, dirangkulnya dalam pelukan.
“Kamu mau tinggal di sini sama ambu? Jadi anak ambu?”
Dengan ragu Bri mengangguk.
“Siapa namamu? Kalau ambu namanya Risma, panggil saja ambu Ima.”
“Nama saya Brianna, mbu.”
“Ya sudah, ambu panggil kamu Ana saja ya, Ana kelas berapa?”
“Ana baru lulus SD.”
Kemudian Ana meraih tas ranselnya dan mengeluarkan ijazah nya dan rapor yang baru didapatkannya dari sekolah.
“Ini…” ucap Ana menyodorkan ijazahnya ke ambu Ima.
Ima menerima dan melihat nilai-nilai ijazah dan rapor Ana dengan tersenyum.
“Wah, Ana pintar sekali ya… Nilai Ana bavus-bagus semua,” puji ambu tersenyum. Tapi dalam hatinya, ia masih prihatin. Papa macam apa yang tega membuang anak pintar seperti ini.
“Terimakasih ambu,” jawab ana ikut tersenyum.
“Ayo bawa tasmu kekamar itu. Kita rapikan barang-barangmu,” ajak ambu Ima.
Mereka duduk sembari mengobrol di sana.
“Ambu, sebenarnya Ana ada di mana? Apa nama dari tempat ini?” Tanya Ana penasaran.
“Sekarang kamu ada di Desa Ngargoyoso, Ana.”
“Ohh.. gitu ya mbu.” Balas Ana sambil membulatkan mulutnya menyerupai huruf O.
Mereka pun lanjut mengobrol sampai larut malam, dan akhirnya tertidur.
Sinar mentari yang terik menembus jendela kamar di mana mereka tertidur. Silau cahayanya membuat Ana terbangun.
Perlahan Ana membuka kelopak matanya menatap langit-langit kamarnya. Ana langsung terduduk.
Dimana aku, batinnya.
“Oh iya, ini rumah Ambu Ima yang kemarin menolongku,’ gumamnya.
Ana keluar meninggalkan kamar kecilnya. Ruang tengah sepi, tak ada siapapun. Ana berjalan-jalan mengitari ruangan-ruangan yang ada di rumah itu. Sampai ke dalam dapur, ia hendak memasak sesuatu karena perutnya sudah lapar. Ia mencari kompor, tetapi daritadi ia tidak menemukannya.
“Kok rumah gak ada kompornya, ya?” gumam Ana.
Menyerah, ia kemudian pergi keluar melihat-lihat sekitar lagi. Sampai di depan sebuah pintu, ia membuka pintu tersebut perlahan. Ya, itu adalah kamar mandi. Dilihatnya sebuah lubang besar di dekat kamar mandi.
“Apa ini?” gumamnya sambil menjulurkan kepalanya melihat ke dalam lubang tersebut.
“Na.. Ana.. Kamu di mana?” Terdengar suara Ambu Ima memanggilnya.
“Ana di belakang, mbu.” Jawab Ana berjalan masuk ke dalam.
“Kamu ngapain di belakang? Mau ke kamar mandi?”
“Maaf, Ana lancang melihat-lihat rumah ambu.” Jawabnya sambil menundukkan kepala.
“Nggak papa Na, kan kamu juga akan tinggal di sini,” ucap ambu.
Kemudian, Ambu Ima mengajak Ana kembali ke belakang rumah dan mengajarkan cara menimba air dan menuang ke dalam bak kamar mandi.
“Sudah tau caranya kan, Na? Tapi ingat ya, hati-hati saat menimba. Embernya jangan sampai masuk ke dalam sumur, apalagi kamunya.” Jelas ambu.
“Iya, ambu.”
Setelah itu, Ambu Ima mengajak Ana ke dapur.
“Kalau kamu mau masak, ambil kayu bakarnya disitu. Kayunya harus kamu nyalakan terlebih dahulu. Begini caranya,” kata Ambu Ima sembari mengajarkan Ana cara membakar kayu.
Setelah semua beres, Ambu Ima pergi ke belakang kembali untuk mencuci pakaian, diikuti Ana yang mau mebantunya. Akhirya, mereka mencuci baju bersama sambil bersenda gurau.
Sore hari, ambu mulai sibuk di dapur untuk memasak makan malam mereka. Ana yang tidak ada kegiatan pun ikut membantu di dapur.
“Ambu, kenapa gak pakai kompor gas?” Tanya Ana.
“Kompor gas mahal Na, belum lagi beli gasnya. Kalau kayu bakar kan tinggal ambil di hutan sekitar, jadi gak usah beli. Ambu jualan sehari kadang dapat tiga puluh ribu, kadang kalau ramai lima puluh ribu,” ucap ambu yang sedang menggoreng telur.
Ana terdiam mendengar penjelasan ambu, otaknya berputar. Kalau sehari dapat tiga puluh ribu, berarti kita harus hemat, batinnya.
Ana memperhatikan Ambu Ima dari cara menyalakan api dan mematikannya.
Setelah selesai memasak, mereka pun duduk dan mulai makan. Tak lupa sebelum makan mereka berdoa terlebih dahulu.
Sesudah makan, Ana masuk ke dalam kamar dan duduk diatas ranjang kayunya.
Aku harus bisa menjalani kehidupan di sini. Aku harus bersyukur masih ada ambu yang mau menerimaku.
Kemudian Ana pun segera beranjak untuk tidur.
BAB 4
Pagi hari, Ana terbangun karena suara ambu.
“Na, ayo bangun. Mandi dulu ya, habis ini kita ke kebun.”
Segera setelah itu, Ana bangun dan pergi mandi. Sehabis mandi, Ana menyesap teh manis dan menghabiskan ubi rebusnya.
Mereka berjalan menuju kebun. Jalanan masih sepi, udara pagi di kebun juga begitu dingin. Ana tak terbiasa berjalan jauh seperti ini, tetapi ia menguatkan dirinya agar tidak merepokan Ambu Ima. Ia tak mau lagi diusir seperti dulu.
Sesampainya di kebun, Ana memperhatiakn semua yang dikerjakan Ambu Ima, mulai dari memetik daun teh, lalu berkebun.
Setelah semua selesai, Ima memasukkan hasil panennya saat berkebun ke dalam karung dan menggendongnya di punggung.
“Ayo, Na. Sekarang kita ke pasar.”
Ana cukup terkejut, baru saja ia beristirahat, sekarang ia sudah harus berjalan lagi menuju pasar. Semoga saja pasarnya gak jauh, batinnya penuh harap.
¥
Harapannya pupus. Setelah berjalan kurang lebih setengah jam, barulah mereka sampai di pasar. Di pasar, sudah terlihat cukup ramai orang. Ambu Ima meletakan gendongannya ke atas meja kayu.
“Capek ya ambu?” Tanya Ana begitu melihat Ambu Ima duduk di tikar.
“Lumayan Na, ambu sudah tua mungkin ya,” Jawab Ima tersenyum.
Ana ikut duduk di sisi Ambu Ima dan mulai memijat kaki ambu. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membalas semua kebaikan Ambu Ima.
“Ana, kamu mau sekolah?” Tanya Ambu tiba-tiba.
“Tentu saja mau, ambu.”
“Ya sudah. Habis pulang dari pasar, nanti kita mampir di sekolahan ya.”
¥
Sepulang dari pasar, Ambu Ima membawa Ana ke sebuah SMP negeri di dekat rumah mereka.
Demikianlah akhirnya, Ana menjadi salah satu murid di SMP tersebut.
Sore hari, Ambu Ima dan Ana membeli perlengkapan untuk sekolahnya. Ana tahu kalau Ambu Ima tidak punya cukup uang, jadi ia membeli perlengkapan sekolah yang murah. Setelah selesai memilih, Ambu Ima membayarnya lalu mereka kembali ke rumah.
Tak terasa hari sudah malam. Ana ke dapur untuk membuatkan Ambu Ima teh hangat. Segera ia ke kamar ambu dan memberikan teh yang telah ia buat.
“Ambu, minum dulu. Pasti ambu haus,” ucap Ana sambil menyodorkan teh hangatnya.
“Na.. Maafin Ambu ya, Ambu gak bisa belikan kamu barang yang mahal,” ucap ambu menggenggam tangan Ana.
“Gak apa-apa Ambu. Itu aja Ana sudah senang sekali bisa dibeikan perlengkapan sekolah.” Jawab Ana tersenyum manis.
“Kamu anak yang baik, rajin, juga menggemaskan. Kenapa nasibmu bisa begini,” ujar Ima menatap Ana kasihan.
“Gak apa-apa, sekarang Ana bahagia tinggal sama Ambu,” jawab Ana menyenangkan hati Ambu Ima.
“Lihatlah kamu sekarang, ikut ambu malah jadi kurusan dan juga hitaman, Na.” Ucap Ima sedih.
“Ih ambu, justru bagus dong kalau Ana sekarang jadi kurus. Jadi gak usah susah-susah diet, kan. Walaupun Ana hitam, tapi tetap manis kan!” Jawab Ana bergurau, tak ingin membuat Ambu Ima sedih.
Ambu cuma bisa membelai lembut rambut Ana. Terimakasih sudah menemani ambu di sini Na, batinnya
“Ya sudah, Ambu mau istirahat dulu. Kamu juga istirahat ya. Ini sudah malam, Na” Ucap ambu.
Ana pun pergi dari kamar ambu setelah mengecup pipinya. Ia jalan menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, ia duduk di kasur dan termenung. Dalam hati ia bertekad untuk melupakan kehidupan mewahnya dan mulai menerima kehidupan barunya. Ia bersyukur masih ada orang yang berbaik hati menolongnya.
Keesokan harinya, Ana masuk ke skolah barunya. Ia berkenalan dengan teman barunya, yang bernama Sari yang ternyata adalah tetangga dekat rumah mereka. Hari mulai sore, dan Ana sudah pulang sekolah. Sesampainya di rumah, ia mencari ambu kemudian bersalim.
Saat malam hari, Ana dan Ambu Ima berada di ruang tengah untuk makan. Selesai makan, Ana membuka suara dan bertanya,
“Ambu, Ana boleh kerja gak kalau pulang sekolah?” Tanya Ana hati-hati
“Mau kerja apa kamu Na? Sekolah juga baru masuk SMP?” Tanya Ima bingung.
“Ya kerja apa saja mbu, yang penting bisa bantu Ambu. Ana gak tega lihat Ambu kerja keras gini, apalagi sekarang ada Ana… Ambu jadi perlu kerja ekstra buat memenuhi kebutuhan Ana,” ucapnya menatap ambu.
“Apa sekolahmu gak terganggu nantinya Na?”
“Gak mbu, nanti Ana yang mengatur jadwalnya.”
“Terserah kamu saja Na, yang penting kamu senang.”
“Siap Ambu,” jawab Ana senang mendapat ijin dari ambu.
“Memang di usiamu begitu Mu kerja apa Na?” Tanya Ambu Ima lagi.
“Ana belum tau kerja apa. Menurut Ambu, enaknya Ana kerja apaan ya?”
“Hmm, kamu kan pintar Na, apa kamu ngelesin anak-anak SD disini saja? Jamnya kan bisa jam pulang kamu sekolah,” usul ambu.
“Boleh, bagus ide Ambu, memang Ambu Ima paling mantap deh!” Ucap Ana mengacungkan kedua jempolnya.
“Terus biayanya kita kenakan berapa ya ambu?” Tanya Ana yang memang belum pernah bekerja.
“Ya jangan mahal-mahal Na, nanti gak laku.” Jawab Ambu sambil tertawa.
“Terus berapa mbu?”
“Kira-kira sebulan 50 ribu aja, seminggu 2 kali mereka datang kemari.”
“Cocok juga itu. Oke besok Ana beli karton untuk tempel posternya di tembok depan rumah ya,” ucap Ana senang.
“Iya. Sudah yuk, ambu mau tidur sekarang. Soalnya besok harus bangun subuh-subuh. Kamu juga jangan larut malam tidurnya. Kalau bisa langsung tidur ya, Na.” Ujar ambu berlalu ke kamarnya.
Segera Ana juga ke kamarnya, kemudian ia pergi tidur. Sejenak ia melupakan keluarganya yang ada di kota.
¥
Pagi hari, sang fajar sudah mulai menampakan keindahannya dari ujung Timur. Ana sudah berangkat ke sekolah seperti biasanya. Tak seperti biasanya, hari ini Ambu Ima memberi uang jajan yang sedikit lebih pada Ana untuk membeli karton dan juga selotip di pasar.
Pagi hari pun berlalu. Tak terasa hari sudah mulai sore. Ana pulang dari sekolahnya dan ia menuju pasar untuk membeli keperluan yang dibutuhkannya.
Segera setelah membeli karton dan selotip, ia pulang ke rumah dan membuat poster yang berisi iklan. Setelah selesai, ia segera mencari ambu dan bertanya padanya,
“Bagaimana, mbu? Bagus gak menurut ambu?” Tanya Ana.
“Bagus, Na. sana kamu tempel di depan, biar orang-orang pada liat,” ucap Ambu tersenyum.
Ana segera berlari ke depan, dan mulai menempelkan iklan lesnya. Setelah selesai, Ana berlari menjauh untuk memeriksa apakah tulisannya bisa dibaca atau tidak. Setelah dirasa cukup, Ana tersenyum puas melihat hasil kerjanya.
“Loh apa itu?” Tanya Pak Kades yang baru lewat.
“Sore Pak Kades,” sapa Ana sembari memasang senyum manisnya.
“Sore. Itu apaan, Na?” Tanya Pak Kades menunjuk karton yang ditempel Ana tadi.
“Ini Pak, Ana mau terima murid SD, Ana mau buka les-lesan di ruamh,” jawab Ana sopan.
“Begitu.. Berapa biayanya, Na?” Tanya Pak Kades.
“Kalau seminggu dua kali, sebulannya lima puluh ribu. Kalau dari Senin sampai Jum’at, sebulannya seratus ribu,” jawab Ana.
“Dua jam,Pak. Dari jam tiga sore sampai jam lima sore.”
“Apa benaran kamu bisa ngajarinnya, Na?”
“Bisa, Pak”
“Ya sudah kalau gitu. Biar Tono dan Tini les di sini saja. Ajari yang benar ya, Na.” Ucap Pak Kades tersenyum.
“Baik, Pak. Terima kasih banyak,” jawab Ana senang.
“Mulai besok bisa, Na? Biar bisa mengikuti pelajaran, soalnya sebentar lagi mereka masuk sekolah,” Tanya Pak Kades.
“Bisa, Pak. Besok setelah Ana pulang sekolah, jadi jam tiga.”
“Baiklah. Terus bayarnya duluan atau bagaimana, Na?”
“Bayar duluan ya, Pak.”
“Ya sudah ini saya bayar sekalian. Untuk dua anak jadi seratus ribu, ya. Kalau kamu ngjarainnya bagus, nanti bisa saya leskan setiap hari. Saya coba dulu.” Ucap Pak Kades sambil membuka dompetnya dan memberikan selembar uang seratus ribuan.
“Terima kasih banyak ya, Pak Kades,” jawab Ana senang menerima uang pertamanya.
“Kalau begitu Bapak pergi dulu ya,” pamit Pak Kades.
“Iya, hati-hati ya Pak,” balas Ana gembira.
“Ambu.. Ambu…” Panggil Ana dengan gembira sambil berlari masuk ke dalam rumah.
“Kenapa Na, kok teriak-teriak begitu?” Jawab Ambu Ima tersenyum melihat raut Ana begitu gembira.
“Ini buat ambu,” ucap Ana menyodorkan uang 100 ribu.
“Uang siapa ini, Na?” Ucap Ambu Ima terkejut melihat Ana menyerahkan uang seratus ribu ke tangannya.
“Tadi waktu Ana memasang iklan di depan, pas Pak Kades lewat mbu. Terus minta Ana ngelesin putra putrinya, si Tono sama Tini,” jawab Ana gembira.
“Wah, rejekimu Na. syukurlah sudah dapat murid.”
“Iya mbu, ini uangnya buat ambu.” Ucap Ana.
“Kamu simpan saja sendiri, Na. buat sangu kamu nanti sekolah,” jawab ambu.
“Tapi mbu, Ana mau ngasih hasil keringat pertama Ana buat ambu. Diterima ya, mbu.” Ucap Ana memelas.
“Ya sudah, sini ambu yang simpan,” jawab ambu tersenyum bahagia melihat putri angkatnya ternyata memperhatikannya.
¥
“Aku harus mencari kemana lagi…” Ucap seseorang dengan frustasi.
BAB 5
Hari-hari dilalui Ana tanpa mengeluh. Dia selalu bersyukur karena bisa mendapatkan seorang ambu dan tempat bernanung. Kehidupan di sebuah desa membuat Ana hidup sederhana.
Tak terasa, sudah tiga tahun Ana tinggal di Desa Ngargoyoso. Ambu Ima juga bahagia melihat Ana yang begitu tegar dan tak pernah membuatnya susah. Biaya sekolahnya pun ditanggung oleh beasiswa. Dengan kehadiran Ana, Ambu Ima merasa hidupnya lebih bahagia.
Dan selama tiga tahun tersebut, Ana belajar banyak hal dari Ambu Ima. Salah satunya ialah membuat kue. Diantara banyak kue, yang paling ia suka adalah bolu kukus.
“Na, muridmu sekarang tambah banyak ya. Apa gak capek, kamu?” Tanya ambu begitu melihat Ana merapikan buku-buku di atas meja.
“Gak Ambu, Ana malah senang. Lagian gak banyak mbu, cuma delapan kok,” jawab Ana tersenyum.
“Cuma delapan tapi kamu masih bikin kue tiap hari, Na.” Ucap Ambu sambil geleng-geleng kepala.
“Hehe.. Habis Ana suka, jadi gak merasa berat, mbu.”
Ana yang suka dengan bolu kukus akhirnya bisa membuatnya sendiri dan menitipkannya di pasar, di bawa oleh Ambu Ima setiap pagi.
“Ambu, gak usah ke kebun lagi gimana? Ana buatin lebih banyak macam kue aja jadi kan ambu tinggal jual di pasar?” Tanya Ana.
“Apa kamu gak capek, Na?” Tanya ambu menatap sayang ke putri angkatnya itu.
“Gak ambu, Ana malah senang jadi bisa makan kue tiap hari,” jawab Ana sambil tertawa.
“Ya sudah. Lagian kue titipanmu selalu habis.”
“Ini semua karena ambu yang mengajari Ana. Ambu memang pintar, hehe. Tapi, kenapa ambu gak jualan kue dari dulu?” Tanya Ana penasaran.
Ambu Ima menatap Ana, lalu menghel nafas perlahan.
“Dulu ambu sama abah tinggal di Jakarta, Na. Abah kerja di perusahaan. Kami punya rumah waktu itu, tapi musibah datang, Abah kecelakaan dan harus di operasi. Karena perusahaan cuma bantu biaya lima juta, ambu terpaksa jual rumah buat biaya rumah sakit. Abah sempat pulang ke rumah, tapi kemudian harus operasi lagi. Lalu ambu jual kebun peninggalan orang tua yang pernah kita datangi pagi itu, itu dulu kebun milik orang tua ambu. Tetapi sehabis operasi dan habis semua harta benda ambu, Abah berpulang,” cerita Ambu Ima sambil meneteskan air mata.
“Ambu, maafin Ana membuka masa lalu Ambu,” ucap Ana ikut meneteskan air mata.
“Gak apa-apa Na, kamu memang harus tau kisah hidup ambu ini,” ujar ambu membelai rambut Ana yang memeluknya.
“Waktu itu sebenarnya uang ambu masih sisa sehabis penjualan kebun. Tapi ambu jatuh sakit dan akhirnya di rawat di rumah sakit. Setelah sembuh, ambu gak punya apa-apa lagi, dan kembali ke rumah ini. Cuma rumah ini sisa harta Ambu, Na,” ucap Ambu Ima mencoba tersenyum.
“Makanya ambu gak bisa buat kue, karena gak punya uang untuk beli bahan-bahan,” lanjut ambu.
“Ya sudah ambu, jangan sedih lagi, sekarang kana da Ana. Kalau sekarang, kita punya uang untuk modal buat kue, ambu?”
“Banyak sekarang, Na. Uangmu hasil ngelesin sama jual kue, ambu simpan di SimPedes setiap kamu kasih ke ambu,” jawab Ima terkekeh.
“Memang berapa banyak, ambu?” Tanya Ana bingung.
“Coba kamu ambil bukunya di laci lemari kamar ambu,” ucap Ambu Ima.
Ana berlari masuk ke kamar ambu dan mengambil buku tabungan.
“Hah?! Ini kok banyak banget? Ini benaran lima juta, ambu?!” Tanya Ana kaget saat membuka buku tabungan itu.
“Benar, Na. Setiap ada pesanan banyak untuk hajatan juga ambu masukkan ke tabungan,” jawab ambu tersenyum.
“Kok gak ambu pakai?” Tanya Ana.
“Memang mau dipakai buat apa, Nak? Makan tiap hari juga cukup.”
“Ambu kan bisa beli makanan yang ambu suka di pasar, beli baju, atau apa yang ambu suka,” ucap Ana.
“Gak, Na. Uang itu sengaja ambu simpan, untuk biaya Ana masuk SMA nanti,” jawab ambu kembali membelai rambut Ana yang sudah panjang, hitam, dan tebal.
Ana menatap Ambu Ima. Diciumnya kedua pipi ambu yang sudah Nampak ada kerutan di sana.
“Ambu, terimakasih sudah merawat dan menyayangi Ana selama ini,” ucap Ana tersenyum walau pipinya sudah basah dengan air mata kebahagiaan.
Ambu Ima mencium pipi Ana.
“Kamu putri ambu, ambu mau lihat Ana sukses dan berhasil. Ana harus tetap semangat dan bahagia sampai kapan pun, dan harus bisa sekolah sampai tinngi ya,” ucap ambu membawa Ana kembali kepelukannya.
“Iya ambu, Ana akan berusaha memenuhi keinginan ambu. Ana janji akan berusaha membahagiakan ambu nanti ya,” ucap Ana tersenyum.
“Ya sudah tidur sana. Besok kita belanja bahan kue ya, mumpung hari Minggu,” ucap ambu.
“Ambu janji ya, gak usah ke kebun lagi tiap pagi. Biar Ana yang buat kue-kuenya.”
“Iya-iya, yuk tidur,” ajak Ambu Ima.
Keesokkan paginya, Ana sudah sibuk di dapur membuat bolu kukus dan kue lainnya yang akan dijual di pasar dan dititipkan di beberapa warung.
“Uhuk.. Uhuk..” Terdengar suara batuk berulang-ulang dari kamar Ambu Ima.
Ana yang sedari tadi sibuk, berpikir “mungkin karena cuaca dingin membuat ambu sedikit batuk.”
“Uhuk.. Uhuk.. Uhuk..”
Setelah selesai, Ana menghampiri kamar Ambu Ima. Ana terkejut, ambu terlihat pucat. Ia pun meraba dahi ambu, panas.
“Uhuk.. Uhuk..” Ambu terus terbatuk-batuk.
Ana dengan segera berlari ke dapur dan menyiapkan air hangat.
“Ambu minum dulu ya, biar hangat, ucap Ana pelan.
“Na.. Badan ambu rasanya sakit semua, nanti kamu ke pasar sendiri ya,” ucap Ambu di sela batuknya.
“Iya mbu, sekarang minum dulu ya.”
Setelah itu, Ana segera berlari ke dapur dan membuatkan bubur dan telur rebus untuk Ambu Ima. Setelah matang, Ana menyuapi ambu perlahan-lahan.
“Ambu di rumah istirahat saja, ya.”
Karena hari Minggu, jadi Ana bisa ke pasar untuk jualan. Setelah mengantar kue-kue untuk dititipkan, Ana menggelar dagangannya di kiosnya.
Setelah dagangannya laku semua, Ana pulang ke rumah. Ia masuk ke dalam rumah. Sepi. Ana segera menengok kamar ambu. Tampak Ambu Ima masih terbaring lemas.
“Ambu, kita ke puskesmas ya,” panggil Ana lirih.
“Gak usah, Na. Sebentar juga sembuh. Mana obat yang ambu suruh beli?” Tanya ambu yang masih diiringi batuknya.
“Makan dulu ya mbu, baru minum obatnya,” jawab Ana.
Ana mengambil bubur tadi pagi. Dengan sabar, Ana menyuapi ambu yang akhirnya bisa menghabiskan enam sendok meski dipaksa Ana.
Setelah meberikan obat, Ana meninggalkan Ambu yang tidur, dan mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa, lalu lanjut dengan belajar. Tak terasa, hari sudah malam. Ana pun tertidur.
¥
Ambu Ima dan Ana berada di dapur. Mereka membuat kue bersama-sama.
“Na, apa sudah daftar SMA?” Tanya Ambu.
“Minggu depan baru di buka pendaftarannya, mbu. Ana mau coba ambil jalur beasiswa saja, doakan keterima ya, mbu. Kalau pendaftarannya sudah buka, Ana mau ke warnet, pendaftarannya online, ambu,” ucap Ana.
“Kamu bisa urus sendiri, Na? Ambu gak paham yang begituan, Na.”
“Bisa kok, ambu. Ambu gak mau ke puskesmas? Batuk ambu belum sembuh, sudah seminggu loh,” ucap Ana khawatir apalagi ambu terlihat kurusan.
“Gak apa, Na. kan batuknya gak sering, Cuma kadang-kadang saja.”
Hari terus berganti, Ana selalu memperhatikan Ambu Ima yang semakin hari semakin kurus dan melemah, membuat dirinya khawatir.
Seminggu kemudian, pada pagi harinya, Ana sekolah seperti biasa. Ia juga menitipkan kue buatannya di sekolah.
Sepulang sekolah, Ana pulang ke rumah seperti biasanya. Ana mendekati kamar ambu, dilihatnya ambu yang tertidur dengan pulas. Kemudian ia pergi ke warnet untuk mendaftar SMA di Jakarta yang membuka jalur beasiswa. Entah mengapa dia mendaftar di sana.
Sekarang, Ana sibuk mengajari anak-anak SD. Ia tersenyum melihat tingkah laku mereka yang menurutnya lucu. Setelah anak-anak lesnya pulang, Ana memasuki kamar Ambu Ima, dan membangunkan ambu perlahan.
Ia kaget karena ambu tak bangun-bangun. Segera Ana berlari keluar memanggil tetangga sebelahnya. Tak lama kemudian, ambu sudah dibawa ke puskesmas terdekat. Ana ikut dalam mobil bersama Bude Rini. Ia hanya bisa menangis.
Sampai di puskesmas, seorang dokter menangani ambu. Tak lama kemudian, dokter tersebut keluar.
“Keluarga Ibu Risma?” Tanya Dokter.
“Saya dok, saya putrinya. Ambu gak apa-apa kan, dok? Dia pasti sembuh, kan?” Tanya Ana berturut-turut.
“Ayo, dik. Kita bicara di ruangan saya,” ajak dokter.
Dengan ditemani Bude Rini, Ana mengikuti langkah dokter menuju ke ruangannya.
“Silahkan duduk.”
“Bagaimana keadaan Ambu, dok?” Tanya Ana cemas dengan wajah basah oleh air mata.
“Dik, dari catatan medis Ibu Risma, beliau mempunyai riwayat kanker stadium 2, dan sekarang spertinya sudah mencapai stadium 4.”
“Apa dok? Dokter bohong!”
“Ambu gak mungkin kena kanker, Ambu pasti sembuh!”
“Na.. Tenang..” Bude Rini mencoba menenangkan Ana, dia juga terkejut mendengar ucapan dokter.
“Ibu Risma pernah kemari beberapa kali untuk kontrok penyakitnya, tapi di sini tidak memiliki perlatan khusus untuk pasien kanker. Saya sudah pernah menyarankan untuk pergi ke rumah sakit besar, tapi sepertinya Ibu Risma tidak melanjutkan check up nya lagi,” ucap dokter menghela nafas.
“Dok.. Tolong sembuhkan Ambu. Ana mohon..”
“Kita berdoa saja ya, dik.”
Malam itu dilalui Ana dengan berat.
BAB 6
Pagi hari, dengan perlahan Ambu membuka kelopak matanya. Ia melihat putri angkatnya yang tertidur di samping brankarnya. Ia mengusap lembut rambut Ana. Ana yang merasa ada yang menyentuh rambutnya pun segera terbangun dari tidurnya. Ia terkejut sekaligus senang melihat ambu yang sudah sadar.
“Saya di mana?” Ucap ambu lirih.
“Ibu di puskesmas sekarang. Sebentar, saya panggilkan dokter,” ucap Suster Tia yang kebetulan ada di situ.
“Na, kamu gak sekolah?” Tanya ambu.
“Gak ambu, Ana mau di sini sama ambu,” jawab Ana membelai tangan ambu.
“Kamu sebentar lagi ujian, Na. kalau kamu gak masuk nanti ketinggalan pelajaran,” ucap ambu.
Ana terdiam tak berani menjawab.
“Na, kamu ingat kan janjimu sama ambu? Kamu akan sekolah yang pintar, dan sampai sukses. Kalau kamu bolos bagaimana bisa sukses nanti?” Ucap Ambu Ima.
“Maafin Ana, ambu. Tapi Ana gak mau ninggalin ambu disini sendirian.”
“Kan ada suster, itu juga ada banyak teman di ruangan ini. Ambu gak sendiri.” Jawab ambu.
“Ya sudah kalau begitu. Ana pulang dulu, ambu tidur saja ya.”
¥
Hari-hari dilewati Ana, dan ujian pun sudah dimulai. Walaupun begitu, ia belajar dan kemudian ke puskesmas untuk merawat Ambu Ima.
Tak terasa ujian sudah selesai, Ana berharap sekali pengumuman ujian nanti akan membuat ambu bahagia dengan hasilnya.
Sekarang, Ana berada di puskesmas menemani ambu. Ia menyuapi ambu dengan bubur.
“Na, hari ini pengumuman ujian ya?” Tanya ambu lirih.
“Iya ambu, doain Ana lulus ya.”
“Ambu selalu mendoakan yang terbaik untuk Ana,”
“Minum dulu, ambu. Habis itu minum obat, ya.”
Setelah memberikan obat, Ana masuk ke kamarnya untuk berganti seragam sekolah. Ana kembali duduk di sisi ranjang Ambu Ima, digenggamnya tangan ambu.
“Ambu.. Ana berangkat sekolah dulu ya,” bisik Ana.
“Iya, hati-hati, Na,” jawab ambu lirih dengan mata tetap tertutup.
“Na..” Panggil ambu.
“Iya, ambu? Ada apa?” Ana yang beranjak dari pintu kembali ke ranjang Ambu Ima.
“Ana, anakku sayang… Nanti kalau Ana sudah SMA, belajar yang rajin ya. Ingat pesan ambu, Ana harus sekolah sampai tinggi, jadi orang sukses ya, Nak.”
“Iya ambu. Ana janji akan membanggakan ambu,” jawab Ana menggeggam erat tangan ambunya.
“Ana... Ana anak ambu,” Ambu Ima memanggil Ana lagi dengan mata tertutup.
“Iya ambu…”
“Terimakasih ya selama ini Ana sudah mau tinggal di sini dan menemani hari tua ambu. Ana sudah banyak membantu ambu. Ambu senang sekali dengan kehadiran Ana. Bagi ambu, kehadiran Ana adalah berkah dari Tuhan…”
“Iya ambu, Ana juga berterima kasih sekali karena ambu sudah mau menerima Ana, dan sudah mau sayang sama Ana. Ana sayang banget sama ambu. Ambu cepat sembuh ya…”
“Sana berangkat sekolah, Na. Belajar yang pintar, biar jadi orang sukses nanti.” Ambu berpesan dengan lirih. Bahkan tenaga untuk berbicara saja tak ada.
“Iya, ambu. Ana pamit dulu ya. Nanti Ana pulang cepat. Ambu istirahat dulu, ya.”
Semoga aku lulus dengan nilai terbaik, batin Ana.
Teng.. Teng.. Teng..
Bunyi bel yang menandakan bahwa nama siswa yang lulus sudah dipasang di papan pengumuman.
“Ayo, Na. Itu pengumuman sudah diberitakan,” ajak Sari, teman Ana sambil menarik tangannya.
Sari dan Ana segera mendekati papan pengumuman. Mereka saling berdesakan dengan siswa lainnya yang juga sedang mencari nama mereka di sana.
“Aku lulus!” Ucap Ana senang.
Terima kasih Tuhan, semoga berita ini membuat ambu bahagia, batinnya.
Sari dan Ana menuju ke kelas mereka. Mereka jalan sambil tersenyum bahagia, karena mereka lulus.
Tuk.. Tuk.. Tuk..
Bunyi ketukan di papan tulis yang dibunyikan oleh wali kelas. Para siswa segera duduk di bangku mereka masing-masing.
“Selamat pagi anak-anak, hari ini ibu bangga sekali dengan kalian, karena kelas ini semua lulus dengan nilai baik. Dan terutama untuk Ana, ibu bahagia sekali karena Ana bisa tetap mempertahankan juara umum di kelas 9, juga nilai kita tertinggi di antara SMP lainnya. Ibu berharap kalian saat di SMA nanti, bisa lebih baik lagi dan lebih semangat lagi dalam belajar ya,” ucap Bu Lia panjang lebar diakhiri tepuk tangan meriah dari para siswa.
“Sekarang kalian boleh pulang, jangan lupa pesan ibu ya.”
Setelah mengucapkan salam, Bu Lia meninggalkan kelas dan anak-anak berbondong-bondong mengucapkan selamat kepada Ana. Ana pun menerima ucapan tersebut dengan bahagia.
“Sar.. Pulang yuk, aku mau segera kasih kabar ke ambu,” ajak Ana yang sudah siap meninggalkan kelas.
Sari dan Ana berjalan bersama menuju ke rumah mereka masing-masing dengan hati bahagian dan puas. Jerih payah mereka selama tiga tahun terbayar sudah.
Sampai di dekat rumahnya, Ana terkejut ketika Pakde Arman memasang bendera kuning.
“Pakde ini siapa yang meninggal?” Tanya Ana dengan hati berdesir. Perasaannya tak enak. Badannya lemas seketika.
“Na.. Kamu yang tabah ya, Nak,” jawab pakde sambil menepuk-nepuk pundah Ana.
“Maksudnya pakde…?” Tanya Ana ketakutan. Ana sudah gemetaran.
Gak mungkin kan… Air mata kembali menggenang di netranya.
BAB 7
“Masuklah ke dalam, Na,” ucap pakde.
Ana melangkah masuk ke dalam rumahnya yang sudah dipadati para tetangga.
“Bude.. Ada apa ini?” Tanya Ana panik.
“Kamu yang sabar ya Na, ikhlas ya,” ucap Bude Rini.
“Itu ambu kenapa bude?” Tanya Ana melihat ambu yang dikelilingi tetangga wanita.
“Ambu mau segera dimandikan dan dimakamkan, Na,” jawab bude lirih.
“Ambu… ambu… Bangun mbu… Jangan tidur terus… Ana lulus ambu…” Ucap Ana berlari mendekati Ambu Ima dan menggoyang-goyangkan tubuh ambu.
“Ambu… Ayo bangun, kata dokter kalau Ana buat ambu bahagia, ambu akan segera sembuh… Ini Ana lulus ambu…” Panggil Ana tak menyerah. Matanya berkabut, pikiannya berputar. Ana masih belum sanggup menerima kematian Ambu Ima.
“Sudah Na, ikhlas, biar ambumu tenang di sana…” Ucap bude yang tak kuat menahan air matanya. Hatinya iba melihat Ana yang menangis meraung-raung.
“Gak bude, ambu cuma tidur… Ambu bakal bangun… Ambu gak mungkin ninggalin Ana… Bangun, ambu…” Ucap Ana.
“Ana, ikhlaskan ambumu, ya…” Ucap bude.
“Gak, Ana gak mau kehilangan ambu. Kalian jangan sentuh ambu Ana! Biar ambu tetap di sini!” Jerit Ana sambil memeluk Ambu Ima saat para tetangga hendak memindahkan ambu untuk dimandikan.
Bu Kades yang melihat Ana seperti itu langsung mendekat dan memeluk Ana.
“Yang sabar, Na… Kalau kamu begini, nanti ambumu gak tenang di sana, Nak…” Bujuk Bu Kades ikut menangis melihat Ana.
Ana menangis meraung-raung. Perkataannya sudah tak jelas. Suaranya dipenuhi isak tangis.
Seorang pendeta mendekati Ana.
“Na, ambumu sekarang sudah bahagia, dia tidak lagi merasakan sakit dan lemah pada tubuhnya. Apa kamu tega melihat ambu kesakitan, Cuma tidur di ranjang tanpa bisa kemana-mana? Ikhlaskan ambu bahagia di atas sana ya, Na…” Ucap Pak Pendeta.
Ana terdiam mendengar ucapan Pak pendeta, walau tangisnya tak dapat ditahan.
Sari yang juga mendengar berita duka tentang Ambu Ima segera berlari ke rumah Ana. Saat masuk, ia melihat kondisi Ana yang berantakan. Dihampiri dan direngkuhnya sahabatnya itu.
“Na.. Karena tidak menunggu siapa-siapa lagi, Ambu Ima akan segera dimakamkan, Ana di rumah saja ya…?” Bujuk Bude Rini.
Ana langsung menatap Bude Rini.
“Ana ikut…” Ucapnya lirih.
Bude dan Sari memapah Ana bangun dan menuntunnya berjalan. Sepanjang perjalanan menuju makam, Ana diam tak bersuara. Ana diam dengan tatapan kosong. Ana merasa dunianya seperti runtuh karena harus kehilangan orang yang sangat disayanginya.
Saat jasad ambu yang sudah dimandikan akan dimasukkan ke liang kubur, tiba-tiba Ana menghempaskan tangan Sari dan bude, lalu berlari sambil berteriak.
“Jangan.. Jangan bawa ambu. Jangan pisahkan Ana dengan Ambu… Jangan ambil ambu!!” Ana menangis dengan kencang.
Bude dan Sari memegangi Ana. Kepala Ana berputar, pandangannya kabur. Tak lama, Ana terkulai tak sadarkan diri.
Sari terkejut melihatnya, segera bude meminta suaminya membopong Ana ke tempat yang lebih adem di bawah pohon.
Sari menatap Ana dengan hati hancur melihat sahabatnya yang pingsan karena sangat tergoncang. Ana tak kuat menerima kematian ambunya.
Kemudian, Sari ijin kepada bude untuk membeli minyak angin untuk Ana. Tak lama, Sari kembali sambil membawa minyak angina di tangannya. Dioleskannya hidung Ana dengan minyak angin pelan-pelan. Usaha Sari berhasil, kesadaran Ana perlahan-lahan kembali.
“Ambu mana?” Tanya Ana yang baru saja bangun.
Sari menatap ke sebuah pusara yang terlihat masih basah dan masih ramai dengan orang-orang yang menabur bunga.
Ana segera bangkit dan berlari ke makan tersebut, dibacanya batu nisan tersebut, Risma. Ana langsung memeluk batu nisan tersebut dan kembali menitikan air mata. Bude dan Sari hanya mengamati Ana dari kejauhan, tidak tega menghentikan Ana.
Semua pelayat mulai berpamitan, tapi Ana masih tak mau meninggalkan pusara Ambu Ima.
Sudah dua jam Ana menangis disana. Bude dan Sari membujuk agar Ana mau pulang, dan usaha mereka berhasil. Dengan sabar, Sari memapah Ana sampai ke rumah.
Sudah tiga hari sejak kepergian Ambu Ima, Ana tidak pernah keluar rumah, cuma duduk diam di dalam kamar Ambu Ima.
Sari yang tidak tega melihat kondisi sahabatnya itu, meminta ijin orang tuanya menginap di sana.
“Na… Kalau kamu terus seperti ini, kamu akan jatuh sakit. Nanti Ambu Ima sedih melihat kamu seperti ini,” ucap Sari sedih.
“Kemana Ana sahabatku yang tegar, yang periang?”
Ana hanya diam menatap Sari dengan perasaan hampa.
Sari hanya bisa menghela nafas, kemudian Sari berjalan kea rah lemari pakaian Ambu Ima. Sari ingin merapikan rumah daripada diam terus, pikirnya.
“Na, lihat. Ini ada surat untukmu,” ucap Sari menyodorkan sebuah surat yang ditemukannya di dalam lemari Ambu Ima.
Ana bergerak mengambil surat dari tangan Sari, dibacanya tulisan diatas amplop putih.
‘Untuk putriku tercinta, Brianna.”
Ana kembali terisak melihat tulisan tangan itu. Benar itu adalah tulisan tangan ambunya. Perlahan Ana membuka amplop putih yang ditujukan untuk dirinya.
Ana sayang,
Saat kamu membaca surat ini, berarti ambu sudah tidak ada lagi di sisimu. Ambu tau kamu pasti sedih sedih dan tak rela akan kepergian ambu, makanya ambu sengaja menuliskan surat untukmu.
Ana… Putriku tersayang,
Ambu juga tidak ingin meninggalkanmu sendirian, tetapi tubuh tua ambu sudah tak kuat lagi menahan sakit dan melawan penyakit ambu.
Ana harus tau, kehadiran Ana memberikan kebahagiaan dalam hidup ambu. Ambu sangat bersyukur Ana hadir dalam hidup ambu.
Saat kamu membaca surat ini, ambu berharap kamu mengikhlaskan kepergian ambu, ya. Jangan menangis lagi, matamu sudah bengkak, Nak.
Ambu berharap, Ana menepati janji Ana ke ambu, terus lah sekolah yang tinggi dan raih kesuksesan dalam hidup Ana.
Jangan karena kepergian ambu, kamu menjadi rapuh dan patah semangat, kalau sampai itu terjadi, ambu di sini akan sedih.
Jadilah wanita yang tegar, jangan takut sendirian karena Ana tidak akan pernah sendiri, ambu akan selalu ada di hati Ana. Ambu akan mengawasi dari sini dan selalu mendoakanmu.
Peluk cium,
Ambu Ima
BAB 8
Kehilangan seseorang yang sangat kita sayangi untuk selama-lamanya tentu sangat menyakitkan. Tetapi, bukankah kita harus ikhlas dan tetap menjalani hidup? Sebab hidup terus berjalan, ada yang lahir dan ada yang meninggal. Itulah kehidupan.
Sama halnya seperti Brianna, ia melanjutkan kehidupannya. Bukannya ingin melupakan, tapi ia bertekad mewujudkan janjinya kepada ambu untuk sekolah setinggi-tingginya dan menjadi sukses.
Sudah seminggu semenjak kepergian Ambu Ima. Ana berusaha untuk ikhlas dan tegar. Ia berniat untuk meninggalkan desa, dan melanjutkan SMA nya di kota.
Ia diterima di salah satu sekolah di Jakarta tempat dia mendaftar jalur beasiswa.
Saat ini, Ana sedang membereskan barang-barangnya untuk di bawa ke Jakarta. Setelah selesai, ia berpamitan kepada orang-orang yang ada di desa yang telah membantunya selama ini.
“Bude, Sari, dan semuanya, Ana pamit ya. Terimakasih sudah mau menjaga Ana selama ini. Ana titip ambu ya. Ana sayang kalian semua, doakan Ana ya…” Ucap Ana yang berlinang air mata sembari memeluk mereka satu-persatu.
Ana pun pergi menggunakan bus untuk ke Jakarta. Setelah seharian berada di dalam bus, akhirnya Ana sampai di Jakarta. Ia pun mencari kos-kosan yang paling dekat dengan sekolahnya, dan akhirnya menemukannya.
Ia segera membereskan barang-barangnya di tempat kos tersebut. Setelah itu, Ana menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Tidak butuh waktu yang lama, ia tertidur karena kelelahan.
¥
Tidak terasa, sudah waktunya Ana untuk bersekolah.
Ia pun segera bangun dari tidurnya dan beriap-siap berangkat ke SMA Bintang, sekolah tempat ia mendaftar. Setelah sampai, ia berkeliling untuk mencari di mana kelasnya berada. Tanpa ia sadari, ada seseorang yang menatapnya dengan intens.
Setelah menemukan di mana kelasnya berada, ia pun masuk ke kelas tersebut dengan langkah yang mantap. Sudah ada banyak siswa-siswi yang hadir. Ana pun duduk di salah satu kursi tersebut, dan ia sekolah seperti biasa.
Ana berkenalan dengan siswa-siswi yang ada di sekolahnya. Ia termasuk orang yang mudah bergaul dengan orang lain. Salah satu temannya bernama Sinta. Setelah itu, ia pulang ke kosannya dan segera berbaring di kasurnya.
“Ambu, Ana rindu sama ambu,” monolog Ana sambil meneteskan air mata.
“Ah… Aku tidak boleh seperti ini. Aku kan sudah berjanji kepada ambu,”
Hari berganti menjadi bulan, bulan berganti menjadi tahun. Hari ini adalah hari kelulusan Ana. Tentu ia sangat senang, dan ada dua hal yang membuat ia senang.
Yang pertama karena Ana mendapatkan predikat terbaik di sekolahnya. Ia menyumbangkan banyak sekali piala untuk sekolahnya dengan mengikuti banyak olimpiade. Kebahagiaan yang kedua ialah Ana diterima di universitas terfavorit di Jakarta, Universitas Sumpah Pemuda dengan jalur beasiswa sehingga ia tidak perlu terlalu memikirkan biaya kuliahnya.
Saat ini, Ana sedang berada di lapangan. Ia dikerubuni oleh banyak siswa-siswi yang mengucapkan selamat untuknya. Dan yang terakhir, ada yang memberikan ucapan selamat sekaligus bunga kepada Ana.
Ditatapnya laki-laki itu dan alangkah terkejutnya Ana karena yang memberikannya bunga adalah teman masa kecilnya. Riko Christian.
“K-kamu… Riko? Bagaimana kamu bisa ada disini?”
“Astaga Bri, kita satu sekolah. Ya tapi wajar saja kamu tidak mengenalku, soalnya kamu sibuk dengan pelajaran dan olimpiade mu itu.”
“Maafkan aku, ya,” ucap Ana dengan raut wajah menyesal.
“Tidak apa-apa.”
“Oh iya, bagaimana kamu bisa tau kalau aku adalah Bri? Sedangkan rupa ku sudah tidak seperti dulu lagi.”
“Awalnya aku tidak mengenalimu, sampai aku melihat kalung yang kau pakai. Itu adalah kalung tanda persahabatan kita.” Jelas Riko.
Ana pun memegang kalung yang ada di lehernya itu.
“Seperti kataku, aku akan selalu menjaga kalung ini.” Ucap Ana dengan tersenyum.
Di tengah lapangan itu, mereka berdua saling tersenyum satu sama lain.
¥
Setelah sekian lama mencari, Richard putus asa. Hatinya dipenuhi dengan penyesalan, semenjak ia mengusir anak bungsunya.
Tunggu. Anak? Sejak kapan ia mengakui Brianna adalah anaknya?
Flashback
Sejak ia mengusir anaknya, ada perasaan bersalah di dalam hatinya. Tetapi, ia menepis semua perasaan itu dan kembali dengan kegiatannya seperti biasa.
Dua tahun berlalu, ia mulai merasakan kehilangan di hidupnya. Ia tersadar, bahwa kematian istrinya merupakan sebuah takdir dari Tuhan.
Satu tahun pun berlalu, ia mulai mencari anaknya. Segala usaha yang telah ia lakukan untuk menemukan anaknya, tetapi hasil yang di dapat selalu nihil. Tentu saja Richard sangat frustasi. Tetapi, sampai tahun berikutnya pun ia tidak akan pernah menyerah untuk mencari Brianna.
¥
Setelah lulus dari SMA Bintang, Ana mencari pekerjaan untuk biaya hidupnya. Ia melamar pekerjaan di sebuah café dan diterima, karena kebetulan café tersebut membutuhkan karyawan.
Karena sudah terbiasa bekerja, maka pekerjaan apapun ia lakukan untuk menyambung hidupnya, karena di hidupnya sudah tidak ada ambu yang selalu peduli padanya.
¥
Saat ini, Richard masih berusaha mencari anaknya. Tetapi, ia juga tidak meninggalkan pekerjaannya. Seperti sekarang, ia sedang di café untuk menemui klien untuk berdiskusi tentang kerja sama antar perusahaan.
Selagi menunggu kliennya datang, Richard memesan minuman kepada seorang pelayan café.
Brianna yang mendapat tugas untuk mengantar minuman kepada pengunjung café pun mengantarkan minuman yang telah dipesan. Alangkah terkejutnya, salah satu dari pengunjung yang ia layani ternyata seseorang yang rupanya tidak pernah bisa Ana lupakan dalam hidupnya.
Karena keterkejutannya, tanpa sengaja ia menjatuhkan semua minuman yang ia bawa. Richard yang mendengar itu, segera menoleh ke arah Ana. Dalam hati ia berkata, “sepertinya aku mengenalnya, wajahnya terlihat tidak asing. Apa benar ia orang yang selama ini selalu ku cari?”
“Bri, apakah itu kamu?” Teriak Richard, yang sedikit tidak yakin itu anaknya, sebab sekarang Ana terlihat lebih kurus dan hitam.
Ana yang mendengar teriakan itu, langsung masuk ke dapur untuk menghindari orang yang selama ini tidak menginginkan kehadiran dirinya. Walaupun di lubuk hatinya yang paling dalam, ia sangat merindukam sosok itu.
Richard yang melihat Ana berlari pun langsung menyusulnya ke dapur dan seketika melupakan bahwa ia sedang menunggu kliennya. Dilihatnya Ana sedang menangis, dan dipeluknya tubuh kurus itu.
“Kemana saja kamu, Bri? Selama ini papa selalu mencarimu kemana-mana, tetapi tidak bisa menemukanmu.” Ucapnya melonggarkan pelukan dan menghapus air mata Ana.
“Kenapa papa mencariku? Bukannya papa yang ngusir aku, dan membenci aku?” Jawab Ana dengan menangis.
“Maafkan papa, Bri. Papa menyesal, seharusnya papa tidak melakukan itu. Sekarang papa sadar, bahwa kematian mama mu itu takdir Tuhan. Pulang sama papa ya, Nak.” Ajak Richard.
“Tanpa papa minta, Bri sudah dari lama memaafkan papa. Kalau aku pulang ke rumah, apakah Kak Jessica akan memperlakukanku selayaknya adik? Bri takut kalau kakak akan berbuat seperti dulu.” Ucap Bri takut mengingat bagaimana perlakuan Jessica terhadapnya.
“Papa yakin, ia menyesal atas perbuatannya ke kamu selama ini. Percayalah, ia pun kehilanganmu selama ini. Ayo, pulang sama papa.” Ucap Richard dengan wajah tersenyum.
Hati Ana menghangat. Selama ini ia tidak pernah melihat senyum papa nya yang ditujukan untuknya. Segera setelah itu ia tersenyum, lalu menjawab,
“Ayo, pa.”
Setelah itu, mereka meninggalkan café dan menuju ke rumah mereka. Tidak lupa, Richard meminta izin kepada kliennya untuk mengundur pertemuan mereka.
Sesampainya di depan rumah, ia kembali mengingat semua kenangan yang ada di otaknya. Baik itu kenangan yang indah, maupun yang buruk sekalipun. Ia tersenyum samar mengingatnya. Ricahrd pun mengajak anaknya masuk dengan mengulurkan tangannya.
“Silahkan masuk putri papa.” Ucap Richard.
Ana yang melihatnya pun tersenyum.
“Terimakasih, pa.” Jawab Ana dengan menerima uluran tangan papa nya.
Mereka pun berjalan ke dalam, sampai akhirnya berhenti di depan pintu rumah mereka. Richard pun menekan bel rumah. Dan saat itu, terbukalah pintu rumah mereka. Terlihat seorang wanita yang sudah dewasa membuka pintu. Benar, itu adalah Jessica. Kakak Brianna.
Jessica terkejut mendapati seorang anak muda, seperti masih anak SMA atau kuliah bersama papanya. Nyatanya, ia tidak mengenal Brianna karena perubahan fisik Ana.
“Siapa yang datang bersama papa?” Tanya Jessica penuh selidik.
“Kamu yakin kamu tidak mengenalnya? Bukankah selama ini kamu mencarinya?” Jawab Papa Richard.
“Jangan bilang?! Brianna?? Kaukah itu?”
“Iya, kakak.” Ucap Brianna sembari tersenyum.
Jessica yang mendengar jawaban Bri pun langsung memeluknya erat dengan bahagia.
“Maaf atas perbuatan kakak selama ini ke kamu, Bri. Kakak sungguh menyesal, kakak sadar bahwa selama ini kakak yang salah. Aku bukan kakak yang baik untuk kamu, hiks.” Ucap Jessica meneteskan air mata tanda penyesalan.
“Jangan bilang seperti itu kak. Aku sudah melupakannya dan sudah memaafkan kakak.” Balas Bri juga memeluk Jessica.
“Papa gak diajak pelukan juga nih?” Canda Richard di sela-sela tangisan mereka.
Jessica dan Ana pun menoleh ke arah Richard lalu melepaskan pelukan mereka.
“Dasar papa. Hahaha…”
“Hahahaha...” Tawa mereka bersama.
Kemudian, Richard memeluk kedua putrinya dengan penuh kasih sayang.
“Terimakasih Tuhan, Engkau telah menyadarkan pikiranku bahwa selama ini perbuatanku itu salah. Dan untukmu, Istriku. Maaf sebelumnya aku tidak menjalani amanahmu dengan baik. Maaf aku salah dalam menjaga kedua putriku. Sekarang, aku akan menjaga mereka dengan baik dan penuh kasih sayang.”
Setelah ini, mereka menjalani kehidupan dengan sangat bahagia.
~THE END~