Question Mark
Question Mark
Vivian Nadienna
XI AK 2
BAB 1
"One, two, Mandala Bangsa!" Ketika perempuan itu berteriak, musik melanjutkan teriakannya. Tarian yang penuh energi diiringi oleh musik.
Begitulah penampilan luar biasa dari pemandu sorak dari SMA Mandala Bangsa dimulai. Mereka begitu antusias untuk memenangkan perlombaan tersebut.
Perempuan yang berdiri di tengah-tengah pemandu sorak itu adalah Bella. Menurut perspektif orang-orang, Bella adalah gadis multitalenta dengan paras cantik. Tak sedikitpun kekurangan yang menutupi wajah cantiknya. Ia merupakan ketua pemandu sorak saat ini, ia juga pandai dalam akademik terutama matematika dan fisika. Meskipun tahun ini adalah tahun pertamanya menginjakan kaki di SMA Mandala Bangsa, ia sudah meraih 5 piagam dalam waktu 8 bulan. 2 piagamnya pribadi, 3 piagamnya sebagai pemenang lomba pemandu sorak.
Sedangkan di sekolah, suasana menegangkan memenuhi ruang kelas XI IPA 1. Bella tak ada disana, ia tak bisa ikut serta merasakan ketengangan di ruang kelasnya.
"Ulangan matematika kali ini, nilai tertinggi seperti biasa diraih oleh Bella dengan perolehan nilai 100. Dan disusul oleh Helmi dengan nilai 97. Selamat untuk Bella dan Helmi." Ujar seorang guru matematika dengan nametag bertuliskan 'Ratih Sukmawati' di dadanya.
“Bellanya ada?" Tanya Bu Ratih sambil mencari-cari keadaan Bella di ruang kelas. "Bellanya lagi nari-nari tuh, bu! Ikut lomba cheerleading," ujar salah seorang anak laki-laki di kelas itu.
"Lomba lagi? Ya sudah kalau begitu. Helmi, pulang sekolah tolong temui ibu di ruang guru ya. Kita bicara empat mata," lanjutnya.
"Hayo, Helmi!" Seru teman-teman sekelasnya. "Keren Helmi! paling juga disuruh ikut olimpiade lagi." Ujar salah satu dari mereka.
"Tapi keren ya Si Bella anak baru bisa ngalahin Si Helmi. Padahal Helmi kan kepintarannya lebih-lebih daripada Bu Ratih, ya nggak? Si Bella dateng-dateng geserin posisinya Helmi." Bisikan teman-teman sekelas mereka membalas satu sama lain.
"Engga lah, gak baru-baru banget. Udah 8 bulan loh Arabella di sekolah ini." Balas yang lainnya. "Pasti bapaknya Bella nyogok guru nih, bapaknya berduit. Helmi mah kalah jauh. Kalau gue jalan kaki di kawasan tempat tinggal dia sih sepatu gue kayak kecelup Milo, jalanannya becek! Untung Helmi masih punya sepeda onthelnya ya. Ya tau sendiri lah, kalau gak karena beasiswa juga gak bakal sekolah tuh." Sambung mereka.
Tidak lebih dari 15 menit, bel pulang telah berbunyi. Menandakan bahwa semua siswa siswi diperkenankan untuk kembali ke rumah masing-masing. Begitu juga Helmi dan Bella. Dan Helmi siap ke ruang guru untuk menemui Bu Ratih.
Senyuman bahagia yang merekah dari wajah Helmi. Tentu karena ucapan Bu Ratih yang ingin bicara empat mata dengan dirinya, ia berharap untuk informasi lebih lanjut mengenai dirinya yang akan menjadi perwakilan sekolah untuk lomba matematika sebulan lagi. Ia berjalan menyusuri lorong sekolah dengan kebahagiaan dalam dirinya.
"Maaf Helmi." Ucapan Bu Ratih yang seolah menyambut Helmi di ruangan itu membuatnya terdiam beberapa saat.
"Ada apa, bu?", tanya Helmi kepada wanita paruh baya di hadapannya.
"Nilai kamu sebulan ini selalu dibawah Bella. Dan saya harap keputusan saya untuk menggantikan posisi kamu dengan bella untuk olimpiade Agustus mendatang sudah tepat." Kata-kata Bu Ratih sungguh merubah suasana Helmi.
"Apakah sekolah ini tidak bisa mengirim dua orang sekaligus, bu?" Tentu pertanyaan Helmi hanya dibalas gelengan kepala oleh Bu Ratih.
"Kenapa, bu? Bukannya di peraturannya sekolah boleh mengirim maksimal 5 siswa? Kenapa hanya Arabella yang boleh ikut perlombaan ini, bu?" Sekali lagi ucapannya hanya dibalas gelengan kepala oleh Bu Ratih.
"Bu, mungkin Bella hanya lebih beruntung saja kali ini bu. Nilai kami beda tipis, bu." Kali ini perkataan Helmi mendapat balasan dari Bu Ratih.
"Tidak, Helmi. Tidak ada keberuntungan yang berlaku selama sebulan berturut-turut. Sebelumnya nilai Bella juga tidak jauh di bawah kamu." Ucapan Bu Ratih membuat Helmi ingin mengucapkan kembali pembelaannya.
"Begitu juga saya, bu. Nilai saya juga tidak jauh di bawah Bella. Ini hanya kebetulan sa-" kali ini kata-katanya dipotong oleh Bu Ratih. "Nak, belajar lagi." Sampai situ saja pembelaan yang dapat Helmi sampaikan.
"Baik, bu. Terima kasih untuk informasinya. Saya pamit dulu ya, bu. Saya lapar, saya harus pulang dan makan."
Bohong, Helmi baru memakan dua bungkus nasi goreng di kantin.
Ia mengayuh sepeda dari sekolah sampai ke gubuknya. Dimana sudah ada perempuan dengan rambut setengah putih sudah menunggunya di depan pintu.
"Selamat siang, anakku sayang. Mengapa wajahmu begitu murung?" Sapanya dengan senyuman dan keriput pada wajahnya.
"Enggak kok, bu. Air minum Helmi tadi habis, Helmi haus jadi tidak ada semangat untuk menggowes sepeda." Helmi membalas ibunya dengan senyuman lebar seakan hari ini adalah hari terbaiknya.
"Kalau begitu ayo kita makan dulu, Helmi. Selesai makan kamu tidur siang saja. Biar piringnya ibu cucikan." Ibu Helmi membawa anaknya ke meja makan dan membuka tudung saji di atas meja.
Helmi menyantap masakan ibunya sesuap demi sesuap. Bunyi piring dan sendok beradu di meja makan tersebut. Rumah kecil itu terasa indah dengan senyuman ibunya yang menemaninya makan. Piring itu bersih kurang dari 5 menit.
"Habis ya, bu. Aku mau ke kamar."
Ia mengambil sebatang pulpen dan mulai menulis di buku hariannya.
"Semoga beasiswaku tidak tercabut, bagaimana cara aku dapat menyingkirkanmu?"
-¤-
Bella makan dengan rambut terurai di rooftop sekolah. Seorang pria menguncir rambut Bella yang sedang menikmati makanannya. "Kalau makan rambutnya diikat, Bel."
Bella menengok ke arah laki-laki yang sedang menguncir rambutnya. "Punya pacar tukang ceramah," Bella memutarkan bola matanya. "Memangnya siapa pacarmu?" Tanya pria tersebut sambil terkekeh. "Kamu lah." Jawab Bella dengan nada meninggi.
Pria dengan kemeja berdasi itu mengelus helai rambutnya. Bella tersenyum dan bertanya, "Bagaimana mengajarnya hari ini, Sir Jerry?"
"Tentu aku lelah, kalau mengajar olahraga pasti lelah. Bagaimana kalau besok aku mengajar matematika saja?" Ujar Jericho dengan nada bercanda.
"Kamu mau jadi bibiku?" Bella tertawa sambil mengucapkan kalimat itu. "Coba kalau aku bukan ponakan tante Ratih, nasibku bagaimana ya? Mana bisa aku mengalahkan Helmi.” Lanjutnya.
"Tapi nilai kamu juga hanya beda tipis dari Helmi kan?” Jericho tersenyum tipis.
“Justru dengan nilai tipis itu aku bisa ikut olimpiade dan menyingkirkan Helmi. Dan karena nilai tipis itu semua menjadi lebih terlihat natural, nyata, dan masuk akal jika tante Ratih menukarkan nilaiku dengan nilainya.” Mendengar hal itu Jericho tersenyum dan mengelus pucuk kepala Bella.
-¤-
Kalula berjalan menyusuri lorong sekolah, ia mencari keberadaan Arabella. Ia berjalan ke arah ruang kelas.
"Arabella, Bella, Bella, Bella, Bella!" Sautnya beberapa kali setelah menemukan keberadaan Arabella. Ia memeluk sahabatnya itu dengan erat dari belakang.
Ralat, bukan sahabatnya. Hanya Kalula yang menganggap Bella sahabatnya, namun Bella tidak. Mereka sama-sama memasuki tim pemandu sorak, sejak saat itu Kalula sangat mengagumi Bella.
“Apa lagi sih, Kal?" Balas Bella. "Tim cheerleader kita masuk grand final tau, Bel. Siapa dulu dong kaptennya? Bella!" Ucap Kalula dengan penuh semangat.
Bella tersenyum sekilas dan berkata, "Belum juga menang, Kal. Perjalanan kita masih panjang buat ngeraih piala itu, Kal. Aduh pemandu sorak sialan! Aku masih perlu belajar buat olimpiade matematika mendatang. Pekerjaan ini menumpuk sekali." Bella menunjukkan buku matematika yang berada tepat di depannya kepada Kalula.
"Keren banget ya kamu, sudah cheerleading, olimpiade matematika lagi, dengar-dengar mau ada lomba fisika lagi tau, Bel. Aku yakin kamu bakal kepilih lagi!" seru Kalula.
"Suka-suka, Bu Ratih. Lagian kalau begitu kerenan Bu Ratih daripada aku. Bu Ratih sudah guru matematika, fisika, kimia, kepala sekolah lagi."
"Yah... Bu Ratih mah sudah tua, galak lagi." Mendengar jawaban itu mereka berdua tertawa.
"Sebentar ya, aku mau ke toilet." Bella berlari kecil ke arah toilet.
-¤-
Bella merasa mual dan mulai muntah-muntah di kloset. Bella keluar dari bilik kamar mandi dan disambut dengan pertanyaan dari Ale, "Are you okay, Bel?"
"I'm okay, paling masuk angin aja." Jawab Bella. "No, maksud aku soal poster yang nempel di loker kamu." Bella menatap perempuan itu kebingungan.
“Hah? Poster apa? Kayanya aku daritadi jalan kesini gak ada poster apa-apa, Le.” Alea menjawab perempuan yang sedang membersihkan mulutnya di wastafel, “Kamu lari, bukan jalan. Kamu buru-buru banget lari ke toilet, jadi aku ngikutin kamu buat jaga-jaga supaya kamu gak bunuh diri karena melihat poster itu.” Jantung Bella berdegup kencang mendengar perkataan Alea.
“Memangnya poster apa, Le? Kok bisa kamu mikir poster itu bisa bikin aku bunuh diri?” Alea menepuk pundak Bella dan mulai mengelusnya. “Apa benar soal kamu dengan Sir Jericho?” Bella membelalakkan matanya.
Sudah 5 hari Bella tidak melihat dan berkomunikasi dengan Jericho. Dan seharusnya besok adalah mata pelajaran Jericho. Rencananya disanalan Bella akan menanyakan mengapa Jericho tidak membalas chat dari Bella sama sekali.
“Emangnya aku sama Sir Jericho ada apa?” Bella membalikkan badan seraya menatap Alea. “Sir Jerry bisa dipecat karena poster itu, Bel.”
-¤-
Bella berlari sekuat tenaga kearah lokernya untuk melihat poster apa yang dimaksud oleh Alea. Benar saja, ada banyak siswa siswi yang mengerubungi loker Bella. Disana tertempel poster dengan foto Alea yang sedang bermesraan dengan Jericho yang bertuliskan, “Love birds, Jericho and ARABELLA”
Siapa yang membuat poster itu dan memotret kemesraannya dengan Jericho yang tidak pernah ia umbar sama sekali selama ini? Semua pertanyaan itu berlarian dalam benak Bella.
“Sumpah sih, Bel? Lo pacaran sama Sir Jerry?” Semua orang berdatangan dan mengerumuninya dengan segudang pertanyaan. “Duh, ngeri banget Sir Jerry!” “Baru 16 tahun udah pacaran sama yang 28 tahun. Minimal umur legal lah, Bel!” “Kalau cantik harga diri juga dinaikin, Bel!”
Namun satu kalimat yang paling menusuk di dada Bella. “Udah jelas-jelas peraturan di sekolah ini menentang hubungan percintaan antara guru dan murid. Lah dia malah pacaran sama Sir Jerry. Gak sekalian macarin kepala sekolah, Bel? Tanggung!”
Apakah itu artinya Jericho akan dipecat sesegera mungkin? Kemungkinan besar, iya. Karena ia baru saja melihat Jericho keluar dari ruangannya dengan barang-barangnya.
BAB 2
Bella menangis di rooftop tempat biasa ia dan Jericho berdua bersama. Karenanya, guru olahraganya dipecat dan semua orang juga menyalahkannya, itu isi kepalanya.
“Ada apa dengan kamu, Abel?” Itu dia, nama panggilan dari keluarganya disebut oleh orang yang memanggilnya. Bella menengok ke arah sumber suara.
“Karenaku Sir Jerry dipecat, begitu kata orang-orang, Kal.” Kali ini bukan Kalula yang datang. Melainkan Haikal, sepupu dari Arabella.
“Apa yang Sir Jerry dapatkan bukan salah kamu, Bel. Aku sempat berpikir bahwa foto itu hanyalah suatu berita bohong. Aku kira kamu dilecehkan oleh Sir Jerry, Bel. Karena setelah poster itu tersebar, semua sifat asli dari Sir Jerry terkuak.” Ucapan Haikal membuat Bella membelalakan matanya, “Apa maksudmu, Kal?”
“Dia pemabuk juga penjudi, Bel. Dia sudah melecehkan temanku di sekolah tempat ia mengajar dulu. Andai aku tau kamu berpacaran dengannya aku pasti memberitau kamu lebih awal, Bel. Dia itu laki-laki brengsek, Bel. Kamu harus tau kalau dia bukan pria baik. Fakta terkuak setelah poster itu disebarkan. Kalau kamu mau tau, poster itu sudah tertempel lebih dulu di ruang guru. Bukan di lokermu.”
“Dimana temanmu itu sekarang, Kal?” Haikal menghela nafas mendengar pertanyaan Bella. “Kalau kamu mau, besok kita pergi ke makamnya, Bel.”
“Bagaimana ia bisa meninggal, Kal?” Bella masih tidak dapat mempercayai perkataan Haikal. Bagi Bella, selama ini Jericho adalah pria luar biasa yang bisa memperlakukannya dengan sangat baik. Tak ada laki-laki yang lebih baik daripada Jericho setelah ayahnya dan Haikal.
“Jericho membunuhnya. Temanku hanya orang miskin yang kasus kematiannya ditutup-tutupi dengan uang. Jericho anak orang kaya, Bel. Ia bisa dengan mudahnya memanipulasi kasus kematian seseorang. Aku takut kamu bernasib sama dengan temanku, Bel.” Bella memeluk saudaranya dan mengelus kepalanya.
“Aku gak apa-apa! Tenang saja! Aku masih mau punya umur yang panjang, akan aku perjuangkan hidupku. Aku tidak akan menyia-nyiakan hidupku pada pria seperti itu.”
Namun masih ada satu pertanyaan di kepala Bella, “Darimana kamu tau poster itu ditempel di ruang guru dulu, Kal?”
“Tante Ratih yang bilang. Tante Ratih sudah tau cerita kematian temanku itu,” ujar Haikal. Mendengar nama itu, Bella teringat sesuatu, “Aku sudah salah besar, Kal. Aku melakukan hal yang sangat fatal, Haikal.”
Haikal belum paham maksud Bella, “Maksudmu apa, Bel?” Bella menggigit bibir bawahnya dan menggesek-gesekkan kukunya, “Aku bilang pada Jerry kalau aku ponakan tante Ratih. Aku juga bilang tante Ratih menukarkan nilaiku dengan Helmi supaya aku bisa masuk ke olimpiade. Aku sebelumnya juga menceritakan bahwa nilaiku bagus karena soal-soal itu sudah aku dapat dari tante Ratih. Aku bisa merusak reputasi tante Ratih seketika, Haikal! Aku bisa membawa nama tante Ratih sebagai guru dengan kecuraangan! Aku salah, Haikal! Apa yang akan Jerry lakukan pada tante Ratih?”
“Apa kamu juga bilang ke Jericho kalau aku juga mendapat soal-soal itu dari tante Ratih?” Haikal menatap Bella dengan serius. “Tidak.” “Apa kamu juga mengatakan bahwa adikmu mendapatkan soalnya dari tante Ratih juga?” “Tidak.”
Haikal tersenyum dan berkata, “Tidak, tidak akan. Jerry kurang bukti untuk menyebarkan rumor aneh-aneh soal tante Ratih, percaya padaku.”
-¤-
Di rumah milik keluarga Bella, hanya 4 anggota keluarga dan para pelayan disana. Tepat pukul jam 7 malam, suasana mulai diam dan sepi. Seluruh pelayan sudah pergi ke kamarnya masing-masing. Adik perempuan Bella sedang menuliskan buku hariannya. Annceline namanya.
Terletak foto keluarga di meja belajar Celine. Badan Celine terlihat lebih tinggi daripada Bella. Umur mereka yang tidak jauh beda menjadi alasannya. Celine sekarang menempuh pendidikannya di kelas 10 di sekolah yang sama dengan Bella. Hanya saja Celine tidak seberuntung Bella dalam akademiknya.
Banyak alat musik memenuhi kamar Celine, mulai dari gitar listrik, gitar akustik, bahkan ada bass serta drum di kamarnya. Kamarnya yang luas itu pun terkesan sempit.
Biasanya Celine menjalankan hobinya bersama Haikal, akan tetapi hobinya ini sangat tidak didukung oleh kedua orang tuanyya. Bahkan ia bisa mendapatkan alat-alat musik ini dari hasil tabungannya dari uang jajannya yang terbilang cukup besar.
Sebelumnya kedua orang tuanya biasa saja dengan hobi anaknya ini. Namun setelah orang tuanya melihat hobi Bella yang jauh lebih baik menurut mereka, kini mereka tidak menyukai hobi Celine lagi.
Hobi baru Bella yakni membangun rancangan bisnis. Orang tua mana yang tidak bangga memiliki anak yang mempunyai hobi seperti itu. Kedua orang tuanya juga berekspektasi hal yang sama kepada Celine.
Apalagi, adik dari ayahnya sudah meninggal karena ia mengikuti konser. Konser tersebut terjadi kebakaran yang menyebabkan ricuh. Banyak orang yang menginjak satu sama lain dan puluhan orang tewas dalam konser tersebut. Sejak saat itu orang tua mereka
Karena rancangan bisnis pertama Bella sudah dicoba oleh kedua orang tuanya. Walaupun bisnis yang dijalankan hanya bisnis kecil, bisnis tersebut berhasil. Bella melihat banyak peluang di dalamnya. Maka dari itu, hal tersebut menjadi hobi baru bagi Bella.
Celine sebenarnya turut bahagia untuk kakak semata wayangnya itu. Namun kebahagiaannya sirna ketika kedua orang tuanya menuntut hal yang sama kepada Celine.
Kini Celine hendak menuju ke kamar Bella. Ia mengetuk pintu kamar Bella. “Kak Bella, apakah kamu sudah memberikan senar gitarku kepada Kak Haikal?”
“Haduh! Untuk apa sih kamu masih meneruskan hobi tidak bergunamu itu, Cel? Kan mama dan papa sudah bilang kalau kamu harus mencoba mencari hobi-hobi lain,” saut Bella.
“Seperti mengurung diri dan tidak membukakan pintu untukku? Di mana sopan santunmu, kak? Proyek bisnismu tidak menjamin kebahagiaan dalam hidupku di masa depan.” Mendengar jawaban itu, Bella mengacak-ngacak rambutnya dan membukakan pintu bagi adiknya.
“Mau apa sih kamu datang dan mengajak ribut? Senar gitar dan stik drummu lebih tidak menjamin masa depanmu. Apakah menurutmu alat-alat itu dapat memberimu uang dan makanan?”
“Tentu, aku akan jadi musisi terkenal dan aku tidak tau kamu dapat menyaksikanku sukses dengan tangan kosong atau malah tidak dapat menyaksikanku sama sekali karena kesehatan mentalmu sudah ambruk karena terlalu mencampuri hidupku.” Celine tersenyum licik kepada kakaknya itu.
“Mungkin aku akan mempekerjakanmu dengan suaramu yang kau bangga-banggakan itu.”
“Bagaimana jika aku bernyanyi dengan Sir Jerry saja? Apakah nanti akan ada poster yang menempel di seluruh penjuru sekolah?” Celine menutup mulutnya seolah ia sudah mengatakan fakta yang begitu menyedihkan.
Mendengar jawaban adiknya, Bella membanting pintu kamarnya tepat pada wajah Bella.
-¤-
“Nih senar gitarmu!” Bella memutarkan kedua bola matanya kepada Haikal.
“Hey hey! Calm down! Ada apa ini? Siapa yang memberikan ini?”
“Itu dari adik kesayanganmu itu, Celine.” Haikal mengambil senar gitar yang diberikan oleh Celine dari tangan Bella.
“Dia kan adikmu, bagaimana bisa kamu memutarkan kedua bola matamu saat membicarakannya. Padahal Celine itu adik yang baik!” ujar Haikal.
“Hobinya aneh, jika kita memiliki uang lebih mengapa tidak dimanfaatkan untuk menghasilkan uang lagi? Wajar dong kalau mama papa tidak suka dengan hobinya? Bahkan anak aneh ini menggunakan pin bergambar gitar di dadanya.”
Haikal mematung sejenak dan berkata, “Sepertinya orang tuamu mulai tidak menyukai Celine bukan hobinya.”
“Mengapa begitu? Harusnya anak itu tau diri kalau orang tua sudah menasehatinya. Aku juga tidak kaget kalau mama papa mulai tidak menyukai Celine. Sejak hari ia menamparku di depan orang tuaku karena aku menerima bunga dari Evan, padahal Evan sendiri yang menyukaiku duluan ya kan?”
“Karena Evan pacar Celine saat itu, Bel. Jangan terlalu dendam berlarut-larut padanya. Celine itu anak yang baik dan sopan kok. Bahkan dia masih memanggilku kakak disaat kamu tidak. Padahal aku juga masih satu tahun lebih tua darimu. Coba saja kalau kamu punya adik seperti Markala, aku tidak menjamin kalau kamu tidak mencekiknya.” Haikal terkekeh saat menyebut nama adik kandungnya itu.
Arkal nama panggilannya. Arkal masih menginjak kelas 10, sama seperti Celine. Mereka dulu sering main berdua, apalagi Arkal merupakan seorang drummer di band yang sama dengan Celine. Sedangkan Celine adalah seorang gitaris. Namun sejak saat Arkal sering menghabiskan waktunya untuk merokok dan berjudi, Celine lebih suka menghabiskan waktunya bersama Haikal.
“Huh! Coba kalau dia adikku, aku pastikan bahwa bukan rokoknya yang kubakar, gitarnya yang akan ku bakar.” Bella terkekeh sambil mengatakan itu.
“Tuh kan kalian sangat sensitif dengan hal-hal yang berbau musik. Padahal sebenarnya tidak semua konser ataupun lagu akan membawa petaka seperti yang dialami oleh pamanmu. Yah kamu tahu sendiri bahwa dia juga pamanku, akan tetapi keluargaku tetap mendukung aktivitas bermusik kami. Aku bukannya mau mengjudge kalian dan membandingkan kalian dengan keluargaku, tapi apa yang dialami paman Kris adalah rencana Tuhan. Andai orang tuamu tidak bisa mendukung Celine, aku harap kamulah yang mendukungnya.” Haikal membelai rambut saudaranya itu. Haikal mau yang terbaik untuk Bella.
BAB 3
Arkal menyesap sepuntung rokok yang baru ia ambil dari saku celananya. Ia menikmati setiap isapan tersebut sambil menonton teman-temannya yang sedang taruhan dan balapan.
Teman-temannya belum kalah, belum saatnya untuk Arkal turun tangan ke sirkuit balapan. Kata pepatah, sisakan yang terbaik di saat yang terakhir.
“30 juta kalau seseorang bisa ngalahin gue besok.” Pria yang mengatakan hal itu menghampiri Arkal dan berkata, “Eits! Tapi seseorang yang gue maksud cuman Arkal. Kalau berani, jangan cemen. Turun ke sirkuit besok jam 7 malam.”
Yang baru saja berbicara seperti itu adalah Alvegaz, rival paling berani Arkal. Bukan karena dia orang paling jago sesirkuit atau apapun itu, namun karena dia adalah orang paling nekat yang berani menantang Arkal. Arkal yang ditantang tersenyum atas perkataan Vega. Bukan karena nominal yang Vega sebutkan, melainkan Arkal terkesan karena keberanian Vega.
“Fine, gimana kalau gue yang kalah? Gue bayar 60 juta ke lo.” Mendengar tawaran itu Vega menaikan alisnya dan tersenyum, “Tawaran yang berani, gue suka.”
Vega memegang amplop berwarna coklat dan menunjukannya tepat di wajah Arkal. “70 juta, karena lo berani. Gue dateng jauh-jauh kesini cuman biar gue tau si King of Circuit yang selalu orang bilang.”
“Kalau gitu gue naikin jadi 100 deh. Gue suka orang-orang kaya lo, bro.” Arkal mengatakan hal itu dengan sangat percaya diri. Bagaimana tidak? Arkal kalah dalam pertandingan balap liar itu hanya sekali seumur hidup, yaitu saat rem motornya rusak.
“Deal, 100 juta.” Sebenarnya Markala heran kenapa anak yang berada di hadapannya ini begitu berani dan percaya diri. Tapi 100 juta menantinya esok hari, ia akan mengiyakannya saja.
-¤-
Tidak perlu dijelaskan soal balapan hari lalu antara Vega dan Markala. Tentu pemenangnya adalah Markala. Sekarang sang kakak hanya memusingkan adiknya yang belakangan ini foya-foya dari hasil uang yang ia dapat kemarin.
“10 juta? Apa benar? Sepertinya kalau 10 juta sudah habis dari hari-hari kemarin deh.” Gumam Haikal dalam hati.
Tentu, sang adik berbohong kepada kakaknya mengenai nominal uang yang ia peroleh. Pasalnya, Arkal tidak mau kedua orang tuanya tau bahwa anak bungsunya itu mendapatkan uang sebanyak itu dan memberikan batasan terhadapnya.
Dan yang orang tuanya tau, Arkal mendapatkan uang sebanyak itu dari hasil penjualan saham. Tapi penjualan saham atau apapun itu, hanya kebohongan semata.
Tapi Haikal lebih cerdas daripada Markala, ia mengancam Markala jika ia tidak memberi taunya jumlah nominal asli yang ia dapatkan, ia akan melaporkannya kepada sang ayah. Haikal juga mendesak untuk Arkal memberi tau darimana sebenarnya ia dapatkan uang sebanyak itu.
Arka mengakui bahwa uang yang ia dapatkan sebenarnya berjumlah 50 juta, namun Haikal masih tidak percaya. Karena dari uang tersebut Markala sudah membeli sepeda motor baru.
“Baiklah, Kamu sepertinya ingin tau sekali atau ingin memerasku aku pun tidak tau niatmu. Aku baru mendapat 100 juta dari hasil balapanku kemarin, sisanya aku tambahkan dengan uang hasil tabunganku dari balapanku yang sebelumnya.” Nampak lah Markala yang menggunakan seragam sekolahnya menghela nafas seraya memutarkan bola matanya kepada kakaknya.
Di musim hujan ini, Haikal jatuh sakit. Ia mengalami flu dan demam, hari ini izin tidak hadir dalam pembelajaran di sekolah.
“Oh tentu tidak. Aku cuman ingin tahu, dengan siapa kamu berbalap liar kemarin. Bukankah aku kata orang-orang adikku ini adalah pembalap yang paling ditakuti di sirkuit kota ini?” Haikal menaikan alisnya sambil melihat adiknya itu.
“Ah kak! Hal seperti itu sudah biasa dalam dunia balapan. Orang yang merasa jago, akan menantang para pemenang sebelumnya. Begitu juga aku yang pernah mengalami hal itu.”
“Sebut saja namanya apa susahnya sih?”
“Aku tidak tahu kalau kamu jatuh cinta dengan pria ini atau bagaimana, tapi namanya Alvegaz. Teman-temanku memanggilnya Vega, anak baru yang nyalinya sudah luar biasa.” Markala tersenyum sambil membayangkan kemenangannya beberapa hari lalu.
“Kamu tahu bahwa Vega itu adalah alumni dari sekolah kita? Ah tidak bukan alumni, melainkan anak buangan. Ya... Dia di sepak dari sekolah ini waktu ia kelas 11.” Mendengar perkataan kakaknya, Markala langsung menaikan alisnya dan memasang ekspresi bingung.
“Kamu memang sudah kenal dengan dia, atau kamu memata-mataiku dan mencari tahu identitas lawanku?”
“Exactly! Opsi kedua adalah jawaban terbagus, aku menonton pertandinganmu kemarin. Kamu bermain dengan baik, lebih kerennya lagi di saat momen kamu menukar motormu dengan motor yang sudah dirusaknya.” Haikal mengelus pucuk kepala adiknya itu.
“Kenapa kamu tertarik sekali dengan Vega ini, kak?”
“Setelah ku cari tau dan ku ingat-ingat kembali, Vega ini dikeluarkan dari sekolah karena ia dulu adalah pecandu narkoba.”
“Yah, dari cara dia mau mengalahkan aku saja sudah seperti pengecut. Tentu aku tidak kaget kalau masa lalunya sekelam itu. Sudahlah, aku sudah malas mendengar namanya lagi. Baiknya aku pergi ke sekolah saja daripada mendengarkanmu melanjutkan ocehanmu itu.” Arkal terkekeh kemudian mengambil kunci motornya di atas meja dan melambaikan tangannya ke arah kakaknya.
Haikal menggeleng-gelengkan kepalanya, dan entah mengapa hari itu Haikal ingin sekali berdoa supaya Tuhan melindungi adiknya. Walaupun Markala adalah anak yang nakal, baginya markala adalah salah satu harta paling istimewa yang ia punya.
Haikal mulai melipat tangannya, memejamkan matanya, dan mengucap segala doanya. Haikal meminta perlindungan kepada Tuhan hanya untuk adiknya. Langit jadi saksi seberapa besar cintanya kepada adik semata wayangnya.
Ketika Haikal selesai berdoa, Ia mendapatkan dering telepon dari orang tua Bella.
“Haikal, sepertinya hari ini akan jadi hari terakhir bagimu untuk berjumpa dengan Bella.” Perempuan tersebut menelpon Haikal dengan suara lirih.
“Mengapa begitu, tante?”
“Kemarilah, nak. Aku sepertinya membuat kesalahan yang luar biasa besar. Sepertinya aku gagal membahagiakan anakku sampai anakku ingin mengakhiri hidupnya.” Suara perempuan dibalik telepon itu sebenarnya sudah mencoba menahan tangisnya dari tadi. Ia berusaha menenangkan dirinya, dan orang-orang disekitarnya.
“Bella dimana? Apakah dia baik-baik saja? Apakah semua baik-baik disana?”
“Tidak, Kal. Tidak ada yang baik-baik saja disini. Kemari, nak. Kami di rumah sakit di sebelah cafe favorit Bella.” Mendengar hal itu Haikal langsung mengendarai mobilnya dengan sangat cepat tanpa berfikir sama sekali.
Ketika Haikal sampai di tempat tujuan, tanpa pikir panjang, Haikal berlari ke arah resepsionis dan menanyakan nama Bella pada sang petugas. Ketika ia menemukan petunjuk dimana keberadaan Bella, di sanalah ia menemukan seorang ibu yang sedang menangis karena baru saja melihat anak sulungnya yang bersimbah darah.
“Haikal, hari ini mungkin jadi hari terakhir kamu melihatnya, Kal. Aku tau bahwa kamu sangat sayang pada putriku, Haikal. Aku menelponmu untuk memberitau bahwa anakku sudah meninggal, Kal.” Haikal kaget, ia terduduk di sebelah ibu dari Bella.
“Aku mencintainya, sungguh. Boleh kah aku melihatnya kembali, tante?” Haikal mulai meneteskan air matanya. Ibu Bella mengangguk dan mereka pergi kke ruang jenazah bersama-sama ditemani oleh salah satu perawat disana.
Sang perawat membuka sebagian dari kain yang menutupi seluruh tubuh Bella. Dan di sana lah, Haikal melihat bekas cekikan di leher Bella.
-¤-
Berita kematian Bella sudah menyebar ke psati penjuru sekolah. Anak baru yang cerdas, pintar, dan nyaris sempurna itu meninggal begitu saja. Ia tewas karena mengakhiri hidupnya.
“Sumpah sih gue gak nyangka banget dia bakal bunuh diri segampang itu, gue jadi dia gak bakal bunuh diri sih gue. Kalau gue cantik, pinter, kaya, ngapain gue bunuh diri?” Cuap-cuap dari mulut warga sekolahnya mulai bertebaran. “Menurut gue ya, menurut gue, si Bella bunuh diri mungkin karena kasus dia sama Sir Jerry gak sih? Ya kan? Ya banget!”
Banyak yang berspekulasi mengenai kematian Bella yang begitu tiba-tiba. Semua membuat teori penyebab Bellla bunuh diri. Hanya satu orang di sekolah itu yang tidak percaya bahwa Bella bunuh diri, Haikal.
Haikal yakin, sangat yakin bahwa saudaranya itu tidak mungkin mengakhiri hidupnya begitu saja. Apalagi setelah ia melihat jenazahnya kemarin. Kenapa semua orang percaya bahwa dia bunuh diri? Apa orang-orang sudah tau namun kasusnya hanya ditutup-tutupi saja?
Muncul banyak nama dalam kepala Haikal, namun nama yang paling mencolok di pikirannya saat ini hanya satu orang.
Sepulang sekolah Haikal tanpa ragu pergi ke kediaman orang yang ia pikirkan itu.
“Jericho, apa kamu yang membunuhnya?” Haikal tidak terikat dengan formalitas di sekolah. Ia tanpa ragu langsung menyebut nama itu.
“Membunuh apa? Aku tidak akan membunuh seseorang, idiot!” Jericho berkata dengan nada tinggi.
“Membunuh Bella. Siapa lagi?”
“Seperti yang semua orang tau ya, Kal. Perempuan itu bunuh diri, begitu juga sepengetahuanku. Lagi pula hidup dan matinya aku tidak perduli, aku bahkan lebih senang kalau dia mati. Tapi untuk apa aku membunuhnya? Hidup atau matinya tidak bisa mengembalikan pekerjaanku.” Jericho memasang ekspresi seolah ia tidak perduli. Karena bagi Jericho, Haikal hanya membuang-buang waktunya.
“Kamu sudah membunuh sahabatku, Jer. Kamu melecehkannya dan kamu menghabisinya. Bagaimana aku tidak curiga padamu?” Haikal menarik kerah baju milik Jericho.
“Baik, benar. Aku memang membunuh Audya. Aku memang laki-laki bejat yang sudah melecehkan dan kemudian menghabisinya. Namun apakah alasan aku untuk membunuh Bella? Aku masih mencintai Bella, namun di sisi lain aku juga masih membencinya. Kalau bukan karena temannya itu gosip kami tidak akan tersebar, dan aku masih memiliki pekerjaan. Supaya kedua orang tuaku percaya bahwa aku sudah bisa bekerja sendiri menjadi mandiri.” Mendengar perkataan Jericho, Haikal menaikan alisnya.
“Apa kamu baru saja bilang temannya yang menyebarkan gosip tentang kalian?” tanya Haikal sambil melepaskan genggamannya daripada kerah baju Jericho.
“Ya betul, aku tidak sengaja melihat seseorang menempelkan sesuatu di ruang kepala sekolah. Aku mengenal sekali seragam itu, itu adalah seragam sekolah kalian. Tapi ia mengenakan jaket, masker, dia berpakaian seperti seorang pencuri. Namun yang bisa aku pastikan adalah seragamnya.”
“Apakah postur tubuhnya seperti seorang perempuan atau seorang laki-laki?”
“Aku tidak tau, aku tidak mengingatnya sama sekali. Namun yang bisa aku pastikan hanya seragamnya. Percaya padaku aku tidak berbohong karena aku hanya mengingat seragamnya.”
Memulai saat itu, Haikal semakin ingin mencari petunjuk mengenai pembunuh dari saudaranya. Karena menurut spekulasi Haikal, pembunuh dari saudaranya itu adalah murid dari sekolahnya.
BAB 4
Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Haikal menyelinap ke ruang security sekolah untuk mengecek CCTV. Sekolah itu sunyi tanpa sedikitpun suara. Sudah tidak ada orang sama sekali di sana.
Bagaimana cara Haikal bisa menyelinap ke ruang security sekolah? Tentu anak laki-laki cerdas itu sudah mencuri kunci ruang security dari ruangan kepala sekolah.
Dan yang pasti kunci yang ada di ruangan kepala sekolah itu hanyalah kunci cadangan. Mungkin tidak akan ada yang menyadari bahwa Haikal sudah mencuri kunci itu.
Darimana Haikal bisa tahu bahwa seluruh kunci cadangan ruangan di sekolah itu ada di ruang kepala sekolah? Tentu dari sang tante yaitu bu Ratih.
Haikal hanya menemukan satu petunjuk lagi tentang suspek dari pembunuhan saudaranya itu. Orang yang menempelkan poster mengenai rumor tersebut adalah seorang yang berbadan pendek. Yang jelas lebih pendek dari Haikal. Karena orang yang mengenakan jaket dan masker yang dimaksud oleh Jericho, ditemukan telah berpapasan dengan Haikal di rekaman CCTV tersebut.
Namun sayangnya jika badan Haikal dijadikan patokan, Haikal adalah salah satu anak paling tinggi di sekolah. Namun sepertinya, dari rekaman CCTV orang tersebut tidak jauh lebih pendek daripada Haikal. Kepala Haikal mulai memikirkan satu nama lagi.
Kali ini bukan satu nama untuk dijadikan tersangka, namun kali ini Haikal hendak mengajaknya untuk bekerja sama mencari tau siapa pelaku dari pembunuhan atas Bella.
-¤-
“Apalagi sih? Kamu sudah mengganggu kakakku sekarang kamu mau menghabiskan waktuku? Kamu mau menuduhku juga?” dia lah adik dari Jericho, Jeovanna.
Bagaimana cara Haikal bisa mengenal Jeovanna? Jeovanna adalah teman sekelas Haikal saat menduduki bangku di sekolah dasar. Bahkan Jeo juga pernah bersahabat dengan Bella. Orang tua Jeo dan Jerry sudah bercerai sejak lama, Jeo ikut ibunya sedangkan Jerry ikut ayahnya. Tidak lama kemudian ibu mereka meninggal karena mengidap kanker darah. Jerry sudah menginjak usia legal untuk membawa adiknya tinggal bersama dan tidak bergantung pada ayahnya yang pemabuk itu.
“Aku kesini mau mengajakmu bekerja sama.”
“Tidak ada waktu.” Nadanya ketus menggambarkan wataknya yang keras.
“Aku mau mengajakmu mencari tau siapa pelaku dibalik pembunuhan Bella.”
“Pertama, tidak ada untungnya sama sekali untukku. Kedua, aku tidak perduli dengan Bella.”
“5 juta?” Haikal mengangkat alisnya dan menyodorkan tangan kanannya pada Jeo.
“30 juta.” Tawar Jeo.
“8 juta?”
“25 juta.”
“10 juta?”
“20 juta.”
“15 juta?”
“DEAL!” angka 15 juta sudah menjadi kesepakatan antar mereka berdua.
Mengapa Haikal seberani itu menawarkan nominal besar kepada Jeo? Haikal tidak akan menyuruh Jeo macam-macam. Jeo hanya perlu mengeluarkan keahliannya saja.
Jeovanna sangat ahli di bidang teknologi. Pikir Haikal, Jeo akan bisa sangat membantunya dalam mencari tau data-data yang akan membawanya menuju titik terang.
Jeo anak yang cerdas, semua orang tau bahkan Haikal. Dengan itu, Haikal tidak perlu mencari kunci di ruangan kepala sekolah dan mengambilnya. Hanya satu yang diperlukannya, Jeo.
“Kal? Kalau ini laki-laki, ini cuman laki-laki yang setinggi Helmi atau adikmu itu. Namun kalau dia perempuan, perempuan ini bisa menjadi model sekolah selanjutnya. Percaya padaku, bayangan ini tidak jelas. Hanya silhouette saja, kita tidak bisa memastikan orang ini.” Jeo mencari-cari data menggunakan komputer miliknya.
“Kal, kamu lihat ini. Aku berhasil meretas data absensi guru dan murid di sekolahmu kemarin. Karena sistem barunya yang menggunakan fingerprint itu dengan mudah aku akan meretasnya. Aku mau mencoba-coba saja. Tidak ada hubungannya sih. Tapi aku ingin saja pamer kepadamu.”
Jeo hendak menutup data-data absensi tersebut namun tangannya ditahan oleh Haikal.
“Biarkan aku mengecek absensi hari Rabu, 19 Oktober kemarin. Itu hari kematian Bella.”
Jeo mengangkat pundaknya dan langsung membuka data-data tersebut sesuai keinginan Haikal.
“Adikku tidak masuk? Bahkan Kalula dan Alea juga tidak. Ada apa dengan hari itu?” Jeo membalikkan badan dan menepuk pundak Haikal. “Hari itu hujan deras, Kal! Memang sedang musim hujan, banyak yang tidak masuk sekolah hari itu, Kal. Bahkan di sekolahku.”
“Tapi adikku hari itu pamit berangkat ke sekolah, Jeo. Lagi pula Kalula anak cheerleader yang biasa mengekor pada Bella itu juga jarang tidak masuk sekolah. Kenapa hari itu dia tidak masuk? Apa dia mau mengekor Bella ke panggilan Tuhan juga?” Haikal menghela nafasnya.
“Lalu bagaimana dengan nama satu lagi yang kamu sebut itu? Alea?”
Haikal terkekeh dan berkata, “Alea itu memang sakit-sakitan. Mangkanya dia mau masuk OSIS saja ditolak. Nanti dikasih tugas malah sakit, kan kasihan anggota yang lain. Aku pun percaya kalau ada yang bilang anak ini kehujanan saja langsung masuk rumah sakit.”
“Haikal, coba kamu lihat dari 5 anak sekelasnya yang tidak masuk sekolah hari itu, Kal. Apakah kamu bisa mengenalnya?”
‘Alea, Calvin, Gerry, Helmi, Kalula.’ Berikut nama yang tertulis dalam absensi sebagai tidak hadir.
“Lagi pula ya, Kal. Bella kan bunuh diri di rumah, apa yang menjadi alasanmu untuk berkata bahwa dia ini dibunuh? Sedangkan bisa saja kan orang yang membunuhnya adalah orang rumahnya sendiri? Contohnya siapa sih adiknya itu? Selena? Sherina? Celina? Cellia? Ce...” Jeo masih mencoba menerka-nerka nama yang ada dipikirannya.
“Celine. Namanya Celine.” Haikal membungkam bibir Jeo hanya dengan satu telunjuknya.
“Nah! Kenapa kamu malah curiga dengan kakakku? Sedangkan di rumahnya sudah ada satu orang yang mencurigakan.”
“Bagaimana lagi? Kakakmu itu kan punya riwayat menjadi pembunuh. Bagaimana aku tidak bisa curiga dengannya sedangkan karena kasus ia berpacaran dengan Bella, ia kehilangan pekerjaannya. Lagi pula kakakmu itu mau membuktikan kepada siapa? Kan kalian hanya tinggal berdua, sedangkan orang tua kalian bercerai. Kakakmu itu terlalu membuat banyak alasan.”
Jeo sama sekali tidak marah dengan perkataan Haikal. Melainkan dia hanya berkata, “Kami mau mengambil tempat dari Paman kami yang kaya itu, bodoh. Dia sangat kaya, dan dia tidak memiliki anak. Kami hanya ingin warisannya tidak sia-sia. Maka dari itu baiknya warisan tersebut jatuh ke tangan kami.”
“Jadi uang untuk menutupi kasus kakakmu saat itu darimana?”
“Tentu uang paman kami. Paman kami memberikan uang jajan yang cukup besar setiap bulannya. Dan uang itu cukup untuk menutupi kesalahan-kesalahan kami.”
Sebenarnya Haikal emosi sedikit terpancing dengan perkataan Jeo. Namun kasus itu hanyalah sebuah Kasus yang sudah terjadi dan berlalu.
“Baiklah daripada aku harus buang-buang waktu denganmu membicarakan hal yang basa-basi, baiknya aku pulang.” Haikal berdiri dan lekas pulang.
-¤-
“Kamu sudah tahu saudaramu itu meninggal kemarin?” Haikal berdiri di kamar tidur milik Markala saat ini.
“Aku kan melayat bersamamu kemarin. Bahkan aku melihat jasadnya dengan mata kepalaku sendiri. Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Dimana kamu saat hari kematiannya?” Haikal masih mau mencoba memastikan bahwa adiknya itu tidak berbohong.
“Di sekolah? Aku kan sudah berpamitan padamu kemarin.” Markala yang ditanya-tanya langsung mengerutkan alisnya.
“Kalau kamu di sekolah kenapa kamu tidak absen?”
“Apa sih?! Baiklah, aku mencari alkohol yang sudah aku wishlist sejak lama bersama teman-temanku hari itu. Kamu mau? Aku masih menyimpan 2 botol lagi.” Markala membuka lemarinya dan mengambil 2 botol minuman keras di lemarinya itu.
“Sadarlah, adikku. Alkohol dapat merusak badanmu. Namun aku di sini sebenarnya hanya untuk memastikan bahwa kamu tidak terlibat dalam kasus kematian Bella.” Mendengar perkataan kakaknya, Markala menjadi bingung dibuatnya.
“Kak Bella kan bunuh diri. Kasus apa lagi? Bahkan polisi saja sudah berkata bahwa dia bunuh diri.”
“Kamu tidak melihat tanda merah di lehernya?”
Pikiran Markala mulai ke mana-mana. Mendengar perkataan kakaknya, Kakak sepupunya itu telah dilecehkan.
“Siapa yang berani melecehkan Kak Bella?! Akan kubuat nasibnya sama seperti Kak Bella.”
“Bukan itu maksudku, Arkal. Maksudku, di leher Bella seperti ada jeratan tali. Yakinlah aku bahwa Bella sudah dibunuh. Dan kematiannya dibuat seperti skenario bunuh diri.”
“Benarkah begitu kak? Dan mengapa kepalaku hanya memunculkan nama Helmi? Menurut firasatku sih Helmi.” Markala memikirkan nama Helmi dengan penuh emosi.
“Mengapa begitu, Kal? Apa kamu sebegitu membencinya?”
“Tau dari mana kamu aku membenci Helmi? Justru aku menonjok anak itu kemarin karena aku baru saja membaca diary dari lokernya.” Markala mengepalkan tangannya.
“Memangnya apa yang kamu baca, Kal?”
“Awalnya aku dan teman-temanku hanya iseng membuka buka lokernya dan membaca-baca diarynya. Aku membaca bahwa dia ingin menyingkirkan Kak Bella karena Kak Bella bisa merebut beasiswanya. Aku yakin setelah ini kamu juga pasti akan pergi ke rumah Helmi bukan? Aku mau ikut. Jika dia yang membunuh Kak Bella, akan kupastikan dia juga menyusul Kak Bella.”
-¤-
Haikal mengetuk pintu rumah Helmi, hanya ada suara Helmi yang menjawabnya, “Om Adi ya? Ibu tidak ada di rumah, om.”
“Bukan, aku Haikal buka saja dulu.” Helmi membukakan pintu rumahnya untuk Haikal. Tidak lama kemudian Haikal mencengkram kerah baju Helmi.
“Kau apakan Bella?” ucap Haikal dengan penuh amarah. Nampak Markala di samping Haikal yang juga ikut serta ingin menyampaikan amarahnya pada Helmi.
“Memangnya apa? Bella kan bunuh diri, hubungannya denganku apa? Maksud dari diaryku juga hanya untuk menyingkirkannya dalam prestasi, bukan menyingkirkannya dari dunia ini.” Haikal melepas kerah baju Helmi.
“Lalu menurutmu, siapa yang akan membunuh Bella?” tanya Haikal pada Helmi.
“Seperti yang kita tau, Bella kan bunuh diri. Menurutmu siapa yang kira-kira akan membunuhnya? Bu Ratih?” jawab Helmi dengan asal.
“Kenapa kamu bisa menyebut nama tanteku?” Markala menaikkan alisnya mendengar nama bibinya itu disebut.
“Awalnya aku asal saja, tapi aku baru ingat bahwa Bella belakangan ini merepotkan bu Ratih sekali ya.” Helmi mengatakan hal itu sambil tersenyum.
“Maksudmu merepotkan apa?”
“Aku tidak sengaja mendengar percakapannya dengan Sir Jericho di rooftop saat itu. Aku mendengar bahwa bu Ratih harus menukarkan nilai Bella dengan nilaiku. Maka dari itu aku cari tau, dan aku lihat bahwa sepertinya bu Ratih pun terpaksa melakukan hal itu karena ayah Bella yang selama ini membantu bu Ratih dalam hal ekonomi. Aku juga sempat mendengar percakapan bu Ratih dan ayahnya Bella saat bu Ratih benar-benar butuh uang. Sekolah berkelas dan mahal ini nampaknya tidak menggaji guru-gurunya dengan baik.” Helmi terkekeh.
“Apalagi yang kamu ketahui?” Markala menekan Helmi untuk terus memberikan fakta.
“Yang aku ketahui adalah bahwa Celine adiknya tidak melakukan hal yang sama seperti kakaknya. Maka dari itu nilainya tetap biasa-biasa saja. Keren sekali Celine, padahal Ia bisa saja melakukan hal semunafik kakaknya. Jadi mungkin saja bu Ratih takut kehilangan pekerjaannya dan ingin menghilangkan bebannya?” Helmi menaikkan pundaknya.
Haikal dan Markala memilih pergi pulang tanpa pamit dan langsung bergegas ke mobil daripada harus basa-basi dan bertanya-tanya lagi pada Helmi.
“Menurutmu sebaiknya aku harus tanya-tanya ke siapa?” tanya Haikal pada adiknya.
“Mau coba tanya-tanya tante Ratih?”
“Ya mungkin aku akan bertanya-tanya lagi soal manipulasi nilainya.”
“Kamu sudah tau soal ini, kak?”
Haikal mendengar itu mengangguk-anggukan kepalanya. “Tau, tapi aku kira tante Ratih ikhlas.” Haikal tertawa mengatakan hal itu.
-¤-
“Tante, apa benar kamu terpaksa memanipulasi nilai Bella dan Helmi?” tanya Haikal pada Ratih.
Kali ini tidak ada Markala di samping Haikal. Haikal lebih memilih untuk bertanya-tanya sendiri tanpa adiknya.
“Tau darimana kamu soal itu, Kal? Sejak kapan kamu tau hal itu?”
“Aku sudah lama mengetahuinya dari Bella, namun aku tidak menyangka kalau kamu terpaksa melakukan hal itu,” jelas Haikal pada Ratih.
“Jujur aku tidak mau melakukan itu sebenarnya. Namun Bela mengancamku bahwa ia akan memberitahukannya kepada ayahnya lalu kemudian aku tidak akan mendapatkan sepeserpun uang lagi daripada ayahnya. Aku ingin sekali bermain jujur, Haikal. Tapi kalau aku jujur aku mau makan apa? Anakku akan makan apa?” Ratih mengatakan hal itu dengan emosional.
“Apa gaji dari sekolah tidak cukup, tante?”
“Yang orang tidak tau saat ini adalah bahwa anakku sakit. Aku mau dia tetap hidup, Kal. Aku mau dia tetap hidup. Dengan upahku sebagai guru di sekolah ini, aku hanya bisa membayar pengobatannya saja. Setiap bulan anakku harus cuci darah. Aku punya 2 anak, aku harus membayar uang sekolahnya juga. Aku harus meminta tolong pada ayah Bella.” Ratih mulai meneteskan air matanya.
“Mengapa kamu tidak cerita pada keluargaku juga, tante? Ayahku pasti akan menolongmu juga.”
“Awalnya aku tidak mau merepotkan kalian semua. Namun hari itu saat aku menemani anakku cuci darah, ayah Bella bertemu dengan kami. Dari sana, ia mengetahui bahwa anakku mengalami gagal ginjal. Ayahnya menawarkan bantuan padaku saat itu. Dari situ ia mulai rutin mengirimiku uang.” Haikal merangkul bibinya dan memeluknya.
BAB 5
Saat ini Haikal rasanya sudah mencapai titik terang. Karena yang pasti Jeo sudah menemukan satu rekaman CCTV lagi. Rekaman tersebut sudah memberi petunjuk siapa yang menempelkan poster rumor tersebut.
Karena yang bisa ia pastikan adalah orang yang menempel poster tersebut ingin Bella menjadi jatuh sejatuh-jatuhnya. Ia mau karir belahan hancur atau mungkin niatnya adalah menghancurkan Jerry.
Kita akan tau sampai dengan kita tau siapa orang yang menempelkan poster tersebut. Dan orang tersebut Mungkin bisa kita hubungkan dengan kasus kematian Bella.
“Dia seorang perempuan, Kal. Lihatlah rekaman video ini, disini dia menggunakan rok. Perempuan bandit ini menggunakan kacamata hitam dan masker. Mana bisa aku melihat wajahnya dengan jelas.” Jeo menunjukkan rekaman tersebut pada Haikal.
“Tunggu, Jeo.” Haikal menghentikan mouse milik Jeo. Haikal menghentikan rekaman video tersebut.
“Aku kenal hiasan di dadanya, Jeo.” Haikal terlihat kecewa sekali saat mengetahuinya.
“Oh maksudmu pin gitar tidak jelas ini? Pasti dia perempuan aneh ya kan, Kal? Darimana kamu kenal bocah aneh ini. Memang dasar perempuan bandit. Gaya seperti penjahat, kelakuannya juga jahat. Berani-beraninya dia berbuat seperti itu pada kakakku.” Jeo mengomel taak henti-henti sedangkan Haikal disampingnya meneteskan air matanya. Omelan Jeo berhenti dibuatnya. Jeo menghapus air matanya milik Haikal.
“Mengapa kamu menangis, Kal?” tanya Jeo.
“Pin ini adalah pin yang aku berikan kepada Celine, Jeo. Aku memberikannya diam-diam tanpa sepengetahuan Bella karena Bella membenci pin itu. Celine sangat ingin memiliki pin itu, Jeo. Aku memberikan pin itu di hari ulang tahunnya.” Haikal menangis karena ia sangat sedih dengan apa yang diperbuat oleh Celine terhadap kakaknya.
“Maksudmu Celine menempelkan poster-poster ini untuk menjatuhkan reputasi kakaknya sendiri?”
Haikal mengangguk, Jeo memeluknya. Haikal menangis dalam pelukan Jeovanna. Haikal mencintai Bella, ia juga mencintai Celine. Namun jika ia sampai harus bertanya-tanya dan menuduh Celine sebagai pembunuh atas kakaknya sendiri. Sungguh Haikal tak kuasa.
-¤-
“Celine, jujurlah padaku. Apa kamu yang menempelkan poster tentang rumor-rumor itu di sekolah?” mendengar tuduhan dari saudaranya, Celine merasa kaget.
“Poster apa kak Haikal? Apa kah yang kamu maksud adalah poster tentang kak Bella dan sir Jerry? Aku bahkan tidak tau apa-apa soal itu, kak.” Omongan Celine sebenarnya hanya dianggap omong kosong semata bagi Haikal.
Haikal menunjukkan tangkapan layar dari rekaman CCTV yang ia temukan bersama Jeovanna. Celine semakin kaget dibuatnya.
“Darimana kamu mendapatkan ini, kak?” padahal sebenarnya Celine sudah sangat yakin bahwa daerah itu tidak ada CCTV sama sekali.
“Gambar ini sudah menunjukkan semuanya, ini adalah pin yang kuberikan kepadamu. Barang yang aku berikan saat hari ulang tahunmu.” Haikal berdiri sambil bergetar karena ia masih tak menyangka bahwa seorang adik kecil yang pernah ia ajak main mobil-mobilan kini dapat menjatuhkan harga diri kakak kandungnya sendiri. Adik kecilnya sudah merusak kehidupan seseorang.
“Iya benar, ini memang aku. Akulah yang melakukan semua itu. Kalau bukan karenanya, kalau bukan karena dirinya yang memfitnahku di depan kedua orang tua kami, aku tidak akan hidup dalam tekanan seperti ini.”
“Fitnahan apa maksudmu, Celine?”
“Seorang kakak yang katanya menyayangiku itu telah mengatakan bahwa adiknya ini menghabisi nyawa seseorang.” pecah sudah tangis Celine di depan kakak sepupunya.
Celine yang masih ingin melanjutkan penjelasannya berkata, “Aku tau persis bahwa dia yang membunuh adik dari pacarku. Aku tidak tau motifnya apa tapi ia sudah merundungnya dan tanpa sadar ia telah menghabisinya. Aku ada di sana untuk sekedar lewat, namun ia membuat seolah aku yang melakukannya. Papa dan mama mencoba membuatku terlihat tidak bersalah di depan umum. Mereka menyogok hakim, Mereka juga mencari pengacara terbaik, bahkan mereka juga menyogok pengacara dari adik Vega. Namun papa dan mama membenciku mulai sejak saat itu.” penjelasan dari Celine sudah cukup kuat bagi Haikal untuk menanyakan satu pertanyaan dalam benaknya.
“Jadi apakah kamu yang membunuhnya, Celine?”
“Tidak, kak. Yang membunuhnya adalah pacarku. Dan jujur aku sama sekali tidak merasa bersalah sudah memihak pacarku. Aku hidup dalam tekanan karena kak Bella. Kak Bella juga memfitnahku dan membuat hidupku kacau bahkan di mata kedua orang tuaku sendiri. Sesungguhnya aku tahu bahwa ia bercerita padamu kalau ia bilang bahwa hobiku lah yang membuatku dibenci kedua orang tuaku sendiri. Kalau begitu caranya, orang tuaku mungkin akan mendapatkan nominasi orang tua terburuk yang ada di dunia ini. Tapi aku yang menyuruhnya untuk pergi ke rooftop di rumah kami. Selebihnya, pacarku menjerat lehernya dengan tali dan menjatuhkannya ke bawah. Aku tidak menyesal, kak.”
Inti dari segala pencarian Haikal sudah ada disini, “Siapa yang membunuh kakakmu, Celine?”
“Vega, Alvegaz melakukannya.”
Sejujurnya seluruh perkataan Celine membuat Haikal meneteskan air matanya. Haikal dari tadi mencoba untuk berdiri tegar untuk menghadapi adik kecil yang ada di depan matanya.
Kini Haikal sudah tau apa yang akan dilakukan olehnya setelah ini.
Epilog
Haikal yang cerdas itu sudah merekam segala percakapannya dengan adik sepupunya. Haikal sudah menyerahkannya kepada polisi, beserta dengan bekas jeratan tali dari leher Bella yang Haikal foto cara diam-diam.
Haikal tidak mau mengkhawatirkan keluarga Bella, sebenarnya Haikal juga tidak mau keluarga Bella tau bahwa anaknya itu tidak seperti ekspektasi mereka.
Hancur sudah keluarga mereka. Anak pertamanya meninggal, anak keduanya divonis hukuman penjara karena sudah membantu menghilangkan nyawa seseorang.
Begitu juga Vega, lihatlah lebam-lebam di wajahnya. Itu semua karya dari Markala. Terlihat luka-luka di tangan Markala, karena itu semua adalah seni yang diciptakan olehnya.
Markala hanya sedikit memberikannya riasan pada wajahnya sebelum ia menggunakan baju berwarna jingga yang sekiranya cocok untuk Alvegaz.
Yang paling sedih disini sebenarnya adalah kedua orang tua Bella dan Celine. Mereka jujur tidak marah kepada Haikal. Melainkan berterima kasih sudah mengungkapkan fakta mengenai anak-anaknya. Biarkan itu menjadi pembelajaran bagi semuanya. Karena saat ini orang tua Bella dan Celine hanya bisa menangisi bagaimana mereka tidak berlaku adil dan mencari tau kebenaran mengenai anak-anak mereka.
Kurang lebih begitulah akhir hidup daripada Bella. Kematiannya tidak dianggap sebagai sebuah kasus bunuh diri lagi. Orang-orang tidak perlu mempertanyakan mengapa hidupnya yang sesempurna itu bisa membuatnya mengakhiri hidupnya.
Semua fakta telah terkuak. Berterima kasih lah kepada Haikal. Semua orang patut dipertanyakan, Seluruh tanda tanya harus diselesaikan dengan jawaban. Semua orang berhak bertanya dan semua orang berhak menjawab. Haikal bertanya tentang kematian saudaranya, semesta membantu menjawabnya.
-¤-
“We'll find out what we're made of
When we are called to help our friends in need
You can count on me like one, two, three
I'll be there
And I know when I need it, I can count on you like four, three, two
And you'll be there
'Cause that's what friends are supposed to do, oh, yeah
Ooh-ooh-ooh-ooh
Ooh-ooh-ooh-ooh, ooh, yeah, yeah”
Haikal meneteskan air matanya saat menyanyikan lagu yang berjudul Count On Me milik Bruno Mars dengan gitar.
Hanya lagu itu lah yang bisa ia ingat di benaknya. Lagu yang pernah ia nyanyikan berempat bersama dengan Bella, Celine, dan Markala semasa mereka masih menduduki sekolah dasar.
Ingin sekali Haikal memutar kembali waktu supaya ia bisa sekali lagi menyanyikan lagu itu berempat bersama dengan adik-adiknya itu.
Waktu menunjukkan pukul 10 malam, namun Markala belum kunjung pulang ke rumah. Haikal sebenarnya sudah tidak khawatir. Haikal yakin Markala pulang telat karena melakukan rutinitasnya. 3M, Makan, Mabuk, Masalah. Haikal sudah maklum.
Haikal mendengar bunyi gerbang rumahnya dibuka. Haikal mengintip dari jendela kamarnya di lantai 2. Itu adiknya yang sedang mendorong motornya.
Sang kakak langsung bergegas ke kamar adiknya dan merebahkan badannya di sana. Ia hendak menangkap basah adiknya seperti biasa.
“Tumben kamu tidak bau alkohol, tapi jujur kamu sangat bau keringat. Mandi lah.” Mendengar komentar dari kakaknya, Markala langsung bergegas ke kamar mandi dan keluar dengan tubuh yang wangi.
“Jelaskan, tumben kamu jam segini pulang tanoa bau alkohol?” Haikal mau mempertanyakan kejanggalan pada adiknya malam ini.
“Aku tidak minum! Aku baru saja membagi-bagikan makanan kepada orang-orang di jalanan. Bodohnya, aku menghabiskan seluruh uang dalam dompetku tanpa menyisakannya sedikit pun untuk membeli makanan itu. Tanpa sadar, aku sudah kehabisan bensin. Aku tidak punya uang sedikit pun lagi untuk membeli bensin. Dan aku juga dengan bodohnya lupa membawa ponselku. Lihatlah.” Markala menunjuk ponselnya yang ia tinggalkan di meja belajarnya.
“Apa yang membuatmu melakukan semua itu, Arkal? Aku tidak menyangka kamu mau melakukan hal-hal itu.”
“Aku baru pulang dari rumah tante Ratih. Aku melihat anaknya yang terkapar di kasurnya. Anak kecil itu mengatakan wajahku lucu, seperti orang baik. Dia bilang aku pasti sering berbagi. Tapi dia salah kak, aku kan pemabuk bukan pemurah. Tapi aku mau mewujudkan perkataannya. Maka dari itu aku mau berbagi di jalanan.” Haikal mengelus pucuk kepala adiknya yang ia anggap konyol itu.
“Dia Ferdinand, kak! Anak kecil yang dulu aku gendong, Kak Bella yang mengajariku cara menggendongnya. Dia bayi pertama yang aku gendong seumur hidupku, kak.” Mendengar nama Bella, Haikal kehilangan senyumnya.
“Aku memberitaunya bahwa kak Bella sudah tiada. Maka dari itu, aku dan Ferdinand mendoakannya bersama-sama. Ferdinand tumbuh besar menjadi anak yang tulus, kak. Tante Ratih pandai dalam mendidik anak. Mental seorang remaja pun mungkin akan kalah dengan janda anak dua sepertinya.” Lanjut Markala.
Kehidupan mereka menjadi baik-baik saja. Hanya saja, Bella tidak dapat merasakan kebahagiaannya juga, begitu juga dengan Celine yang tidak bisa ikut serta.
Hari ini, hari ulang tahun Bella. Haikal dan Markala pergi ke rumah Bella, batu nisannya. Vega melakukan hal itu untuk membalas Bella semata. Baginya, Bella pantas mendapatkannya.
THE END