When The Rainbow Dies
When The Rainbow Dies
Rafael C. S.
XI AK 2
Kata pengantar
Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan saya hikmat dan juga semangat sehingga dapat meneyelesaikan novel ini yang berjudul “When The Rainbow Dies”. Novel yang menceritakan kisah kehidupan gadis yang berawal dari remaja hingga beranjak dewasa.
Saya ucapkan Terima kasih kepada Ibu Dra.Yunianti Dwi Rinukti S.Pd, selaku guru Bahasa Indonesia yang memberikan tugas novel ini, saya juga ucapkan terima kasih kepada teman teman dan juga keluarga saya yang sudah mendukung saya dan memotivasi saya sehingga dapat menyelesaikan Tugas Novel ini.
Saya meminta maaf jika ditemui kesalahan dalam novel ini. Seperti dalam hal pengetikan, saya mohon kritik dan saran dari pembaca novel ini. Saya harap novel yang berjudul “When The Rainbow Dies” ini dapat menarik bagi pembaca dan juga bermanfaat atau mendapat hikmah dari kesimpulan novel ini.
BBandar Lampung, 26 November 2022
Penulis
PROLOGUE
Perkenalkan, Namaku Renatha Agatha Aksara, keren bukan? Aku adalah seorang perempuan yang kini berusia 20 tahun-an, terlahir di keluarga yang biasa saja dan tinggal di tempat dan dunia yang biasa saja. Tubuhku bisa dibilang standar saja, tidak gendut ataupun kurus, mungkin bisa dibilang agak sedikit kurus untuk ukuran perempuan, sedikit saja. Tinggiku sekitar 160cm, rambutku berwarna hitam kecoklatan, dan Aku yakin sekali bahwa mataku benar benar indah, karena memang banyak orang yang mengakuinya, hidungku tidak mancung, seperti kebanyakan orang asia pada umumnya, dan bibirku termasuk tipis, tidak tebal seperti artis hollywood. Tubuhku lemah, aku memiliki asma, tubuhku sensitive, aku memiliki banyak alergi, tetapi ya itu tidak terlalu menganggu sih.
Aku memiliki tipe pria idaman, Aku suka pria yang pintar, tinggi, keren, gagah, yah, seperti wanita lain pada umumnya, namun, Aku juga ingin memiliki pasangan yang hobi bermain musik, atau sekedar mendengarkannya, sepertiku. Aku juga sangat suka ayam goreng, baiklah, itu memang tidak penting.
Aku hanya ingin menceritakan kisah hidupku, Masa lalu burukku, serta bagaimana Aku bisa bertemu dengan dirinya, yang Aku sebut sebagai “Sang Pelangi”. Pertama, Aku tidak pernah ingin punya pengalaman buruk di hidupku. Memangnya ada manusia normal yang mau punya pengalaman buruk dihidupnya? Tidak kan? Tapi ya, bagaimana lagi beginilah nasibku sebagai manusia. Jika diibaratkan, kehidupanku benar-benar menyedihkan dan juga sial, kata pepatah “sudah dikejar anjing, jatuh, tertimpa tangga pula”. Aku memang berharap Aku bisa memutar kembali waktu dan masa lalu yang buruk itu, dan memperbaiki semuanya, namun, Aku bukanlah makhluk super atau pahlawan yang bisa mengendalikan ruang dan waktu, Aku hanyalah manusia biasa, yang hanya bisa mengandalkan kekuatanku sendiri, dan juga Tuhan.
BAB I
“Pertemuan Indah Dengan Lelaki Tak Beretika”
Etika, Hal yang sepele, namun penting, dan etikalah yang menjadi awal dari semua sakit hati, masa buruk, dan kesialan yang Aku alami. Saat Aku masih di jenjang SMP, Aku tengah mengikuti suatu acara di sekolahku, acaranya benar benar meriah, banyak penampilan band-band dari sekolah lain, modern dance, drama, bahkan fashion show, mungkin banyak lelaki dari penampil tersebut yang menarik perhatian orang banyak, namun, tidak denganku, Aku tidak tertarik dengan satu pun dari mereka, tetapi fotografer yang tengah berlarian kesana kemari, sangat menarik perhatianku. Orang itu bukanlah seperti yang banyak orang bayangkan, dan bukan tipeku juga yang tampan, gagah, dan keren, melainkan ia seperti kutu buku, dan orang yang pintar dalam pelajaran akademik, Aku bingung mengapa saat itu ia dapat menarik perhatianku. Ia tengah memakai kemeja kain bermotif kotak kotak saat itu, tubuhnya kurus, tidak terlalu tinggi, mungkin hanya berkisar 167cm, ia memakai kacamata kotak, dan rambutnya hitam pekat dengan jenis rambut yang seperti ijuk, hidungnya cukup mancung dan wajahnya tirus. Aku tidak berani menyapanya pada saat itu, namun disaat ia melewatiku, Aku bisa mencium bau parfumnya yang menenangkan. Aku memang tidak berharap apapun, Aku hanya mengaguminya, dan mungkin hanya sedikit berharap bahwa kami akan mengobrol atau hanya sekedar bersalaman.
***
Pada saat itu, takdir berkata hal lain, Aku baru selesai membeli segelas kopi di suatu tenda yang ada di salah satu sudut sekolah. Sesaat setelah membelinya, Aku berpapasan dengannya, pria fotografer tadi, Aku mencoba mengumpulkan keberanianku untuk menyapanya, konyolnya, dia tiba-tiba terselandung sebuah batu, dan ia menyenggol bahu kananku, dimana terletak kopi di tanganku. Aku menumpahkan kopi yang baru saja kubeli, kebanyakan kopinya menetes dan membasahi tanah, dan sebagian membasahi bajuku, kopi itu benar benar panas, bahkan terasa hingga menembus bajuku, baju ku yang tadinya putih dan bersih kini menjadi putih bercorak coklat kopi yang abstrak dan juga bau. Dia meminta maaf, dan Aku tahu bahwa dia serius, saat itu, mata kami bertemu, anehnya, rasa panas dari kopi tadi seketika hilang ditutupi oleh rasa gugup dan detak jantungku yang berdegup dengan kencang.
“Maaf, Aku ga sengaja, tadi kakiku terselandung batu itu” ucapnya sambil menendang batu.
“Oh iya, gapapa, Aku juga gapapa kok” ucapku sambil tersenyum.
“Aku beliin kamu kopi yang baru ya, sebagai tanda permintaan maaf” ucapnya sembari membalikkan tubuhnya dan menggaruk bagian belakang kepalanya, lalu berjalan ke tenda kopi tadi. Sesampainya di tenda kopi itu, Ia memesan kopi, dan anehnya Ia memesan kopi yang sama dengan yang aku beli sebelumnya. Setelah kopi itu datang, Ia mengajakku ke taman tengah di sekolahku, kami duduk di salah satu bangku kosong yang ada disana, kami duduk bersebelahan, tetapi setelah 1 menit, tidak ada satupun dai kami yang mengeluarkan sepatah katapun. Aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan,
“Ehm, Kak, terima kasih ya kopinya”.
Ia melihatku, tidak mengucapkan apapun, hanya tersenyum dan mengangguk dengan mata bersalahnya. Suasana kembali hening, Ia sibuk dengan ponselnya, dan Aku sibuk membersihkan noda kopi di bajuku, “Kamu sekolah disini?” perkataan yang sederhana namun memecah keheningan yang ada diantara kami, Aku pun mengangguk,
“Ah, ngomong ngomong kita belum kenalan, perkenalkan namaku Alexius Christo, panggil aja Alex. Aku dipanggil untuk jadi fotografer acara ini’’ ucapnya sambil menyodorkan tangannya.
“H-halo kak Alex, kenalin juga, Aku Renatha”. Keramahan dan senyumnya yang tulus membuatku semakin jatuh hati padanya, dan Aku berusaha melanjutkan percakapan itu,
“Kakak umur berapa” tanyaku dengan ramah.
“20 Tahun” ucapnya.
Saat itu Aku tidak merasa bahwa umur adalah hal yang penting, “umur hanyalah angka, jika memang ditakdirkan maka beda berapa tahun pun tidak jadi masalah” pikirku saat itu. Bodoh, namun inilah cinta, “Kakak udah punya pacar?” entah apa yang merasukiku saat melontarkan pertnyaan itu. Ia melihatku dengan heran, tetapi akhirnya tersenyum dan menjawab
“Belum”.
“Kakak punya nomor telfon? barangkali kalau Aku ada acara Aku bisa hubungin kakak” Aku pun bertanya dengan berani.
“Oh, ada kok, nih, 08xx-xxxx-xx75, langsung hubungin aja nanti” ucapnya penuh semangat dan tanpa ragu.
“Oke kak, makasih ya” ucapku dengan tersenyum lebar.
Setelah itu ia pun pergi melanjutkan tugasnya menjadi seorang fotografer, ya, memotret. Hingga acara selesai Aku hanya memikirkan betapa indah dan menyenangkan pertemuan kami. Setibanya Aku dirumah, Aku berlari ke kamar dan naik ke atas ranjang, mengambil ponselku dan bersiap untuk menghubunginya, mungkin inilah yang disebut sebagai “mabuk cinta”.
Aku menghubunginya, “Halo Kak, ini Renatha, apa pesan Aku masuk?”, Aku menunggu, entah kenapa aku sangat berharap Ia membalas pesanku, tidak sampai 30 detik ponselku bordering tanda ada pesan masuk. Ternyata pesan itu dari kak Alex,
pesan itu berkata “Oh iya halo, masuk kok, aman, kamu sudah sampai di rumah? Sekali lagi maaf ya soal kopi tadi”.
“Iya gapapa kok kak, terima kasih ya sudah beliin kopi yang baru”. Balasku
“Sama-sama, yasudah kamu istirahat aja ya, dah” begitulah pesan tersebut berakhir.
Aku cukup kecewa karena Aku mengira kami tidak akan bisa bertemu lagi, Aku benar benar merasa sedih saat itu.
BAB II
“Pertemuan Lewat Ruang Musik”
Keesokan harinya, Aku tengah berada diruang musik sendirian, Aku tidak memiliki banyak teman, jadi, waktuku banyak kuhabiskan diruang musik, memainkan piano, gitar, atau apapun yang sedang tersedia disana, namun, Aku terkejut saat seseorang tiba-tiba membuka pintu ruang musik itu, Aku mengira itu adalah guru yang akan menegurku karena telah terlambat masuk kelas karena terlalu asyik memainkan piano. Tetapi saat kulihat jam, masih menunjukkan pukul 09.27 yang berarti waktu istirahat masih tersisa 3 menit lagi, orang itu masuk, Aku benar-benar tidak menyangka, itu adalah Kak Alex, takdir kembali mempertemukan kami. Ia tidak langsung menyapaku atau sebagainya,
Ia hanya menatapku dan berkata “Renatha, ya?”
“iya, Kak Alex? Kakak ngapain disini?” tanyaku.
Dia bahkan menghiraukan pertanyaanku, “Kamu bisa main piano?” tanyanya.
Aku mengangguk, dan menjawab, “Bisa, tapi cuma sedikit, Aku masih belajar”
“Wah keren banget! Aku suka banget sama cewek yang bisa main musik” ucapnya kegirangan.
“Kakak bisa main alat musik juga?” tanyaku dengan ikut kegirangan
“Bisa, tapi Aku cuma bisa main gitar dan ga jago-jago amat juga” ucapnya.
Disaat Aku ingin melanjutkan percakapan, bel masuk berbunyi.
“Kak Alex Aku masuk ke kelas dulu ya, pulang sekolah Aku kesini lagi kok” ucapku.
“Oke, Aku tunggu disini aja ya sampe kamu pulang” ucapan yang sederhana namun membuat hatiku benar bahagia.
***
Seperti biasa, tidak ada yang istimewa di kelas hanya mendengarkan, mencatat, dan membaca, seperti hari normal lainnya, tetapi, entah kenapa Aku begitu bersemangat saat pulang sekolah, mungkin karena ada seseorang yang menunggu di ruangan kesukaanku. Aku berjalan ke ruang musik, 2 meter dari pintu ruangan musik, Aku mendengar suara gitar yang tengah dipetik, namun suaranya begitu sopan memasuki telingaku, suaranya begitu membuat hati nyaman dan tenang. Aku membuka pintu ruangan itu dan menemukan seorang laki laki culun dengan kemeja bermotif kotak kotak, berkacamata kotak tengah memainkan gitar elektrik berwarna merah dengan sangat lembut, dan entah kenapa Aku merasa dia benar-benar lelaki paling keren yang pernah Aku temui sepanjang hidupku.
Ia menyadari kehadiranku lalu menyapa, “Oh, Hai Renatha, sudah selesai sekolahnya? gimana, lancar?” ucapnya sambil menengok ke arahku.
Hatiku berdegup sangat kencang, Aku seperti tengah melihat artis yang begitu keren, seperti melihat idola.
“Sudah, lancar, Kakak daritadi disini?”
“Iya” sambil kembali memainkan gitarnya
“Kak Alex jago banget, ajarin Aku dong kak” ucapku kegirangan
“Ah bisa aja, Aku ga jago kok, tapi mungkin Aku bisa ajarin sedikit-sedikit” jawabnya dengan sedikit senyum di bibirnya.
***
Tak terasa 1 jam telah terlewati, 1 jam pun terasa seperti 10 menit saja jika berada bersama orang yang kita suka. Saat ini, Aku benar-benar berharap bahwa Kak Alex akan menyukaiku juga, Aku tidak ingin merasakan “Cinta Bertepuk Sebelah Tangan”. Aku benar-benar merasa bahagia saat bersamanya, mungkin ia tidak menarik perhatian perempuan lain, tetapi ia benar-benar menarik perhatianku. Disaat dia tersenyum, disaat dia melihatku, disaat dia berjalan, bahkan duduk, Aku merasa dia sangat keren, apapun yang dia lakukan membuat jantungku berdetak dengan sangat cepat, Aku tidak ingin berpisah darinya, tapi mau bagaimana lagi, klakson dari mobil Papa sudah memanggilku.
***
Sepulangnya Aku dari sekolah, Aku kembali berlari menuju ke kamarku dan naik ke atas ranjang, lalu mengirimkan pesan teks padanya,
“Terima kasih ya Kak, udah mau ngajarin Aku main gitar, Kak Alex jago banget ternyata”.
Tidak ada balasan darinya selama beberapa menit, tetapi Aku tetap menunggu, lalu ponselku berdering, ada pesan masuk dari Kak Alex,
Pesannya berisi, “Haha, iya, sama-sama Renatha, Aku seneng kalo bisa bantu ajarin kamu, semoga besok kita ketemu lagi ya”.
Aku benar-benar senang, pipiku memerah dan kupingu terasa agak panas, Aku sungguh sudah tidak sabar untuk bertemu lagi dengannya.
BAB III
“Aku Dikecewakan Mimpi”
Aku pergi berangkat ke sekolah seperti biasa, bersama dengan Papa, Mama, dan Adikku. Sesampainya Aku disekolah, Aku melihat sesuatu yang tidak biasa, bukan, ini bahkan luar biasa.
Kak Alex, menungguku didepan pintu gerbang sekolah, sembari
memegang sekaleng minuman teh.
“Hai Renatha” sapanya dari kejauhan. Aku pun melambaikan tanganku setinggi-tingginya agar terlihat olehnya dan perlahan berjalan menuju dirinya. Aku pun akhirnya berpapasan dengannya
Ia berkata dengan senyumnya yang sangat hangat,
“Semangat ya buat hari ini”.
Aku membalas,
“Pastinya dong kak, makasih ya kak minumannya, maaf jadi ngerepotin, kalo gitu Aku masuk dulu ya, dah kak” Aku benar-benar terburu-buru, Aku menyadari bahwa wajahku memerah, dan Aku semakin yakin sekarang, bahwa Kak Alex menyukaiku.
Saat di pintu kelas, ponselku berdering, pesan teks dari Kak Alex masuk, “Renatha, apa bisa sepulang sekolah ke ruang musik lagi?”. Aku bingung, jadi Aku hanya membalas dengan “Oke”.
Sekolah telah usai, saatnya bertemu dengan Kak Alex, seperti kemarin, 2 meter sebelum pintu ruang musik terdengar suara petikan dan permainan gitar yang begitu indah, tanpa melihatpun, Aku tau itu adalah Kak Alex, Aku membuka pintu dan duduk didekat Kak Alex duduk, Aku bertanya,
“Kenapa Kak? kok suruh Aku kesini”.
“Renatha, Aku ingin ngomong serius, kamu bersedia ga jadi pacar Aku?” ucapnya
Aku terheran-heran, Aku pikir dia bercanda, “Kakak ini bercanda aja”.
“Aku serius, tapi kalo seandainya kamu ngga mau pun gapapa” ucapnya dengan wajah memelas.
“Aku mau kok” jawabku tanpa ragu. Senyum diwajahnya kembali muncul, ia menghampiriku, memegang tanganku, berkata
“Renatha, kamu serius?” Aku mengangguk.
Disaat dia akan memelukku, Aku mendengar seseorang memanggil namaku, “Ren, Renatha”, suara yang lembut tadi perlahan mengeras dan akhirnya meledak,”RENATHA!”. Aku tau ini menyedihkan, tetapi, semua itu adalah mimpi.
Aku bangun dengan kesal, lalu berteriak kepada Mama,
“Apaan sih Ma! Aku lagi mimpi indah tadi!”. Aku tau aku salah jadi tolong jangan menghakimiku.
“Kamu ga liat jam? Kamu harus sekolah. Lebih baik sekarang kamu mandi dan siap siap sebelum Papa marah” ucap Mama dengan nada meninggi. Aku hanya bisa mengangguk dan jujur, aku masih agak kesal karena Mama membangunkanku, tetapi apa boleh buat.
***
Aku selesai mandi dan bersiap, lalu seperti biasa, naik ke mobil, berangkat bersama Mama dan Papa, serta Adikku yang masih kelas 3 SD. Di Tempat parkir sekolah, Aku melihat sekitar, berharap mimpi tadi jadi kenyataan, tapi mimpi hanyalah mimpi. Suasana hati yang buruk memang agak mengganggu kegiatan belajarku, tapi aku masih bisa mengerti semua yang para guru sampaikan.
***
Jam sekolah selesai, aku mengambil ponselku, dan tiba-tiba semua kekesalanku hari ini seperti menghilang begitu saja. Ada pesan dari Kak Alex,
“Hai Renatha, maaf ganggu, bisa ga kalo kita ngobrol di ruang musik setelah pulang sekolah?”. Aku tidak menjawabnya, tetapi Aku langsung menuju ke ruang musik, Aku berharap bahwa Kak Alex akan menyatakan perasaannya padaku. Dengan seluruh tenaga aku berlari menyusuri koridor, melewati kelas kelas, dan di teriyaki beberapa orang, “JANGAN LARI DI KORIDOR” tetapi Aku mengabaikannya.
***
Aku sampai diruang musik, Aku memang tidak mendengar apa-apa, aku sedikit takut, “Apa Aku terlambat?” tetapi Aku yakin bahwa Kak Alex sedang menungguku, Aku membuka pintu ruangan itu dan menemukan seseorang yang sangat familiar, rambut ijuk, badan kurus, wajah tirus dengan kacamata kotak, tetapi hari ini Ia memakai kemeja hitam dan aku benar-benar kaget betapa kerennya ia memakai kemeja itu.
“Hai Ren, eh Aku boleh kan manggil kamu begitu?” ucapnya dengan canggung, sangat khas Kak Alex. Aku hanya mengangguk dan duduk di seberangnya. Aku menunggu Ia berbicara. Ia membuka mulutnya, “Aku pengen minta tolong”. “Minta tolong apa Kak?” jawabku.
“Kamu Mau ga jadi model foto aku, aku lagi ada tugas kampus, dan tugasnya harus memotret orang, dan aku pengen orang yang berpenampilan menarik, karena itu aku minta bantuan kamu”.
Memang tidak sesuai ekspektasi, tapi secara langsung Ia memuji Aku cantik, Iya kan?. Aku mengangguk, “Memangnya buat kapan Kak?” tanyaku.
“Kalau sabtu ini kamu ada acara ga?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala, “sebenarnya sabtu ini aku harus menghadiri pernikahan sepupunya Papa, tapi tak apalah sekali ini saja” pikirku.
“Oke bagus, mungkin udah gitu aja, maaf ya Ren ganggu waktu ]kamu, sekali lagi makasih ya” ucapnya. Aku yang agak kecewa langsung meninggalkan ruangan itu tanpa sepatah katapun.
***
Aku turun ke tempat duduk di dekat tempat parkir, menunggu Papa menjemput. Tiba-tiba seseorang menghampiriku, kali ini sesuai harapan, Kak Alex.
“Ren? Kamu marah? Maaf ya kalo aku ganggu hari libur kamu, kalo misalnya kamu keberatan gapapa aku bakal berusaha cari orang lain kok” ucapnya memelas.
Hatiku luluh mendengar ucapannya, “Ngga kak, Aku ga keberatan, Aku bisa kok hari Sabtu” ucapku sambil tersenyum. Ia hanya tersenyum dan mengangguk lega. Beberapa detik kemudian klakson mobil Papa kembali memanggilku.”Dah Kak” ucapku sambil melambaikan tangan pada Kak Alex. Di dalam mobil, Papa bertanya, “Ren? Itu siapa?” Aku agak kaget, tetapi Aku berusaha tenang,
“Itu Kak Alex, fotografer yang ada di acara sekolah kemarin itu, Pa”
“Oooh, memangnya ada apa, kok kamu bareng dia?” Tanya Papa dengan nada curiga.
“Dia minta aku jadi model buat fotonya, Pa. Boleh Ga?” jawabku.
“Yasudah, boleh kok. Hari apa? Biar Papa anter kamu” ucapnya dengan tenang, tanpa curiga lagi.
“Hari Sabtu” jawabku.
“Hari sabtu kan ada pernikahannya Om Deny. Papa gabisa anterin, papa harus datang di acaranya” ucap Papa.
“Yaudah Pa, gapapa kok, Aku bisa naik ojek online” Ucapku.
“Yasudah” begitulah percakapan itu berakhir.
Aku cukup senang diizinkan Papa untuk bertemu Kak Alex, meskipun dalam konteks membantu tugasnya, tetapi itu cukup buatku.
BAB IV
“Hari dimana Hal buruk dimulai”
Hari ini hari sabtu, dimana aku akan bertemu dengan pujaan hatiku, Kak Alex. Tentu aku sudah bersiap, aku sudah berdandan secantik mungkin, dan aku memakai baju yang bagus agar terlihat cantik nanti. Papa, Mama, dan Adikku sudah berangkat ke pernikahan Om Deny, hanya aku sendirian dirumah, jujur Aku sedikit merasa takut. Aku buru-buru pergi ke tempat yang sudah ditentukan oleh Kak Alex, dan pergi dengan ojol. Sampai disana, aku melihat dirinya, dengan pakaian yang biasa aku lihat, kemeja motif kotak-kotak. Ia melambaikan tangannya dan berlali menghampiriku.
“Makasih ya Ren, sudah mau datang, Ayo kita langsung foto, setelah itu kita bisa jalan-jalan, nanti aku traktir deh” ucapnya dengan nada gembira.
Ia menarik tanganku ke salah satu sudut Taman, dimana banyak bunga yang berwarna-warni, patung air mancur kecil, dan kolam ikan, sangat cocok untuk berfoto.
***
Waktu berlalu, pemotretan selesai, ia menghampiriku, tiba-tiba ia mengelus kepalaku,
“Makasih ya ren, sudah datang, pasti aku dapat nilai bagus, soalnya modelnya cantik” ucapnya sembari tersenyum ke arahku.
Kami berjalan-jalan di sekitar tempat itu, anehnya, kami seperti orang pacaran, bergandengan tangan kesana kemari. Mungkin sebuah kedai kopi menarik perhatiannya, ia membawaku ke tempat itu, aku hanya menurutinya. Kami memesan 1 cangkir Americano dan 1 cangkir Capuccino, lalu duduk di dekat jendela. Beberapa menit berlalu, ia sibuk melihat kameranya, aku baru sadar, Ia melihat foto-foto tadi sambil tersenyum.
“Kak, kok senyum senyum sendiri?” tanyaku heran
“Eh, maaf, soalnya kamu cantik banget disini” ucapnya sambil sedikit tertawa,
“Aku mau liat dong” ucapku.
Kami melihat foto-foto tadi, lalu mengobrol, hingga saat yang ditunggu. Suasana menjadi hening, mata kami bertemu, Kak Alex membuka mulutnya, Ia hendak mengatakan sesuatu.
“Rennatha, aku mau ngomong sesuatu. Aku tau kita kenal belum lama, mungkin hanya beberapa minggu, Aku tau umur kita sangat berbeda jauh, tapi Aku merasa bahwa saat sama kamu, Hati Aku seneng banget. Aku Cuma pengen nanya, Kamu mau ga jadi pacar Aku? Kalo misal kamu belum siap atau ap-“.
“Aku mau” ucapku tanpa ragu.
“Eh? Kamu serius?” Ia terkejut dan memegang kedua tanganku.
“Iya, bukan cuma Kak Alex yang merasa gitu, Aku juga ngerasain, saat sama Kakak, aku seneng banget, Aku ga pengen berpisah, dan Aku juga udah siap” jelasku.
Begitulah kisah awal dari hubunganku dengan pria yang berbeda 7 tahun dariku, dan juga awal dari semua hal buruk yang akan kualami.
BAB V
“Hal Buruk Dimulai”
Awal hubunganku sangat baik, kami saling menyayangi, kami saling peduli dan saling memperhatikan. Ia seringkali menjemputku untuk pergi ke kafe atau di taman, seperti orang pacaran umumnya, memang bukan suatu hal yang spesial. Dan ini lucunya, setiap orang pasti pernah berharap bukan? Jujur, Aku mengira Ia akan mengendarai motor yang keren seperti Ninja atau Motor-motor gede lainnya, tapi yah, sudah kubilang, jangan berharap terlalu tinggi. Ia datang dengan motor bebek jadulnya yang terkadang mogok, haha, mengenaskan, namun entah kenapa terasa begitu menggmaskan dan menyenangkan pada saat itu.
***
Suatu waktu, Papa dan Mama melihat Aku pulang bersamanya. Mereka memanggilku ke ruang makan.
“Ren tadi pulang sama siapa?” Tanya Mama.
“Bukannya itu Alex, fotografer yang dulu kamu ceritain itu?” Ucap Papa.
Tanganku berkeringat, jantungku berdegup kencang, Aku tau bahwa Aku belum diizinkan untuk berpacaran.
“Iya Pa, itu Kak Alex” ucapku mencoba terlihat tenang.
“Kamu pacaran sama dia ya?” ucap Mama dengan spontan.
Aku merasa terpojok, Aku tau Mama akan marah kalau aku menjawab Iya.
“Ngga kok Ma, itu cuma temen Aku, Aku anggap Dia sebagai Kakak doang” Aku berbohong.
“Memangnya dia umur berapa?” tanya Mama.
“20” ucapku.
“Gila ya! Pacaran sama orang yang beda 7 tahun sama kamu” bentak Mama.
“Kan Renatha ga pacaran ma, Aku cuma anggap dia sebagai Kakak Aku” ucapku.
“Oh jadi kalo sama Kakak tuh foto berdua sambil rangkulan ya?” ucap Mama dengan ketus
“Mama ini ngomong apa ma? Aku aja gapernah foto sama Kak Alex” Aku berbohong lagi.
Mama diam, masuk ke kamarnya. Aku mempunyai firasat yang sangat buruk. Benar saja, Ia keluar dengan membawa sebuah kertas, dan menunjukannya padaku,
“Katanya gapernah foto? Ini buktinya ada, sambil rangkulan pula” ucap Mama.
Aku tidak bisa mengelak lagi, Aku hanya tertunduk diam, tetapi aku terkejut, Papa membelaku.
“Ma, sudahlah, Renatha masih muda, dia cuma penasaran bagaimana rasanya pacaran” ucap Papa.
“Tapi Pa, gimana kalo cowoknya ga baik buat Renatha, gimana kalau akhirnya Renatha jadi sakit hati?” ucap Mama.
“Mama, jatuh cinta, sakit hati itu wajar, dan emang Renatha harus belajar sendiri, biarin aja, Mama juga pasti dulu pernah jatuh cinta dan ngerasain sakit hati kan? Makannya sudah, kasian Renatha, kita gaboleh bikin dia kepikiran” jelas Papa dengan nada lembut.
“Yasudah iya Pa. Renatha, Mama bolehin kamu pacaran sama Alex, tapi bukan berarti Mama suka sama dia, apalagi bedanya 7 tahun” ucap mama sambil masuk ke kamarnya.
Hanya tinggal Aku dan Papa diruangan itu. Aku heran kenapa Papa membelaku. Ia membuka suara,
“Ren, sudah jangan dipikirin, Mama ngga marah sama kamu,
Mama cuma takut kamu sakit hati kalo nanti putus, Mama sayang kok sama kamu. Mungkin dia juga kaget karena beda usia kamu dan pacar kamu itu jauh banget. Mama juga mungkin gabisa terima pacar kamu secepat itu. Sudah, gapapa, jangan dijadiin pikiran. Sekarang kamu masuk ke kamar dan istirahat, nanti Papa yang ngomong lagi ke Mama” ucap Papa dengan lembut sambil mengelus kepalaku dan mengecup keningku.
Beberapa minggu berlalu, hal aneh terjadi, Kak Alex seperti berubah, dari orang yang pengertian menjadi cemburuan. Seakan Ia bukan orang yang sama lagi. Aku menghubunginya lewat pesan teks,
“Kak, Aku mau pergi ya sama temen-temen Aku, mau nonton” ucapku.
Biasanya ia akan menjawab, “Oh yasudah hati-hati”, namun tidak kali ini.
“Sama siapa aja?” tanyanya.
“Sama Bryan, Felice, Cesil, Shereen, dan Jovan. Boleh kan?”
Tanyaku.
“Gaboleh! Ada cowonya kan?! Pokoknya mulai sekarang
Kamu gaboleh jalan sama cowo lain selain Aku” balasnya.
“Loh? Kenapa?” tanyaku heran.
“Kamu ga ngehargain Aku sebagai pacar kamu?” balasnya ketus.
“Kemarin aku biasa aja saat kamu pergi sama temen cewek kamu, kamu boleh kenapa aku nggak?” Aku sedikit kesal.
“Loh kok jadi bahas yang kemarin? Sudahlah! Pokoknya kalo Aku bilang gaboleh ya gaboleh” balasnya.
***
Setelah itu, Kak Alex berubah, Ia cuek, Ia selalu sibuk dengan kegiatan yang tidak pernah Ia kerjakan sebelumnya, Aku memang tidak berpikiran buruk tentangnya, apalagi soal selingkuh. Aku tidak berpikir sejauh itu. Aku selalu berpikir bahwa mungkin Ia sibuk, karena Ia jarang membalas pesanku. Setiap hari, kami hanya memiliki waktu saat malam saja, jika dihitung, mungkin hanya 30 menit sehari.
***
2 Bulan telah berlalu, Aku masih berpacaran dengan Kak Alex, dan aku sedikit menyesal terlalu buru-buru pacaran, seharusnya Aku bertanya dahulu kepada Mama. Aku baru menyadari beberapa sifat dari dirinya yang tidak kusuka. Pertama, Ia posesif, ia tidak mengizinkanku pergi bersama laki-laki selain dirinya, Papa, dan Adikku. Kedua, Ia cemburuan, bahkan hanya mengobrol dengan lawan jenis, Ia selalu marah padaku. Ia egois, tidak pernah memikirkan perasaanku. Sejujurnya, aku masih sangat bahagia karena bisa berpacaran dengan dirinya. Seringkali, kami juga bermain musik atau mendengarkan musik bersama. Aku selalu mencoba untuk bersabar dan mengerti dirinya, sejujurnya, Mama masih tidak merestui kami. Tapi, Aku selalu berdoa agar Tuhan tidak memisahkan kami.
BAB VI
“Aku Sudah Muak”
6 bulan kemudian, hubungan kami sedang rentan untuk putus, Aku mulai muak dengan sikapnya yang egois, cemburuan, tak punya etika, dan semena-mena. Ia seringkali mengaturku, bagaikan Aku ini bonekanya dan hidup hanya untuk dirinya, Aku tidak boleh mengobrol dengan lawan jenis, atau bahkan keluar rumah tanpa dirinya, padahal Dia sendiri selalu pergi keluar dengan teman-temannya yang kebanyakan wanita. Ia juga seperti tak menghargai orang tuaku, menyapa pun tak pernah. Aku mulai lelah. Sekedar pengingat, Aku bukanlah dari keluarga kaya, atau berkelebihan. Aku terlahir di keluarga yang ekonominya menengah, tidak kelebihan, bahkan terkadang kurang. Suatu ketika, Aku sakit, Ia menyuruhku untuk pergi ke dokter, namun, disaat itu ekonomi keluargaku sedang buruk, Aku menjelaskan hal ini padanya, namun jawaban yang Ia berikan betul-betul membuatku semakin muak.
“Makannya, kamu tuh gausah sok kaya, sok banyak duit, nah liat kan sekarang, sakit, gapunya uang buat berobat. Punya uang tuh bukan buat dipakein beli baju, beli lah makanan biar ga kurus-kurus amat” ucapnya ketus.
“Keluarga Aku kesulitan ekonomi bukan karena beli barang mewah setiap saat, tapi Mama dan Papa harus membayar uang sekolah Aku dan Adikku, yang jumlahnya ga sedikit, belum lagi cicilan mobil, dan kebutuhan sehari-hari, lagian pacar kamu sedang kesulitan ekonomi, bisa-bisanya kamu ngomong begitu. Dimana sih hati nurani kamu itu?” ucapku marah.
“Sudahlah, aku capek, lebih baik Aku nongkrong sama temen-temen Aku, Dah” ucapnya.
Aku sudah betul-betul, muak. Bodohnya, Aku tetap bertahan dengannya, meski begitu, Aku berdoa, bahwa jika Ia bukanlah laki-laki yang baik untukku, biarlah Tuhan memberi Aku kekuatan untuk mengakhiri hubungan kami
***
Sudah beberapa minggu kami tidak bertemu, namun aneh, aku tidak merasakan sedih atau apapun, aku malah cukup senang tidak bertemu dengan pria yang tak punya etika itu. Aku sudah benar benar lelah, bahkan tidak kuat jika harus melanjutkan hubungan ini. Aku ingin mengakhiri hubungan ini sekarang, tetapi aneh, Aku seperti merasa takut kehilangan, aku bergumul dengan diriku sendiri.
***
Sebuah suara memanggil namaku, itu bukan Mama, itu suara laki-laki, tetapi itu juga bukan suara Papa, suaranya menenangkan, membuat damai. Ia berkata bahwa aku harus segera mengakhiri hubungan dengan Alex, Aku benar-benar bingung, namun semenjak suara itu berbicara kepadaku, Aku seakan merasa dikuatkan, Aku seakan merasa tidak ragu untuk melakukan apapun, mungkin itu adalah suara-Nya, suara Tuhan.
***
Aku menghubunginya lewat pesan teks, Aku tidak panjang lebar, hanya berkata, “Kak, makasih untuk beberapa bulan ini, tapi sepertinya hubungan kita harus diakhirin disini, kamu mungkin bisa cari pacar yang lebih cocok untuk kamu dibandingkan Aku. Sekian, Terima kasih” begitulah pesanku. Aneh, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Dia memang belum membalas pesanku, membacanya saja belum, namun, Aku hanya merasa lega, seperti terbebas dari suatu rantai yang membelengguku.
BAB VII
“Sialnya, Aku jatuh cinta, lagi”
Aku mem-posting sebuah foto bersama dengan sepupu-ku di Story instagram-ku, tiba-tiba ada pesan yang masuk. Seseorang mengirim pesan padaku lewat instagram juga. Aku mengira ia cowok playboy yang iseng mengirimkan pesan padaku. Dia mengirim pesan seperti ini.
“Hai cantik, boleh kenalan ga?” ucapnya.
“Hai juga, boleh” balasku.
“Sebenernya gue udah tau lo sih, Lo Renatha Agatha kan? kenalin, Nama gue Ken Devano, panggil aja gue Ken” ucapnya.
“Loh kok Lo bisa kenal gue?” tanyaku heran.
“Oh lo gatau? gue temennya Elyn, dia sepupu lo kan?” ucapnya.
“Iya, dia sepupu gue, sebelum itu jawab pertanyaan gue, kenapa bisa kenal gue?” tanyaku lagi.
“Elyn cerita ke gue, kalo dia punya sepupu, cantik, tapi sayangnya lagi patah hati karena putus sama pacarnya” ucapnya.
Aku terdiam, tidak bisa berkata apapun, bahkan merespon. “Kenapa ya, Elyn cerita ke orang lain tentang Aku” benakku. Aku berusaha berhenti memikirkan itu, mungkin Elyn tidak salah, mungkin Ia hanya iseng bercerita. Aku membuka akun Instagram-nya, ternyata Ia seorang gitaris dari Band sekolah favoritku, pantas saja namanya tak asing bagiku. Entah kenapa, aku tersenyum melihat unggahan video permainan gitarnya. “Dia lebih jago dari Kak Alex” benakku.
***
Waktu demi waktu berlalu, aku tak merasa bosan menonton unggahan video permainan gitarnya, seakan membuat telingaku berada di puncak bukit yang indah. Meski begitu, Aku tidak suka cowok playboy. Aku memang tidak mengenalnya sih, tapi entah kenapa wajahnya menunjukan bahwa Ia playboy, mungkin tidak seharusnya aku menilai karakter orang hanya dari wajahnya. Aku memperhatikan foto-foto yang dia unggah, memang Ia tidak tampan, namun menarik. Wajahnya agak bulat dengan kumis tipis diatas bibirnya yang tebal, rambutnya panjang dan jatuh, tapi tetap keren, postur tubuhnya tidak tinggi, namun bahunya bidang, menimbulkan kesan gagah, kulitnya hitam manis.
***
Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, Aku tidak ingin terburu-buru dalam mencari pacar, karena Aku tidak ingin disakiti terus-terusan, dan umurku juga sepertinya masih panjang. Aku juga masih belum membalas pesannya, dan sepertinya juga Aku tidak tertarik padanya. Aku mungkin akan menunggu orang yang dikirim Tuhan saja. Aku berdoa, bahwa Tuhan mengirimkan pasangan yang baik, setia, dan yang cinta Tuhan. Permintaanku tidak sulit bukan? Memang sih, terdengar sederhana, tapi tidak semudah itu untuk mendapatkan pasangan sesuai dengan yang kita ingin, namun, apa salahnya berharap.
***
Aku bosan dirumah, semenjak putus dari Kak Alex, Aku hanya berdiam diri dirumah, mungkin sekarang Aku sudah membusuk dan jamuran karena tak ada yang mengajakku jalan-jalan. “Aku memang harus move on” itulah yang ada di benakku saat ini. Tiba-tiba ponselku berdering, Elyn menelponku, dan mengajakku jalan-jalan, memang Tuhan maha tahu.
“Ren, jalan yuk, bosen nih. Kita ke Mall X yuk, ntar gue jemput” ucapnya di telpon.
“Yuk, gue siap-siap dulu ya” ucapku lalu mematikan telpon.
***
Sampailah Aku dan Elyn di Mall X, sebenarnya tidak ada yang spesial dari mall itu, tapi dibanding ke kafe atau taman sepertinya Mall X jauh lebih baik. Kami berjalan-jalan ke banyak tempat, seperti toko buku, toko minuman, hingga toko produk kecantikan. Kakiku pegal, nafasku juga mulai pendek. Aku mengaja Elyn mencari tempat duduk. Belum sampai 5 menit, ponsel Elyn berbunyi, ada pesan masuk, Ia melihatnya lalu terkejut.
“Ren, gue harus pergi sekarang, sorry banget ya, tapi lo harus pulang naik ojol dulu, nanti gue ganti deh ongkosnya” ucapnya panik.
“Emang ada apaan? tenang dulu” ucapku.
“Ini Ren, temen gue masuk rumah sakit, Dia kecelakaan” ucapnya semakin panik.
“Yaudah pergi aja Lyn, gue nanti naik ojol aja, lo gausah negbut, nyetir yang bener, gausah panik” ucapku mencoba menenangkannya.
“Iya Ren, sorry banget ya” ucapnya lalu lari ke tempat parkir.
***
Aku belum ingin pulang, Aku ingin menikmati berjalan-jalan sendirian, barangkali bisa menenangkan pikiran. Aku berjalan ke toko buku, mungkin saja aku bisa menemukan buku yang bagus, seperti “Cara Dapat Pacar Baik”, yah tidak mungkin ada sih. Aku berjalan tanpa tujuan, tanpa sadar Aku menabrak seorang pria, semua buku yang ia pegang jatuh ke lantai, aku secepat mungkin membantunya dan dengan secepat mungkin meninggalkan pria itu. Tiba-tiba sebuah suara memanggil namaku, suara pria.
“Renatha! Lo Renatha kan?” pria itu berteriak dan membuat seisi toko buku menengok.
Aku membalikkan badan dan melihat ke arahnya. Aku tidak merasakan takut atau apapun, hanya merasa aneh saja seseorang yang tidak kukenal meneriakkan namaku. Sesuai perkiraan kalian, itu adalah Ken, ya, Ken Devano. Ia tersenyum ke arahku dan berlari kecil menghampiriku. Senyumnya entah kenapa terasa hangat, senyumnya juga sangat manis. Beberapa detik kemudian, kami sudah berhadapan.
“Hai Renatha, gue Ken, tau kan?” tanyanya
“Iya, tau” ucapku.
“Lo lebih cantik di aslinya ternyata” ucapnya sambil tertawa.
“Makasih, lo juga” ucapku malu.
“Gue kan cowo, masa cantik sih? Hahah, loh, kok muka lo merah? Lo lagi gaenak badan ya?” ucapnya.
Aku tidak menjawabnya, aku yakin dia tau, hanya berpura-pura tidak tahu. Aku lalu memalingkan badan dan pergi keluar dari toko buku, duduk lagi, dan merasa bosan lagi. Tiba-tiba seseorang menghampiriku dan duduk disebelahku. Ya, itu Ken.
“Kok Lo lagi sih?” ucapku dengan ketus
“Emang gaboleh ya, kalo duduk disebelah cewe cantik?” godanya.
“Apaansih lo? Gajelas” ucapku ketus
“Mulut lo bilang gajelas tapi muka lo merah lagi tuh” ucapnya sambil tertawa.
“Berisik” ucapku.
“Lo kok sendirian aja? Gapunya pacar?” tanyanya dengan senyum kecil
“Lo, Berisik, B E R I S I K” ucapku sambil berjalan pergi.
“Renatha, gua masih pengen ngobrol, sini deh gue trakktir minuman” ucapnya.
“Gausah. Kalo mau ayam aja” ucapku sambil berbalik ke arahnya.
“Yaudah ayam, lo lucu ya, kaya anak kecil, gampang dibujuk, awas nanti diculik” ucapnya.
***
Aku tak punya pikiran untuk berpacaran dengannya, namun entah kenapa aku merasa orang ini menyenangkan, sebelum makan, ia menyuruhku untuk berdoa, padahal Aku sudah pasti berdoa sebelum makan. Ia memulai pembicaraan,
“Ren, gue boleh minta nomor lo?” tanyanya.
“Dih, ogah, mau ngapain lo?” ucapku ketus.
“Gue bisa jadi temen ngobrol lo kok, gue tau lo gapunya banyak temen, lo juga cuma cerita apa-apa ke Elyn kan?” ucapnya
“Rese lo, awas aja lo sebarin nomor gue” ucapku kesal.
“Ngga akan. Janji” ucapnya sambil memberi jari kelingkingnya.
“Gausah. Kaya bocah. Nih, nomornya, 08xx-xxxx-57xx” ucapku.
“Sip” ucapnya sambil mengacungkan kedua jempol.
***
Setelah memberinya nomorku, Ia tersenyum kepadaku, dan tiba-tiba Ia melakukan hal yang tak terduga, yang bahkan tak pernah dilakukan Kak Alex, Ia mengusap bibirku.
“Apaan sih lo! Gasopan!” ucapku kesal
“Sorry, tadi ada nasi di bibir lo, gue gatau lo bakal marah” ucapnya memelas.
“Yaudah, makasih” ucapku.
Entah kenapa, aku tiba-tiba merasa aneh, jantungku berdegup kencang, pipi dan telingaku terasa hangat. Aku mengingat perasaan ini, rasanya sama seperti saat Aku bersama dengan Kak Alex. “Apa ini rasa suka?” Yaampun Aku lelah, Aku tidak ingin mempunyai pacar saat ini, Aku ingin menikmati hidup, namun sialnya, Aku jatuh cinta, lagi.
BAB VIII
“Sepertinya Ia orang baik”
Kalian pasti mengira Ia mengantarkanku pulang kan? tentu saja tidak, Aku tetap teguh pada pendirianku, Aku akan pulang naik ojol kesayanganku. Dia memang menawarkanku untuk pulang bersamanya saja, tentu saja Aku menolak. Hey, Aku baru mengenalnya selama 2 jam, bahkan mungkin tidak sampai 2 jam. Namun, bagaimana Aku bisa semudah itu jatuh cinta, padahal Aku baru pertama kali bertemu dengannya. Aku memang bodoh.
***
Sesampainya Aku dirumah, ponselku berdering, berbeda dengan Kak Alex, kali ini, aku yang mendapatkan pesan duluan.
“Hai Ren, Ini Ken, lo udah sampe rumah?” tanyanya.
“Udah, ngapain nanya?” balasku ketus.
“Gua Cuma takut lo diculik aja” balasnya.
“Udah deh, gue mau tidur” ucapku.
“Goodnight princess” ucapnya.
“Dih, apaansih, alay” balasku.
Dia memang aneh, tapi kenapa ya, Dia selalu mecoba memulai pembicaraan, padahal tahu Aku akan meresponnya dengan ketus. Aku juga aneh, Aku merasa seperti bahagia saat dia bilang “goodnight princess”, padahal itu aneh, bahkan menggelikan. Aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Aku berusaha untuk tidur saja.
***
Hari ini hari minggu, hari dimana Aku tidak harus memikirkan apapun atau siapapun. Hari dimana aku seperti terbebas dari segala beban. Ponselku tiba-tiba berbunyi, seperti yang kalian duga lagi, itu Ken. Ia mengajakku pergi berjalan-jalan ke Mall Z, jujur, Aku memang butuh jalan-jalan. Aku bersiap dan meunggu ia menjemput. Kali ini, Aku tidak ingin Mama atau Papa tau. Aku sudah memegang helmku, tak disangka bukan motor bebek yang datang, melainkan, mobil sedan yang Aku tau harganya cukup mahal, dan didalamnya ada orang itu, Ken.
***
Kami sampai di Mall Z, jika dibandingkan dengan Mall X kemarin, Mall Z jauh lebih besar dan punya lebih banyak tempat untuk dikunjungi. Ia mengajakku mampir di sebuah restoran sushi untuk makan siang. Selain ayam, Aku juga suka sushi. Aku tidak memberi tahunya, namun entah kenapa seakan Ia tau tempat yang Aku sukai. Anehnya, Dia juga memperlakukanku seperti orang spesial, menarik kursi untukku, membersihkan alat makanku, bahkan Ia mengikat tali sepatuku. Semua wanita pasti suka jika diperlakukan seperti itu. Setelah kami selesai makan, Ia mengajakku ke sebuah toko yang menjual barang-barang perempuan, dan membelikanku sebuah boneka beruang yang berukuran cukup besar.
“”Nih ren, buat kamu” ucapnya.
“Kamu? Tumben sopan lo” balasku.
“Emangnya gaboleh ngomong Aku dan Kamu?” ucapnya.
“Terserah. Ngapain beliin boneka? Gue ga lagi ulang tahun” ucapku ketus.
“Ya gapapa, pengen beliin aja. Kamu gasuka boneka ya?” tanyanya memelas.
Meskipun hatiku berbunga-bunga, mulutku tetap berkata,
“Biasa aja sih”
“Yah, udah dibeli, gabisa dibalikin lagi” ucapnya sedih.
“Yaudah deh gua terima” ucapku sambil mengambil boneka itu dari tangannya.
“Maaf ya, Aku gatau kamu gasuka boneka. Oh iya ren, udah sore, mau pulang? Aku anterin” ucapnya.
“Yaudah” ucapku.
Jujur, hari ini menyenangkan, bahkan sangat menyenangkan, entah kenapa perlahan-lahan Aku menjadi semakin nyaman, bahkan sangat nyaman berada di dekatnya, Aku juga selalu merasa aman.
***
Tiba-tiba Ia menginjak rem dan berhenti di depan sebuah kafe. Ia lalu bertanya.
“Ren, suka kopi?” tanyanya
Aku mengangguk, namun, Aku juga merasa kebingungan, bagaimana seseorang yang baru mengenalku bisa tau apa saja yang Aku sukai. Kami turun dari mobil dan memesan kopi, lalu duduk. Diluar hujan, entah kenapa Aku mengenali suasana ini. Ia membuka mulutnya, membuka obrolan.
“Ren, minggu depan nonton yuk?” tanyanya.
“Hm? Nonton? Gue gapunya duit” ucapku.
“Gapapa, Aku yang bayar, kan Aku yang ngajak” ucapnya.
“Gausah, Aku gaenak” ucapku.
“Kok sekarang ngomongnya Aku? Tadi ngomongnya Gue” ucapnya.
“Gaboleh? Yaudah” ucapku kesal.
“Boleh kok, boleh banget, tiap hari aja kalo bisa” ucapnya girang.
“Yaudah kalo kamu mau gitu” ucapku.
“Jadi nonton?” tanyanya lagi.
“Boleh” ucapku.
Entah bagaimana, Aku, kembali luluh dengan orang yang baru kukenal. Aku tak tau apa ini akan menjadikanku bahagia, atau malah membuatku terlihat lebih bodoh dari keledai karena jatuh ke lubang yang sama 2 kali.
BAB IX
“Ini awal kisah terburuk”
Hari yang ditunggu pun tiba, hari dimana Aku bertemu dengannya lagi, entah mengapa, Aku sangat senang, bahkan Mama Papa bertanya kenapa Aku begitu bersemangat, tapi mereka tak boleh tahu soal Ken. Aku memakai baju terbaikku dan merias wajahku secantik mungkin, tak terasa sudah jam 11 siang, Aku keluar rumah dan disana yang menungguku adalah pria hitam manis berkumis tipis yang sangat gagah.
***
Didalam mobil kami berbincang, entah kenapa Aku merasa agak cerewet hari ini. Terkadang Aku yang memulai pembicaraan, seperti, “Kita Mau nonton Apa?”, “Boleh nonton film ini aja ga?”, “Nanti beli popcorn ya?”, dan Dia selalu merespon dengan hangat, terkadang sambil mengelus rambutku atau mencubit hidungku, membuatku jatuh hati, yang dalam, bahkan sangat dalam. Aku seperti merasa tidak perlu takut, dan bahkan Aku bisa bersikap seperti anak kecil. Ia mengingatkanku pada Papa. Dia juga selalu memujiku. Mungkin saat membaca ini, kalian merasa aneh, karena kami baru kenal beberapa minggu, ya aku tau ini aneh, tapi sudahlah, nikmati saja ceritanya.
***
Kami sampai di bioskop, seperti yang Aku inginkan, film romansa, dengan popcorn dan segelas minuman soda, dan tentunya yang terpenting, dengan Ken. Kami masuk ke dalam ruang teaternya, film yang kami tonton berjudul “When The Rainbow Dies”. Tentu kalian mengenal judul ini, karena itulah judul novel ini. Film itu bercerita tentang Pria yang kehilangan sosok pelanginya, sosok yang mewarnai hari-harinya. Film itu sangat bagus, sinematografinya, komposisinya, bahkan pewarnaannya. Kenapa aku jadi seperti kritikus film, sih? Ya, intinya film ini sangat bagus.
***
Kami selesai menonton, kami keluar bioskop dan pergi ke restoran yang bisa dibilang cukup mewah. Itu adalah restoran seafood ternama, dan terkenal akan keramahan pelayannya, kenyamanan tempatnya dan juga harganya yang mahal. Ken memesan Ikan tim dan Aku memesan udang berbumbu spesial, karena hanya udanglah seafood yang bisa kumakan. Yah yang kami pesan tidak terlalu penting. Suasana restoran ini begitu romantis, tiba-tiba salah satu pelayan membawakan kami lilin, sesaat setelah Ia pergi, Ken hanya melihatku dan tersenyum. Aku bingung.
“Ini ada acara apa?” ucapku.
”Ga ada apa-apa, biar berkesan buat kamu” sambil tersenyum.
“Oh yaudah” ucapku.
***
Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, memang Ken tidak melakukan apapun, melihatku pun tidak. Tapi entah kenapa, sebuah kata-kata terucap dari mulutku.
“Ken, Aku mau ngomong” ucapku.
“Hah? Mau ngomong apa?” balasnya.
Aku kaget dengan diriku sendiri. Ucapanku terlontar begitu saja. Sepertinya mau tidak mau aku harus mengatakannya.
Aku menarik nafasku dalam dalam untuk menyiapkan diri.
“Aku suka Kamu” ucapku.
Dia tersenyum tipis. Aku merasa sangat malu, Aku ingin Tuhan mengangkatku sekarang juga.
“Aku juga kok, ren” ucapnya sambil memegang tanganku.
“Beneran?” tanyaku.
Ia mengangguk. Jujur Aku kaget, namun Aku juga merasa lega karena Cintaku Tak bertepuk sebelah tangan.
“Kamu mau jadi pacar aku ren?” ucapnya serius.
“Aku mau” ucapku sambil mengangguk.
***
Hari demi hari, waktu demi waktu kami makin menyayangi satu sama lain, Ia selalu memperlakukanku bak Ratu. Ia hampir selalu membelikan dan memberikan apapun yang Aku mau, meskipun Aku sebenarnya cuma iseng. Tak seperti Kak Alex, Ken orang yang konsisten, Ia baik, Ia menyayangiku dan menjagaku. Hingga pada suatu saat, Ia melakukan sesuatu yang mengubah hidupku selamanya.
BAB X
“Titik Terburuk”
Hari ini Aku senang, mungkin beberapa dari kalian sudah muak mendengar kata-kata “Aku senang”, bagaimana Aku tahu? Karena Aku juga muak dengan kesenangan yang sementara ini. Ken mengajakku jalan-jalan. Seperti biasa, Ia menunggu didepan dengan gagahnya, dan Sedannya yang keren. Kami lalu pergi ke Mall S bersama.
***
Sesampainya disana, entah kenapa Ia hanya membelikanku corn dog, dan 1 gelas minuman coklat. Aku tidak berpikiran buruk, mungkin dia hanya sedang berhemat untuk membelikanku hadiah. Kami hanya berjalan-jalan sebentar, tidak membeli apapun. Aku bosan, Aku ingin pulang, tapi Aku juga ingin bersamanya.
“Ken, ayo kita ke mobil aja, Aku pegel” ucapku.
“Yaudah” ucapnya.
”Jangan langsung pulang dulu, Aku mau abisin makanan dulu” ucapku.
Kami masuk kedalam mobil, Ia tiba-tiba menanyaiku hal yang sangat aneh.
“Ren, pernah ciuman?” ucapnya dengan enteng.
“Ngga, Kenapa? Kok tiba-tiba nanya gituan” ucapku heran.
“Pengen tau rasanya ciuman?” tanyany.
“Ngga, pengennya pas nik-“ ucapanku dipotong oleh lengannya yang menarik leherku, bibir kami bertemu,
membuatku panik, dan mencoba melepaskan diri, Ia mengunci pintu dan jendela, teriak saja tak bisa, apalagi kabur. Aku mendorongnya, Ia terdorong mundur. Ia lalu menyalakan mobil itu dan keluar dari tempat parkir, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku kesal, benar-benar kesal.
“Maksud kamu apa!” bentakku.
Ia hanya menggelengkan kepalanya, Amarahku semakin memuncak.
“Turunin aku, Aku naik ojol aja” ucapku.
“Ngga” ucapnya.
Aku mulai meragukan apa dia sungguh-sungguh saying atau hanya menginginkan tubuhkku.
***
Aku sampai dirumah, Aku membanting pintu mobilnya dan lari masuk kedalam rumah. Aku mencoba tidur dan berusaha melupakan hal yang tadi. Aku benar-benar marah, namun entah kenapa, Aku tetap menyayanginya. Ia mengirim pesan.
“Ren, maaf, aku sedang ada masalah keluarga, maaf kamu jadi kena imbasnya”.
“Yasudah, gapapa” entah kenapa amarahku hilang begitu saja.
***
Keesokan harinya, Ia mengajakku pergi lagi, kali ini tidak ke mall, tapi ke rumah temannya. Jujur aku tidak sesenang biasanya, mungkin karena kejadian kemarin. Ia berkata bahwa kami hanya akan bermain kartu atau sekedar mengobrol saja. Aku menyetujuinya, aku bersiap, dan seperti biasa, Ia menungguku dimobilnya. Kami berangkat menuju rumah temannya itu dan di sepanjang perjalanan tidak ada yang mengucapkan sebuah kata pun.
***
Kami tiba dirumah temannya, ternyata rumah itu juga adalah studio musik dan toko alat musik, dan cukup besar, bahkan sangat besar. Aku menunggu bersama Ken di ruang tamu, Aku kira kami menunggu temannya, tapi ternyata tidak. Temannya tak kunjung muncul, Ia hanya mengurung diri di kamarnya. Semakin lama, Ken semakin mendekatiku, bahkan merangkulku, memang wajar, namun entah kenapa kali ini terasa berbeda, Aku merasa gelisah.
“Ken, kita nonton aja yuk” ucapku mengalihkan.
“Gamau nonton” ucapnya sambil mematikan tv.
“Main kartu?” ucapku.
“Ga” balasnya.
“Terus kita mau ngapain disini, temen kamu juga mana kok ga turun-turun” nadaku meninggi.
Ia tak merespon, Ia lalu melihatku dengan tatapan yang aneh. Kalian tau saat predator memperhatikan mangsanya? Ya begitulah tatapannya saat itu, liar. Tiba-tiba Ia mendorongku, aku terdorong dan terlentang, Aku tak bisa bergerak, Ia menekan kedua bahuku. Perlahan-lahan Ia membuka kancing bajuku. Tentu saja aku melawan, Aku bukan perempuan murahan yang akan meladeni hal semacam itu, bahkan dibayar sekalipun. Aku memberontak, namun tentu saja Ia lebih kuat, Ia juga perlahan membuka celana ku. Aku tak bisa bergerak, Aku hanya bisa berteriak minta pertolongan, tetapi, berteriak sekencang apapun tidak berguna, tidak ada yang menolongku. Namun entah bagaimana, saat ia hendak melakukan hal yang tidak senonoh itu, ia lengah, Aku berusaha sekuat tenagaku untuk mendorongnya, bahkan kucoba menendangnya, Ia sepertinya kesakitan, Aku memakai kembali bajuku dan berlari sekuat tenaga. Aku keluar dari rumah besar itu dengan berlari, Aku pun sampai ditepi jalan raya, tidak ada tanda-tanda bahwa Ken mengikutiku, Aku begitu takut, seluruh tubuhku gemetaran, Ia bahkan sempat meraba semua tubuhku, rasanya sakit, bukan di tubuh, melainkan di hati, Aku merasa seperti keledai yang dungu, jatuh kelubang yang sama 2 kali, bahkan yang kedua lebih parah. Secepatnya aku memesan ojol dan Puji Tuhannya, yang mengambil pesananku tidak terlalu jauh dari situ. Aku berhasil kabur dari pria bejat itu.
***
Aku sampai dirumah dengan rambut yang kusut, pakaian yang agak melar karena ditarik secara paksa. Untungnya, pada saat itu Mama, Papa, dan adikku sedang tidak ada dirumah. Aku mandi, membersihkan diri. Jika kalian berpikir bahwa Aku sudah baik-baik saja, kalian salah, salah besar. Trauma dan Depresi menghantuiku, Membayangkannya saja membuatku gila. Tanpa sadar Aku menjatuhkan sebuah piring kaca. Aku mengambil sebuah pecahan yang tajam dan menggoreskannya ke lenganku, alhasil lenganku penuh dengan darah yang terus menetes, Aku seperti merasa tidak kuat, tidak berdaya. Mulai dari Pria tak beretika, Pria bejat, Mama yang tidak pernah merestui, membuatku lelah. Aku bahkan terpikir untuk mengakhiri hidup, namun Aku merasa akan ada seseorang yang membuatku bahagia. Aku sangat yakin hal itu.
BAB XI
“Kemunculan sang Pelangi”
Muak, Lelah, tidak kuat, itulah yang Aku rasakan setiap harinya. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi. Aku trauma dengan cinta. Aku yang saat ini hanya ingin berfokus untuk bersekolah, belajar, dan menggapai cita-cita, kecuali Tuhan memang mengirimkan seseorang yang terbaik untukku. Aku masih tidak bisa melupakan hal yang telah dilakukan Ken kepadaku. Aku bahkan memblok nomornya, memang dosa, tapi Aku berharap ia cepat mati.
***
Seperti yang kukatakan tadi, Aku ingin berfokus belajar, tanpa cinta. “Aku adalah Renatha yang baru” begitulah yang ada di benakku. Aku tak membutuhkan cinta, Aku hanya ingin menikmati hidup, dan membantu orang tuaku. Rutinitasku pun berubah total. Aku belajar setiap hari, setiap malam, bukan hanya selama 15 atau 30 menit, melainkan 3 jam, setiap hari. Aku mencoba untuk menjadi versi terbaik diriku, mencoba melupakan hal-hal buruk yang terjadi padaku.
Memang tadi aku berkata bahwa Aku belajar setiap hari, tetapi tentunya Aku juga butuh liburan, tapi Aku tidak pergi ke Mall atau Taman. Aku pergi ke pantai, sendirian, tanpa seorangpun yang menemaniku. Mungkin kalian mengira Aku akan bertemu seseorang disini kan? kalian SALAH. Aku bahkan hampir tak menemukan laki-laki yang menarik. Yah, sedikit berharap tidak ada salahnya bukan?
***
Setelah dari pantai, Aku pergi mencari makan, dan tetap, sendirian. Seseorang seakan memanggilku, “Kakak baju pink!”. Aku menengok dan seorang pria tampan, bertubuh tinggi, gagah, wajahnya sangat sempurna, sangat bersih, dan bentuk wajahnya seperti model, benar-benar manusia yang indah. Ia menyerahkan dompetku yang tadi jatuh saat Aku berjalan. Tentu saja, Aku belajar dari kesalahan, belum tentu luarnya baik, dalamnya baik juga. Aku kira Ia akan mengajakku kenalan atau semacamnya, ternyata ia langsung memalingkan badan dan pergi. Entah, kenapa itu terkesan keren. Aku suka pria yang dingin. Yah, aku tidak berharap bertemu dengannya lagi, sih, jadi yasudahlah.
***
Tahu pepatah “Jodoh tak kemana?” Sesuai yang kalian duga, entah bagaimana, Aku bertemu kembali dengannya, tapi tentu Aku tidak suka padanya atau apapun itu, Aku muak dengan cinta. Kali ini pun sama, Ia kembali menolongku, Aku tengah berada di sebuah taman, dan hal yang sama terjadi karena kecerobohanku. Dompetku tertinggal, lalu sebuah suara yang kukenal memanggilku.
“Kakak baju hitam, dompetnya ketinggalan” teriaknya.
Entah dia itu, penjaga taman atau bagaimana, tapi Ia selalu bisa menemukan barang yang hilang, bahkan tadi Ia menemukan kucing salah seorang pengunjung yang tengah hilang. Aku menengok kearah suara itu, dan manusia yang indah itupun kembali muncul dihadapanku. Ia juga sepertinya mengenaliku, Ia berbicara dengan suaranya yang lembut namun tegas.
“Loh, bukannya kamu yang kemarin? Yang dompetnya jatuh juga” ucapnya
“Eh, kamu ya, iya betul itu Aku, maaf ya atas kecerobohanku” ucapku.
“Nama kamu Renatha ya?” tanyanya.
“Kok bisa tau?” Aku balik bertanya karena heran.
“Tadi Aku sempat liat kartu identitas kamu, maaf gasopan, sebelumnya kenalin, Aku Rayn Gillyan Hara” ucapnya.
“Namanya keren banget” benakku.
“Oh oke, salam kenal Rayn” ucapku.
Lalu Aku pergi, baru 5 langkah, Aku tersandung batu besar, dan seperti dalam film atau drama romansa, seorang laki-laki tampan menangkapku. Dilihat dari dekat, Ia bagaikan pangeran, Ia juga indah, bagaikan pelangi, wangi tubuhnya juga sangat menenangkan.
“Kamu gapapa? Kita duduk dulu aja” ucap Rayn sambil menggelengkan kepala.
“Iya gapapa, cuma agak pusing dikit, mungkin karena panas” ucapku tersenyum malu.
***
Kami menemukan sebuah bangku taman, dan sangat pas dibawah pohon, membuatnya sangat sejuk. Kami duduk disana, berbincang-bincang, meskipun banyaknya Aku yang memulai.
“Kamu tinggal dimana?” tanyaku
“Deket sini, keluar taman belok kiri itu rumahku” ucapnya.
Aku tau letaknya, dan Aku tau bahwa disana berdiri sebuah rumah yang sangat besar bak istana. Aku berpura-pura tidak tahu.
“Ooo, kamu umur berapa?” tanyaku.
“Tahun ini 18. Kamu?” Ia bertanya balik.
“Tahun ini 17” jawabku.
“Ah, sudah ga terlalu panas, kamu mau pulang?” tanyanya.
“Iya, kamu duluan aja, aku nunggu ojol” ucapku.
“Oh kalo gitu bareng aku aja, sekarang lagi banyak kasus penculikan, Aku ga akan aneh-aneh kok” ucapnya.
“Ah gausah gapapa, aku gamau ngerepotin, Aku bisa jaga diri kok” ucapku.
Seketika, air menetes dari langit.
“Masih mau naik ojol?” ucapnya.
“Ngga, Aku nebeng ya” ucapku sambil tersenyum.
Ia mengangguk dan mengajakku ke parkiran mobil, dan seperti yang diduga, Ia adalah orang yang sangat kaya, Ia bahkan menaiki mobil sport yang sangat keren, hanya untuk ke taman.
***
Dingin, itulah kata yang tepat untuk menggambarkannya, sepanjang perjalanan, Ia tidak mengajakku berbicara kecuali menanyakan jalan. Mobilnya betul-betul wangi, dan kursinya sangat empuk. Tanpa kusadari, aku tertidur. Saat bangun aku melihat wajah Mama yang entah kenapa terlihat sangat gembira.
“Ren itu tadi siapa? Pacar kamu ya? Ganteng banget” ucap Mama.
“Bukan, ma, itu cuma temen Aku, iya emang ganteng, sih” ucapku.
“Umur berapa?” Tanya Mama.
“Dia 18 tahun, lebih tua setahun dariku” jawabku.
“Cocok banget ren, Dia juga keliatannya baik, ga macem-macem, sopan pula, kalo kamu pacaran sama Dia, Mama setuju” ucap Mama.
Aku begitu terkejut, mengira ini adalah mimpi. Mama yang begitu anti melihatku berpacaran, malah merekomendasikanku untuk berpacaran dengan orang yang baru kukenal. Tapi entah kenapa, Aku juga merasa bahwa Ia adalah sosok yang Tuhan pilih. Kemunculannya begitu indah menurutku. Bagaikan Pelangi.
BAB XII
“Pelangi berhati dingin”
Aku ingin sekali berbicara dengannya lagi, sekedar mengenalnya, tidak harus berpacaran, namun hebatnya, doaku terjawab. Saat Aku sedang berjalan-jalan di sebuah Mall, suara seseorang memanggilku, suara yang kukenal, namun kali ini tidak memakai sebutan kakak melainkan “Renatha”. Aku tentu saja tidak jatuh cinta padanya, hanya sedang mencari tahu apa Ia memang kiriman Tuhan.
“Oh ternyata bener kamu, Aku nyariin kamu” ucapnya.
Aku sudah salah mengira, Aku kira ia mencariku karena suka padaku.
“Jaket kamu ada dimobil aku, Aku lupa bawain saat ngegendong kamu ke masuk rumah” ucapnya santai.
“HAH? AKU DIGENDONG?” Aku terkejut, sangat terkejut.
“Iya, maaf ya gasopan, soalnya Aku gaenak mau bangunin” ucapnya memelas.
“Aduh iya gapapa kok Rayn, Aku yang harusnya minta maaf karena ngerepotin terus” ucapku.
“Yasudah nanti ambil aja” ucapnya.
“Ngomong-ngomong kok kamu ada disini? Apa kamulagi bareng pacar kamu?” tanyaku.
“Aku gapunya pacar, mungkin kurang laku” ucapnya.
“LO YANG GA PEKA DASAR BATU” benakku.
“Oh ya, nanti pulang bareng Aku aja, soalnya hujan” ucapnya.
“Gapapa Rayn, Aku udah cukup ngerepotin kamu” ucapku.
“Ga ngerepotin, Aku juga lagi pengen jalan-jalan” ucapnya.
“Memangnya jarang jalan-jalan?” tanyaku.
“Sebenarnya sering, tapi gak seru karena gaada temen” ucapnya sambil tertawa kecil.
Ternyata Si Hati Batu juga ingin punya teman. Sepertinya si Batu perempuan yang bernama Renatha juga mulai luluh.
“Yaudah jalan-jalan sama Aku aja, kita beli jajanan” ajakku.
“Oh oke, tapi Aku gatau banyak, soalnya gapernah beli makanan” ucapnya.
“Loh terus kamu sering jalan-jalan tuh ngapain aja?” tanyaku heran.
“Biasanya cuma beli sepatu atau tas sih” ucapnya enteng.
“Hobi orang kaya emang beda” benakku..
***
Kami lalu berjalan-jalan, mencari jajanan, dan bermain permainan-permainan di arkade. Tak diduga sepertinya Si Batu Laki-Laki juga mulai luluh.
“Kayanya Aku suka Rayn” benakku.
“Sepertinya Aku suka Renatha” benak Rayn.
Kami berdua sudah lelah. Dan entah kenapa, Rayn banyak tersenyum hari ini, padahal Ia tidak pernah tersenyum biasanya. Ia begitu kaku.
“Aku capek” ucapku sambil menepuk pundak Rayn.
“Aku juga, mau pulang sekarang?” tanyanya sambil terengah-engah.
“Boleh” ucapku.
***
Kami tiba di mobil sport Rayn yang begitu keren, dan begitu mencolok diantara mobil-mobil lain.
“Jaket kamu dibelakang” ucapnya.
“Oh iya, makasih ya” ucapku.
“Makasih juga ya, Renatha udah ajak Aku jalan” ucapnya sambil tersenyum.
“Panggil Rena aja, biar lebih Akrab” ucapku.
Ia mengangguk, “Oke”.
Aku menyadari, bahwa Rayn bukanlah orang yang jahat, bahkan Ia begitu polos, juga sangat kaku, dan Aku sekarang yakin bahwa Rayn adalah kiriman Tuhan buatku.
“Oh Rayn, Aku minta nomor kamu dong, biar bisa ngobrol” ucapku.
“Ini nomornya, ketik sendiri aja” ucapnya.
“Oke makasih Rayn” ucapku.
Mobil pun mulai bergerak, mataku pun tiba-tiba mengantuk. Tetapi entah kenapa Aku merasa aman, Rayn tidak akan melakukan apa-apa. Ia begitu polos dan baik. Lalu aku tertidur, dan kembali bangun dengan wajah Mama sebagai pemandanganku. Yap, betul, Rayn kembali menggendongku dan membuat Mama semakin ingin mempunyai menantu sepertinya.
BAB XIII
“Pelangiku Mati”
Saat Ini aku tau bahwa Aku memang menyukai Rayn dan mungkin sebaliknya juga begitu. Aku tau bahwa Rayn dan Aku memang cocok, dan Rayn adalah pelangiku, kehadirannya seakan membbbuat hidupku yang sangat berantakan dan abu-abu menjadi bermakna dan berwarna lagi. Bukan karena Ia kaya, Bukan karena Ia tampan, namun, karena kepolosannya begitu menggemaskan dan kebaikannya yang tulus tanpa pamrih membuat hatiku seolah-olah terasa sangat nyaman.
***
Aku menelpon Rayn, mengajaknya untuk makan siang bersama, Telfon itu diangkat, namun itu bukan suara Rayn. Suaranya berat, tidak menenangkan, membuatku gugup.
“Halo? Ini pacarnya Tuan Rayn ya? Nona, tolong segera datang kerumah, Tuan Rayn sedang kritis” ucap si Bapak itu.
“Halo? Halo? Rayn?” Aku panik dan telpon juga sudah mati.
Mau tidak mau Aku harus menuju kesana, Aku khawatir, Aku berdoa semoga tidak ada hal buruk yang terjadi pada Rayn. Sang Pelangiku.
***
Aku sampai dikediaman Rayn, seseorang menjemputku, Ia begitu panik, tapi juga seakan bersyukur melihatku datang.
“Nona pasti pacarnya Tuan Rayn kan?” ucap Bapak itu.
“Bukan” ucapku.
“Tapi itu pasti Anda, Nona Renatha. Semua sesuai yang diceritakan Tuan Rayn. Mari masuk, Tuan Rayn menunggu Nona” ucap Bapak itu.
Alangkah terkejutnya Aku melihat Rayn, sedang terbaring sakit, dengan masker oksigen, namun air mataku tak dapat tertahan setelah Ia tersenyum ke arahku.
“Dok, Rayn kenapa, Dok?” tanyaku panic
“Kami juga tidak tahu, penyakit Tuan Rayn ini tidak ada di dalam buku ataupun sejarah kedokteran manapun, yang berarti kami juga tidak dapat mengetahui obat yang tepat untuknya” ucap dokter tersebut.
“R..e…e.naa…” sebuah suara memanggilku, Itu Rayn.
“Aku gaa..pa…p.aaaa, jangan khawa…tir” ucapnya.
“Rayn kamu gaboleh banyak berbicara, kamu istirahat saja, Ya? Iya aku tau Kamu pasti gapapa, Kamu pasti sembuh kok, Aku yakin” ucapku.
Seketika Rayn batuk parah, dan membuat seisi ruangan panic, Seluruh tubuhnya bergetar dahsyat. Para dokter dan pelayan segera menghampirinya, Tapi Rayn menggelengkan kepala, Ia menunjuk ke arahku dan berkata, “Re….na…”. Aku berlutut disebelah ranjangnya.
“Re…na…, Aku ga…kuat, saaaakit…” ucapnya sambil mengerang kesakitan.
“Rayn tolong bertahan, Rayn , Aku sayang kamu, sayang banget, Maaf Aku baru ngomong ini sekarang. Aku janji gaakan ceroboh lagi, Aku juga jani bakal ajak Kamu jalan-jalan terus, jadi tolong bertahan, buat Aku, buat semuanya” ucapku sembari menangis.
“Rena…, maafin Aku juga…, Jangan sedih…. Aku juga sayang Kamu” begitulah bagaimana Rayn Gyllian Hara mengucapkan kata-kata dan Hembusan nafas terakhirnya.
-tamat-