Charlotte
Charlotte
Casey Brigitta XI AK 1
Daftar Isi
Daftar Isi......................................................................1
Perempuan Dari Toko Bunga......................................3
Hadiah Terindah Dari Tuhan.....................................20
Serunai dan Puding Susu...........................................32
Lily Oranye................................................................50
Lembah Merah di Batavia.........................................66
Epilog........................................................................74
Chapter 1: Perempuan dari Toko Bunga
Batavia, 1927.
Udara pagi nan sejuk mulai menyapa setiap kepala di Kota Batavia. Bersamaan dengan membirunya langit, bernyanyinya burung-burung di udara, dan munculnya sang fajar dari ujung Timur. Kendaraan dan kereta kuda belum banyak terlihat kala itu. Hanya terdapat beberapa pesepeda dan orang-orang yang berlalu lalang, salah satunya adalah seorang laki-laki asal Negeri Kincir Angin yang tengah menahan topi Fedora hitamnya yang hampir terlepas karena angin yang menerpa.
"Hampir saja..." Laki-laki itu menghela napas singkat, kemudian memasukkan topi itu ke dalam tas koper miliknya dan melanjutkan perjalanan dengan secarik kertas di tangan kanannya yang berisikan sebuah alamat.
Surai pirangnya dibiarkan ikut menari bersama angin dan daun-daun di kota kecil itu, dengan kicauan burung dan deru kayuhan sepeda sebagai alunan musiknya.
William van Hofwegen bukanlah orang berdarah Netherland biasa. William sendiri merupakan anak tunggal dari seorang pengusaha ternama di Batavia. Surai lurus pirang yang tertata rapi ala 1920-an berpadu dengan tatapan dingin dari kedua netra safirnya menimbulkan kesan menawan bagi orang-orang yang melihatnya. Ditambah postur tubuhnya yang tinggi semampai layaknya orang Netherland membuatnya seperti karya lukisan yang menjadi nyata.
Dirinya baru saja menyelesaikan pendidikan di Rotterdam, sebelum akhirnya memutuskan untuk datang ke negeri jajahan bangsanya dan melanjutkan usaha milik keluarganya di sana. Berbekal secarik kertas berisi alamat kediaman keluarganya dan bahasa Melayu nya yang belum begitu lancar, ia mulai berkelana mencari keberadaan kedua orang tuanya.
Sembari berjalan, William memutuskan untuk memandang sekitar yang terasa masih asing baginya. Di sepanjang jalan terdapat pohon-pohon yang berjejer di tepi jalan, dengan cahaya matahari yang mengintip dari cela daun-daunnya. Para pesepeda terlihat berkendara dengan tenang dan teratur hingga membentuk seutas garis lurus. Para pejalan kaki juga sama teraturnya, berjalan di pinggir agar dirinya tidak tertabrak oleh pesepeda.
Semakin lama ia memandang, semakin ia yakin bahwa ia akan menyukai kita kecil ini. Mulai dari arsitektur bangunan yang tampak serupa dengan bangunan di negara asalnya, tata kota yang rapi dan nyaman dipandang, dan...
Entahlah, terlalu sulit untuk menggambarkan perasaan nyamannya melalui kata-kata.
Setelah cukup lama melangkah dan mengagumi tata kota Batavia, langkah kakinya tiba-tiba berhenti. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Pandangannya langsung terpaku pada sebuah toko bunga yang terletak tak jauh darinya. Hanya sebuah toko bunga yang kecil dengan berbagai macam bunga yang terpajang di depan toko tersebut, tidak ada yang istimewa. Namun bukan toko bunga itu yang menarik perhatiannya, melainkan sesosok perempuan Netherland yang baru saja keluar dari sana.
Tubuh tinggi semampai khas bangsa Netherland terlihat indah dengan balutan gaun sepanjang lutut berwarna biru pucat dengan kerah putih yang melebar dan dihiasi seutas pita berwarna hitam di tengahnya. Rambut ikal panjangnya yang berwarna pirang kecokelatan dihiasi sebuah kain yang berwarna senada dengan gaunnya, dibentuk agar terlihat seperti bando.
Seulas senyum hangat terlukis di wajahnya ketika berbincang dengan sang pemilik toko yang ikut menunjukkan dirinya tak lama setelah ia keluar. Tangan kirinya terlihat sedang mendekap sebuah buket bunga, berwarna merah yang sepertinya merupakan bunga tulip berwarna merah muda.
"Cantik."
Dari banyaknya kata yang pernah William ketahui, hanya kata tersebut yang cocok untuk mendeskripsikan sosok perempuan yang tak luput dari pandangannya sekarang. Tanpa ia sadari, William telah menatap perempuan itu dalam waktu yang lama, membuat perempuan itu menyadari bahwa ada seorang laki-laki asing yang sedang memperhatikannya.
Perempuan itu menyudahi percakapannya dengan sang pemilik toko dan mulai berpamitan. Alih-alih menjauh, perempuan itu justru berjalan mendekati William yang terlihat melamun-entah apa yang sedang ia pikirkan.
Perempuan itu berhenti di hadapannya. Dengan tangan kanannya, ia melambaikan tangannya di depan wajah William—bermaksud menyadarkannya dari lamunan.
"Hei, apa kau baik-baik saja?" Tuturnya menggunakan bahasa Netherland.
Suara miliknya ternyata berhasil menyadarkan William dari lamunannya. Laki-laki itu tersentak, sontak mengambil beberapa langkah mundur untuk menciptakan jarak antara mereka berdua. Sang perempuan yang menyadari tingkah William memiringkan kepalanya heran.
"Ada yang bisa kubantu, Tuan?" Perempuan itu memelankan tempo bicaranya, dengan seulas senyum tipis yang kembali muncul di wajahnya.
"Oh, iya Nona. Kebetulan saya sedang mencari alamat ini." William berdeham, kemudian membetulkan posisi berdirinya.
William memberikan secarik kertas yang sedari tadi ada di tangan kanannya, membiarkan perempuan itu membaca alamat yang tertulis di sana.
"Aku mengetahui alamat ini. Kebetulan tempat tinggal ku tidak jauh dari sana." Perempuan itu kembali menatap William dan senyum di wajahnya masih tidak berubah sedikit pun.
William sedikit menaikkan salah satu alisnya, kemauan mengangguk pelan. "Kebetulan sekali. Bisakah kau menunjukkan dimana letaknya?" William bertanya.
Sedari awal dia memang tidak mengetahui letak pasti kediaman keluarganya di sana. Mereka hanya mengirimkan William sepucuk surat dengan alamat rumah mereka di dalamnya, dan alamat itulah ia tulis di secarik kertas yang selalu ia genggam.
"Dengan senang hati!" Perempuan itu mengangguk mantap.
Gadis itu membalikkan badannya dan mulai menunjuk ke arah pohon besar yang berada jauh di depan mereka. William betjalan ke sebelah perempuan itu agar bisa mendengar petunjuk darinya dengan lebih jelas.
"Kau hanya perlu berjalan lurus, dan ketika kau menemukan sebuah pohon besar, berbelok lah ke arah kanan. Di sana kau akan menemukan sebuah rumah yang amat besar, dan itulah tempat yang ada di alamat yang kau tulis." Perempuan itu menjelaskan. Tangan kanannya yang bergerak lurus dan berbelok sesuai apa yang ia ucapkan.
William berusaha sekeras mungkin untuk mengingat setiap petunjuk yang diberikan perempuan itu. Namun sepasang netra safirnya selalu tertuju pada perempuan itu. Sungguh, perempuan itu jauh lebih cantik jika dilihat dari dekat.
Wajahnya yang putih berseri bagaikan porselen dipadukan dengan netra hijau indah dan hidungnya yang meruncing namun masih terlihat halus ditambah dengan rona merah muda samar di kedua pipinya membuatnya seperti boneka. Tak lupa dengan seulas senyum yang seakan tidak pernah menghilang dari wajahnya membuat siapa pun yang melihatnya merasa ingin ikut tersenyum.
William sama sekali tidak dapat mengingat apapun yang perempuan itu ucapkan. Sejujurnya, William tidak ingin melakukan apapun selain memandangi dan mengagumi tampang gadis di sebelahnya itu.
"Hei!" Panggil perempuan itu, menjentikkan jari di depan wajah William yang kembali melamun. Untungnya, suara jentikkan jari itu berhasil membuyarkan lamunan William.
"Kau ini suka sekali melamun, ya?" Gadis itu terkikih dan melipat kedua tangannya di depan dada.
William tertegun, memikirkan jawaban apa yang harus ia ucapkan, "Mungkin..." Tuturnya pelan, sehingga hanya dirinya yang bisa mendengar.
Perempuan di hadapannya itu mulai bergumam, dengan telapak tangan kanannya yang menyangga dagunya.
"Bagaimana jika aku yang mengantarmu kesana?" Perempuan itu memberikan sebuah usulan pada William, "Lagipula rumahku juga tak jauh dari sana. Jadi tenang saja, kau tidak akan merepotkan ku."
"Ide yang bagus." William mengangguk, menjawab tanpa menunjukkan ekspresi apapun, berusaha untuk terlihat biasa saja setelah dua kali tertangkap basah memandangi perempuan yang kini berada di sebelahnya.
Perempuan itu tersenyum puas dengan jawaban William, kemudian mulai melangkah ke arah yang ia tunjuk beberapa saat yang lalu. William berada di sebelah kanannya, terdiam dan memilih untuk tidak mencoba membuka topik obrolan. Dia memilih untuk merenungi apa yang terjadi pada dirinya hari ini-lebih tepatnya, apa yang terjadi pada dirinya setelah bertemu dengan sang perempuan dari toko bunga.
Entahlah, ia merasa seperti tersihir oleh perempuan itu. Keberadaan perempuan itu membuat fokus William hanya tertuju padanya, sama sekali tidak menghiraukan sekitar.
Aneh...
William tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Rasanya terlalu rumit untuk mendeskripsikannya dengan kata-kata. Sudah beberapa menit berlalu, dan mereka belum bertukar sepatah kata pun. Untungnya suasana di jalan itu kian meramai, sehingga kecanggungan di antara mereka tidak begitu kuat. Sekarang, beberapa kendaraan dan kereta kuda terlihat berlalu lalang di sana. Para pedagang pun mulai membuka gerai dan menjajakan dagangannya.
Menyadari bahwa William tidak akan mencoba untuk bercengkrama dengannya, perempuan itu akhirnya membuka suara.
"Kau itu kerabatnya Nyonya Hofwegen, ya?" Ujarnya, tanpa memalingkan pandangan ke arah William. Suaranya terdengar menyatu bersama suara tempat itu, membuatnya tidak terdengar jelas di telinga William.
"Bisa kau ulangi lagi?" Wiliiam memperlambat langkahnya dan mencondongkan badan ke arah perempuan itu, membuat jarak di antara keduanya semakin terkikis dikarenakan William yang mendekat ke arah perempuan itu agar ucapannya dapat terdengar jelas.
"Alamat yang kau tuju adalah kediaman Tuan dan Nyonya Hofwegen." Perempuan itu tertawa pelan, kemudian memperlihatkan secarik kertas milik William yang ternyata masih ada di tangan kanannya. Ia menaikkan volume bicaranya agar William dapat mendengar jelas perkataannya.
"Keluargaku memiliki hubungan yang baik dengan keluarga Hofwegen, maka dari itu aku penasaran. Apa yang membuatmu ingin berkunjung kesana?" Perempuan itu memalingkan wajah ke arah William, lagi-lagi menunjukkan senyum hangatnya.
"Aku adalah putra mereka."
"Ya?" Perempuan itu menghentikan langkahnya-membuat William ikut berhenti-lalu menatap William dengan tatapan terkejut.
William yang melihat ekspresi darinya merasa bingung. Apa ada yang salah dengan jawabanku, begitu pikirnya. Tak berselang lama, kedua netra hijau miliknya terlihat berbinar, terlihat seperti telah menyadari sesuatu.
"Aku ingat! Kamu pasti William, kan?" Terkanya. Suaranya terdengar riang dan antusias sekarang, membuatnya terlihat seperti anak kecil yang baru saja menemukan hal baru di hadapannya.
"Aku mengingatnya sekarang! Aku mendengar banyak tentangmu dari Nyonya Hofwegen. Ia pernah berkata kalau dia memiliki seorang anak di Netherland. Tidak ku sangka aku akan bertemu dengannya sekarang." Perempuan itu tertawa puas, merasa senang akhirnya ia dapat bertemu dengan sosok William yang selalu diceritakan kepadanya.
"Banyak?" William memekik. William tahu betul bagaimana ibunya akan bercerita tentangnya, Segala pencapaian, prestasi, perilaku, bahkan hal-hal memalukan yang pernah William alami akan keluar dari mulut sang ibu.
"Apa saja yang sudah kau dengar darinya?" William merasa ngeri, ia tidak siap untuk menerima jawaban dari perempuan di sebelahnya itu.
"Tidak perlu panik begitu, Will. Nyonya Hofwegen tidak menceritakan hal buruk apapun tentang dirimu." Perempuan itu tidak segan mengeluarkan gelak tawanya begitu melihat raut wajah William, lalu menepuk bahu William pelan.
Mendengar jawaban tersebut, William menghela napas lega, terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan perempuan itu—William berharap hal yang dikatakannya benar—William memutuskan untuk mempercayainya.
"Dia berkata kalau kau adalah pemuda yang cerdas dan ambisius. Meski sifatmu dingin dan kaku, Nyonya Hofwegen berkata kalau kau adalah anak yang manis." Perempuan itu tertawa kecil, dengan telapak tangan kanan yang menutupi mulutnya saat tertawa.
"Lalu dia juga bercerita kalau kau sangar menyukai roti. Roti panggang dengan mentega lebih tepatnya." Perempuan itu menambahkan.
Perempuan itu mulai berceloteh tentang banyak hal sembari mengantar William ke kediaman keluarga Hofwegen, mengikis kecanggungan di antara mereka. Ia berceloteh tentang kedekatannya dengan Nyonya Hofwegen, tentang toko bunga yang baru ia kunjungi, tentang beberapa gerai di sekitar yang ia ketahui, tentang tempat yang harus William kunjungi selama berada di sana, bahkan tentang anjing peliharaan yang sudah menemaninya sedari kecil.
Tak terasa sebuah pohon trembesi yang berdiri di tengah pertigaan telah terlihat berada di depan mereka, menandakan mereka akan sampai di kediaman keluarga Hofwegen tak lama lagi. Sang surya pun perlahan-lahan bergerak ke atas, cahayanya yang semakin terang membuat suasana di kota itu semakin hidup. Ditambah dengan anak-anak berseragam yang mulai keluar dari rumahnya dengan senyum dan sapaan hangat yang mereka ucapkan kepada anak-anak lainnya.
Tak jarang, anak-anak itu terlihat melambaikan tangan ke arah mereka — lebih tepatnya melambaikan tangan ke arah perempuan di sebelah William, membuat mereka berhenti untuk sementara di depan pohon rindang itu. Lagi-lagi, kedua mata William terpaku kepada perempuan itu. Perempuan itu terus tersenyum, melambaikan tangan seraya membalas ucapan selamat pagi dari anak-anak itu dan memuji penampilan mereka, menyebabkan rona merah muda muncul pada kedua pipi anak-anak itu.
"Miranda!!" Suara nyaring seorang anak perempuan terdengar sebelah kanan mereka, membuat mereka segera menoleh ke sumber suara, mendapati seorang anak perempuan yang berlari ke arah mereka sembari melambaikan tangan mungilnya.
Anak tersebut terlihat mengenakan seragam yang serupa dengan anak-anak lainnya, rambutnya pirang kecokelatan dan diikat dua dengan pita berwarna merah yang tersimpul di masing-masing ikatannya. Senyum lebar dan pipinya yang merona terlihat jelas di wajahnya. Dengan girang, anak itu melompat ke arah perempuan di sebelah William dan memeluk kakinya.
Warna rambut dan bola mata yang serupa, struktur wajah yang mirip, dan cara mereka berinteraksi membuat William menyimpulkan bahwa kedua perempuan yang berada di sebelahnya itu adalah kakak beradik. Dan 'Miranda' adalah nama perempuan yang sedari tadi berjalan bersamanya. William baru menyadari bahwa perempuan itu belum pernah memperkenalkan dirinya sejak mereka bertemu, atau William yang tidak berinisiatif untuk menyanyakan namanya.
"Emily! Apa yang kau lakukan di sini?" Miranda menyamakan tingginya dengan anak perempuan yang bernama Emily itu, terlihat terkejut atas keberadaan sang adik.
"Untuk berangkat ke sekolah bersamamu! Kau sudah berjanji kemarin." Emily menjawab dengan antusias, kedua mata hijaunya terlihat berbinar-binar saat menatap Miranda.
Mendengar jawaban dari sang adik, Miranda menoleh ke arah William, "Sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini." Miranda tersenyum ke arahnya, dapat terlihat jelas ada sedikit perubahan dari raut wajah Miranda. Perempuan itu tampak tidak enak hati meninggalkan William sebelum sampai di tujuannya.
Berbeda dengan Miranda, Emily hanya melirik William dari sudut matanya. Senyum lebar yang ia tujukan kepada Miranda tiba-tiba sirna begitu melihat ke arah laki-laki bertubuh tinggi itu. William yang menyadarinya tidak menunjukkan reaksi yang spesifik. Hanya menatap anak itu sesaat sebelum mengalihkan pandangan kepada Miranda.
"Tidak apa-apa. Terima kasih karena sudah bersedia mengantarkanku." William meletakkan salah satu telapak tangan di dadanya, kemudian sedikit membungkukkan badan sebagai tanda terima kasih.
"Tidak perlu membungkuk seperti itu, Will. Sudah seharusnya kita saling membantu." Balas Miranda, masih dengan senyuman hangat yang terlukis di wajahnya. William kembali berdiri tegap dan mengangguk sebagai respon dari ucapan Miranda.
"Miranda, ayo cepat! Nanti aku bisa terlambat." Rengek Emily seraya menarik-narik ujung gaun Miranda dengan bibirnya yang mengerucut, membuatnya terlihat seperti anak bebek.
"Sepertinya kau harus bergegas mengantarnya sekarang." William berkata dengan nada datar begitu melihat Emily merengek kepada Miranda, membuat Miranda sedikit kewalahan karenanya.
"Ah, kau benar. Kalau begitu, sampai jumpa, Will! Aku yakin kita pasti akan bertemu lagi." Pamit Miranda sebelum meraih tangan Emily dan bergegas mengantarnya sang adik ke sekolah.
Sementara itu, William kembali berjalan menuju kediaman kedua orang tuanya yang berada tak jauh dari sana, disertai oleh bayang-bayang Miranda yang tidak mau meninggalkan pikirannya. Bagaikan tersihir, sosok Miranda terus menghantui pikirannya, dan William tak berusaha untuk menghilangkan pikiran tersebut.
William dikenal sebagai sosok yang ambisius. Ia akan melakukan berbagai macam cara agar keinginannya dapat tercapai. Sekarang, ia menginginkan Miranda, sebagai orang yang akan menemaninya sampai akhir hayat. Dan ia akan melakukan banyak cara untuk mendapatkannya.
Miranda bagaikan sebuah kehangatan yang mencairkan es yang teramat keras. Berkat hubungan keluarga mereka yang dekat, hubungan William dan Miranda menjadi semakin dekat. Lama kelamaan, Miranda mulai menaruh hati kepada William. Dan tanpa berlama-lama, William mendapatkan apa yang ia inginkan dan segera meminang Miranda. William akan selalu menjaga apapun yang menjadi miliknya, dan tidak akan seorang pun dapat mengambil apa yang sudah menjadi miliknya.
»»——⍟——««
Chapter 2: Hadiah Terindah Dari Tuhan
Batavia, 1930
Seorang bayi perempuan telah lahir dari kedua insan yang saling mencintai di kota Batavia. Tubuhnya yang kecil dibalut oleh kain berwarna putih yang nyaris menyatu dengan warna kulitnya. Helaian rambut tipis di atas kepalanya berwarna pirang pucat dan kedua netra safir indah tersembunyi di balik kelopak matanya.
Anak itu terlihat lelap dalam tidurnya, terlihat tenang dan damai. Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum melihat betapa eloknya rupa anak itu. Ditambah kelahirannya yang bertepatan pada hari Natal membuat orang-orang menyebutnya sebagai anak malaikat.
Namanya Charlotte van Hofwegen. Lahir dari pasangan William van Hofwegen dan Miranda ter Avest yang sudah berganti nama menjadi Miranda van Hofwegen pada Natal tahun 1930 di kota Batavia, bertepatan dengan hari pernikahan William dan Miranda yang pertama, membuatnya menjadi hadiah terindah yang pernah diberikan Tuhan kepada mereka.
Kelahiran Charlotte membawa kebahagiaan dan berkat hang bertubi-tubi, tak hanya bagi keluarga kecilnya, tetapi bagi seluruh keluarga Hofwegen maupun keluarga ter Avest. Kedua bisnis mereka mengalami kemajuan yang pesat dan membuat bisnis mereka menjadi salah satu bisnis ternama di Hindia Belanda.
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Pada tahun 1935, Rolland van Hofwegen dan Johannes ter Avest, yang tak lain adalah ayah dari William dan Miranda ditemukan tewas pada kediaman mereka masing-masing. Dan pihak kepolisian menyatakan bahwa pelakunya adalah dua orang pribumi yang bekerja pada kediaman mereka. Diduga keduanya memiliki tujuan untuk menghancurkan dua bisnis ternama itu dengan cara membunuh sang pemilik bisnis.
Dan upaya tersebut berhasil. Kedua bisnis tersebut berangsur-angsur memburuk ketika William ditunjuk untuk meneruskan kedua bisnis itu seorang diri, membuatnya menjadi kalang kabut dan temperamen. Miranda pun menjadi berbeda. Dirinya bukan lagi wanita ramah yang selalu tersenyum kepada semua orang, melainkan seorang wanita menyedihkan yang selalu meratapi kematian ayahnya setiap malam.
Charlotte kecil ada di sana, hanya daoat terdiam menyaksikan betapa sendu dan suramnya rumah itu. Sering kali ia melihat sang ayah membentak bahkan memukuli inlander yang bekerja di rumahnya. Setiap kali ia ingin menghentikannya, sang ayah justru menatapnya dengan tajam dan menyuruhnya untuk berdiam di kamar. Tak jarang juga Charlotte mendengar ayah dan ibunya meneriaki satu sama lain, disertai dengan deru barang-barang yang terjatuh ke lantai.
Seolah belum cukup, keluarga tersebut kembali dikejutkan oleh berita duka yang datang dari keluarga ter Avest. Sang ibu dari Miranda, Emma ter Avest ditemukan tewas di rumahnya dengan kondisi tubuh yang membiru dan tergantung pada langit-langit kamarnya. Hal tersebut tentu membuat Miranda semakin terpukul.
Wanita itu semakin terlihat tak terurus. Tubuhnya menjadi kurus kering karena tidak mau melahap apapun yang dihidangkan oleh para inlander. Yang ia lakukan hanyalah berdiam diri di kamar dan menangis setiap malam atau sesekali berdebat dengan William tentang beberapa hal. Kedua bisnis milik William pun sama sekali tidak mengalami peningkatan, justru terus menurun dan menurun, membuat amarahnya semakin tak terkendali dan bisa mencelakai siapa pun di sekitarnya.
"Rumah itu kini menjadi neraka bagi mereka."
Mengetahui apa yang terjadi dengan anaknya, Angelin van Hofwegen, ibu dari William membawa Emily dan Charlotte untuk menetap sementara di negeri asalnya, Netherland. Tepatnya di Rotterdam.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Keadaan keluarga Hofwegen yang menetap di Batavia berangsur-angsur membaik. Kedua bisnis yang sebelumnya mereka jalani kini menjadi satu memiliki nama baru, dan kembali melejit di Batavia. Hubungan Wil William dan Miranda juga membaik, mereka jauh lebih memahami dan mengerti satu sama lain setelah melalui banyak hal bersama. Tak lupa, mereka selalu menjaga komunikasi dengan Charlotte yang berada di Netherland.
Tepat pada hari Natal tahun 1940, Charlotte kembali ke Batavia, bersamaan dengan Emily yang mendapatkan tugas untuk mengajar anak-anak Netherland di sana.
Kebahagiaan dan berkat kembali menghujani keluarga Hofwegen, persis seperti yang terjadi pada saat kelahiran Charlotte. Suara dan gelak tawa Charlotte membuat suasana rumah tersebut menjadi hidup kembali. Bisnis keluarga Hofwegen pun terus meningkat sejak kembalinya Charlotte ke Batavia.
Charlotte tumbuh menjadi gadis kecil yang rupawan. Parasnya persis seperti William dan sifatnya mirip seperti Miranda, membuatnya menjadi perpaduan sempurna dari kedua pasangan itu.
Charlotte mendapatkan banyak cinta dari orang-orang di sekitarnya. Sifatnya yang ramah kepada siapa saja membuat siapa pun merasa senang berada di dekatnya, tak terkecuali para pribumi yang turut bekerja pada kediaman mereka.
"Anak itu bagaikan pelangi yang muncul sehabis hujan, bagaikan lentera ditengah kegelapan, dan bagaikan malaikat yang turun di tengah kesusahan. Tak ada satu orang pun yang tak mencintai Charlotte."
»»——⍟——««
Rambut pirang sebahunya dibiarkan terurai dengan sisi kanan yang diselipkan di belakang telinganya, terlihat rapi dengan seragam sekolah yang berwarna kebiruan. Wajahnya yang kecil, bentuk hidung dan bibirnya yang sempurna, dengan kedua netra biru yang terlihat sangat indah di bawah sinar matahari membuatnya lebih menonjol dibanding anak-anak lainnya. Warna kulitnya yang seputih salju, bulu matanya yang melentik, dan postur tubuhnya menjulang layaknya orang-orang Netherland.
Kakinya melangkah melalui koridor sekolah dengan sebuah tas selempang berwarna putih menyilang dari bahu kanannya. Beberapa mata di koridor itu tertuju padanya, menatapnya dengan tatapan kagum.
"Charlotte selalu terlihat bersinar, ya!"
"Andai saja aku memiliki penampilan sepertinya..."
Suara bisikan-bisikan itu terdengar jelas di telinganya, namun gadis itu tidak terlalu menghiraukannya. Sudah menjadi hal yang biasa baginya mendengarkan hal itu saat berada di sekolah.
Charlotte van Hofwegen menjadi anak yang disanjung di sekolah itu, parasnya menjadi salah satu alasan mengapa ia begitu dipuja di sana. Tak hanya itu, pada usianya yang baru sebelas tahun, Charlotte memiliki kemampuan intelektual di atas anak-anak lainnya. Charlotte dapat menguasai materi pelajaran yang diberikan oleh para guru dalam waktu yang singkat.
Hal ini membuatnya disenangi oleh para guru, karena dengan adanya Charlotte, mereka tidak perlu susah payah mengajar. Cukup membuat Charlotte mengerti akan pelajaran yang mereka ajarkan dan gadis itu akan mengajari anak-anak yang lain.
Bagi mereka yang tak mengenalnya, Charlotte terkesan pendiam dan sulit untuk didekati. Namun, kesan tersebut akan hilang jika mereka sudah berbincang dengannya, digantikan oleh kesan nyaman dan senang karena sifat Charlotte yang ramah dan hangat
"Charlotte!!" Suara seorang perempuan terdengar memanggilnya dari belakang, bersamaan dengan sebuah tepukan pelan yang mendarat di bahu kirinya.
Charlotte menoleh, mendapati seorang gadis berambut hitam legam panjang yang ikut berjalan di sebelahnya. Seulas senyum terlukis di wajah Charlotte, ia tujukan kepada gadis di sebelahnya.
Gadis itu mengikat separuh rambut lurus panjangnya dengan sebuah jepit kupu-kupu berwarna keemasan pada ikatannya, berkulit kuning langsat, dan mengenakan seragam yang sama seperti Charlotte. Gadis itu memiliki postur tubuh yang lebih pendek darinya, dan kedua tangan gadis itu memegang sebuah tas kain berwarna putih lusuh.
"Bagaimana? Kau membawa bahan-bahannya, 'kan?" Tanya gadis itu menggunakan bahasa Melayu, menatap kedua netra biru milik Charlotte dengan netra legam miliknya.
"Tentu! Aku menitipkannya kepada Emily. Baru saja aku mengambilnya." Charlotte mengangguk mantap seraya menunjukkan sebuah tas belanja yang ada di tangan kanannya.
"Kau bilang kau tidak akan memberitahu keluargamu tentangku!" Gadis itu mengerucutkan bibirnya, mencibir Charlotte dengan nada kesal.
"Emily itu berbeda! Dia tidak seperti papa atau mama. Buktinya, dia selalu memuji mu saat di kelas, kan?" Charlotte menjelaskan, mencoba meyakinkan gadis itu bahwa Emily tidak seburuk yang ia kira.
"Baiklah." Gadis itu menghela napas, mengiyakan ucapan Charlotte.
Charlotte menunjukkan senyum puas atas respon dari gadis itu. Kaki mereka terus melangkah, dan sekarang mereka sudah berada di luar area sekolah, terus berjalan menuju sebuah tempat yang cukup terpencil, namun tak jauh dari sekolah.
"Dilihat dari bahan-bahannya, kita akan membuat puding susu, ya?" Charlotte membuka tas belanja yang ia bawa dan melihat satu per satu isi di dalamnya, lalu menatap gadis di sebelahnya dengan mata berbinar-binar.
"Bukan kita, melainkan kamu." Gadis itu menunjuk ke arah Charlotte begitu ia mengucapkan kata "kamu".
Kini mereka berdiri di depan sebuah rumah. Hanya rumah sederhana dengan warna putih dan kecokelatan yang terletak di dalam sebuah gang yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki. Terdapat sebuah pekarangan bunga kecil di sebelah kanan dan kiri, membuat rumah tersebut terkesan nyaman walaupun sederhana. Gadis itu merogoh tas kain miliknya dan mengeluarkan sebuah kunci yang kemudian ia gunakan untuk membuka kunci rumah itu.
"Aku? Apa maksudmu, Mala?" Charlotte menunjuk dirinya dengan jari telunjuk, menatap gadis di hadapannya kebingungan.
Alih-alih menjawab pertanyaan Charlotte terlebih dahulu, gadis itu justru sibuk meletakkan barang-barangnya dan mengganti sepatu sekolah dengan sandal yang ia gunakan di dalam rumah.
"Kemala! Kau dengar tidak?" Charlotte meninggikan volume suaranya, berpikir bahwa gadis itu tidak mendengar apa yang ia tanyakan.
"Aku dengar, Charlotte. Tidak perlu berteriak!!" Gadis bernama Kemala itu ikut meninggikan nada suaranya.
"Baiklah..." Charlotte membalas dengan suara yang pelan.
"Lepas sepatumu terlebih dahulu, lalu ganti dengan sandal yang ada di sana." Kemala menunjuk ke arah sepatu Charlotte, lalu menunjuk ke arah beberapa pasang sandal yang ada di belakang pintu rumahnya.
Charlotte menganggukkan kepala dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Kemala. Ia meletakkan tas belanjaannya pada kursi kayu disebelahnya, melepas sepatu sekolahnya, dan mengantinya dengan sepasang sandal yang terasa pas di kedua kakinya.
Setelahnya, Charlotte meraih tas belanjanya dan berjalan mengikuti Kemala yang berjalan masuk ke dalam rumahnya, terlihat bahwa ia sedang berjalan menuju dapur yang terletak di bagian belakang rumahnya.
Kemala mengambil beberapa guci tanah liat dan meletakkannya di atas meja, kemudian memberi isyarat kepada Charlotte untuk mengeluarkan bahan-bahan yang ada di dalam tas belanjanya dan menaruhnya di atas meja.
"Hari ini aku harus membantu nenekku untuk merangkai bunga. Jadi aku tidak bisa menemani kau membuat puding susu." Kemala menjelaskan seraya menata bahan-bahan yang ada di atas meja. Walau tidak melihat ke arah Charlotte, Kemala tahu bahwa gadis itu tengah menatapnya dengan tatapan khawatir.
"Aku akan berada di kamar nenekku. Kalau kau memerlukan bantuan, panggil saja." Kemala tersenyum kepada Charlotte, berusaha meyakinkan bahwa tidak ada hal yang harus dikhawatirkan.
"Kau bilang kau sudah pernah memasak sebelumnya, kan? Kalau begitu semuanya akan baik-baik saja!" Kemala menepuk bahu gadis di sebelahnya, lalu mengacungkan jempol ke arahnya, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Charlotte sendiri di dapur tersebut.
"Kalau Angga dan Arsa sudah pulang, tolong bilang kalau aku berada di kamar nenek, ya?" Ujar Kemala sebelum menghilang dari pandangan Charlotte. Charlotte menganggukkan kepada sebagai respon terhadap permintaan Kemala.
Charlotte mulai memandangi bahan-bahan yang tertata rapi di hadapannya, menarik napa yang dalam lalu menghembuskannya. Gadis itu meregangkan kedua tangannya ke depan sebelum mengikuti rambut sebahunya menjadi satu. Kedua tangannya diletakkan di pinggang, dengan senyum tipis yang muncul pada wajahnya.
"Baiklah... Kita mulai sekarang!"
»»——⍟——««
Chapter 3: Serunai dan Puding Susu
Tak seperti biasanya, hari itu Charlotte tidak diantar oleh jongos yang bertugas untuk mengantarnya ke sekolah. Charlotte juga tidak diantar oleh sang ayah menggunakan mobil yang dimilikinya. Beberapa pekan yang lalu, Charlotte terlihat senewen melihat Emily dan beberapa inlander datang ke kediaman keluarga Hofwegen sebuah kardus berbentuk persegi panjang yang tampak berat.
"Rencananya aku ingin memberikannya saat ulang tahunmu yang ke dua belas. Namun menunggu ulang tahunmu terlalu lama! Jadi ku putuskan untuk memberikannya sekarang. Semoga kau menyukainya, Lottie!"
Suara riang Emily saat membawakannya benda itu masih terekam dalam memori Charlotte. Karena penasaran, Charlotte segera membuka kardus tersebut setelah Emily pergi. Sebuah sepeda berwarna putih yang sudah dirakit berada di dalam kardus tersebut. Terlihat kilatan cahaya yang memantul dari kerangka sepeda dan kedua ban nya masih terasa keras, menandakan bahwa sepeda tersebut benar-benar baru.
Alih-alih merasa senang, Charlotte justru merasa bingung, mengapa Emily perlu memasukkan sepeda utuh itu ke dalam sebuah kardus? Jikalau di dalam kardus itu terdapat sepeda yang belum dirakit, Charlotte tidak akan merasa bingung. Sungguh, pikiran wanita itu lain daripada yang lain.
Setelah mencoba membujuk kedua orang tuanya, Charlotte diperbolehkan untuk berangkat menggunakan sepeda barunya. Awalnya, William berencana untuk mengawasinya dari rumah hingga sampai ke sekolah, namun Charlotte menolak mentah-mentah ide tersebut. Dan untungnya, William mengerti akan keinginan anak semata wayangnya itu.
Charlotte mulai mengeluarkan sepedanya dari rumahnya dan mulai mengayuh sepeda tersebut. "Rasanya menyenangkan!" Itulah yang terlintas di benaknya saat sepedanya mulai memasuki jalan raya. Sebuah senyum riang terlukis di wajahnya, menunjukkan betapa senangnya Charlotte saat itu.
Selama ini, William selalu meminta para jongos untuk mengantar Charlotte menggunakan sado, dan terkadang William sendiri yang mengantarkannya ke sekolah menggunakan mobil. Yang bisa Charlotte lakukan hanyalah mengobrol bersama sang ayah atau para jongos yang mengantarnya dan memandangi pemandangan sembari menahan rasa kantuk. Sangat berbeda dengan apa yang ia rasakan saat menaiki sepeda.
Kedua kakinya yang terus bergerak mengayuh pedal sepeda membuatnya terfokus pada hal itu dan melupakan rasa kantuknya. Ditambah angin sepoi-sepoi yang terus menerpa setiap ia mengayuh membuatnya semakin yakin bahwa ia akan menaiki sepeda ke sekolah mulai saat itu. terus menerpa setiap ia mengayuh membuatnya semakin yakin bahwa ia akan menaiki sepeda ke sekolah mulai saat itu.
Jalanan kota pagi itu sudah mulai ramai. Mobil dan sado terlihat berlalu lalang, para pedagang mulai membuka gerai dagangan mereka, dan juga beberapa anak sekolah terlihat mulai bersikap dan berangkat. Tak jarang, Charlotte mendapat sapaan dari orang-orang yang bersekolah di tempat yang sama dengannya. Charlotte mulai menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menjawab sapaan dari orang-orang itu.
Hal itu membuat fokusnya terpecah. Charlotte yang terus membalas sapaan tak lagi memfokuskan pandangannya kedepan. Alhasil, Charlotte merasakan bahwa ia telah menabrak sesuatu. Ukuran cukup besar jika dibandingkan dengan anak kecil hingga membuat dirinya ikut terjatuh dari sepeda.
"Aduhhh!!" Suara tersebut memberitahu Charlotte bahwa yang baru saja ia tabrak adalah seorang perempuan, kedengarannya seperti seorang gadis kecil yang sepantaran dengannya.
Dengan cepat, Charlotte mendirikan sepedanya dan menyandarkannya ke tepi jalan yang terletak agak jauh dari tempat kejadian. Setelahnya, Charlotte berlari ke arah gadis itu. Terlihat jelas bahwa Charlotte benar-benar khawatir saat itu.
"Astaga, maafkan aku! Aku tak bermaksud untuk menabrakmu, aku terus melihat ke arah lain tadi." Charlotte menaikkan tempo bicaranya secara tak sadar. "Apa kau terluka? Aku bisa mengobatinya jika kau mau." Lanjutnya seraya mengulutan tangan untuk membantu gadis itu untuk berdiri.
Gadis itu mengenakan gaun selutut berwarna kuning pucat yang kini dikotori oleh debu, rambut panjangnya yang terurai menutupi sebagian besar wajahnya, membuat Charlotte kesulitan untuk mengetahui wajahnya. Di sekitar gadis itu, telihat beberapa rangkaian bunga yang jatuh berserakan dengan sebuah keranjang anyaman rotan yang berada tak jauh dari sana.
Setelah membantu gadis itu berdiri, Charlotte memutuskan untuk membereskan rangkaian bunga yang berserakan di atas jalan.
"Tidak perlu..." Gadis itu berkata, namun karena suaranya yang lirih membuat Charlotte tak mendengar dengan jelas apa yang ia katakan.
"Kau mengatakan sesuatu?" Tanya Charlotte, melihat ke arah gadis itu sembari terus membereskan rangkaian bunga tersebut.
"Kau tidak perlu membereskannya—Aaawww!!"
"Hei! Apa yang terjadi denganmu!?"
Suara mereka membuat orang-orang berkerumun di sekitar mereka, membuat suasana menjadi semakin ramai ricuh. Untungnya, seorang polisi yang tengah berpatroli saat itu segera membubarkan kerumunan tersebut.
"Kalian ini kenapa? Apa yang terjadi?" Tanya sang polisi. Walau nada bicaranya terdengar tegas, namun raut wajahnya menunjukkan bahwa polisi itu sedang kebingungan.
"Aku tak sengaja menabraknya..." Charlotte menjawab, namun tidak menatap petugas polisi itu. Entah ia merasa takut atau malu pada saat itu.
Polisi tersebut hanya mengangguk sebagai respon, kemudian mengalihkan pandangan kepada si gadis bergaun kuning di sebelahnya.
"Apa kau terluka, Nona?" Petugas polisis itu kembali bertanya.
"Tidak..." Gadis itu menggelengkan kepalanya, suaranya masih terdengar pelan dan lirih.
"Benar-benar tidak ada yang terluka?" Kini, giliran Charlotte yang bertanya. Charlotte menggerakkan tubuhnya ke depan dan belakang untuk memeriksa apakah ada luka pada tubuh gadis itu atau tidak. Gadis itu hanya menggelengkan kepala, mengisyaratkan bahwa ia tidak apa-apa.
"Sebaiknya kalian ikut ke kantorku. Aku akan menghubungi wali kalian untuk menjemput." Ujar petugas polisi itu, tak memberi pilihan lain kepada mereka berdua selain mengikutinya ke kantor polisi.
»»——⍟——««
"Lottie!!" Suara khas milik Emily terdengar di seluruh kantor polisi, membuat semua orang yang berada di sana menoleh ke arahnya.
Beberapa saat yang lalu, petugas polisi itu menghubungi Emily untuk memberitahu apa yang terjadi kepada Charlotte. Padahal, Charlotte sudah merasa panik jika polisi tersebut menghubungi orang tuanya. Bisa-bisa ia tidak diperbolehkan untuk menaiki sepeda lagi seumur hidupnya.
Tak perlu waktu yang lama, Emily segera datang ke kantor polisi dan berlari menghampiri Charlotte yang tengah terduduk di salah satu bangku panjang bersama seorang gadis yang tidak asing di matanya.
"Astaga... Apa yang terjadi dengan kalian?" Emily menatap kedua gadis kecil di hadapannya dengan tatapan khawatir. Sesaat setelahnya, petugas polisi yang membawa mereka kemari menunjukkan dirinya, membuat Emily mengalihkan pandangan kepadanya.
"Louis, apa yang terjadi dengan mereka?" Tanya Emily, menatap petugas bernama Louis itu dengan tatapan yang sama.
"Keponakanmu menabrak gadis itu di persimpangan jalan. Kurasa dia terlalu fokus melihat sekeliling sampai lupa memperhatikan apa yang ada di depannya. Aku membawanya ke kantor karena banyak orang yang mengerumuni mereka. Aku tidak ingin mereka merasa tidak nyaman karenanya."
Suara helaan napas dari Emily terdengar setelahnya. Wanita itu kembali menatap kedua gadis yang ada di hadapannya itu.
"Maaf..." Tutur Charlotte dengan pelan, kepalanya kembali menunduk.
"Tidak apa, Lottie. Jadikan ini pelajaran bagimu agar tetap fokus saat menaiki sepeda." Emily tersenyum halus, dengan tangan kanannya yang mengusap pipi Charlotte, bermaksud untuk menenangkannya. Kemudian, Emily beralih kepada gadis yang berada di sebelah Charlotte.
"Kau sendiri tidak apa-apa, Kemala? Apa ada yang terluka?" Tanya Emily dengan lembut dan khawatir. Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Kau ingin pergi ke toko bunga milik nenekmu, ya?" Wanita itu kembali bertanya, dan gadis itu hanya mengangguk.
"Lottie, kau masih bisa berangkat ke sekolah, kan?" Emily kembali menatap Charlotte yang mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya.
"Kalau begitu, aku akan mengantarnya terlebih dahulu. Tenang saja, kau tidak akan dimarahi oleh guru." Ujar Emily dengan nada yang sedikit bercanda.
"Terima kasih atas bantuannya, Louis. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepada mereka jika kau tidak ada di sana." Emily menatap ke arah Louis yang berdiri di sebelahnya.
"Sudah menjadi tugasku untuk melakukannya." Louis mengangguk pelan sembari menunjukkan senyum tipis.
Kemudian, mereka bertiga berjalan keluar dari kantor polisi. Emily dan Charlotte menyiapkan sepeda mereka masing-masing sementara gadis yang bernama Kemala itu hanya terdiam dan memerhatikan mereka berdua. Setelah menyiapkan sepedanya, Charlotte merogoh tas selempang miliknya sembari berjalan menuju Kemala.
"Ini. Sebagai tanda permintaan maaf dariku." Charlotte mengulurkan sebuah cup yang berisi puding berwarna putih kepada Kemala.
"Ini... Apa?" Kemala sedikit memiringkan kepalanya, menatap Charlotte dengan tatapan bingung.
"Puding susu. Baru saja aku buat kemarin! Aku ingin kau menjadi orang pertama yang mencobanya." Charlotte tersenyum ke arah gadis di hadapannya itu, berharap bahwa gadis itu akan menerima permintaan maafnya.
Dengan sedikit keraguan, Kemala perlahan-lahan mengulurkan tangannya untuk menerima puding susu yang diberikan oleh Charlotte.
"Terima kasih..."
Charlotte hanya tersenyum, kemudian menaiki sepedanya dan siap untuk mengayuh sepedanya. Namun, sebelum Charlotte mengayuh sepedanya, ia merasakan ada seseorang yang menarik ujung seragamnya dari belakang.
"Untukmu." Ternyata itu adalah Kemala. Dia menyodorkan setangkai bunga berwarna merah muda kepada Charlotte, membuat Charlotte menatapnya keheranan.
"Karena kau sudah memberi sesuatu kepadaku, aku juga akan memberikanmu sesuatu." Gadis itu berkata, suaranya tak lagi pelam dan lirih. "Ini bunga Seruni, atau mungkin yang biasa kau sebut dengan chrysant."
Charlotte menatap bunga itu dengan seksama, sebelum akhirnya menerima bunga dari Kemala.
"Terima kasih untuk bunga ini. Aku akan menyimpannya di kamarku."
Itulah yang terjadi sebulan yang lalu, di saat Charlotte dan Kemala pertama kali bertemu.
»»——⍟——««
"Kakak! Aku pulang!!"
Suara dia orang anak kecil mengucap kalimat tersebut bersahutan, diiringi oleh gelak tawa dan derap langkah kaki semakin mendekat ke arah dapur.
Kini, mereka berdiri di depan pintu dapur, menatap seorang gadis Londo asing yang tengah membuat sesuatu di dapur mereka dengan tatapan kagum dan sedikit ketakutan. Kagum, karena melihat parasnya yang jelita, dan takut, kalau dia akan melakukan sesuatu yang jahat kepada mereka berdua. Tanpa disadari, mereka berdiri mematung sembari berpegangan tangan erat.
Charlotte sudah menyadari hal itu, namun ia memutuskan untuk memindahkan puding susu yang sudah ia buat, membereskan bahan-bahan yang masih tersisa, dan meletakkannya dalam beberapa kendhil kosong yang terletak tak jauh dari sana. Baru setelahnya, Charlotte menoleh ke arah kedua anak itu dan tersenyum simpul.
Kedua anak laki-laki itu berambut cokelat dengan kedua netra yang berwarna cokelat terang, kulitnya sawo matang dengan fitur wajah seperti anak-anak inlander pada umumnya. Dilihat dari keseluruhan penampilannya, kedua anak itu terlihat lebih terawat dibandingkan anak-anak dati para jongos yang bekerja di kediamannya. Keduanya terlihat mirip, namun terlihat sangat berbeda dengan Kemala, mengingat bahwa mereka bertiga adalah saudara.
"Kemala sedang berada di kamar nenek." Balasnya singkat menggunakan bahasa Melayu. Kedua anak tersebut menjadi semakin terkejut mendengar gadis Londo itu berbicara menggunakan bahasa Melayu.
"Tak perlu takut. Aku hanya datang kemari untuk bermain bersama Kemala." Charlotte tersenyum kikuk, melihat kedua anak itu yang mulai berbisik satu sama lain membuatnya menjadi canggung. Seolah mengetahui kecanggungan yang terjadi, Kemala datang ke dapur dan melihat kedua adiknya dan Charlotte saling bertukar tatap. Ekspresi yang dibuat oleh Charlotte membuat Kemala kesulitan untuk menahan tawa. Bibirnya tetap tersenyum, namun alisnya sedikit berkerut karena kebingungan.
"Angga, Arsa! Apa yang kalian lakukan?" Tanya Kemala, terdengar jelas bahwa ia sedang menahan tawa.
Dengan cepat, kedua anak bersembunyi di balik tubuh Kemala. Salah satu di antaranya masih melihat ke arah Charlotte dari balik tubuh Kemala, dan yang satunya benar-benar bersembunyi di belakang Kemala.
"Hahaha! Ada apa dengan kalian berdua, tiba-tiba menjadi pemalu seperti ini? Dimana sifat 'sok jagoan' yang selalu kalian tunjukkan kepadaku." Kemala berbalik badan, menatap kedua anak laki-laki yang lebih pendek darinya dengan tatapan dan senyum mengejek. Kedua anak laki-laki itu hanya terdiam mendengar ejekan dari sang kakak, sesekali melirik ke arah Charlotte yang masih berdiri di belakang meja dapur, menatap Kemala dengan tatapan bingung.
"Gadis di belakang sana bernama Charlotte. Dia adalah teman sekolahku." Kemala menunjuk ke arah Charlotte yang berada di belakangnya dengan ibu jari.
"Dia memang orang Londo, tapi dia tidak akan menyakiti kita. Iya, kan?" Kemala menoleh ke arah Charlotte, memberi isyarat kepadanya untuk menyetujui ucapannya. Charlotte kembali tersenyum ke arah anak laki-laki yang masih menatapnya dan mengangguk.
"Oh, kalian ingin mencoba puding susu?"
Tawaran tersebut rupanya berhasil membuat kedua anak laki-laki itu tertarik. Keduanya mulai menatap Charlotte dengan mata yang berbinar-binar.
"Oh, tentu saja mereka mau!" Alih-alih kedua anak itu yang menjawab, Kemala justru dengan cepat menjawsb pertanyaan Charlotte, masih menggunakan nada bicaranya yang mengejek.
"Yang menghabiskan puding susu yang kau berikan bulan lalu itu kan mereka. Bahkan aku hanya memakan sesendok kecil saja!" Kemala menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menghela napas panjang. Sungguh, gadis itu terlihat menyebalkan sekarang.
"Kau yang menawarinya terlebih dahulu, jadi jangan marah jika kami menghabiskannya!" Seru salah satu dari kedua anak itu, tidak terima atas apa yang diucapkan oleh kakaknya. Anak yang lainnya hanya menganggukkan kepala, sebagai tanda setuju atas ucapan kembarannya.
"Sudah, tidak apa-apa. Hari ini aku membuat banyak puding susu. Jadi, kalian bisa memakannya sebanyak yang kalian mau!" Charlotte meletakkan kedua tangannya di pinggang dan berseru dengan nada bersemangat, membuat kedua anak laki-laki itu merasa ikut bersemangat.
"Tapi sebelum itu, gantilah seragam kalian terlebih dahulu." Kemala menyamakan tingginya dengan kedua adiknya, memegang salah satu bahu keduanya dengan tangannya, dan berkata dengan pelan dan sedikit mengancam.
Kedua anak itu segera mengangguk dan berlari menuju ke kamar mereka dan menuruti perintah dari sang kakak.
»»——⍟——««
Mereka berempat duduk melingkar pada meja yang ada di dapur dengan beberapa piring puding susu berada di tengahnya. Cahaya matahari menembus dari pintu menuju taman belakang yang dibiarkan terbuka, bersama dengan angin yang ikut menerobos masuk ke dalam rumah itu.
Kemala mulai memperkenalkan kedua adiknya yang bernama Angga dan Arsa kepada Charlotte, beserta cara untuk membedakan mereka. Jika dilihat sekilas, Angga dan Arsa terlihat sama persis bak pinang dibelah dua. Namun jika diperhatikan dengan seksama, Angga memiliki bekas luka sayatan mendatar pada batang hidungnya. Berbeda dengan Arsa yang tidak memiliki luka apapun di wajahnya.
"Membedakan mereka secara penampilan memang sulit. Maka dari itu, cara membedakan mereka yang paling mudah adalah melihat tingkah laku mereka." Kemala menjelaskan sembari memasukkan sesendok puding susu ke dalam mulutnya.
Memang benar, cara yang paling mudah untuk membedakan si kembar adalah melalui sifat mereka. Angga cenderung lebih berani dan lebih ekspresif dibandingkan Arsa yang cenderung pendiam dan pemalu.
"Tapi jika kau mengenal mereka lebih dalam, mereka benar-benar sama. Sama-sama menyebalkan." Ejek Kemala sebelum mendapat cibiran dari Angga dan lirikan sinis dari Arsa.
Suasana ramai di siang hari sudah menjadi hal biasa di rumah sederhana itu. Dan sekarang, rumah tersebut menjadi semakin ramai karena adanya seorang gadis Londo yang berkunjung ke rumah itu. Tak hanya menyantap puding susu, mereka juga saling melontarkan lelucon dan bermain bersama, seperti bermain petak umpet, engklek, dan banyak permainan yang sebelumnya belum pernah dimainkan oleh Charlotte.
Charlotte bersama Angga dan Arsa juga menyempatkan diri untuk membantu Kemala membuat karangan bunga—meskipun pada akhirnya mereka dimarahi oleh Kemala karena telah mengacau. Si kembar juga perlahan-lahan mulai akrab dengan Charlotte dan mulai menunjukkan sifat 'menyebalkan' yang dimaksud oleh Kemala. Tak heran mengapa Kemala selalu memarahi mereka.
Gadis pribumi itu membawa warna baru di kehidupan Charlotte. Memberinya kebahagiaan lain yang belum pernah ia dapatkan, menjadikannya sebagai seseorang yang istimewa bagi Charlotte.
»»——⍟——««
Chapter 4: Lily Oranye
Suasana di koridor begitu ramai. Murid-murid mulai berdatangan dan membentuk sebuah kerumunan, saling berbisik dan mengatakan hal-hal yang sulit terdengar karena ricuhnya suasana. Para guru terlihat kesulitan untuk menerobos ke dalam kerumunan dan melihat apa yang terjadi sebenarnya.
Ada pertengkaran hebat di sana, melibatkan dua anak dari orang tersohor di Batavia dan seorang gadis inlander. Seorang perempuan berambut pirang berdiri di hadapan seorang anak laki-laki berambut cokelat gelap yang tengah memegangi pipi kirinya. Kedua mata birunya menatap rendah laki-laki itu, seakan laki-laki itu melakukan kesalahan yang tak dapat dimaafkan kepadanya.
Suara deru napas laki-laki itu terdengar berat dan keras. Tangan kanannya mulai mengepal, dan kedua matanya yang terlihat memerah terus menatap perempuan di hadapannya tanpa berkedip. Amarah dan kebencian terlihat jelas dari sorot mata hijaunya. Sementara gadis pribumi itu hanya terduduk diam di lantai, suara isak tangis terdengar dari balik surai hitam yang menutupi wajahnya. Kedua tangan meremat karangan bunga lily Oranye yang sudah habis terkoyak.
"Noah Schonerner benar-benar anak gila. Bisa-bisanya ia membenci seseorang hanya karena memiliki sedikit perbedaan dengannya."
Kalimat itu terus terdengar di dalam pikiran Charlotte, menatap laki-laki bernama Noah Schoner yang kini tengah terbakar oleh amarah.
"PEREMPUAN SIALAN! BERHENTI BERSIKAP SEOLAH-OLAH DIRIMU ADALAH MALAIKAT! SIFAT PALSUMU ITU MEMBUATKU MUAK!!!"
Noah berteriak kepada Charlotte, melontarkan kata-kata yang tak pernah disangka akan keluar dari mulut seorang anak berusia sebelas tahun. Tangan kirinya yang sedari tadi mengepal memukul dinding yang berada di sebelahnya, membuat suara benturan yang cukup keras. Keributan yang timbul karena bisikan dan obrolan dari para murid yang berkerumun menjadi hening seketika, meninggalkan suara deru napas Noah yang masih memburu dan derap langkah kaki yang kian mendekat ke arah mereka.
Seorang wanita paruh baya bertubuh kurus dengan wajah ketus muncul dari balik kerumunan bersama beberapa guru yang berada di belakangnya. Rupanya pertengkaran itu menimbulkan keributan yang luar biasa, membuat Mathilda van Blair, sang kepala sekolah ikut turun tangan.
"Noah Schoner!" Seru Mathilda begitu ia berdiri di hadapan ketiga anak didiknya itu.
"Kau ini tidak tahu sopan santun, ya, hingga meneriaki Charlotte dengan umpatan seperti itu?!" Suara wanita paruh baya itu terdengar di sepanjang koridor dan meninggalkan gema suara setelahnya.
Noah hanya terdiam, tidak menatap Mathilda ataupun menjawab pertanyaannya. Laki-laki itu menatap lurus ke arah gadis di hadapannya dengan penuh amarah. Raut wajah Charlotte yang bergeming membuatnya semakin tersulut oleh rasa kesal.
"Dan mengapa tak ada satu pun dari kalian semua yang berusaha melerai mereka?! Hanya terdiam dan menontoni seperti orang bodoh!!" Mathilda mengedarkan pandangannya ke arah kerumunan para murid yang ada di belakangnya. Raut wajah dan nada bicaranya membuat semua orang di kerumunan itu terdiam, tak berani mengucapkan sepatah kata pun.
"Kembali ke kelas kalian dan jangan keluar sebelum jam pelajaran berakhir!!" Hardiknya, membubarkan kerumunan dan meninggalkannya bersama ketiga anak di hadapannya.
"Kalian bertiga ikut ke kantorku. Biarkan orangtua kalian datang dan mendengar penjelasan kalian tentang ini!"
»»——⍟——««
Miranda setengah berlari menyusuri koridor sekolah, pikirannya mulai kalut dikarenakan prasangka buruk yang mulai memenuhi kepalanya. Beberapa saat yang lalu, dirinya menerima panggilan telepon dari Mathilda yang memintanya untuk datang ke tempat anaknya bersekolah. "Datanglah kemari, ke ruang kepala sekolah. Ada sesuatu yang terjadi dengan anakmu." Dua kalimat yang membuat Miranda segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas menuju sekolah.
Kedua kakinya berhenti melangkah begitu Miranda mendengar suara seorang wanita yang sedang berteriak dari balik pintu di sebelahnya. Kemudian pintu tersebut terbuka, memperlihatkan ruangan dengan suasana yang kurang mengenakkan.
Terdapat dua orang wanita paruh baya di sana, yang satu sedang berdiri di hadapannya, dan yang lainnya sedang mengusap kepala seorang gadis kecil yang duduk di sebelahnya. Terlihat pula seorang wanita berambut pirang bergelombang yang tengah membelakangi dirinya, kemungkinan besar suara yang ia dengar tadi adalah suara milik wanita itu. Dan tentu saja putri semata wayangnya yang tengah terduduk di sebelah gadis berambut hitam legam.
"Charlotte!" Miranda segera berlari pelan ke arah putrinya itu dan memeluknya, menghiraukan wanita paruh baya yang ada di hadapannya.
"Apa kau terluka, Sayang? Apa yang terjadi?" Miranda menangkup wajah kecil Charlotte dengan kedua telapak tangannya dan menatapnya dengan khawatir.
Wanita paruh baya itu menghembuskan napas kasar, menutup pintu ruangan tersebut dan berjalan menuju satu-satunya meja yang ada di ruangan itu. paruh baya itu menghembuskan napas kasar, menutup pintu ruangan tersebut dan berjalan menuju satu-satunya meja yang ada di ruangan itu. Miranda kembali melihat ke sekitar seraya merangkul anaknya yang memasang wajah datar, kemudian menyadari satu hal.
Ia mengenali hampir semua orang yang ada di ruangan itu.
Yang pertama adalah Charlotte, anak semata wayangnya. Lalu wanita paruh baya yang tengah berjalan menuju meja di ruangan tersebut adalah Mathilda van Blair, sang kepala sekolah. Wanita paruh baya lainnya ternyata merupakan Nyonya Willem, pemilik toko bunga yang sering ia datangi dahulu. Dan seorang wanita Netherland berambut pirang bergelombang yang tak lain dan tak bukan adalah Adeline de Viest, istri dari salah satu rekan bisnisnya.
"Saya menemukan mereka di tengah kerumunan para murid. Dan saya mendengar anak anda menyerukan memanggil Nona Hofwegen dengan sebutan 'Perempuan Sialan'." Mathilda menjelaskan dengan suara yang tenang namun tetap terdengar tegas. Matanya melirik ke arah Noah dan Charlotte secara bergantian, mendapati raut wajah kedua wanita di sebelah anak-anak itu yang berubah.
"Tidak mungkin anakku melakukan hal itu jika Charlotte tidak membuat masalah terlebih dahulu!!" Hardik Adeline menggunakan bahasa Netherland, merasa tidak terima mendengar pernyataan Mathilda yang seolah-olah menyudutkan anaknya.
"Terlepas dari apapun kesalahan anakku, ucapan tersebut tidak pantas dilontarkan kepada seorang perempuan. Terlebih lagi, ucapan itu keluar dari mulut anak berusia sebelas tahun." Miranda menatap tajam ke arah Adeline, membuat wanita itu mendelik ke arahnya.
Adeline de Viest memang terkenal dengan sifatnya yang angkuh dan tidak mau disalahkan. Jika saja bukan karena kekayaan dan relasi yang ia miliki, tidak akan ada orang yang ingin dekat dengannya, begitu juga dengan Miranda. Alasannya cukup dekat Adeline adalah karena suami Adeline, Alexander de Viest, merupakan rekan bisnisnya.
"Lalu, apa yang membuat cucuku terlibat dalam masalah ini." Nyonya Willem ikut membuka suara.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi di antara anak-anak kita. Oleh karena itu, saya memanggil mereka kemari untuk menjelaskannya secara langsung di hadapan kalian." Mathilda menjawab. Dari balik kacamatanya, Mathilda melirik ke arah Kemala yang sedang menatap ke arahnya dengan tatapan sendu. Semua orang di ruangan itu melihat ke arah Kemala, tidak memberinya pilihan selain menceritakan semua yang telah terjadi di antara mereka bertiga.
»»——⍟——««
Kemala berjalan menyusuri koridor sekolah dengan tas kain berwarna putih yang selalu ia bawa dan sebuah keranjang anyaman rotan yang berisikan beberapa karangan bunga Lily Oranye yang sudah ia rangkai kemarin.
Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk menjual karangan bunganya kepada warga sekolah sehari kali dalam seminggu. Hal itu yang membuat mereka selalu menanyakan kepada Kemala kapan ia akan kembali berjualan karangan tersebut. Dan dagangannya tersebut selalu habis pada hari yang sama, menandakan bahwa banyak yang menyukai karangan bunga milik Kemala. Kepribadian Kemala yang ramah dan manis juga menjadi penyebab mengapa mereka ingin membeli karang bunga miliknya.
Namun, tak sedikit pula yang tak menyukai kegiatan Kemala. Banyak diantara mereka yang mencoba menjatuhkan Kemala dengan alasan bahwa kegiatan kegiatan yang Kemala lakukan melanggar peraturan dari sekolah. Dan tentu saja itu bukan alasan yang sebenarnya. Mengingat Kemala memiliki darah campuran Inlander dalam dirinya membuat beberapa warga sekolah memandangnya dengan rendah. Dan salah satu diantara orang-orang itu berada di dekatnya sekarang.
Tiga orang anak laki-laki tampak memperhatikannya dari kejauhan. Dua diantaranya menatap gadis itu dengan tatapan tak suka dan yang lainnya merasa kebingungan dengan perilaku kedua temannya.
"Kalian ini, terus saja memandangi gadis itu setiap dia lewat. Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua? " Cibir salah satu dari mereka dengan nada yang agak kesal.
Kedua anak itu menoleh kearahnya sekilas, kemudian berbisik satu sama lain dan terkikih beberapa kali.
"Jangan berbisik di hadapanku!" Ucap anak itu setengah berteriak, membuat kedua temannya terdiam dengan ekspresi terkejut.
"Sebenarnya apa yang kalian berdua bicarakan?" Tanya anak itu dengan nada suara yang masih meninggi. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menatap kesal kedua temannya itu.
Kedua laki-laki itu bertukar tatap selama beberapa saat dan tersenyum miring sebelum memutuskan untuk memberitahunya apa yang mereka bicarakan. Salah satu dari mereka mendekati Noah, memberinya isyarat untuk mendekat, kemudian anak itu mulai membisikkan sesuatu ke telinga kanan Noah yang membuatnya melotot ke arah anak itu.
"Kalian sudah gila, ya?! Kalian masih belum jera setelah dipanggil oleh Nyonya Bekker?!" Noah berteriak kesal kepada kedua temannya itu.
"Ayolah, ini tidak seserius yang kau kira, Noah. Para guru hanya akan menganggapnya sebagai kenakalan biasa." Anak itu terkikih sembari menepuk pundak kanan Noah dan menjawab dengan santai.
"Lagi pula biasanya kau yang paling bersemangat saat menjahili anak-anak Inlander itu." Timpal seorang anak berambut cokelat kemerahan yang berjalan mendekat ke arah mereka berdua.
"Itu dulu! Aku tak mau lagi melakukan hal tak berguna itu lagi." Noah membalas, ia mulai menurunkan volume suaranya.
"Apa yang terjadi denganmu? Tidak biasanya kau berperilaku seperti ini." Anak berambut kemerahan itu menatap Noah dengan raut wajah keheranan.
"Benar! Kemana hilangnya seorang 'Noah' pemberani yang selalu disanjung itu?"
"Kesempatan tidak akan datang dua kali, Noah. Kapan lagi kita bisa menjahili gadis Inlander itu?"
Dan dengan berat hati, Noah menghela napas kasar dan mengikuti rencana kedua temannya, yaitu rencana untuk menjahili Kemala. Dalam rencana itu, salah dia dari mereka akan berlari-larian di lorong dan menabrak Kemala. Begitu Kemala tersungkur, salah satu dari mereka akan menginjak-injak rangkaian bunga yang sudah berserakan di lantai. Sama sekali tidak terdengar seperti kejahilan biasa.
Dengan segera, mereka mulai menjalankan rencana jahilnya itu. Sang anak laki-laki berambut kemerahan bersama temannya mulai berlarian di sekeliling lorong dan 'tak sengaja' menabrak Kemala hingga gadis itu tersungkur.
"Aduh!!" Gadis itu merintih kesakitan, lantaran anak berambut kemerahan itu menabraknya dengan keras.
Alih-alih memint maaf, anak laki-laki itu justru menendang keranjang anyaman rotan milik Kemala yang sudah tergeletak di atas lantai, membuat semua karangan bunga di dalamnya berserakan. Suara tertawa mereka terdengar bersamaan dengan datangnya Noah dari arah yang berlawanan.
Laki-laki berambut cokelat gelap itu menatap Kemala yang tengah tersungkur di hadapannya. Jari jemarinya mulai bergerak ke arah karangan bunga yang ada tepat di depannya, berniat untuk mengambil karangan bunga tersebut dan meletakkannya kembali ke dalam keranjang anyaman rotan miliknya.
Belum sempat tangannya meraih karangan bunga tersebut, Noah mendaratkan kaki kanannya ke atas ke atas karangan bunga tersebut, menggerakkan kakinya ke kanan, ke kiri, dan beberapa kali menginjaknya, membuat karangan bunga yang semulanya indah menjadi hancur tak berbentuk.
Kedua anak laki-laki yang berada di belakang Kemala juga melakukan hal yang serupa, menginjak-injak karangan bunga tersebut hingga hancur, menertawakan gadis itu seraya melontarkan ejekan menggunakan bahasa Netherland. Noah terdiam, menatap gadis itu dengan wajah angkuh khas nya yang tengah dipermalukan oleh teman-temannya. Sesungguhnya, Noah tidak tahu mengapa ia memilih untuk mengikuti rencana jahil teman-temannya. Yang ada di benaknya hanyalah perdebatan, apakah hal yang ia lakukan ini benar atau salah.
Suara tawa dari kedua anak laki-laki itu rupanya memancing perhatian semua orang di koridor. Seluruh mata di sana seketika melrik ke arah mereka dengan tatapan yang berbeda. Ada yang menatap nereka dengan kesal dan marah, ada yang menatap mereka dengan tatapan miris, bahkan ada yang menatap gadis itu dengan tatapan meremehkan.
Lama kelamaan, orang-orang tersebut mulai mendekat ke arah nereka dan membuat sebuah kerumunan. Melihat hal yang terjadi di luar rencana mereka, kedua anak laki-laki itu bergidik ngeri. Mereka menatap satu sama lain dan menganggukkan kepala, sebelum akhirnya meninggalkan Noah bersama Kemala di dalam kerumunan tersebut.
Noah yang baru menyadari bahwa kedua temannya sudah tidak ada di sana mengerang kesal sembari terus menginjak karanga bubga tersebut. Kemala hanya menunduk di sana, melihat karangan Lily Oranye indah miliknya yang semakin hancur. Dirinya tahu bahwa ia tidak akan bisa melawan seorang anak dari orang tersohor di Batavia.
Di saat yang sama, Charlotte berhasil menembus kerumunan tersebut dan mendapati sahabatnya yang sedang tersungkur di lantai dengan seorang laki-laki yang sedang menginjak-injak karangan bunga berwarna oranye dengan penuh amarah.
Tanpa berpikir panjang, Charlotte berjalan ke arah laki-laki itu. Tangan kirinya terangkat dan sebuah tamparan keras mendatar di pipi kiri Noah.
»»——⍟——««
"Bohong! Gadis itu pembohong! Gadis itu hanya mengarang cerita untuk menyudutkan putraku." Adeline kembali meracau. Dengan jari telunjuknya, wanita Netherland itu menunjuk ke arah Kemala dengan mata melotot, membuat Kemala mulai menyembunyikan wajahnya di balik tubuh ramping Nyonya Willem.
"Itu cerita yang sebenarnya, Nyonya." Charlotte menengadahkan kepalanya, membuat Adeline mendelik ke arahnya.
"Jika tidak percaya, kau bisa menanyakannya langsung ke anakmu." Gadis berambut terikat satu itu menatap ke arah laki-laki yang terduduk di belakang tubuh Adeline.
Adeline membalikkan badannya, menatap putra semata wayangnya dengan tatapan yang lembut.
"Apa itu benar, Sayang?" Wanita itu bertanya, suaranya terdengar halus, sangat berbeda dengan suaranya beberapa saat yang lalu.
"Iya. Itu cerita yang sebenarnya, Ma." Laki-laki itu mengangguk, terus menundukkan kepalanya dan tak berani menatap sang ibu yang ada di hadapannya.
"Astaga, Noah..." Adeline menunduk dan memeluk erat anaknya, benar-benar tidak menyangka atas apa yang dilakukan oleh anaknya.
"Lalu, apa tindakan yang akan anda ambil untuk menangani kejadian ini, Nyonya Blair?" Miranda menatap ke arah Mathilda yang terduduk di balik meja nya, berharap wanita paruh baya itu akan memberikan jawaban yang memuaskan.
"Saya dan para guru akan melakukan pengawasan yang lebih ketat, terutama kepada Tuan Viest dan Kemala." Mathilda melihat ke arah Noah dan Kemala secara bergantian.
"Dan saya juga akan memberikan sanksi kepada Nona Hofwegen dan Tuan Viest berupa skors karena melangga peraturan sekolah.
»»——⍟——««
Chapter 5 : Lembah Merah di Kota Batavia
Batavia, 1942
Keramaian kota yang semula menjadi hal yang biasa di Batavia seakan-akan sirna begitu saja. Kabar burung tentang kedatangan Nippon ke Hindia Belanda membuat orang-orang Netherland yang menetap di sana memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Namun tidak dengan keluarga Hofwegen.
Meski sudah peringatkan berkali-kali untuk kembali ke tempat asalnya, William tetap bersikeras bahwa dirinya dan keluarganya akan baik-baik saja di tanah jajahan bangsanya itu. Bisnisnya yang sedang berada di puncak kejayaan menjadi salah satu penyebab mengapa ia tetap ingin berada di Batavia. Bahkan peringatan dari sang Ibu yang berada di Netherland dihiraukan begitu saja oleh William.
"Pria itu sudah dibutakan oleh ambisinya."
Satu demi satu, warga Netherland mulai meninggalkan tanah jajahan mereka, termasuk Emily. Setelah mendapatkan surat dari Angeline van Hofwegen, Emily langsung membuatkan tekadnya untuk kembali ke Rotterdam.
Emily juga berencana untuk mengajak keluarga Hofwegen kembali ke Netherland, namun ajakannya itu ditolak mentah-mentah oleh sang kepala keluarga.
"Kami akan baik-baik saja, Emily. Aku yakin itu hanyalah kabar burung yang digunakan para Inlander untuk mengusir kita dari sini." Ujar William dengan wajah yang kamu dan nada bicara yang angkuh.
Meski begitu, Emily tetap berusaha untuk membawa mereka kembali ke Netherland. Dan karena hal itulah terjadi perdebatan antara Emily dan William di kediaman keluarga Hofwegen.
"Hindia Belanda sudah tidak aman lagi! Hentikan ambisimu untuk terus mengembangkan bisnis itu! Semua yang kau lakukan hanya berujung pada kemalangan yang akan menimpa keluargamu!!" Emily berseru.
Untung saja, Miranda segera datang dan melerai Emily dan William yang sudah sama-sama naik pitam. Wanita itu membawa keduanya ke ruang keluarga dan membicarakan sesuatu di sana. Dengan berat hati, Emily akhirnya menerima keputusan dari kakaknya itu, untuk tetap menetap di Hindia Belanda.
Charlotte berada di dapur saat itu, samar-samar mendengar perdebatan yang terjadi antara ayah dan bibinya. Mengingat ia juga mendapatkan surat dari sang nenek yang memintanya untuk kembali ke Netherland, gadis itu mulai meragukan keputusan kedua orang tuanya untuk menetap di Hindia Belanda.
Hari demi hari pun berlalu. Kota Batavia yang ramai seketika berubah bagaikan kota tak berpenghuni. Charlotte kembali mengendarai sepeda dengan sebuah tas selempang putih dan seragam sekolahnya yang lengkap. Tidak, gadis itu tidak akan pergi sekolah, melainkan menuju sebuah pemukiman warga yang terletak balai kota.
Sekolah yang ia tempati kini hampir tidak beroperasi lagi, hanya menyisakan beberapa Inlander yang sesekali datang untuk membersihkan kawasan sekolah itu. Bagaimana tidak, rasanya hampir semua orang Netherland di tanah itu sudah kembali ke tempat asalnya, termasuk para guru dan murid-murid di sana.
Gadis itu menyandarkan sepedanya pada salah satu pohon yang berada di dekat sana, kemudian berjalan memasuki sebuah gang kecil sebelum akhirnya menemukan sebuah rumah sederhana di dalamnya. Seorang wanita paruh baya yang sedang menyirami tanaman di halaman rumah itu menoleh ke arahnya dan memberikannya senyuman hangat. Tak lama setelahnya, dua anak laki-laki dengan wajah yang mirip berlari keluar rumah sembari memanggil-manggil namanya.
"Kau ini sudah gila, ya? Anak sekecilmu mana bisa berpergian jauh seperti itu! Memangnya kau tidak takut diculik?" Kemala mulai mengomeli Charlotte dengan raut wajah yang kesal.
"Mengapa kau tidak ikut saja dengan bibimu?" Tanya Kemala sembari duduk pada kursi di hadapan Charlotte.
"Orang tuaku tidak memperbolehkannya. Maka dari itu aku akan pergi sendiri." Jawabnya dengan yakin, kemudian menyeruput teh yang telah dihidangkan oleh Kemala.
Gadis berambut hitam legam itu hanya dapat menggelengkan kepala mendengar apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Charlotte memang selalu membuatnya tak habis pikir.
"Aku sudah berbicara dengan salah satu rekan bisnis ayahku yang akan pergi ke Netherland besok, mungkin aku akan pergi bersama mereka." Charlotte kembali bergumam.
Belum sempat memberikan tanggapan, Nyonya Willem berlari dengan tergopoh-gopoh memasuki rumah tersebut bersama Angga dan Arsa yang terlihat ketakutan, membuat kedua gadis itu kebingungan karenanya.
"Mereka datang." Bisiknya, kemudian segera menarik tangan kedua gadis itu dan berlari menuju kamar dan menguncinya.
Melihat kedua adik kembarnya yang terlihat sangat ketakutan, Kemala menghampiri mereka dan memeluk mereka, berharap bahwa kedua adiknya itu akan merasa lebih tenang setelah dipeluk. Dengan napas yang terengah-engah, Nyonya Willem mulai merangkak menuju bawah kasur, terlihat seperti sedang melakukan sesuatu, menghiraukan tatapan bingung yang Charlotte tujukan kepadanya.
"Apa yang terjadi, Oma? Apa yang Oma maksud dengan mereka datang? Dan apa yang sedang Oma lakukan sekarang?" Charlotte langsung menghujani Nyonya Willem dengan pertanyaan.
Charlotte berjalan mendekat ke arah Nyonya Willem dan mulai berjongkok untuk melihat apa yang dilakukan oleh wanita paruh baya itu. Betapa terkejutnya ia begitu melihat sebuah lubang besar yang terbuka di bawah tempat tidur Nyonya Willem.
"Mereka tentara Nippon. Mereka datang untuk menghabisi kita, orang-orang Netherland yang masih ada di Hindia Belanda." Wanita itu menjawab dengan suaranya yang bergetar.
"Dan di dalam ada tempat untuk berlindung yang selalu kami gunakan saat tentara datang untuk menyerang kami."
Jawaban tersebut berhasil membuat bulu kuduk Charlotte berdiri, ditambah oleh suasana kericuhan yang mulai terdengar dari luar membuat jantungnya berdegup sangat kencang. Rupanya benar apa yang dikatakan oleh bibinya tempo hari.
Hindia Belanda sudah tidak aman lagi.
Suasana menjadi semakin mencekam begitu mereka mendengar suara dobrakan pintu dan langkah kaki yang semakin lama semakin mendekat. Dan dari langkah kaki tersebut, dapat diketahui bahwa ada lebih dari sepuluh orang yang sudah berada di sana. Dengan segera, Nyonya Willem mengisyaratkan kepada mereka untuk segera masuk ke dalam lubang tersebut.
Arsa, Angga, Nyonya Willem, dan Kemala memasuki lubang tersebut secara bergantian, namun tidak dengan Charlotte. Entah apa yang ada di benaknya saat itu, Charlotte hanya terdiam dengan posisi jongkok di hadapan kasur tersebut. Napasnya terdengar memburu dan keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya.
Kemala yang melihat hal itu segera berbisik dan mengisyaratkan Charlotte untuk segera masuk ke dalam lubang tersebut, namun gadis itu sama sekali tidak merespon. Dan ketika Kemala mulai mengulurkan tangan kanan untuk menarik sahabatnya itu, cairan merah kental mencurat le arahnya, membuat cairan merah itu mengotori tangan dan sebagian wajahnya.
Kemudian, Kemala melihat dengan mata kepalanya sendiri, seonggok kepala dengan wajah yang sangat dia kenali tergeletak di lantai dengan sepasang kaki bersepatu hitam tengah berdiri di belakangnya. Setelahnya, Kemala merasakan dirinya ditarik ke bawah dan melihat Nyonya Willem dengan cepat menutup lubang besar tersebut.
Dengan darah yang mengotori sebagian wajah dan tangannya, Kemala menutup mulutnya dengan tangan kiri, menahan tangisan pilu yang keluar dari mulutnya itu. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari netra gelapnya, suara isak tangis yang tertahan membuat dadanya terasa sesak. Bahkan pelukan hangat dari sang nenek sama sekali tidak menghilangkan rasa sedih yang menyelimuti dirinya.
»»——⍟——««
"Namanya Charlotte van Hofwegen. Gadis Netherland berusia belum genap dua belas tahun, harus mengalami akhir hidupnya yang tragis dan memilukan. Sebelum akhir hayatnya, gadis itu memikirkan tentang keadaan kedua orang tuanya. Apakah mereka akan baik-baik saja? Apakah mereka sudah dihabisi oleh tentara Nippon? Dan apa yang akan mereka pikirkan jika ia berakhir di tempat ini?"
»»——⍟——««
Epilog
Jakarta, 2023
Suara hiruk-pikuk jalan raya di Ibukota Indonesia perlahan mulai tersamarkan, berganti dengan suara deru angin sepoi-sepoi dan kicauan para burung yang seolah menyambut kedatangan mereka. Seoanjang mata memandang, yang dapat mereka lihat hanyalah sekumpulan rumah yang terlihat tak terurus dan diselimuti oleh hijaunya daun dari tanaman merambat. Berkat adanya cahaya matahari yang menyinari seluruh penjuru tempat itu dan kicauan burung-burung yang terdengar riang, rasa takut yang semula menyelimuti pikiran mereka seakan-akan sirna begitu saja.
Deru mesin mobil mereka tak lagi terdengar, bersamaan dengan sang pengemudi yang menghentikan mobil tersebut di depan sebuah gang kecil di antara dua rumah yang sudah terbengkalai.
"Ayo turun. Kita udah sampai." Perempuan itu melepas seat belt yang dikenakannya, kemudian melihat ke kaca mobil dan merapikan rambut hitam pendeknya.
"Zoya, ini kita gak nyasar, kan?" Laki-laki yang berada di sebelah perempuan bernama Zoya itu bergidik ngeri, melihat rumah-rumah terbengkalai dan sekelilingnya yang mulai di penuhi oleh tumbuhan yang merambat.
"Ya, enggak lah! Orang kata Ayah bener kok di sini." Zoya menjawab dengan nada suara yang agak meninggi, kemudian membuka pintu mobil di sebelahnya dan keluar dari mobil tersebut.
"Kamu yakin rumah nenek beneran di sini?" Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Hijaunya dedaunan yang menyelimuti bangunan-bangunan menandakan benar-benar tidak ada kehidupan di sana.
"Beneran, Zeon. Ayah gak mungkin salah ngasih titik lokasi." Zoya mengeluarkan ponselnya, menunjukkan titik lokasi yang dikirimkan oleh ayah mereka kepada Zeon.
Melihat hal tersebut, Zeon menghela napas singkat dan menggaruk tengkuknya. Kemudian mulai melangkahkan kakinya mengikuti sang kakak yang berjalan terlebih dahulu memasuki sebuah gang kecil di hadapannya.
"Seingatku rumah nenek enggak masuk gang gini." Ujar Zeon yang sedikit kesulitan memasuki gang kecil tersebut karena membawa beberapa kardus.
"Seingatmu, apanya? Kamu aja gak pernah mau kalau diajak ke rumah nenek." Ketus Zoya.
Tak lama setelah menyusuri gang tersebut, mereka sampai di sebuah rumah dengan cat putih dan beberapa bunga yang masih terlihat terawat pada pekarangan kecil yang ada di sisi kanan dan kiri, membuat Zeon yang sama sekali belum pernah datang ke tempat itu terpana. Zoya merogoh tas kecil yang ia bawa untuk mengambil sebuah kunci, yang kemudian ia gunakan untuk membuka pintu rumah tersebut.
Memasuki rumah tersebut, mereka disambut oleh setiap ruangan yang bernuansa putih dengan beberapa foto terpajang pada dinding rumah itu.
"Foto-foto, dokumen-dokumen, sama album foto yang ada di sana bawa pulang semua, ya. Jangan sampai ada yang tertinggal." Zoya membacakan instruksi yang dikirimkan oleh sang ayah melalui chat, membuat Zeon yang sedang mengamati foto-foto yang terpajang di ruang tamu menoleh ke arahnya.
"Biar cepat, aku beresin dokumen-dokumen, kamu ngurusin album sama foto-foto." Ujar Zoya yang dibalas anggukan kepala oleh Zeon.
Mereka pun mulai melakukan apa yang diperintahkan oleh ayahnya, Zeon akan membereskan foto-foto yang ada di sana, sementara Zoya akan membereskan dokumen-dokumen yang ada di kamar mendiang nenek mereka. Sembari meletakkan satu demi satu bingkai foto ke dalam kardus, Zeon terus mengamati rumah mendiang neneknya itu dengan seksama. Nuansa putih pada seluruh ruangan di rumah itu memberikan kesan tenang dan damai. Ditambah dengan furnitur dan beberapa dekorasi yang masih terbuat dari kayu membuat rumah tersebut terkesan antik. Jujur saja, Zeon merasa menyesal karena selalu menolah ajakan untuk berkunjung ke rumah neneknya.
"AAAAAAAA!!!"Suara teriakan seorang perempuan terdengar terdengar dari arah belakang, yang tak lain adalah suara teriakan Zoya.
Dengan segera, Zeon berlari menuju sumber suara, mendapati Zoya yang sudah tersungkur di lantai. Tubuhnya bergetar hebat dengan tatapannya yang terkunci pada satu sudut di ruangan itu.
"Kenapa, Kak?" Seru Zeon sembari berlari mendekat ke arah sang kakak.
"Ke... Ke... Kepala..." Tangan Zoya terangkat, menunjuk ke arah sebuah ruangan tak berpintu di hadapannya, membuat Zeon menoleh ke arah itu.
Betapa terkejutnya Zoen ketika melihat seonggok kepala seorang gadis berambut pirang terpajang dalam sebuah jar kaca transparan yang terletak di dalam ruangan tersebut dengan sebuah cairan di dalamnya. Beberapa foto bernuansa hitam putih tertempel pada dinding ruangan tersebut bersama bunga serunai putih yang menghiasi sekitar jar tersebut.
Tanpa berpikir lama, kedua kakak beradik itu berlari keluar dari rumah tersebut, melupakan perintah yang diberikan oleh ayah mereka dan meninggalkan rumah tersebut dalam kondisi pintu utama terbuka.
Ada satu hal yang tidak bisa mereka lupakan, yaitu sebuah tulisan 'Charlotte' yang terpajang di atas jar berisi kepala tersebut.
»»——⍟——««