Evancenst
Prolog
Suasana sore ini tampak tidak mendukung seorang pemuda yang sedang berlari mengelilingi sekitaran komplek guna menghindari sosok yang sedari tadi terus mengejarnya. Matanya menatap lurus ke depan mencari jalan yang sekiranya bisa ia gunakan menjadi tempat persembunyian, sesekali ia melihat ke belakang memastikan apakah ia masih dikejar oleh sosok itu atau tidak. Jalan buntu, sekali lagi, semesta tidak berpihak kepadanya, ia terpaksa membalikkan badannya menghadap sosok pemuda yang sedang berdiri tidak jauh dari hadapannya sambil tersenyum ke arahnya. Lebih tepatnya seringai yang tampak begitu meremehkannya.
“Lo gak bisa kabur lagi kali ini, Reksa Galileo.” Ujarnya penuh penekanan.
“Lo ada masalah apa sih sama gue?”
“HAHAHA, lo serius nanya itu? Banyak.” Sarkasnya sambil mengeluarkan sebilah pisau yang sedari tadi ada di saku jaketnya.
“Lo mau apa? Kenapa lo ngeluarin pisau?” Pemuda yang bernama Reksa itu kini menunjukkan badannya yang gemetar.
Pemuda di hadapannya mendecih, tatapannya turun ke pisau yang ia pegang. “Buat bunuh lo.”
“Lo gila?! Kita temen.” Pekik Reksa tidak habis pikir.
Dengan gerakan cepat tangan pemuda itu sudah ada di leher Reksa, menodongnya dengan pisau yang sudah ia asah setajam mungkin. “Temen apa? Lo jelas-jelas ngomongin gue dari belakang, sekarang lo masih bisa nyebut kalau
“HARRYS! HARRYS! HARRYS!” Teriak Ajiwa tiba-tiba, pemuda dengan nama panjang Ajiwa Askadenan itu baru saja sampai di warung milik temannya yang bernama Harrys, lebih tepatnya milik orang tuanya.
“HAH? APA? KENAPA?” Balas pemuda dengan surai kuning, Harrys Khasano namanya, ia yang kaget langsung teriak dari dalam.
“Lo dicariin tadi,” kata Ajiwa sembari menepuk punggung pemuda yang usianya lebih tua 6 bulan dengannya itu.
“Sama siapa?” Harrys memasang mukanya yang kebingungan. “Sama yang maha kuasa.” Jawabnya santai.
“Pft HAHAHAHA.” Tawa pemuda yang duduk di seberang Harrys, wajahnya yang sedari datar, sekarang sudah tertawa lepas saat melihat muka Harrys yang tadinya panik sekarang malah muram. Emang Ajiwa, suka sekali mengganggu temannya itu, kan kasihan mukanya jadi merah.
“Parah lo, Ji.” Kata Sakala—salah satu temannya juga yang sedari tadi mengamati kelakuan temannya—sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dramatis.
“Awas jangan gangguin anak yang punya warung, nanti lo diusir lagi.” Ucap pemuda yang duduk di seberang Harrys, Marvelix Eghadisto namanya bisa dipanggil Marvel, pemuda dengan sedikit keturunan Australia itu mulai menyudahi tawanya.
“AHAHA peace bro, damai kita. Lagian gue gabut sepi banget.”
“Sepi gimananya sih woi? Lo gak liat itu pengunjung nyampe ngeliatin lo dari awal masuk gara-gara lo berisik?” Sungut Harrys kesal karena sekarang mejanya jadi pusat perhatian. “Bodo amat, lo jangan deket-deket gue.”'
“Dih ngambek, bercanda kali gue Rys, ayo maafkan temanmu yang ganteng ini.”
“Halah pret.”
“AHAHAHA udah-udah gue gak kuat.” Kondisi Marvelix sekarang sudah ada di lantai, tiduran sambil menyeka air matanya yang keluar, gak tau ya, Marvel ini humornya receh banget.
“Ya Tuhan, kenapa gue bisa temenan sama mereka?” Kata Sakala yang pusing melihat kelakuan temannya itu.
“Udah, bangun Vel, bapak lo liat!” Kata Ajiwa menyuruh Marvel bangun.
“HAH? MANA BAPAK GUE?” Mendengar kata Aji, ia langsung bangkit berdiri. Matanya celingak-celinguk mencari keberadaan bapaknya yang di maksud Aji.
“Itu belakang lo,” sahut Ajiwa lagi.
“Gak ada tuh.” Ucap Marvel setelah melihat ke belakang.
Meow
“Nah itu.” Tunjuk Ajiwa dengan dagunya ke arah bawah.
Marvel memutar bola matanya malas, “itu kucing ya, Ji. Gue sirem juga lo.” Kesal Marvel yang ternyata dia juga di kerjai oleh Aji.
“AHAHAHA.” Tawa Harrys lepas, ia senang karena ia tidak sendirian menjadi korban kejahilan Ajiwa.
Tuing!
Sesaat setelah melihat ponselnya, Harrys langsung bertanya kepada teman- temannya, “Eh lo pada ada yang ketemu Reksa?”
“Hah Reksa? Gua udah jarang liat dia sih akhir-akhir ini.” Jawab Sakala.
“Iya, gue juga, lo gimana Rys?” Tanya Marvel
“Gue terakhirnya ketemu hari Senin kalo gak salah lima hari yang lalu?” Ucap Harrys sembari mengingat-ingat kapan ia bertemu. “Tapi cuma sekedar nyapa aja sih, soalnya dia kayak lagi buru-buru gitu.” Lanjutnya.
“Nah kalo lo Ji?”
“Gue gak ada ketemu dia sih semenjak terakhir kita ngumpul itu.” Jelas Aji pada yang lain.
“Ohh oke deh.” Kata Harrys.
“Emang kenapa Rys?” Tanya Sakala penasaran.
“Ini, Naren nanya gue, katanya lagi bareng Reksa gak? Gitu.” Yang lain hanya ber-oh ria saja.
“Eh, Ji, gue denger-denger kemaren lo di marahin emak lo ya?” Tanya Marvel penasaran, soalnya waktu ingin berkunjung ke tempat sepupunya—yang rumahnya hanya berjarak 3 sampai 4 rumah dari rumah Ajiwa—suara khas kepunyaan mamanya Ajiwa itu terdengar jelas sekali sampai ke tempat ia berada.
“Waduh lo abis ngapain Ji?” Tanya Harrys memanas-manasi. “Kepo lo.”
“Paling juga shock gara-gara liat nilainya.” Celetuk Sakala pada teman- temannya itu.
“Emang dapet berapa lo?” Tanya Harrys.
“100 dong bro, gue kan pinter.” Ucap Ajiwa sambil menaik turunkan kedua alisnya.
“Iya 100, nol nya gelinding satu.” Ceplos Sakala.
“AHAHAHA.” Harrys dan Marvel tertawa puas sekali. Yang diketawain malah nyengir, “Ish Sak lo harusnya diem-diem aja.” Sakalapun tidak peduli ia hanya menghendikan bahunya dan tertawa kecil.
Tuing!
“Eh handphone siapa bunyi?” “Gue.” Jawab Harrys.
“Kenapa lagi?” Tanya Sakala, soalnya dari tadi handphone-nya Harrys ini bunyi terus.
“Ini Naren bilang kita disuruh ke rumah Ethan, penting katanya.” Jelas Harrys pada Sakala.
“Penting apaan deh, tumben banget.”
“Iya, ga biasanya kayak gitu.” Timpal Aji pada ucapan Sakala barusan. “Mungkin emang penting kali, ya udah ayo kesana!” Ajak Harrys, entah mengapa, perasaannya menjadi tidak enak.
“Eh bareng aja gak sih? Lo kesini naik apa Ji?” “Gue bawa mobil.” Jawab Ajiwa pada Marvel. “Ya udah kita naik mobil lo aja, biar cepet.”
“Eh jangan!”
“Kenapa sih? Udah ayo cepetan, mana kunci mobil lo? Gue aja yang bawa.” Ujar Harrys menyambar kunci mobil yang sedari tadi Ajiwa pegang.
Hujan-hujan gini enaknya makan mie kuah sambil menikmati dinginnya malam. Seperti yang dilakukan oleh pemuda yang satu ini, bedanya, setiap suapan yang di masukkan ke dalam mulutnya, ia selalu memberikan reaksi yang berlebihan.
“Enak banget.” Ucapnya kembali memasukkan satu suapan mie ke mulutnya lagi.
Pemuda dengan nama panjang Ethan Aneswara—Ethan singkatnya— dengan kulitnya yang sedikit kecokelatan itu terlalu menikmati makanannya hingga tidak sadar bahwa bel rumahnya berbunyi.
Ting Tong!
Aktivitasnya terganggu, saat ini ia sedang sendirian di rumahnya, orang tuanya sedang di luar negeri akibat perjalanan bisnis, pembantunya juga sedang ijin cuti karena ingin melahirkan.
Ting Tong!
Bel rumahnya kembali berbunyi, akhirnya dengan berat hati ia turun ke bawah untuk membukakan pintu. “Siapa sih yang ganggu ketenangan gue?” sambil bertanya-tanya dalam hati.
“Siap- loh Ren? Ngapain?” Tanyanya bingung, biasanya jika ingin ke rumah, ia pasti bilang terlebih dahulu, namun ini tiba-tiba sudah di depan.
Pemuda yang dipanggil Ren—Naren Javier panjangnya—langsung melongos masuk ke arah dapur. “Than, gue numpang makan ya laper banget.”
Naren tuh tetangganya Ethan, rumahnya tepat di seberang rumah Ethan. Ia mempunyai paras yang nyaris sempurna, kalau kata orang sih, visualnya gak nyata. Tapi kalau kata Ethan, “Biasa aja, gantengan juga gue.”
Membiarkan Naren yang asik di dapur, Ethan naik ke atas untuk mengambil mie-nya dan ponselnya untuk dibawa turun ke bawah menuju meja makan. Bersamaan dengan Naren yang ternyata sudah selesai memasak mie yang sama seperti punya Ethan.
“Rumah lo gak ada makanan Ren?” Tanya Ethan pada Naren yang sedang melahap makanannya itu.
“Ya kalo gue ada makanan juga gak bakal ke sini sih.” Responnya lantas membuat Ethan memutar bola matanya malas. “Dih lo numpang makan doang? Dasar.”
Ting Tong!
Bel berbunyi lagi, Ethan heran kenapa rumahnya tiba-tiba kedatangan banyak tamu saat hujan deras begini. Akhirnya ia berdiri dan berjalan menuju pintu depan. “Mau kemana Than?” Tanya Naren saat melihat Ethan menuju pintu depan.
“Bukain pintu, tadi ada yang mencet bel.” Jawabnya sembari membalikan punggungnya ke arah Naren.
“Oh ya? emang bunyi tadi?”
“Loh emang lo gak denger tadi bunyi bel gede gitu?” Tanya Ethan heran, ia yakin kok tadi beneran suara bel rumahnya.
“Gak tuh?” Sahut Naren dari meja makan.
“Yang bener, lo jangan nakutin gue.” Peringat Ethan karena sekarang ini tubuhnya tiba-tiba merinding.
“Iya, gak denger.” “Ren..”
“Hehe iya denger kok, buka gih.” Jawab Naren sambil tertawa santai seolah tidak terjadi apa-apa.
“Gue pukul juga lo Ren.” Dumelnya.
Tuing!
Ponselnya bergetar menampilkan chat yang masuk dari kontak bernama ‘Rajendra Tsagara’ isinya begini, “Than lo di rumah gak? Gue ada di depan rumah lo nih.” Dengan segera ia membuka pintu rumahnya, namun kosong, tidak ada orang. Ethan pun berniat untuk menutup pintunya sebelum indera pendengarannya menangkap bunyi suara.
“Eh Than jangan ditutup dulu, bentar.” Oh ternyata benar Rajendra, pemuda yang akrab di panggil Jendra itu nampak menggunakan kemeja putih yang bagian lengannya digulung, menampilkan lengan putihnya yang tampak pucat dan sedikit basah, mungkin ia habis terkena hujan jadi begitu.
“Lo dapet kabar dari Reksa gak?” Tanyanya tepat saat ia di berhadapan dengan Ethan, posisinya masih di depan pintu. “Hah kabar apa?” Tanyanya kembali, tubuhnya mempersilahkan pemuda itu untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Gak tau, makanya gue nanya lo.”
“Dih gak jelas lo.” Ucap Ethan geleng-geleng kepala sembari menutup pintu.
“Eh ada lo, Ren.” Sapa Jendra saat melihat Naren di ruang tamu.
“Yoi.” Jawab Naren sambil mengangkat tangannya seolah menyapa Jendra yang baru datang. “Ngapain Ren? Numpang makan?” Tanyanya basa-basi. “Wih tau aja lo,” jawab Naren santai. “Lo sendiri?”
Lah beneran numpang makan, pikirnya, “Gue mau nanya, Reksa ada ngabarin lo gak?”
“Reksa? Gak ada tuh, kabar apaan emang?”
“Iya Jen, lo dari tadi nanyain Reksa mulu, kenapa anaknya?” Tanya Ethan sambil membawa gelas berisi air putih hangat untuk para tamunya itu. “Dih, Than, tadi gue dateng gak lo kasih minum?” Naren melayangkan protesnya.
“Ya lo udah berasa rumah sendiri, ambil sendiri lah.” Sungut Ethan.
Jendra terkekeh, “Gue tadi sempet ke rumahnya, mau balikin kemeja yang gue pinjem minggu lalu, tapi rumahnya gelap banget kayak gak ada penghuninya.” Jelas Jendra pada temannya itu.
“Lagi keluar kali nongkrong sama yang lain?” Kata Naren mencoba berpikir positif.
“Gue udah tanya Harrys, katanya mereka udah lama ga main sama Reksa akhir-akhir ini.”
“Udah tanya orang tuanya?”
“Lo kan tau orang tuanya gimana, kita juga gak punya nomor teleponnya.” Sahut Ethan. Lantas hening menyelimuti ketiganya, sudah seminggu belakangan ini mereka tidak berkontak dengan Reksa, biasanya walaupun pemuda itu jarang nimbrung dalam grup obrolan yang mereka buat, ia pasti selalu membaca pesan- pesan yang dikirimkan oleh teman-temannya.
“Coba telepon Harrys, minta mereka semua ke sini, nanti kita omongin bareng-bareng.”
CHAPTER 3
“Jadi Reksa hilang?”
Rumah Ethan sekarang ramai, hampir lengkap, karena tidak ada Reksa dan Sadam—ia tidak bisa datang karena harus menjaga neneknya yang sedang sakit— Setelah mereka semua sampai di rumah Ethan, Jendra langsung memberikan penjelasan kejadiannya.
Sama seperti Naren, awalnya, mereka masih mencoba berpikir positif dengan mengatakan bahwa mungkin Reksa sedang jalan-jalan sendiri atau lain sebagainya. Mereka juga masih terus mencoba menghubungi ponsel Reksa.
“Udah coba lapor polisi belum?” Tanya Sakala pada yang lain. “Belum, kita aja baru ngumpul di sini.”
“Masa iya dia diculik?” Celetuk Ajiwa.
“Hush, ya kali dia diculik, lo kan tau dia udah sabuk hitam, yang ada penculiknya sekarat duluan.” Heboh Harrys.
“Lo tadi liat mobilnya gak Jen, pas ke rumahnya?”
“Gak ada Ji, Garasinya kosong, makanya gue pikir dia lagi sama kalian.” Sahut Jendra. “Gue sih gak tau ya dia di mana, kalau Reksa ada sama kita kan dia juga udah pasti ada di sini.” Jelas Marvel. Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
“Lo kok diem aja Ren?” Tanya Ajiwa pada Naren yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara.
“Gue lagi mikir.” Jawabnya langsung. “Mikir apa?”
“Gue takutnya ada yang jahatin Reksa sih, soalnya gak mungkin banget dia tiba-tiba ngilang?”
Tok Tok Tok!
“Eh lo denger ada suara ketukan pintu?”
“Hah ketukan pintu? Gak ada tuh Rys?” Jawab Sakala yang merasa tidak mendengar apa-apa.
Tok Tok Tok!
“Nah kalian denger gak?” Tanya Harrys lagi setelah mendengar suara pintu diketuk untuk kedua kalinya.
“Gak ada Rys, lagian bel gue aja gak bunyi.” Kali ini Ethan selaku yang punya rumah menjawab, ia benar-benar tidak mendengar suara ketukan pintu.
“Ya udah coba lo buka aja Rys.” Naren menyarankan Harrys untuk membuka pintu, karena jujur, ia juga mendengar suara ketukan pintu itu.
“Gak mau ah, gue takut.” Tolak Harrys.
Ting Tong!
“Nah itu baru belnya bunyi, udah sana buka aja Rys, kita liatin dari sini.” Suruh Jendra pada Harrys, akhirnya dengan berat hati ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan pintu. Belum sempat di buka, ia membalikan badannya ke arah teman-temannya yang sedari tadi memperhatikan pergerakannya, “Eh gue takut deh, kalo misal orang jahat gimana?" Ucapnya dengan nada gemetar.
”Ah lama lo, sini gue aja.” Marvel yang kesal, berdiri menghampiri Harrys yang sudah di ujung pintu, tanpa ragu ia membuka pintu tersebut.
Sepi, tidak ada siapapun, kecuali satu amplop surat berwarna cokelat yang ada di bawah pintu. Ia mengambil amplop tersebut dan membawanya ke dalam meninggalkan Harrys yang masih ketakutan di dekat pintu.
“Nih ada amplop.” Ucap Marvel sembari menaruh amplop tersebut di meja ruang tamu. Jendra yang melihat itu, lantas menyuruh Ethan membukanya. “Lo buka gih Than.”
“Kok gue Jen?” Ethan yang namanya disebut menunjuk dirinya takut- takut. “Ya kan ini rumah lo, paketnya juga dateng ke rumah lo, siapa tau penting, jadi buka aja.” Tutur Jendra meyakinkan temannya itu.
Dengan ragu, Ethan membuka amplop tersebut, pelan tapi pasti ia mengeluarkan kertas yang ada di dalam amplop tersebut. Hanya ada satu kertas foto dalam amplop tersebut.
“I-ini... Reksa.” Lirih Naren, ia sedari tadi berdiri di samping Ethan sambil mengamati kertas foto yang dipegangnya, tampak seseorang dengan tatapan mata kosong, dibagian kepala dan dadanya terdapat banyak luka tusukkan serta darah yang masih terlihat baru dikeluarkan.
“Maksudnya apa?” Tanya Jendra yang sedari tadi mengamati respon temannya. “Reksa meninggal?” Ucap Ethan ragu.
“Gak mungkin, lo jangan asal ngomong!” Sungut Naren masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Terus itu apa? Kenapa di kirim ke kita?” Tanya Marvel penasaran.
“Coba sini liat kertasnya.” Pinta Sakala pada Ethan.
“Nih.” Ethan menyodorkan kertas yang sedari tadi ia pegang pada Sakala.
“Adibama Group.” Celetuk Jendra saat melihat logo amplop yang ada di atas meja.
Fokusnya kini mengarah ke Sakala, Adibama Group merupakan perusahaan milik keluarga Adibama yang bergerak di bidang percetakan dan pengiriman barang. Sementara itu, Sakala yang memiliki nama panjang Sakala Adibama merupakan anak satu-satunya pemilik perusahaan tersebut. Ia yang ditatap oleh teman-temannya acuh, matanya mengamati foto yang ia pegang, mencoba membalik-balikkan kertas.
“Eh gue minta pensil dong.” Pintanya langsung saat melihat ada bekas seperti tulisan.
“Buat apaan?.” Tanya Harrys yang baru saja menutup pintu setelah melihat ada sosok lain yang mengawasinya dari luar.
“Pensil dong pensil cepet.” Desak Sakala yang tak sabaran, dari tadi temannya tidak ada yang mau bergerak untuk mengambil pensil sama sekali.
“Itu di bawah meja ada pensil Sak.” Ujar Jendra yang sedari sudah melihat pensil yang di butuhkan, namun maaf saja, ia terlalu malas untuk mengambil pensilnya.
Dengan cepat Sakala mengambil pensil dan mencoret asal kertas tersebut hingga menampilkan sebuah angka.
𝟏
𝟐 ,
𝟑
𝟓
𝟒 , ?
Masih belum selesai, di bagian pinggir terdapat seperti tempelan kertas kecil yang sepertinya sengaja ditempelkan untuk menutupi tulisan yang ada di belakang kertas foto tersebut. “Hati-hati, pembunuhnya ada di sekitar kalian.”
Sekarang ini sudah jam istirahat, di mana sebagian siswa yang ada di kelas sudah berhamburan pergi menuju kantin, ada yang memilih untuk diam di dalam kelas sambil bermain game online seperti Ajiwa, Harrys, dan Naren, ada yang memakan bekal yang sudah dibawa dari rumah seperti Sakala, serta ada juga yang memilih untuk duduk dipojok dengan kedua telinga dipasang alat yang bisa mengeluarkan suara, seperti yang sedang dilakukan oleh Marvel.
Pemuda dengan manik logam berwarna hitam pekat itu memilih untuk diam saja di kelas mengisi waktu istirahatnya dengan mendengarkan musik dan mencoret-coret bukunya sehingga menghasilkan suatu gambar abstrak. Pikirannya masih mengarah pada kejadian tadi malam, tidak mungkin itu hanya kebetulan seperti yang di katakan Jendra, hingga akhirnya mereka semua memilih pulang ke rumahnya masing-masing dengan perasaan was-was. Indra pendengarnya masih dapat menangkap celotehan-celotehan yang dikeluarkan temannya yang sepertinya telah kalah dalam permainan tembak-tembakan itu.
Namun saat sedang asik berkutat dengan kegiatannya, Ia di kagetkan oleh teriakan Sadam yang baru datang dengan satu tangan membawa sebungkus siomay dan satunya membawa minuman es.
“RYS LO DAPET SA-, EH HARRYS LO KENAPA?” Tanya pemuda dengan mata bulat seperti boba—Sadam Aghara namanya—saat masuk ke kelas lalu mendapati wajah Harrys yang terlihat pucat sangat jelas sekali. Niatnya, tadi ingin memberi tahu Harrys karena dia dapet salam dari anak kelas sebelah, biasalah, Harrys yang mempunyai wajah tampan di atas rata-rata dan proposi tubuh yang bagus, siapa yang tidak suka?
“Loh iyaaa, muka lo pucet gitu, sakit lo?” Heboh Ajiwa yang baru sadar akan perubahan raut wajah teman sebangkunya.
“Gue mual banget, kayaknya gue ke uks dulu deh.” Ucap Harrys dengan suara yang lemah.
Baru akan sampai di tempat Sadam yang masih berdiri di dekat pintu, badannya oleng, tidak sempat ditangkap oleh teman-temannya, alhasil ia jatuh dan kepalanya tidak sengaja membentur meja yang membuatnya tidak sadarkan diri.
░░░░░
“Harrys gimana? Maaf gue baru dateng, tadi ada masalah sama anak basket.” Jendra tadi sempat ingin ikut saat teman-temannya mengabarkan Harrys tak sadarkan diri dan segera ingin di bawa ke rumah sakit. Namun, ada anak basket yang menyenggolnya terang-terangan mengajaknya untuk berduel, Jendra yang tidak terima lantas meng-iyakan ajakannya dan baru selesai sekarang.
“Keracunan katanya, untung cepet di bawa ke sini, kalo gak, ya gitu.” Ucap Naren yang sempat jadi perwakilan untuk Harrys. Lantas Jendra mengangguk-anggukan kepalanya memahami kondisi yang diderita oleh temannya itu.
“Harrys belum sadar?” Kali ini Ethan yang nanya, ia baru saja kembali dari kantin rumah sakit bersama Aji, lapar katanya, padahal sebelumnya ia sempat makan dulu saat di sekolah.
“Belum.” Sahut Marvel yang sedari tadi duduk memperhatikan Harrys.
“Emang tadi dia makan apa deh? Kok bisa nyampe keracunan gitu.” Tanya Sakala penasaran.
“Gak tau, tadi makannya sama lo gak sih Than?” Ethan yang disebut namanya kelabakan, tidak menyangka bahwa ia akan di tanya-tanya seperti itu.
“Tadi dia cuma minum susu aja kok.”
“HAH? SUSU?!” Pekik Ajiwa setelah mendengar kata susu yang di ucapkan oleh Ethan.
“Lah emang kenapa? Biasa juga minum susu kan?”
“Harrys gak bisa minum susu Than, kita semua tau itu.” Marvel geram, bagaimana tidak, mereka sudah berteman sejak masih sekolah dasar, kenapa Ethan masih belum hafal juga.
“Udah sabar Vel, namanya juga manusia, bisa aja lupa.” Ujar Sadam mencoba menenangkan Marvel yang menatap sengit ke arah Ethan.
“Kalau kayak gini, gue jadi curiga.” Celetuk Naren sambil terkekeh sendiri.
“Maksud lo?”
“Jangan-jangan tulisan di kertas kemarin itu bener, Reksa dibunuh dan pelakunya sekarang ada di antara kita, dia juga lagi coba buat bunuh Harrys.”
“HAHAHA jadi lo nuduh kita?” Ajiwa tertawa sarkas, bisa-bisanya Naren berpikiran seperti itu.”Ya gak ada yang tau kan? Bisa aja sebenernya salah satu dari kalian yang bunuh Reksa.”
“Lo jangan ngomong aneh-aneh Ren, kita semua gak mungkin kayak gitu.” Ujar Jendra yang ada di sampingnya.
“Tapi gue setuju sama Naren, bisa aja pelakunya salah satu di antara kita.” Sahut Sakala yang berpikiran sama dengan Naren.
“Juga, jangan lupain angka pecahan yang waktu itu, bisa aja itu petunjuk siapa pelakunya.” Lanjutnya lagi.
“Kenapa lo yakin banget kalo pembunuhnya emang di antara kita?” Tanya Jendra.
“Kalo emang bukan kita, siapa lagi? Reksa gak pernah cari masalah sama orang lain, kecuali kita. Bisa aja kan di antara kita ada yang gak suka sama Reksa?”
“Keterlaluan.” Sindir Ajiwa.
“Apanya yang keterlaluan?”
“Lo ngomong kayak gini sengaja kan biar kita pecah?”
“Gue cuma ngomongin apa yang ada di pikiran gue.”
“Sak, dengan lo yang ngotot kayak gini, lo pikir gue gak curiga?”
“Apa yang mau lo curigain dari gue, Ajiwa?”
“Ya lo pikir aja, lo tau banyak hal yang bahkan kita aja gak bisa mikir nyampe ke situ? Gak cuma itu, surat kemaren juga asalnya dari ADIBAMA GROUP!”
“Gue gak tau apa-apa!, gue gak ada ikut campur masalah perusahaan bokap gue. Yang harus lo pikirin itu petunjuknya. Bisa aja itu ngarah ke si pembunuh sebenarnya dan bukan gue.”
“Halah. Lo mau cari perlindungan di balik ‘petunjuk’ itu?”
“UDAH STOP! Ini di rumah sakit, gak malu di liatin banyak orang?” Marvel yang geram, langsung meninggalkan teman-temannya dan menjauh dari area rumah sakit itu.
Sadam yang sedari tadi hanya mendengarkan itu menggaruk kepalanya bingung sebelum akhirnya bersuara. “apa sih kalian ini ngomongin apa? Gue dari tadi mencoba memahami obrolan kalian tapi gak ngerti apa-apa, pulang aja kali ya gue.”
Harrys malam ini dijaga oleh Naren dan Sakala, entah apa yang membuat keduanya berakhir duduk di sofa dan larut akan obrolan serius. Sementara Harrys, pemuda itu masih belum juga sadar dari kondisinya sekarang ini.
“Sak, menurut gue, lo mending jangan terlalu nunjukkin kalo lo tau sesuatu.” Ujar Naren memperingati temannya itu.
“Maksud lo?”
“Dari yang diomongin Ajiwa gue yakin kalo lo juga tau banyak tentang kasus ini. Bisa juga, karena lo tau banyak, si pelaku jadi ngincer lo, supaya identitasnya gak kebongkar.”
“lo juga tau banyak. Lo tau dari mana yang kayak gitu?”
“Ya ampun, Sak, yang kayak gituan mah banyak di cerita-cerita novel yang sering gue baca.”
“Dih lo bener-bener, gue lagi serius juga.” “Jangan serius-serius, ntar baper.”
“Dih amit-amit.”
“Ya kayak lo gak aja Sak.” Ucapnya sambil tertawa, mengingat keduanya sama-sama menggemari cerita-cerita misteri. “Hati-hati aja Sak, kita gak tau mana yang baik sama yang jahat.”
“Tapi serius Ren, bukan lo kan pelakunya?” Tanya Sakala dengan mata yang menatap lurus tepat pada manik kecokelatan milik Naren.
“Menurut lo, gimana?”
░░░░░
“Lo kalau mau makan mending duduk.” Kata Sadam memperingati Ethan yang sedang tersedak karena makan sambil berjalan.
Mereka berdua ini sedang jalan-jalan di taman kota, katanya sih mau
refreshing. Kenapa hanya berdua? Gak tau juga, suka-suka mereka.
“Ayo cari tempat duduk dulu.” Ajak Sadam sambil menarik Ethan yang tadi hampir tertabrak motor karena masih tersedak makanan.
“Uhukk uhukkk, huh makasih Dam kalau gak ada lo mungkin gue bisa sekarat.” Ucap Ethan berterima kasih.
“Makanya hati-hati, lo gak kapok-kapok sih.”
“Hehe, ya maaf gue gak tau kalau bakalan gitu. Lagian selama ada lo gue aman-aman aja tuh.”
“Hadeh, nyerah ajalah gue temenan sama lo.” Jengah Sadam.”Eh omong- omong itu si Reksa beneran meninggal? Kok gue gak tau?” Tanya Sadam setelah megingat tujuannya membawa Ethan ke sini.
"Kayaknya iya, kok kayaknya"
“Waktu itu, yang Naren nelfon lo suruh ke rumah gue, trus lo bilang gak bisa karena ada acara-”
“Gue nemenin nenek gue, dia sendirian lagi sakit.” Potong Sadam.
“Ya, terserahlah, intinya ada yang ngirimin amplop isinya foto Reksa yang kalo kata gue sih dia di tusuk gitu soalnya ada bekas lukanya, heh liatinnya biasa aja, naksir gue ya lo?” Ya, itulah Ethan, udah serius-serius akhirnya malah aneh- aneh.
Sadam reflek memukul Ethan, “dih, gue masih lurus, trus yang ngomongin petunjuk-petunjuk itu?”
“Oh, Itu, di belakang kertasnya, Sakala nemuin angka pecahan gitu, sama di ujungnya ada tulisan ‘hati-hati, pembunuhnya ada di sekitar kalian.’ gitu sih.”
“Aneh banget.” Ucap Sadam secara tidak langsung.
“Iya kan, gue juga mikir kalau ini tuh aneh banget, apa ada yang sengaja buat kita berantem?”
“Tapi kalau di pikir-pikir lagi, dibandingin sama yang itu, gue lebih heran sama kenapa dia bisa foto Reksa dalam keadaan kayak gitu?”
“Dia yang bunuh kali.”
“Aneh, kalau dia yang bunuh, ngapain dia ngirim begituan ke kita, yang ada dia ketauan dong?”
“Lah iya.”
“Bukan lo kan Than?”
░░░░░
Marvel menguap, matanya berat sekali seperti beban hidup. Semalaman ia tidak bisa tidur karena memikirkan teman-temannya, ia tidak takut kalau dia yang dibunuh, tapi dia lebih takut kalau teman-temannya yang dibunuh, ia tidak mau kehilangan lagi. Pikirannya kacau, matanya menatap kosong lurus ke depan, bahkan suara Jendra yang sedari tadi teriak sambil mengetok-ngetok pintu rumahnya pun tidak terdengar. Akhirnya setelah mendengar dering telepon yang masuk dari kontak bernama ‘Jendra’, pikirannya langsung kembali normal, ia bergegas mengambil handphone-nya lalu dengan cepat menggeser tombol hijau yang ada di layar.
“MARVELIX!” Teriaknya dari seberang sana, oh bahkan sekarang ia bisa mendengar suara Jendra yang ternyata sudah ada di depan rumahnya.
“Eh bentar-bentar gue ke depan.” Panggilan telepon langsung di putuskan sepihak oleh Marvel.
“Buset pagi-pagi ngapain dah?” Tanyanya dalam hati.
“Vel, Harrys meninggal.” terang Jendra saat Marvel membuka pintu rumahnya.
“Hah?”
“Iya Vel, Harrys meninggal, pelakunya Sakala.”
“Serius, bukan gue.” Sakala terpojokkan, sudah ada Marvel, Jendra, Ajiwa dan Naren di ruangan Harrys, yang sekarang telah kosong karena di bawa ke ruangan lain.
“Kalau bukan lo siapa lagi? Gue cuma liat lo tadi Sakala.” Tuduh Naren, ia tadi pergi ke kantin karena perutnya lapar, jadi ia menitipkan Harrys pada Sakala, Naren percaya pada Sakala, oleh karena itu ia berani meninggalkan Harrys dengan Sakala karena ia yakin, Sakala tidak akan berbuat macam-macam pada Harrys.
Namun, nyatanya salah. Sekarang Harrys sudah tiada, ia salah menaruh kepercayaannya pada Sakala. “Gue panik, gue baru aja keluar kamar mandi, terus gue denger bunyi nyaring dari situ.” Tunjuknya pada salah satu alat yang ada di samping bangsal, itu, loh, elektrokardiogram, yang biasa di gunakan untuk mengukur detak jantung pasien.
“Tapi gak menutup kemungkinan kalau itu lo yang lakuin kan?”
“Bukan gue Naren, lo kenapa sih nuduh gue terus?” Protes Sakala, dia tidak suka jika ia di tuduh seperti ini.
“Udah-udah jangan ribut di sini.” ujar Jendra menengahi.
“Diem Jen.” Titah Naren. “Gue tau, lo tau banyak hal pasti karena lo pelakunya kan? Udahlah ngaku aja Sak.”
“Udah gue bilang, bukan gue, gue gak mungkin bunuh temen sendiri, apalagi Harrys, bahkan orang tuanya nitipin dia ke gue.” Jelas Sakala dengan suara yang mulai tinggi. “Iya, udah Naren, lo jangan emosi terus, bisa aja emang bukan Sakala.” Jendra kini menarik Naren untuk duduk agar lebih tenang.
“Lo juga Sak, kalau lo gak salah, harusnya lo biasa aja.” Ucap Marvel yang juga menarik Sakala menjauh dari Naren.
“Ya biasa aja kayak gimana, gue di tuduh yang enggak-enggak.”
“Aduh, udah, sekarang kita bahas aja di sini biar cepet kelar, selain lo sama Sakala, ada yang ke sini lagi gak?”
“Aji.” Celetuk Sakala. Aji yang di panggil menengok dengan tatapan tidak suka. Ingin ia berbicara, namun Sakala lebih dahulu melanjutkan omongannya.
“Jangan kira gue gak liat lo di lorong rumah sakit ya, gue apal banget sama baju yang sekarang lo pake.”
Semua yang mendengar itu lantas memusatkan perhatiannya pada Aji, menyadari gelagat Aji yang aneh, seseorang tersenyum senang dalam hati, 'kena lo, Ajiwa.'
░░░░░
“Duh Than, lo bukannya cepet-cepet ke rumah sakit, malah nambah makan bakso, ga waras lo ya?”
Sadam kesal, tadi saat ia di kabari oleh Naren, ingin sekali buru-buru ke sana, namun ia sedang bersama Ethan yang sejak tadi kerjanya makan terus.
“Syuutt, diam kamu, kakanda ini sedang lapar, mau kamu saya mati kalaparan?” Ucapnya dengan gaya ala-ala bangsawan.
“Heh malah becanda, buruan gak lo atau gue tinggal?”
“Ish iya sabar, udah nih sekali lagi.” Bakso terakhir yang ia sisakan kini sudah habis. Sekarang waktunya bayar, eh tunggu, Ethan meraba-raba kantong- kantong jaket dan celananya, tapi tidak menemukan dompetnya di manapun.
“Hehehe.” Perasaan Sadam mulai tidak enak, pasalnya Ethan ini tiba-tiba terkekeh tidak jelas. “Kenapa lo?”
“Bayarin gue ya Dam, gue gak bawa dompet.” Masih dengan senyum manis yang dibuatnya untuk merayu Sadam.
Ia yang sudah hafal dengan kelakuan temannya itupun menghela nafas, kemudian dengan cepat mengambil dompetnya membayar makanan yang sudah di pesan oleh Ethan, ingat ya Ethan doang, soalnya Sadam dari tadi hanya menemani Ethan saja sambil sesekali membeli minuman dingin.
Baru ingin masuk ke dalam mobil, Ethan dikabari oleh Jendra, katanya tidak usah datang, mereka semua sudah mau pulang. "Haduh, udah dua kali gue ga ikut ngumpul, ketinggalan apa lagi kali ini."
Berita tentang meninggalnya Harrys kini menjadi perbincangan hangat di sekolah, banyak yang mengucapkan turut berduka cita pada Naren dan kawan- kawan.
Sejak kejadian itu pula, mereka semua mulai menjaga jarak satu sama lain, tidak ada lagi yang namanya canda-tawa, mereka semua sibuk dengan urusannya masing-masing.
Sadam dan Ethan yang di ceritakan oleh Jendra tentang kejadi tersebut juga ikut menjaga jarak, makanya kemana-mana mereka selalu berdua.
“Kalau kata gue, Sakala itu difitnah.” Ucap Sadam tiba-tiba. “Difitnah gimana?”
“Bisa aja sebenernya pelakunya Naren, cuma dia gak mau ngaku, alhasil dia nuduh Sakala buat dijadiin pengecoh.”
“Aduh Sadam, lo jangan pinter-pinter.” “Lah? Kenapa?”
“Kalau pelakunya tau, bisa aja lo dijadiin target berikutnya.”
“Ya biarin aja, lagian gue cuma ngomong ini ke lo kok, berarti kalau misal gue mati, lo pembunuhnya.” Sarkasnya.
“Lo gak percaya sama gue?”
“Gak ada yang bisa dipercaya akhir-akhir ini, gue gak tau lo bohong atau gak sekarang ini, bahkan dibanding gue, lo lebih tau banyak hal, atau jangan- jangan lo pelakunya?”
“Bukan gue, jelas-jelas gue sama lo terus.” Sanggahnya. “Tapi lo sadar gak sih? Secara gak langsung kita semua jadi saling tuduh, emang udah pasti pelakunya di antara kita bertujuh?”
░░░░░
Sakala akhir-akhir ini menjadi lebih sensitif, bahkan seluruh teman- temannya menjaga jarak dengannya.
Tapi tidak untuk Marvel, pemuda dengan rasa ingin tahu yang tinggi itu, tetap setia menemani Sakala karena jujur, ia sangat yakin jika Sakala itu bukan tipe orang yang mau masuk ke dalam permasalahan rumit apalagi yang berhubungan dengan darah. Gimana, ya, Sakala jatuh saja tidak mau, apalagi perihal bunuh-membunuh. “Vel, lo gak capek temenan sama gue?”
“Gak, gue cuma percaya sama lo doang, yang lain masih tanda tanya.” Tutur Marvel. “Tapi Naren udah nuduh gue bunuh Harrys, lo gak takut?” Tanyanya ragu-ragu, bukan bermaksud ingin menakuti, tapi apa ya, Sakala hanya ingin tahu alasan Marvel.
“Itu gak bener, lo cuma dituduh, lo gak mungkin kayak gitu.”
Hatinya menghangat, ia tidak menyangka bahwa ia mempunyai teman yang sangat baik.”Kalau misalnya emang gue?”
“Sak, lo lupa gue siapa?” Maniknya berkilat beradu tatap dengan milik Sakala. “Lagian mending lo bantu gue mikirin maksud dari kertas foto yang waktu itu, ada di lo kan?” Sakala menganggukan kepalanya, kemudia berdiri ke tempat di mana ia menyimpan kertas foto tersebut.
“Nih, gue udah sering mikirin ini, tapi gue cuma ketemu hasil 5, gue gak ngerti 5 yang dimaksud itu apaan?” Tutur Sakala pada Marvel. Menurutnya, petunjuknya gak jelas, bagaimana yaa, Sakala emang cukup pintar jika bermain teka-teki, tapi untuk yang kali ini kayak gak dulu.
“Lo udah nyari tau di tempat perusahaan bokap lo?”
“Udah, tapi datanya gak bisa di buka. Setiap gue coba pasti gagal terus.”
“Lo ada salinannya?” Dengan cepat tangan Sakala bergerak membuka laci mejanya satu persatu. “Nih.”
“All right, let’s do this.”
░░░░░
“Ahhh segerrr.” Ucap Ajiwa sambil mengusap tenggorokannya sesaat setelah meneguk es teh manis yang dibelikan oleh Jendra.
“Buset berasa shooting iklan minuman lo.” Komentar Naren yang melihat kelakuan Aji.
“Lah, lo gak tau gue artis papan atas?”
“Artis papan gilesan ada juga mah.” Kata Jendra bertos-ria dengan Naren. Kapan lagi lihat Aji diledekkin seperti itu. “Awas ya lo pada, gak bakal gue kasih tanda tangan.” Ujarnya ngambek.
“Dih sok iye.” Ejek Naren.
“Emang iye, mau apa lo?!” Balas Aji dengan mata yang melotot. “Udah lah, Ji, capek gue sama lo.”
“Dih, lo duluan yang mulai.”
“Enak aja.” Balas Naren tidak terima.
“Oh lo mau berantem? Ayo!” lengan bajunya ia gulung ke atas, tangan Jendra ia pegang untuk menahan tubuhnya sendiri. “Jen, tahan gue Jen.” Jendra yang tangannya ditarik-tarik protes.
“Gak jelas lo.” Ujar Naren melihat kelakuan temannya itu. “Eh Ren, lo gimana sama Sakala?”
“Lo ngapain bahas dia?”
“Gak mau minta maaf?” Naren mendelik ke arah Jendra, “ngapain gue minta maaf? Ada juga dia yang minta maaf sama kita, karena udah bunuh Harrys.”
“Gue setuju, Sakala aneh banget, gue berantem terus sama dia, padahal gue gak ngapa-ngapain.” Sahut Ajiwa, ia juga merasa tidak adil dengan perlakuan temannya itu.
“Tapi apa kalian gak kangen ngumpul bareng? Kita biasanya ngumpul terus, sekarang malah kepencar kayak gini.”
“Ya kalau lo mau ngumpul, silahkan, tapi gue gak.” Jawab Naren tegas. “Gue gak mau temenan sama pembunuh.”
CHAPTER 8
Sadam dari tadi mondar-mandir di kamarnya, pikirannya tertuju pada kejadian aneh akhir-akhir ini.
“Sebenernya siapa pelaku dari semua ini?”
“Gue gak mau curiga sama temen-temen gue, tapi nyatanya keadaan begini.”
“Tujuannya apa sih, bunuh orang tuh bukan bercandaan loh.” “Gak jelas ah, males.”
Akhirnya ia menghempaskan diri ke kasurnya, matanya memandangi langit-langit rumahnya yang berwarna kebiruan. Teringat angka pecahan yang diberikan oleh Ethan tadi pagi,
𝟏/𝟐 , 𝟑/𝟒, 𝟓?
“Satu per dua, tiga per empat, lima per? Duh gue mana paham yang kayak gini.” Ia diam, memandangi angka tersebut dengan serius. “Ayo, Sadam, keluarkan kepintaran matematikamu.”
“Oh ini lima per lima gak sih?” Kepalanya ia dongakkan ke atas sambil berpikir apa maksud dari angka lima ini. 1/2 menjadi 3/4 karena ada penambahan 1/4. Jika begitu, maka 3/4 ditambah 1/4 akan menjadi 1. 5/?=1, jadi jawabannya 5/5.
“Terus maksudnya ini ada lima pembunuh? Banyak amat dong.” Sadam jadi bingung sendiri. “Lima apa yaa? Kalau nama orang yang lima huruf gimana?”
Lantas Sadam menghitung nama teman-temannya, Rajendra tidak mungkin karena lebih dari lima huruf, Sakala dan Marvelix juga tidak, kemungkinan adalah Ajiwa dan Naren. Kalau Ethan ia yakin tidak karena selama ini ia bersama dengannya terus. Tapi kalau dipikir-pikir, nama Sadam juga lima huruf. Ia menggelengkan kepalanya, mencoba memikirkan petunjuk lain. Sebelum akhirnya ia mengambil ponselnya dan terdapat pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
‘Sadam, gue di dapur lo nih.’ ‘Sini dong.’
Bulu kuduknya merinding, apa-apaan pikirnya, siapa yang berniat mengerjainya sampai masuk ke dalam rumahnya.
Ia mengabaikan pesan tersebut, memilih untuk tetap di kamarnya, sejenak memejamkan mata kala mendengar suara dentingan yang berasal dari bawah rumahnya.
Buru-buru ia bangun, mengambil alat apapun yang sekiranya bisa ia gunakan sebagai alat pelindungan diri.
“Mama, maafin Sadam yang suka ngambilin duit mama diem-diem.” Ucapnya final sebelum ia membuka pintu kamarnya dengan menodongkan tongkat pramuka yang untungnya ada di samping lemari tempat tidurnya.
Matanya melirik was-was, firasatnya mulai tidak enak saat kembali mendengar suara dentingan dari bawah, bedanya kali ini suasananya lebih mencekam karena dentingan itu menghasilkan gema.
Ceklek
“MAMAAAAA!” Sadam teriak, listriknya mati menyebabkan ketakutan yang besar buat Sadam, ia butuh mamanya saat ini. Meskipun terbilang sudah besar, ia benar-benar takut akan yang namanya gelap.
Dulu ia pernah menjadi korban pembullyan di sekolah dasar, mereka — anak-anak yang suka membully di sekolah dasar— menyiram Sadam dengan air bekas pel kemudian menguncinya dalam bilik kamar mandi di lantai 3 sekolahnya, yang mana jarang di kunjungi baik murid maupun guru sekolah itu.
Kejadian itu memakan waktu cukup lama, hingga akhirnya ada seorang pengerja yang sedang berpatroli di sekitaran situ menemukan sosok Sadam yang tubuhnya sudah terkulai lemas, tidak berdaya di lantai dengan seluruh bajunya yang basah. Hal ini lantas menimbulkan trauma baginya, orang-orang terdekatnya tidak ada yang tau, karena Sadam sendiri tidak mau terlihat lemah di hadapan mereka semua.
Tap tap
Telinganya mendengar suara lagi, kali ini, suara langkah kaki yang kian mendekat ke arahnya. Tongkatnya ia pasang dengan posisi siap, mau bagaimanapun juga ia harus tetap berani melawan apapun yang ada di rumah ini.
Tap
Langkah kaki itu terasa semakin dekat, hingga memunculkan sosok pemuda dengan sebilah pisau disakunya.
“Lama banget sih, gue udah nungguin lo di bawah, malah gue yang nyamperin.” Dumelnya pada Sadam yang sedang bergetar tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Lo kok bisa masuk ke rumah gue?”
“Kalau lo lupa, lo pernah nitipin kunci rumah lo ke gue.” Tangan yang sedari tadi berada di saku celananya kini ia keluarkan bersamaan dengan sebilah pisau yang ia genggam.
“Lo ngapain bawa pisau?”
“Haduh, Sadam, gue tau lo pinter. So, ada kata-kata terakhir?
░░░░░
Sakala sedang berjalan santai menikmati semilir angin malam yang menghembus wajahnya. Rambutnya mengikuti gerak angin yang sesekali memperlihatkan jidatnya.
Tangannya ia masukkan ke dalam saku jaketnya guna menghangatkan tangannya yang mulai kedinginan. Sebenarnya hari ini, ia sudah ada janji dengan Sadam, mengingat kemarin ia diberitahu oleh Sadam bahwa ia mendapat satu petunjuk lagi.
Selang dua rumah, ia menyadari ada sosok pemuda dengan baju serba hitam berdiri tidak jauh dari rumah Sadam, ia tampak seperti sedang mengawasi sesuatu dari luar rumahnya Sadam.
“Loh Aji?” Ucap Sakala ketika kedua manik mereka bertemu. “Sakala? Lo ngapain di sini?” Tanya Aji terkejut.
Yang di tanya malah memicingkan matanya, memindai pakaian yang di kenakan oleh Aji dari atas sampai bawah.
“Heh!” Aji yang sadar dilihati seperti itu lantas menjentikkan tangannya ke muka Sakala. “Liat apa lo?” Sinisnya.
“Lo ngapain pake baju serba item kayak gitu, mau maling?”
Aji yang tidak terima lantas melontarkan sanggahannya. “Gak usah ngada- ngada lo, masa orang ganteng gini mau maling.”
Sakala menghendikkan bahunya tidak peduli, sebenarnya itu hanya pengecoh saja, ia hanya ingin melihat reaksi yang di buat oleh Aji, temannya yang satu itu kadang bersikap mencurigakan.
“Lo ada janji sama Sadam?” Tanya Sakala sembari memencet bel yang ada di ujung pintu gerbang.
Yang di tanya justru kelabakan. “Iya, gue di suruh ke sini sama dia, cuma gak di bukain, makanya gue di sini.”
“Sadam, ini gue Sakala, bukain dong pintunya!” Teriak Sakala mengabaikan perkataan Aji yang menurutnya hanya omong kosong.
“Percuma, gue juga dari tadi manggilin dia kagak keluar-keluar.” ujar Aji malas.
“Gue liatin, lo diem aja tuh?”
“Lo gak percayaan banget sih sama gue Sak?”
Sakala yang mendengar itu lantas berdecih. “Ya udah lo bantu gue dobrak pintu ini.” Jika dilihat dari luar, Sakala terlihat seperti pribadi yang tenang, padahal jauh di dalam lubuk hatinya ia khawatir, rumah temannya ini gelap, seperti mati lampu, tapi yang begitu hanya rumahnya, rumah-rumah yang ada di sampingnya justru menyala terang sekali.
Aji yang di suruh tiba-tiba lantas menganggukan kepalanya kaku, segera mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu.
“Satu.”
“Dua.”
“Dua setengah.”
“Kok lo pake acara ada dua setengahnya sih Ji?!” Sakala menggeram tertahan, temannya yang satu ini benar-benar bikin emosi.
“Hehe ya biar gak tegang-tegang amat. Lagian lo ngebet banget dobrak pintu orang, rusak ganti lo.”
“Gampang, udah cepet.” “Satu.” “Dua.” “TIGA!”
BRAK!
Gelap, itu yang mereka lihat setelah berhasil mendobrak paksa pintu rumah milik Sakala. Firasat Sakala mulai tidak enak lantaran indera penciumannya mencium bau amis yang berasal dari lantai atas.
Lagi, ia mengabaikan Aji yang sedang kesakitan setelah mendobrak pintu, ia lantas pergi tanpa ragu mengambil langkah yang tegas menuju lantai atas.
Baru dua langkah, kakinya justru berhenti sebab merasa seperti menginjak sesuatu yang seharusnya tidak ia injak, sebuah tangan.
“SAKALA!” Teriak Aji setelah menyusul Sakala yang diam di tangga, rautnya berubah menjadi panik kala ia melihat potongan tangan yang tidak sengaja diinjak oleh Sakala.
“Ji firasat gue bener-bener gak enak.” “Ya jangan di makan.”
“GUE SERIUS YA, AJIWA!” Teriak Sakala, ia tidak bisa lagi menahan emosinya. Temannya itu benar-benar tidak tau tempat jika ingin bercanda.
Aji tersentak, jika Sakala sudah memanggilnya dengan nama Ajiwa, itu tandanya ia sudah tidak aman.
Buru-buru ia merubah raut wajahnya menjadi lebih tenang dan segera menyusul Sakala yang sudah jauh di atasnya.
Bruk
Sakala mematung, kakinya benar-benar tidak kuat menopang berat tubuhnya.
“Sak, lo kena..pa..” Omongan Aji terputus setelah melihat apa yang ada di hadapan Sakala.
Itu, Sadam, tergeletak di lantai dengan tangan yang sudah putus sebelah — yang tadi diinjak oleh Sakala— dan darah yang berceceran di mana-mana serta pisau yang masih menancap tepat di kepalanya.
To be continue....